Sunday, October 29, 2006

#047: Memahami Orang Lain: sebuah catatan harian khusus buat WW


Padepokan di suatu sore hari;
Ketika melihat acara TV via Kabelvision. Dengan becanda, WW mengkritik penulis sebagai orang yang plin-plan, tidak memiliki pendirian. Penilaian ini didasarkan karena penulis terlalu menurut mengikuti program TV yang ia maui. Apa yang ia minta selalu penulis turuti.

Kebetulan, sore itu acara yang bagus adalah TV "Animal-Planet" (channel 9) dan TV "AXN" (channel 3). Tapi, kritik itu dengan mudah penulis membalikkannya dengan merubah channel, mengganti dengan acara yang lain.

"Nah, saya memiliki pendirian kan sekarang?" ujarku menguji.

"Wah, jangan-jangan, J, yang tadi lagi aja! " pinta WW. Channel pun penulis ganti sesuai dengan permintaan WW semula. Itu adalah sebuah pelajaran sederhana untuk menguji asumsi WW sebelumnya.


#
Beberapa hal utama, dan penulis ingin memberikan "pelajaran" pada WW adalah, bahwa; pertama, penulis memegang betul prinsip "Ing Ngarso Sung Tuladha, IngMadya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani", yang artinya kira-kira begini: Adakalanya kita berada pada posisi harus bisa memberikan contoh yang baik. Adakalanya kita berperan sebatas untuk menumbuhkan minat, dan ada kalanya kita harus mampu dan bisa memberikan motivasi/dukungan. Jadi, ini adalah persoalan posisi-tempat dan waktu. Kita harus bisa menempatkan diri, kapan di depan, kapan di tengah, dan kapan di belakang.

Kedua, WW barangkali perlu lebih memahami sesuatu dari isi, tidak hanya sebatas kulit (permukaan). Memaknai substansi, tidak sebatas esensi. Memahami yang kontekstual, tidak hanya yang tekstual. Tidak hanya mengetahui syari'at semata, tapi makrifat ataupun hakekat juga perlu diyakini. Jadi, memahami setiap diri manusia tidak hanya sebatas dari luarnya saja, permukaannya saja, tapi juga isi dan dalam diri manusia tersebut. Karena bila tidak, kita akan keliru dalam memahami orang lain. Jika kita hanya punya kriteria "baik dan buruk" dalam memahami sesuatu secara mutlak, maka probabilitas kesalahan penilaian tersebut bisa sangat mungkin terjadi.

Ketiga, memahami orang tidak bisa dengan hitam-putih. Ketika kekasih atau istri kita marah, itu bisa diartikan ia masih sayang dan perhatian pada kita. Bagaimana bila sudah tidak marah lagi? Ketika kekasih atau istri kita cemburu, itu artinya ia masih mencintai kita. Cemburu pertanda rindu. Marah pertanda cinta. Intinya, kita harus juga memahami latar belakang masalahnya, bukan sebatas apa yang terjadi. Memahami latar belakang marahnya, bukan subyeknya yang sedang marah. Jadi, ini adalah persoalan latihan menjadi orang yang arif dan bijaksana.

Keempat, penulis mengikuti betul ajaran Mahatma Gandhi; "ahimsa", yang bermakna anti kekerasan. Karena menurut Gandhi, apapun bentuknya kekerasan tak kan bisa diakhiri dengan kekerasan. Gandhi percaya benar bahwa kemenangan akhir ada pada Kebenaran (satya), yakni Tuhan. Bila hanya untuk menegakkan hal-hal yang tidak prinsipil (mendasar), kenapa harus dengan kekerasan, intimidasi, teror, merasa memiliki kekuatan? -dalam contoh kasus kecil rebutan channel TV. Tidak harus! Justru, cara-cara seperti ini yang sebenarnya menunjukkan kekerdilan jiwa seseorang.

By the way, WW masih tetap adikku yang terbaik. Bagaimanapun, kritiknya selalu kuharapkan. Bukankah peran seorang sahabat memang harus demikian; saling nasehat-menasehati dalam hal kebaikan? Karena pada dasarnya, setiap orang akan mengalami fluktuasi keimanan. Karena kita adalah manusia biasa, bukanlah dewa.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.



Padepokan Tebet, sehabis Tarawih pertama Ramadhan 1424 H-26/10/03;
© Gus John.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home