Tuesday, October 17, 2006

#042: Kini, Esok dan Masa Lalu: Sebuah Kritik Terhadap Analisa Prabowo Subiyanto


Minggu, 28 September 2003.
Jam menunjuk ke 17:05 ketika aku sampai di depan pintu ruang eksekutif Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Sore ini adalah perjalanan balik menuju Jakarta, setelah cuti seminggu melihat turnamen bola voli antar klub se-JawaTimur di Perumnas Made, Lamongan.

Sebelum masuk ke ruang tunggu stasiun kereta api kebanggaan warga Surabaya itu, kusempatkan dulu beli koran "Surabaya News", yang kata kangmasku itu 'reinkarnasi' dari koran "Surabaya Post" yang dulu. Di halaman 7 dari koran harian sore itu tertulis judul "Krisis Bukan Semua Kesalahan Orba", hasil liputan wartawan atas kampanye Letjen TNI (Pur) Prabowo Subiyanto yang ikut menjadi salah seorang peserta calon presiden (capres) dari Konvensi Partai Golkar di Kendari.

Kubaca. Kupahami, dan kuamati dengan cermat koran itu. Partai Golkar memang cerdik, pantas kangmasku yang jadi guru itu tergila-gila dan jatuh cinta dengannya, dan dulu ketika Pemilu 1999 ia selalu debat terus denganku.

Di saat partai politik lain masih jalan di tempat (terlibat pusaran konflik), Golkar justru dengan lihainya melakukan "kampanye terselubung" dengan model Konvensi. Inilah salah satu contoh kecerdasan dan kematangan Golkar dalam berpolitik, yang perlu diacungi jempol. Dengan konvensi, maka Golkar bisa mendapatkan banyak keuntungan, diantaranya: pertama, melakukan konsolidasi dari setiap elemen yang dimiliki.

Lihatlah peserta yang ikut konvensi. Ada yang dari TNI, pengusaha, pemilik media massa, artis, pejabat/menteri, anggota parpol, dsb. Konsolidasi tersebut bisa dimaknai sebagai konsolidasi politik, konsolidasi partai, konsolidasi ekonomi, dll. Orang yang dulu takut mengaku Golkar sejak reformasi, kini sudah kembali lagi. Kedua, acara Konvensi itu sekaligus bisa dijadikan sebagai ajang kampanye Golkar untuk menjumput akar massa menjelang Pemilu 2004.

Dalam acara konvensi tersebut, banyak hal yang dikatakan Prabowo. Aku sepakat dengannya dalam beberapa hal bahwa, krisis multidimensi yang terjadi saat ini tak lepas dari peran IMF (baca: Barat). Bahkan, sejak jaman Sriwijaya --yang dianggap sebagai Nusantara Pertama, posisi bangsa ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh bangsa lain. Indonesia sebagai (selalu berada dalam posisi) "pheri-pheri", dan bangsa lain yang kuat yang mampu menghegemoni kita dalam segala bidang sebagai "core"-nya.

Aku sepakat dengan Prabowo, bahwa Golkar terlibat dalam kesalahan di masa Orba. Dan pernyataan itu tak boleh berhenti hanya di situ saja. Perlu ditambahi: seharusnya segala kesalahan tersebut bisa diadili secara hukum. Aku sepakat dengannya, bahwa KKN perlu diberantas sehingga kondisi bangsa tidak semakin parah. Tapi bagaimana dengan kasus tersangka Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Golkar yang telah divonis tiga (3) tahun, tapi kini masih bebas berkeliaran dan bahkan ikut mencalonkan diri jadi capres 2004?

Secara tegas, aku tak sepakat dua hal dengan Prabowo dalam acara itu, ketika ia mengatakan bahwa era reformasi tidak lebih baik dari era Orba. Dia mengambil contoh di bidang keamanan, bahwa kondisi di era reformasi lebih parah. Sejak reformasi bergulir, konflik sosial terjadi di mana-mana. Poso, Ambon, Aceh, Ketapang, dll terus bergejolak sejak Soeharto lengser.
Menjadi sebuah pertanyaan sekaligus jawaban singkatnya; bukankah segala kerusuhan itu merupakan hasil rekayasa dari kelompok pro status quo (kekuatan Orba) yang memang tidak menginginkan adanya perubahan?

Di bidang ekonomi, Prabowo juga mengatakan, kondisi bangsa kita sekarang ini bukannya tambah baik tapi semakin terpuruk. Pertumbuhan ekonomi selalu dibawah 4%, padahal di masa Orba rata-rata di atas 7% selama 20 tahun.

Memang benar, pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% selama PJPT I dan itu sangat membanggakan karena belum pernah dicapai oleh pemerintah sebelum Orba. Namun, pencapaian tersebut ditunjang oleh berbagai kemudahan, insentif, dan proteksi yang diperoleh para konglomerat, sehingga struktur ekonomi sangat timpang dan sangat tidak kompetitif. Akibatnya, struktur ekonomi cenderung monopolistik dan sangat tidak adil, karena untuk mempertahankan pertumbuhan itu disubsidi oleh usaha skala menengah dan kecil.

Ketimpangan dan ketidakadilan itu juga tercermin dalam alokasi kredit perbankan yang hanya terkonsentrasi pada sekelompok kecil konglomerat (Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan Pengalaman,LP3ES-Jakarta, 1994). Jadi, sebenarnya semasa Orba itu rakyat tidak hanya tidak berdaya secara politik, tapi juga memiliki ketidak berdayaan pulasecara ekonomi. Ekonomi tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil, tapi kongolomerat.

Prabowo mungkin lupa, sesuatu yang terjadi saat ini, tak bisa dilepaskan dari peristiwa masa lalu. Dan hari ini akan menentukan hari esok. Keterpurukan bangsa saat ini, tak bisa dilepaskan sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan sebelumnya. Awal mula kerjasama dengan IMF dan penghambaan diri secara total sebagai bangsa terhadap kepentingan Barat yang dimotori oleh Soeharto dengan kendaraan Orbanya, adalah simplifikasi contohnya. Belum secara detailnya.

Seperti yang dikatakan oleh Jose Ortega Y. Gasset, masa lalu adalah masa lalu bukan karena ia terjadi pada orang lain (pada masa lalu), tetapi karena ia membentuk bagian-bagian kehidupan kita di masa kini. Kehidupan sebagai realitas merupakan kehadiran absolut: kita tidak bisa mengatakan tidak ada sesuatu apapun kecuali yang hadir pada masa kini. Karena ada masa lalu yang "aktif" pada masa kini (Ortega Y. Gasset, "Histori as a System" dalam Hans Meyerhoff [ed], The Philosophy of History in Our Time, 1959).

Kesadaran kritis akan masa lalu dalam konteks seperti itu tampaknya yang tidak dimiliki oleh masyarakat dan juga di kalangan elite kita, termasuk oleh Prabowo. Karena itu tidak mengherankan kiranya jika krisis bangsa ini hanya dilihat sebagai krisis masa kini. Ia dianggap semata-mata sebagai krisis ekonomi dan politik masa kini yang tak ada akarnya di masa lalu. Karenanya, cara pandang dan solusi selama ini yang ditawarkan juga bersifat jangka pendek, dan untuk kepentingan politik sesaat. Akibatnya, bangsa ini tetap dalam kondisi yang bersifat "ad interim" dan carut-marut sistem yang tak terpecahkan hingga kini (Pitutur, hal. 3).

Memahami demikian, sungguh sangat unik, bila seorang calon presiden seperti Prabowo Subiyanto tidak memahami visi geopolitik bangsanya secara benar. Jika demikian, lalu mau dibawa ke mana arah bangsaku ini?
Wallaahu'alam bi ash showab.


Stasiun Ps. Turi, Surabaya, 28-09-03
(c) Gus John

0 Comments:

Post a Comment

<< Home