Tuesday, November 21, 2006

#080: Bila Kalangan Pekerja Kehilangan Hak Suara


Hasil survey Perkumpulan Suaka Keadilan (Suaka) yang dimuat dalam Indo Pos (15/1/04) dan Bisnis Indonesia (28/1/04) menunjukkan: 92% komunitas marjinal kota (KMK) tidak memahami tentang perubahan UU Pemilu 2004. 93% tidak paham tentang cara pemilihan, 86% tidak memahami keberadaan KPU, dan 90% merasa tidak paham dengan fungsi dan kinerja KPU. Hasil dari penelitian yang dilakukan di berbagai kawasan kumuh di DKI tersebut kemudian menyimpulkan secara prinsipil bahwa, pemilu 2004 tidak dapat dijadikan tempat harapan akan munculnya perubahan. KMK atau yang juga sering disebut dengan kaum miskin kota sering terpinggirkan secara hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya oleh negara.

Menjadi pertanyaan penting, apakah benar, hanya KMK saja yang terpinggirkan secara politk? Lalu bagaimana dengan kalangan menengah (baca: kalangan pekerja) yang mayoritas memang masyarakat urban (berasal dari luar Jakarta)?

Dari hasil survei yang saya lakukan secara acak selama seminggu (8-14 Maret 2004), melalui kuesioner baik secara langsung ataupun via e-mail, dengan akurasi profil responden bisa mencapai 99,999% valid, dengan melibatkan responden yang berprofesi sebagai pekerja di berbagai perusahaan di berbagai kota, sungguh mencengangkan! Dari 104 responden, ditemukan hal-hal pokok sebagai berikut; pertama, 52% diantara responden tersebut dapat dipastikan tidak berhak mengikuti pemilu dengan alasan: belum terdaftar(33%), tidak tahu (12%) dan ragu-ragu (7%) [lihat diagram-1].

Dari hasil wawancara dengan para responden yang belum terdaftar, mereka mengatakan selama ini tidak merasa didatangi oleh panitia pemilih. Ini bisa dimaklumi, karena setiap pekerja pada umumnya di hari aktif (kerja) tidak berada di rumah. Sedangkan yang sudah terdaftar, sebagian mereka mengatakan ada anggota keluarga di rumah sewaktu ada proses pendaftaran pemilih. Sebagian lagi mengatakan, mereka selama ini tidak terdaftar, tapi mendaftarkan diri. Itupun mereka ketahui setelah mendapatkan sosialisasi proses pemilu oleh partai politik yang menjadi idola mereka.

Dengan melihat tingginya prosentase calon pemilih yang belum terdaftar, hal tersebut menunjukkan kurangnya partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana sosialisasi politik. Banyak calon pemilih yang sebenarnya ingin menggunakan hak pilihnya dalam pemilu bulan depan, hanya karena tidak tahu jadwal dan mekanisme dari setiap proses pemilu itu, menyebabkan mereka menjadi calon pemilih yang gagal dan tidak berhak mengikuti pemilihan.

Tidak semua parpol melakukan pendidikan politik kepada konstituennya sebagaimana mestinya seperti yang termaktub dalam pasal 7(a), pasal 9(e) dan (f) UU No.31 Th. 2002 tentang Partai Politik. Misalnya dengan melakukan kegiatan simulasi pencoblosan, menjelaskan dari setiap proses pemilu, dan sebagainya. Ini membuktikan, selama ini parpol hanya menjalankan fungsinya sesuai dalam ayat (c): "penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara".

Kepada konstituen, seharusnya parpol mengajarkan apakah yang menjadi hak, kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara yang baik, seperti yang diungkapkan oleh Gabrial A. Almond, bahwa sosialisasi politik dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa, dan dapat pula memelihara kebudayaan suatu bangsa dalam bentuk penyampaian kebudayaan itu dari generasi tua kepada generasi muda, serta dapat pula merubah kebudayaan politik (Drs. Haryanto, Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum, Liberty, 1984).

Kedua, ada kecenderungan masyarakat kelas menengah (MKM) bersikap acuh dengan setiap proses pemilu yang akan berlangsung. Ini dibuktikan dengan data temuan: 36% menyatakan "diam" bila belum didaftar sebagai calon pemilih (capil), 31% tidak tahu-menahu, 15% menunggu. Sedangkan yang berniat melapor hanya 18% (lihat diagram-2). Temuan ini mengindikasikan kurangnya partisipasi masyarakat (koresponden) untuk mengikuti proses pemilu, meskipun hal tersebut sudah diatur dalam pasal 53 ayat 1, Bab VI, UU No. 12 Tahun2003 tentang Pemilu ("pendaftaran pemilih dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih dengan mendatangi kediaman pemilih dan/atau dapat dilakukan secara aktif oleh pemilih"). Tapi asumsi tersebut terbantahkan dengan hasil yang digambarkan oleh diagram-4 yang menunjukkan kasus yang terjadi sebenarnya, yakni dikarenakan sebagian besar responden tidak paham dengan UU Pemilu 2004.

Hal ini mencerminkan, masyarakat sudah mulai pesimis, skeptis dan malas mengikuti perkembangan politik. Jumlah golput saja 12%. Sedangkan 69% koresponden sebenarnya ingin menggunakan hak pilihnya (lihat diagram-3). Mereka tak terdaftar hanya karena tidak mengetahui mekanismenya. Saat ini, aparat pemerintah (level kelurahan, RW, RT) cenderung cuek dan bersikap masa' bodoh. Sosialisasi KPU juga menjadi faktor penting akan hilangnya suara ini. Sosialisasi dan mobilisasi warga untuk mengikuti pemilu tidak sebagus seperti pada pemilu 1999.

Dalam catatan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) menyebutkan, 19% dari masyarakat DKI tidak terdaftar dan tidak berhak ikut memilih dalam pemilu 2004. Dari total 52% responden yang belum terdaftar (diagram-1), merasa tidak tahu dan ragu-ragu, menunjukkan 77% kasus tersebut terjadi di DKI Jakarta. Terbanyak di Jakarta Pusat (19 responden), disusul Jakarta Selatan(14 responden) [lihat diagram-8].

Ketiga, politik dan infrastrukturnya hanya menjadi konsumsi dan wacana kaum elite, karena terbukti 76% MKM tidak tahu tentang UU Pemilu 2004. 7%-nya menyatakan ragu-ragu, dan hanya 13% yang mengikuti perubahan politik (lihat diagram-4). Dan, dari pemilu yang hanya kurang beberapa hari lagi, hanya 57% yang paham tata cara pemilihan (lihat diagram-5).

Profil Responden:
Semua responden ini 100% berstatus karyawan. Bekerja di berbagai perusahaan, terutama di DKI Jakarta (70%), Bekasi (5%), Depok (10%), Tangerang (6%), dan dari Luar DKI (9%) yang meliputi: Semarang, Banjarmasin, Malang, Pekanbaru, Lamongan, Purwakarta, Bandung dan Balikpapan, yang masing-masing dengan satu responden (lihat diagram-6). Dengan latar belakang pendidikan STM/SMA, D3 dan S1. Dengan batas usia dari 18 tahun hingga 50 tahun (lihat diagram-7).



Jakarta, 15 Maret 2004
(c) Gus John al-Lamongany

0 Comments:

Post a Comment

<< Home