Friday, October 13, 2006

#021: Filsafat Mahabarata [1]


"Waktu kan berpihak pada kesalahan, bila kebenaran itu tak ditakdirkan." Sebaris kalimat yang berbau filsafat di atas, penulis sempatkan rangkai ketika menyaksikan kekalahan kubu Pandawa dari Kurawa, pada saat kedua kubu itu menyelesaikan sengketa mereka dengan mempertaruhkan harta, tahta, dan wanita, di atas meja perjudian.

Sebuah cuplikan dari tayangan yang menceritakan tentang epos kepahlawanan yang bertajuk "Mahabarata", yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta selama tiga bulan, setahun yang lalu.


INTERPRETASI YANG BERBEDA

Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menginterpretasikan suatu persoalan. Persoalan itu bisa berupa; apa yang mereka lihat, apa yang dirasakan, apa yang dikerjakan, apa yang dibaca, apa yang dipelajari, dsb.

Dengan contoh analogi yang lebih sederhana; dua orang yang mengamati satu benda yang sama, tentu memiliki penafsiran yang berbeda atas benda tersebut. Maka, dari penafsiran yang berbeda, muncul sebuah pengetahuan baru.

Berangkat dari pemahaman tersebut di atas, maka sangatlah wajar bila sebuah ilmu mengalami perkembangan kemajuan yang luar biasa. Sebuah ilmu itu kemudian bercabang, terpecah-belah menjadi beberapa cabang ilmu yang lain. Begitupun dengan ideologi, filsafat, atau bahkan agama sekalipun juga bisa terbelah dalam berbagai penafsiran yang berbeda, yang kemudian menyebabkan terciptanya aliran-aliran (faksi-faksi) dalam agama tersebut. Soal penafsiran yang berbeda -dengan catatan kuat sumber hukumnya, maka muncul istilah 'Ijtihad' bila dalam ilmu agama.


KETIKA

Dengan bekal interpretasi sendiri dan tentu berbeda dengan tafsiran orang lain --seperti ulasan penulis di atas, maka berikut ini hasil penafsiran penulis atas setiap fragmen yang terjadi dalam cerita epos Mahabarata tsb. Bila Anda pernah mengenal dekat dengan dunia pewayangan, tentu memahami ini bukanlah suatu hal yang susah.

Misalnya, ketika melihat masa kecilnya Kresna yang kontroversial, maka muncul filsafat: "Tanda-tanda orang besar adalah ketika ia menjadi pusat perhatian orang".

Ketika Pandawa diasingkan selama 13 tahun di tengah hutan, maka muncul sebaris kalimat dalam benak penulis, "di mana orang berbudi dilukai, disitulah akan datang kehancuran".
Atau, "jika kebenaran terancam, moral manusia akan pudar".

Ketika melihat Raja Destarastra yang bebal, maka mengalir sebaris kalimat, "Tidak mau belajar dari pengalaman adalah suatu kebodohan".

Ketika Pandawa melepaskan Duryudana dari penyanderaan para gandarwa, maka muncul, "Bagi si baik, menolong si jahat adalah kewajiban. Sebaliknya, bagi si jahat, itu adalah penghinaan yang mempermalukan".

Ketika perseteruan Pandawa-Kurawa sudah menemui jalan buntu, "Perang terjadi bila semua jalan perdamaian tertutup".

Ketika melihat intrik politik yang selalu dimainkan Kurawa untuk menjahati Pandawa, "Iri dan kebencian menyebabkan buta hati";

Ketika Pandawa ingin membalas dendam, "Tidak dibenarkan, kebenaran yang mengabaikan etika".

Ketika Kurawa merasa dirinya sudah berlaku adil, maka muncul "Keadilan dan ketidakadilan bukan terletak di ruang hampa. Memahaminya, membutuhkan lapangan dan masyarakat untuk menilainya".

Ketika Yudistira memimpin Kerajaan Amarta dengan adil, "Kebajikan hati adalah pedoman hidup masyarakat".


YANG LAIN

Penulis juga memiliki baris-baris filsafat yang lain, diantaranya: "Janji yang terucapkan, bukan untuk diingkari, karena ia bersifat mengikat jiwa":

"Kesetiaan adalah ketika rasa nurani keluar dari diri";

"Kasih sayang adalah pengharapan untuk bisa memiliki orang lain";

"Jangan menghina orang kalah/lemah, karena ia juga patut untuk dihormati";

"Sang waktu pun tak mampu mencegah akan goresan takdir";

"Untuk menuntut hak, hanya dibutuhkan kepercayaan diri";

"Masa lalu akan selalu menjadi bagian dari masa yang akan datang";

"Pengampunan adalah kebjikan"; "Janganlah menolak permohonan orang"; "Kebenaran terletak di hati nurani";

Namanya juga filsafat. Smoga tidak menjemukan.


(C) aGus John al-Lamongany, 3 July 2003.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home