Sunday, January 11, 2009

#120: Bermain Dengan Hati dan Otak

Final AFF Suzuki 2008 yang dulu dikenal sebagai turnamen "Piala Tiger" menampilkan juara baru. Timnas sepakbola Vietnam di luar dugaan menggilas juara bertahan Singapura di semifinal, dan berhasil melakukan revans dengan menaklukkan kandidat terkuat Thailand di partai final.

Apa Vietnam lebih baik dari Thailand? Tidak. Vietnam pun tidak lebih baik dari Singapura. Juga tidak lebih baik dari Indonesia. Serangan Vietnam sangat monoton, sering salah umpan dan mudah dipatahkan. Tapi, mereka bermain dengan otak dan hati.
Singapura dan Thailand yang menekan habis-habisan di sepanjang 90 menit pertandingan, tapi pertahanan Vietnam begitu lugas mengantisipasinya. Man to man marking timnas Vietnam sungguh efektif membuat striker Singapura dan Thailand menjadi frustasi. Dan ketika serangan lawan bisa dipatahkan, dengan cepat Vietnam melakukan serangan balik yang mematikan.

Vietnam fisik sangat bagus. Solid, kompak dalam bertahan dan menyerang. Tidak seperti Indonesia. Kalau sudah ketinggalan (dengan gol cepat) sudah pasrah, dunia seperti kiamat. Seperti sudah pasti kalah. Atau sebaliknya, kalau dalam posisi unggul menjadi jumawah. Santai, bertahan, terus jadi kalah (kasus ketika melawan Thailand).


***
Sesungguhnya pemain kita cerdas. Seperti ungkapan salah seorang pemain sepakbola terkenal ketika tim klub sepakbola Italia bertandang ke Indonesia di tahun 90-an, mereka bilang: "Pemain Indonesia itu punya kecepatan. Mereka punya bakat skill bagus. Tapi sayang, kurang cerdas".

Kurang cerdas, berarti: para pemain timnas tidak memiliki visi dan orientasi bermain. Apa itu arti menang? Bagaimana cara mencari kemenangan? Diving dan segala trik selama dianggap bukan pelanggaran tapi berpotensi mencetak gol jarang sekali dilakukan. Padahal, 2 gol Singapura ke gawang Markus Horison justru datang dari bola-bola mati. Ketika striker Singapura frustasi dengan rapatnya pertahanan Indonesia, maka mereka mencari bola-bola mati, dan gol.

Pemain timnas kita juga kurang ulet, kurang sabar dan mudah menyerah. Jika ketinggalan gol, sebelum peluit panjang berbunyi, adalah waktu yang sangat berharga untuk menyamakan defisit gol, atau justru surplus gol. Sabar artinya tidak mudah putus asa memborbardir pertahanan lawan. Jika strategi A dianggap kurang efektif, maka gunakan strategi B, dan begitu seterusnya. Lihatlah bagaimana Thailand dibuat benar-benar menangis di second leg Final AFF ketika Vietnam membuat gol di saat injury time, padahal Thailand sangat optimis dengan keunggulannya 1-0 untuk bisa memperpanjang nafas dan atau hingga adu penalti. Dan Thailand pun benar-benar menangis.

Artinya, kekurangan itu semua disebut sebagai tim yang tidak memiliki mental juara. Sikap mental ini penting, karena tidak akan minder dalam menghadapi tim lain walaupun tim tersebut di atas kemampuan timnas kita. Apakah timnas kita nasionalismenya rendah -tidak seperti pemain Vietnam yang bermain tanpa takut untuk body contact layaknya semangat para pejuang Vietkong?

Ketika melihat bermain dengan sikap mental yang loyo dan mudah nerimo begitu saja, Timnas Indonesia seperti bermain tanpa hati dan otak. Dan kita harus jujur mengakui, timnas sepakbola kita tidak memiliki keduanya. Artinya, jangan terlalu berharap menjadi timnas yang berkualitas jika tidak memiliki kedua organ vital tersebut.
Sungguh memprihatinkan!



(c) aGusJohn, 01 Januari 2009 at Bantaran Kali Brantas

0 Comments:

Post a Comment

<< Home