Monday, October 16, 2006

#040: Melihat Bulan Malam Ini


Padepokan Tebet, 10-09-03, 00:34
Malam ini, penanggalan Hijriah menunjukkan ini malam 13 Rajab 1424 H. Penanggalan Jawa menyebutkan ini malam 13 Rejeb 1936 BE. Versi Keraton Ngayogyakarta menurut hitung-hitungan Pranata Mangsa menyebutkan malam ini masih berada dalam rangkaian bulan "Mongso Katelu Wiji Tuwuh Sinimpen". Entahlah, apa arti maknanya. Tapi aku sangat yakin itu memiliki makna yang dulu sangat diyakini dan dipercaya oleh para leluhur.

Di atas sana, bulan memancarkan sinarnya dengan terang, menerangi bumi. Ia tersenyum tepat di atas kepalaku. Menyapaku di balik ranting pohon cemara, di taman padepokan. Langit cerah, hampir tak berawan. Beberapa bintang dengan malu-malu memperlihatkan cahayanya. Mungkin mereka kurang percaya diri, karena sang bulan malam ini begitu perkasa, menyinari segala permukaan bumi dengan cahayanya. Hanya satu bintang yang lebih terang yang selalu setia menemani sang putri malam, dari terbit hingga tenggelam.

Melihat bulan malam ini, aku jadi teringat sabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah ra, ketika Nabi melihat bulan dan para sahabat duduk di dekat beliau, "Ketahuilah! Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu kelak seperti melihat bulan purnama ini, tanpa ada yang menghalangi untuk melihatnya. Karena itu..........". (Sahih Muslim I-IV, Syekh H. Abdul Syukur Rahimy, Widjaya, 1996, hal. 310).

Melihat bulan malam ini, aku seperti merasakan, bahwa dua harta yang sangat berharga bagiku adalah, merasa dekat dengan Tuhanku, dan mendapatkan karunia untuk selalu bisa mengaktualisasikan segala interpretasi dari segenap(panca) indera yang kumiliki dalam bentuk sebuah tulisan.

Melihat bulan malam ini, aku seperti baru terbebas dari tugas yang maha berat, setelah dua hari merasakan penatnya otak harus ikut memikirkan bagaimana menyelamatkan nasib puluhan juta umat dari malapetaka perpecahan. Aku tak bisa mengelak, karena ini adalah tugas dan panggilan sejarah. Bila kuumpamakan sejarah itu bagaikan mobil yang melaju, aku merasa berada di dalamnya --walaupun bukan sebagai pengendara dan penumpangnya, tapi aku adalah bagian dari kendaraan itu. Karena sesungguhnya, ia (sejarah) akan terus bergerak dan berproses mencari waktunya.

Melihat terangnya sinar bulan, hamparan langit yang cerah tanpa semilir angin, di sepertiga malam ini, sepertinya aku tak bisa berlama-lama memarkirkan kaki dan jiwaku di sini, di bumi padepokan. Ingin rasanya kubawa jiwaku ini pergi, ke tengah lautan lepas. Melepaskan segala rinduku padaTuhanku. Menikmati segala keagungan-Nya. Bersatu dengan-Nya seperti layaknya Syekh Wali Abu Yazid al-Busthami, Husain ibn Manshur al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar.

Ingin rasanya kubiarkan diri ini terombang-ambing di atas gelombang di tengah Laut Jawa. Lalu kusandarkan ragaku di geladak kapal perang dengan simbol kupu tarung yang besar dan kelihatan megah; simbol kemegahan armada laut Kerajaan Demak di bawah panji kebesaran Pati Unus (1517 M). Masa di mana kita sebagai bangsa masih punya harga diri, berjaya di tengah lautan, disegani oleh dunia mancanegara, ditakuti oleh bangsa-bangsa di Utara, dan dengan begitu berani melakukan perlawanan terhadap ekspansi bangsa penjajah.

Ingin rasanya diriku bercengkerama dengan Pangeran Jawa yang gagah perkasa itu, tentang makna sejatinya hidup. Tentang arti kedaulatan dan kemerdekaan bumi Nusantara. Tentang wawasan kebangsaan dan kenegaraan. Tentang riwayat dan sejarah raja-raja Jawa. Tentang kisah dan kidung cinta para raja.

Tentang.....

Ah, tapi itu semua tak mungkin, karena kaki dan ragaku masih terpaut di bumi padepokan ini. Lagipula diriku pun masih hina, dan kumerasa tidak ada artinya sama sekali di depan-Nya. Dan, lamunan ini hanya menyebabkanku kelelahan. Aku pun benar-benar lelah, maka tertidurlah...


© Gus John

0 Comments:

Post a Comment

<< Home