Wednesday, November 15, 2006

#074: Angan Seorang Buruh Kecil


Masyarakat di sekitar lingkungan Chekov dibesarkan mengatakan, Chekov adalah seorang pemuda yang cemerlang. Sejak kecil ia sudah menunjukkan kenakalan yang luar biasa. Setiap hari hampir tidak ada anak tetangga yang tidak menangis akibat ulahnya. Naluri sebagai jiwa pemberontak sudah mulai kelihatan tatkala dia dengan berani melawan orang yang lebih tua, yang dianggapnya berbuat tidak adil di kampungnya. Seorang kepala desa pun pernah ia lempar dengan batu kerikil, karena ia sangat membenci ulah dan kelakuan kades yang tidak patut ditiru itu.

Chekov kecil sudah mulai lancar membaca koran sejak masih TK. Semasa sekolah, ia selalu menyabet rangking terbaik. Ia termasuk pemuda yang serba-bisa. Ia tak punya hobi yang spesifik. Dalam dirinya, mengalir darah seni. Suaranya merdu bila menyanyi. Terutama lagu-lagu Nostalgia. Ia juga pandai melukis. Hobi terbarunya adalah membaca dan menulis. Semuanya itu, ia peroleh secara otodidak, karena kedua orang tuanya tidak mewariskan ilmu
apapun kepadanya. Kecuali petuah dan kebajikan.

Dari catatan-catatan mulus dan brilian dari seorang anak keluarga miskin seperti itu, setiap orang tidak menyangka, dalam proses alur hidupnya kini, ia harus menjadi seorang buruh kecil di sebuah perusahaan "katak dalam tempurung". Sementara ia sendiri tak menyukai rutinitas kantor yang ia anggap membuang usia produktifnya. Ia merasakan tak mendapatkan apa-apa
selama bekerja di pabriknya, kecuali usianya yang semakin bertambah tua. Entah, sampai kapan?


#
Chekov adalah profil pemuda berbakat korban kemiskinan. Ia menjadi korban pragmatisme kehidupan, yang hampir dianut oleh mayoritas masyarakat di negeri ini. Banyak orang masih beranggapan, bisa bekerja lebih cepat itu lebih baik daripada harus menekuni dengan sabar jalur pendidikan yang lebih tinggi. Di sini, hampir semua orang tua mendoktrin anaknya seperti itu.
Sekolah tidak perlu terlalu tinggi, asalkan langsung bisa bekerja. Atau, mencarikan anaknya sekolah yang bila lulus bisa langsung bekerja. Sebuah kenyataan yang kontradiktif, di mana ijazah masih menjadi pegangan dasar dalam dunia kerja di negeri ini, tapi mayoritas masyarakat justru lebih memilih pragmatisme hidup yang berfokus pendek seperti itu.

Bila boleh memilih, tentu Chekov tidak ingin dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga miskin. Kedua orang tuanya seorang petani. Saudaranya banyak. Lebih dari setengah lusin jumlahnya. Tentu, sangat berat bagi kedua orang tua Chekov untuk mengurus keluarga besar seperti itu. Mampu menyekolahkan anak-anaknya saja sudah cukup. Melihat beban ekonomi yang berat seperti itu, sangatlah wajar bila kemudian orang tua Chekov mengharapkan anak-anaknya
langsung bisa bekerja setelah lulus sekolah menengah atas. Maka, sebelum Chekov dimasukkan ke sekolah menengah, orang tuanya berpesan, "Semoga setelah lulus, engkau langsung bisa bekerja, Nak."

Sebagai seorang anak dari keluarga miskin, tentu harapan itu ia pegang erat-erat. Tapi kini Chekov menjadi lebih terperanjat tatkala mengetahui bahwa teman-temannya yang dulu tidak mampu mengejar rangkingnya sewaktu di sekolah, kini beberapa di antaranya telah mengambil program Master (S2) dan Doktor (S3) di mancanegara. Khususnya di Singapura dan Afrika. Sebuah realitas yang semakin membuat Chekov menggumamkan ketidakberdayaan pada kondisi ekonominya, "Mereka beruntung. Mereka tidak lebih pandai dari aku, tapi mereka punya kesempatan dan modal yang besar untuk mengembangkan potensinya." Sebuah kecemburuan positif dari seorang berbakat yang lahir dari keluarga miskin.

Chekov selalu membatin dalam dirinya, "Aku boleh terpuruk, tapi tidak dengan generasi penerusku. Mereka harus lebih hebat dari aku." Sebuah proses pembelajaran hidup yang sangat dipegang teguh oleh Chekov, kelak untuk membangun generasi penerusnya agar bisa lebih baik dan tidak menjadi korban pragmatisme hidup seperti yang menimpa dirinya.
Sebuah angan-angan besar, dari seorang buruh kecil.




Padepokan Tebet, 20 Jan '04 (c) GJ

0 Comments:

Post a Comment

<< Home