Monday, October 16, 2006

#036: Film dan Peran Pemerintah*


Aktris senior, Christine Hakim, pernah mengeluhkan atas minimnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan dunia perfilman nasional, sehingga berjalan stagnan dan tidak bisa berkembang. Padahal, menurut aktris yang pernah dipilih sebagai juri di festival film internasional Channes itu, film merupakan media yang paling efektif untuk menyampaikan informasi tentang situasi dan kondisi suatu negara. Terutama soal sosialisasi budaya dari sebuah bangsa.

Memang benar. Dengan film, kultur dan sikap bangsa kita bisa dikenal oleh mancanegara. Kita lihat saja bagaimana Amerika dengan pandainya memanfaatkan film sebagai alat hegemoni dan propaganda untuk menguasai dunia. Mereka bisa bikin film-film sejarah yang sarat dengan kepalsuan untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti: berbagai macam dan ragam film tentang perang Vietnam, film tentang teroris dsb, yang tak ubahnya seperti sebuah"pesanan" dari Pentagon.

Memang benar pula, saat ini bermunculan para sineas muda dengan berbagai model filmnya, seperti Garin Nugroho, Mira Lesmana, Jose Purnomo, Rizal Mantovani dkk. Tapi, itu tidak bisa dikatakan sebagai wujud dari keberhasilan pemerintah dalam mengembangkan perfilman nasional. Melainkan berkat kegigihan dan kreativitas dari mereka sendiri. Dan, mereka juga terlihat panik dan cemas ketika film-filmnya beredar di pasaran lebih awal akibat kasus pembajakan. Misalnya, film "Ada Apa dengan Cinta", "Jailangkung" dsb. Menjadi pertanyaan, adakah peran dan penyelesaian dari pemerintah dalam menangani kasus tersebut?

Yang menarik, adanya penelitian dari Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH), yang menyebutkan bahwa 97,05 % mahasiswi di Yogyakarta kehilangan keperawanannya ketika masih kuliah. Tentu, melihat kasus ini, andil dari film-film impor yang begitu gentayangan bebas di bioskop-bioskop, yang bisa mengakibatkan generasi muda kita menjadi generasi yang bermoral bejat, juga perlu diperhitungkan.

Melihat kondisi yang demikian, jelas peran pemerintah sangat dibutuhkan. Apalagi dunia perfilman dewasa ini sudah cenderung mengarah pada sebuah "dunia industri" yang serba komersil. Bila sudah bersifat sangat komersil, maka pengusaha film biasanya hanya lebih mementingkan laba, sementara moral ---terutama generasi muda bangsa-- urusan belakang. Mereka lebih suka film impor, daripada film nasional.

Idealnya, dunia seniman memang seharusnya tidak perlu dicampuri oleh pemerintah. Tapi problemnya, bila dampak dari dunia perfilman yang hanya mementingkan profit-oriented itu tidak segera dicegah, akan sangat membahayakan bagi kepentingan bangsa ke depan. Yang perlu dirumuskan adalah, bagaimana bentuk dari peran pemerintah tersebut. Karena jangan sampai peran itu justru menjadi bumerang bagi dunia perfilman itu sendiri. Misalnya, kebijakan yang justru otoriter dan cenderung memasung kreativitas para seniman.

Mengenai peran dan posisi pemerintah, ambil contoh yang terjadi di Perancis. Ada tiga kebijakan pemerintah di sana yang dapat membuat dunia perfilman mereka menjadi hidup. Pertama, pemerintah membuat sebuah lembaga yang bertugas mengelola modal bagi pembuatan film. Badan yang bernama CNC itu, mengambil $ 1 dollar dari setiap selembar tiket bioskop yang terjual, yang kemudian dana itu digunakan untuk membuat film-film baru. Dengan dana itu, mereka bisa membuat 80 film tiap tahunnya.

Kedua, pemerintah mewajibkan stasiun televisi mendonorkan 3% dari omzet kepada CNC sebagai kompensasi siaran. Ketiga, melarang semua stasiun televisi Perancis memutar film layar lebar di televisi tiap hari Rabu dan Sabtu, sebab hari itu diharapkan orang menonton film di bioskop.

Dengan mengaca dari bentuk campur tangan pemerintah yang "tegas dan jelas" seperti yang terjadi di Perancis itu, diharapkan film nasional bisa kembali lebih marak. Dan yang paling penting, pemerintah kita bisa "berkampanye" tentang kultur negara-bangsa kita ke dunia luar.

Hanya saja, menjadi pertanyaan penting, apakah fungsi dan peran lembaga seperti CNC itu bisa efektif hidup di Indonesia, sementara para birokrat dan pegawai di sini cenderung bermentalkan penjarah?
Tak ada salahnya untuk dicoba!


*pernah dimuat di sebuah buletin.Mp. Prapatan XVIII, 030802.
(c) Gus John.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home