Sunday, October 15, 2006

#027: Semoga Wajah Aisyah, Seindah Purnama Malam Ini


Ba'da Maghrib di Padepokan Tebet,12 Juli '03;
Di bawah sinar bulan purnama malam ini. Segumpalan awan berarak di langit, mengitari sang bulan, yang telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matahari, sekitar dua jam yang lalu.

Dengan begitu cepat, lalu sang paras putri itu naik dari kaki langit. Semakin meninggi, memberi warna putih-kekuningan ke segala penjuru dan sudut-sudut bumi yang tersentuh oleh cahayanya.

Genting rumah, pucuk-pucuk daun dan ranting pohon mangga, nangka, jambu, mengkudu, palem, cemara, dan hamparan rumput di taman pedepokan ikut menguning. "Apa yang sedang kau lakukan saat ini, Aisyah?", gumamku.

Malam minggu di sini begitu sepi. Cipeng ke Pulau Matahari, mengejar doorprize, untuk melengkapi koleksi barang-barang pribadi di ruang kamarnya --selamat, semoga dapat yang diincar!. Wanus ke Lampung, hanya demi "mengekspor" kucing. Suatu bentuk"rasa kebinatangan" --karena yang ia cintai bukan manusia:-), yang mengagumkan. Sementara, Patrang sibuk dengan dead-line kerjaan kantornya--selamat berpusing-ria, Gus:-). WW entah ke mana, aku tak tahu. Orang satu ini begitu mobile, se-mobile teknologi perusahaan seluler tempat ia bekerja.

Hanya angin semilir yang setia menemaniku malam ini. Ia menari-nari di atas daun-daun mangga, nangka, jambu, dan begitu senangnya bermain-main di pucuk pohon cemara yang paling tinggi. Sementara, rumput-rumput di taman tak bergeming sedikitpun. Mungkin karena ia pendek, sehingga angin pun tak sampai untuk menjamah mereka.

Aku lihat kembali bulan yang telah meninggi di balik dedaunan pohon palem, di atas pohon mengkudu, yang tepat di depan ruang perpustakaan. Ia begitu indah, hampir bulat penuh. Terkadang ia malu-malu, bersembunyi di balik awan berarak. Seperti halnya diriku bila bertemu Aisyah.

"Inilah yang disebut tengah bulan purnama, anakku", dulu bunda memberitahukan istilah itu kepadaku. Satu hal yang tak pernah aku lupa. Bila setiap purnama tiba, bunda selalu mengajakku menggelar tikar di halaman depan rumah. Kita sekeluarga biasanya tidur lesehan, sambil bunda memberiku dongeng tentang cerita yang bernilai kemanusiaan dan kepahlawanan. Sementara kakak-kakakku yang lain, bermain di lapangan rumah tetangga, bersama teman-temannya.

Waktu itu kampungku masih belum ada listrik. Televisi masih menjadi barang langka. Hanya satu-dua orang yang tergolong kaya di kampung,yang memilikinya. Tidak banyak hiburan seperti sekarang. Hanya sinar bulan purnama yang dianggap mendatangkan keberkahan. Terutama bagi anak-anak kecil, untuk bermain petak-umpet. Dan bagi para tetangga untuk berkumpul, merajut kebersamaan.

Kini semua kenangan itu telah berlalu, hilang lenyap seperti sampah-sampah yang terhanyut derasnya arus Kali Ciliwung, di kala datang air bah melanda Jakarta. Hilang-lenyap, tergilas oleh modernisasi yang kini mewabah hingga sampai ke pelosok desa.

Kini, tak lagi bisa kutemukan nilai kebersamaan, ciri khas masyarakat pedesaan, warisan nenek-moyang. Listrik, televisi dan segala dunia hiburan, lambat-laun kurasakan hanya mendatangkan virus-virus individualisme, mengikis hubungan kekerabatan, sehingga tidak pernah mau mengerti nasib tetangga. Tayangan telenovela hanya membuat masyarakat tidak peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Kembali semilir angin menyapaku dingin malam ini. Menggoyang-goyang dedaunan di sekitar taman. Buah mengkudu berserakan di atas rumput taman padepokan, di depan ruang perpustakaan. Tentu bukan karena angin semilir malam ini penyebabnya, karena ia begitu bersahabat, setia menemaniku. Mungkin saja hewan-hewan malam yang merontokkannya. Entah ulah kelelawar, atau codot--orang kampung dulu menyebutnya.

Ingatanku mulai kembali melayang ke masa silam. Bulan purnama mengingatkanku pada forum pengajian "Padhang mBulan", yang diadakan Cak Nun --Emha AinunNadjib- di pelataran rumahnya di Jombang setiap bulan. Tengah bulan purnama juga mengingatkanku pada ritual bulanan yang dulu rutin aku jalani. Aku tidak pernah tahu apa yang aku lakukan ketika itu. Yang aku tahu, itu ajaran dari guru ngajiku sewaktu masa kecil di kampung dulu. Kini aku baru tahu. Kitab Fathul Mu'in, karya Syekh Zainuddin bin Abdul Azizal-Malibari al-Fannani telah mengajariku. Memberiku pemahaman, bahwa, puasa sunat itu dibagi dalam tiga macam; puasa tahunan, seperti Arafah dan Asyuro. Puasa mingguan, seperti Senin dan Kamis; dan bulanan, yang jatuh pada tanggal 13, 14, dan 15 pada penanggalan tahun Hijriyah. Sebuah proses belajar agama secara autodidak, yang terbukti kini memberiku banyak manfaat.


***
Ranting, dahan, daun, dan batang pohon cemara di taman padepokan ini kembali bergoyang. Pohon mangga yang rindang, paling berisik menyuarakan gesekan dedaunannya. Angin semilir menerpa wajahku. Aku jadi teringat kembali wajahAisyah di seberang sana. Entah apa yang ia kerjakan malam ini, aku tak tahu.Yang pasti, aku tak bisa menemaninya malam ini.Aku hanya bisa terpekur dan merenung, menurutkan pergulatan hati. Ma'afkan aku, Aisyah. Malam ini aku tak mengunjungimu. Pening sekali kepalaku, seberat aku memikirkanmu. Aku hanya berharap, wajahmu selalu penuh dengan senyuman -mahalkah :-), seindah purnama malam ini.........
Smoga.



© by GJ.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home