Monday, October 16, 2006

#034: Cinta Sufistik: Sebuah Rindu Imaginer Ingin Bertemu Kanjeng Nabi


"Ya kiai, bagaimana caranya, aku bisa bertemu dengan junjunganku, Muhammad Rasulullah?" tanyaku dengan penuh kebimbangan. Sang kiai sepuh itu pun terdiam. Tunduk terpekur. Mungkin dia sedang berpikir.

Hari ini aku bimbang, memang bimbang. Bagaimana tidak bimbang, ketika karunia cinta datang membalut jiwaku, tapi tak boleh ada perasaan. Sedikitpun! Ya, bahkan setitik embun pun tidak boleh! Aku harus menahannya. Aku pasrah, bertawakal. Mungkin ini cinta sejatiku.

Karenanya, secara imaginer aku datang ke dalam forum pengajian (alm) Mbah Kiai Maksum, seorang kiai "khos" di Magelang yang telah meninggal hampir seabad yang lalu. Dalam forum pengajian itulah, kucoba untuk tuangkan segala keresahan jiwa ini.

Mendengar kegelisahanku, sang kiai lama termenung. Setelah lama berpikir, sang kiai itupun mengatakan, "Hai, nak, berlakulah yang baik. Beramallah yang banyak. Dekatkanlah dirimu kepada-Nya. Kerjakanlah perintah-Nya, dan jauhilah segala larangan-Nya. Insya Allah, kau akan bisa menjumpai Rasulullah, kekasihmu yang kau maksud itu."

Hanya beberapa kalimat inti dari pesan kiai itu. Tapi rasanya begitu dalam, menyisakan pergulatan pemikiran dalam benakku. Bagaimana aku bisa? Karena aku tidaklah sealim seperti yang orang kira selama ini. Tapi, aku juga bukanlah orang hina seperti yang mereka sangka. Karena alim tidaknya diriku, itu urusan dengan Tuhanku. Bukan dengan orang-perorang atau mereka. Orang dan mereka tak punya hak menilaiku, apakah imanku tertutup ataukah terbuka?

Aku biarkan pergulatan yang berkecamuk dalam rongga dada itu. Kuhentikan lamunanku, ketika sang kiai memandangku dengan tatapan yang dalam. Bercerita kepadaku tentang perjalanan Syekh Yusuf, seorang wali agung dari Gowa, Makassar di pertengahan abad 17, ketika sang wali itu sangat ingin berjumpa dengan Nabi.

Menurut Mbah Maksum, untuk bisa menemui Rasulullah, Syekh Yusuf harus pergi ke Mekkah. Dalam perjalanannya, ia menuai ujian dan cobaan yang maha berat. Kapal yang ia tumpangi terguncang badai dahsyat. Syekh Yusuf pun harus ditenggelamkan ke laut, karena dianggap sebagai pembawa sial atas datangnya badai itu.

Ia juga diuji oleh Nabi Khidzir. Syekh Yusuf harus membiarkan kakinya dijadikan sebagai bantal oleh Nabi Khidizir selama sehari semalam lamanya, hingga Nabi Khidzir mati. Mayat orang tua, yang tak lain jelmaan Nabi Khidzir itu perutnya mulai membesar, berulat dan sangat busuk baunya. Ulatnya sebesar kelingking orang dewasa. Meloncatlah ulat itu ke wajah Yusuf. Ia hanya bisa mengucapkan, "La ilaha illallaah. Muhammadun Rasulullah". Keadaan seperti itu berlangsung tujuh hari lamanya. Syekh Yusuf melakoninya dengan sabar dan tabah.

Syekh Yusuf juga pernah diusir penjaga pintu masjid di Makkah, hanya karena ia makmum yang datangnya terlambat yang berasal bukan dari tanah Arab. Ia pun marah. Dimiringkanlah songkoknya ke kanan. Dan, atas kehendak Allah, miringlah ka'bah. Berita ini yang menggemparkan dunia Arab. Sang Khalifah pun mengutus dutanya untuk menjemput Syekh Yusuf. Atas permintaan khalifah, Syekh Yusuf diminta menjadi khatib Jum'at di masjid Makkah. Nama Yusuf pun makin kesohor ke seantero jazirah Arab.

Suatu hari, Syekh Yusuf berkunjung ke rumah Imam Syafi'i berniat hendak menimba ilmu (berguru). Sampai di sana, berkatalah Imam Syafi'i, "Wahai Yusuf, apa kau kunjungi sehingga datang ke sini?

Berkatalah Syekh Yusuf, "Saya ingin minta berkat dari Tuan."

"Wahai Yusuf, tidak dapat lagi saya kau mintai berkat, sebab sudah ada padamu semua berkat Muhammad. Baiklah engkau pergi ke Imam Maliki," kataImam Syafi'i menyarankan.

Pergilah Syekh Yusuf ke rumah Imam Maliki. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Imam Syafi'i, Imam Maliki lalu menyarankan agar Yusuf bertemu dengan Imam Hanbali. Begitupun Imam Hanbali juga menyarankan agar Yusuf menemui Imam Hanafi.

Sesampai di rumah Imam Hanafi, beliau menyarankan agar Yusuf menemui dan mencari wali yang empat puluh. "Telah 225 tahun meninggalnya," kata ImamHanafi, "dialah yang dapat memberi engkau berkat." Maka mohon dirilah Yusuf. Ia berjalan siang-malam, naik gunung turun gunung. Setelah 47 hari berjalan kaki siang-malam, bertemulah dia dengan wali empat puluh di atas puncakGunung Safa.

Berkatalah wali empat puluh, "Wahai Yusuf, apalah yang dapat saya berikan kepadamu, saya kira semuanya sudah ada padamu. Kalau engkau mau, pergilah kepada guru wali yang bernama Abi Yazidul Bustani. Telah 500 tahun ia meninggalkan dunia ini." Pergilah kemudian Yusuf ke wali itu. Atas rekomendasinya, Yusuf disarankan untuk menemui Syekh Abdul Qadir Jaelani, rajanya para wali.

Bersama raja para wali itulah, Syekh Yusuf mengalami gemblengan laku sufi yang agung. Segala ujian dan cobaan ia lakoni dengan tabah. Kedua matanya pun ia ikhlaskan untuk dicongkel sebagai ganti setitik api yang ingin ia persembahkan pada gurunya, Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Lelaku sufi SyekhYusuf tidak sia-sia. Berkatalah Syekh Abdul Qadir Jaelani, "Wahai Yusuf, saya sampaikan kepadamu bahwa semua wali dan ahli tidak ada lagi yang lebih tinggi daripadamu. Tidak ada juga yang lebih mulia darimu. Engkaulah yang paling dekat pada Rasulullah. Saya sampaikan kepadamu bahwa semua murid saya, semua wali, paling tinggi pencapaiannya kalau duduk (menumpang) di atas kaki saya atau sampai lutut saya. Tetapi engkau Yusuf, engkau duduk dikedua selangkaku mencelapak kepalaku. Namun, barulah sempurna kesufianmu kalau engkau pergi mencari makam Rasulullah."

Pergilah Yusuf mencari makam Nabi. Ketika berhasil menemukannya, ia harus melewati 7 lapisan penjagaan (dari perspektif secara ghaib). Di pintu yangke tujuh, Yusuf tak bisa berkata apa-apa. Ingatannya seperti ter-riset. Tiga hari tiga malam dia terpaku di pintu itu. Dan baru pada hari ke-4, akhirnya ia diperbolehkan masuk ke makam Nabi. Terpekurlah ia di sana. Ia meliha tberbagai macam keanehan. Seekor ular besar menggigit lehernya. Ular itu kemudian hilang, muncullah naga dan menggigit kepalanya. Muncul kemudian lipan besar dan sangat hitam menggigit selangkanya. Lalu muncul kalajengking besar datang menggigit pinggangnya. Tapi Yusuf tak bergeming.

Berkat ketulusan jiwanya itu, maka menyapalah Rasulullah, "Wahai Yusuf, engkau telah datang dari Imam madzhab yang empat, wali yang empat puluh, guru wali, raja wali hingga sampai kepadaku kini. Apalah yang akan saya beritahukan padamu, apa juga yang akan saya ajarkan kepadamu. Saya kira sudah sempurna kesufianmu dan kewalianmu, engkau jugalah yang bernama 'orang yang selamat di dunia dan akherat'. Yang saya sampaikan dan ajarkan kepadamu hanyalah yang dikatakan orang berilmu, kebingungan dan takjub. Saya sendirilah yang menjelaskan kepadamu, wahai Yusuf. Andaikan masih ada yang bernama nabi dijadikan oleh Allah Ta'ala, engkaulah yang dapat dinamai nabi. Tetapi sekali-kali tidak boleh lagi. Maka saya namai engkau, Qutburrabbani walarifinassamdani, dan saya namai juga engkau 'orang yang selamat di dunia dan akherat'. Namun demikian, saya anjurkan juga wahai Yusuf supaya kau pergi mengunjungi Qasmussiri yang sudah 180 tahun meninggalnya."

Pergilah Yusuf menemui Qasmussiri. Lagi-lagi ia harus menuai ujian berat. Iblis menjelma Nabi ingin menyesatkannya. Tapi Yusuf tak bergeming. Hingga sampailah dia di pintu surga, karena sukses melewati semua pintu ujian. Bertemulah lagi ia dengan Nabi. Nabi menyarankan agar Yusuf segera kembali ke dunia. Tapi Yusuf menolaknya. Maka murkalah Nabi. Beliau kemudian memanggil penjaga neraka agar membuka sedikit pintu neraka agar diperlihatkan ke Yusuf. Akhirnya Yusuf insyaf. Ia pun bersedia kembali ke dunia. Berpeganglah dia di jubah Nabi. Dan Nabi mengantarnya hingga ke bumi. Setelah sadar, Yusuf menyadari tubuhnya telah berada di Mekkah.

#
Begitulah, hanya demi ingin bertemu Kanjeng Nabi, Syekh Yusuf harus melewati orang-orang 'alim terlebih dahulu, untuk meminta berkat dan restu. Dan juga menghadapi ujian dan cobaan yang begitu berat.

Cerita Mbah Maksum itupun berhenti. Kembali nurani bergemuruh dalam jiwaku. Menyindir-nyindir prilaku diri. Membuka segala kelemahan, kehinaan, kenaifan, kebobrokan yang ada dalam diriku. "Bagaimana aku bisa berjumpa dengan kekasihku, Muhammad?" gumamku. Hmmm, aku jadi teringat formalitas beragama yang kaku. Basa-basi dalam bertakwa yang palsu. Birokrasi ibadah yang ruwet. Karena mereka terbukti bagaikan mesin-mesin pembunuh, yang bisa datang setiap waktu. Aku takut mereka mencengkeramku. Membuatku tak berdaya, menjadi orang yang kaku. Kering tak berspiritual. Tak memiliki keseimbangan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Menjadi orang yang linier, monolitik dalam berpandangan agama.

Kembali kumenerawang. Aku merasa hina. Tak layak bertemu Kanjeng Nabi. Nuraniku pun mulai mengendur. Harapan ingin berjuma Kanjeng Nabi akhirnya lambat-laun mulai surut.
Duh, Gusti Ingkang Maha Dumadi! Kuserahkan hidup dan matiku dalam kehendak-Mu. Engkau yang punya otoritas mutlak untuk memutuskan, apakah aku beriman ataukah tidak. Bukan orang-perorang atau mereka. Dan hanya Engkau-lah yang punya kuasa, yang punya ijin seseorang untuk bisa ataukah tidak berjumpa dengan Kanjeng Nabinya.

#
Cinta zonder perasaan. Kau minta aku kubur perasaan hingga tiba masanya. Tapi kali ini aku kangen kekasihku, Kanjeng Nabi Muhammad Rasululllah SAW. Apakah harus kubuang perasaanku? Sungguh berat rasanya. Bisakah cinta hidup tanpa perasaaan?
Wallahualam bia ash showab.


© Gus John, 11 Agustus 2003
>>inspirasi penulisan: dari ngobrol dengan Wanus dan NoviPus.
>>Literatur penulisan:* Alwi Shihab, Islam Sufistik, Mizan, 2002
* Djirong Basang, Riwayat Syekh Yusuf dan Kisah I Makkutaknang DenganMannuntungi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981
* Sebuah film Arab di SCTV, 2001

0 Comments:

Post a Comment

<< Home