Monday, February 09, 2009

#124: Rintihan (2)

taken from #087:

"Kepalaku penat. Syaraf otakku berdenyut-denyut seolah-olah ingin
ambrol saja. Inspirasi dan ide begitu banyak, tapi sulit untuk kutuangkan dalam tataran teks. Ide, inspirasi, asumsi, hipotesa, semua bercampur menjadi satu. Berbaur, seiring dengan telingaku yang mendengar berita, mataku yang melihat dan membaca, dan otakku yang kemudian melakukan analisa. Semua bergelindan menjadi satu.

Dadaku serasa bergetar. Denyut jantungku berdecak keras. Terlalu banyak ide menimbulkan pergulatan pikiran di dalam batin. Ide-ide itu mengisi setiap relung-relung otak, seperti halnya arus Ciliwung yang mengalir deras melewati kanal-kanal".


Kali itu kini berwarna coklat, penuh berisi. Sampah-sampah berselancar terbawa arus air yang kuat. Jakarta terancam banjir lagi. Ini bulan Februari, dan itu sudah biasa tiap tahunnya.


back to #087:

"..........Telah kutemukan hipotesa tentang nasionalisme yang lebih bersifat fisik, atau aku menyebutnya sebagai "nasionalisme semu" di kalangan militer. Kebobrokan negara karena kebijakannya yang cenderung a-historis; mengangkangi hukum di bawah daulat kekuasaan. Tentang kerajaan nusantara; kaitannya dengan kehidupan sekarang. Atau tentang Banjir Kanal Timur dan kebijakan-kebijakan Pemprov DKI dengan segala kontroversinya. Dan masih banyak lagi yang lain. Duh, begitu banyaknya......"

Kini, jalanan ibukota penuh dengan lubang. Hampir 70% mungkin. Tidak hanya jalan-jalan yang kecil, jalan sekelas Gatot Subroto, MT Haryono, bahkan area "Segitiga Emas" seperti Jln. HR. Rasuna Said pun ikutan bolong-bolong. Sebuah penampakan Ibukota yang kumuh, lusuh, tidak sepadan antara bangunan pencakar langit yang tinggi-megah menjulang dengan infrastruktur transportasi sebagai ibukota negara.


back to #087:

".....Semua masih dalam tataran konsep. Aku masih belum bisa menuangkannya dengan lancar. Otakku terasa penuh. Lidahku terasa keluh. Mulutku terasa gagu. Akhirnya semua kubiarkan mengalir begitu saja, menunggu waktunya".

02-02-2005. Laptop kecil aku jadikan sebagai kambing hitam atas terhambatnya inspirasi-inspirasi yang tidak dengan mudah tercatat dan terekam dalam bentuk tulisan. Di kurun waktu itu, tulisanku hanya mengandalkan lamunan dan ingatan untuk mencatat semua tema yang datang. Aku selalu berandai "jika punya laptop, pasti tulisanku akan banyak", "jika laptop itu bisa kubawa ke mana aku pergi, tentu aku sangat produktif", dan seterusnya.

Rasanya ini tidak benar. Toh, ada laptop pun tidak otomatis aku jadi produktif. Bawa laptop ke mana-mana pun tidak menjamin bisa menulis dengan banyak. Tak ada yang sulit atau berat sebenarnya. Intinya hanya bagaimana bisa secara efektif kita bisa membagi waktu dengan benar. Itu saja, tidak pakai kambing hitam!



(c)aGusJohn
Wisma Bakrie I, 10-Feb-2009.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home