Wednesday, November 01, 2006

#049: Ramadhan Kini: Berartikah Bagiku?


Ramadhan 1424 H, malam ketiga.
Dengan bersarung, kubawa bebek besiku menuju sebuah masjid di wilayah Tegal Parang, Mampang Prapatan. Kuniatkan, malam ini ingin bertarawih bersama Buya Sidik, seorang ulama "khos" asli Betawi. Dibilang "khos", karena Buya merupakan sosok kiai yang dihormati di kalangan ulama dan masyarakat Betawi. Dipanggil "Buya", karena usia beliau memang sudah sangat tua. Menurut cerita, konon kiai yang satu ini seangkatan dengan (alm.) KH Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama pertama RI) dan pernah menjadi santri Hadratussyaikh, KH Hasyim Asy'ari (pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang).

Tak kusangka, kedatanganku paling awal, sebelum jama'ah masjid Darurrahman kemudian berdatangan. Tapi, hingga tarawih usai, ketika jam menunjuk di angka 8:30, masih juga tak kulihat sosok Buya. Hanya seorang muda berjenggot yang menjadi imam malam ini. Lalu ke manakah Buya? Aku merindukan senyum dan kharismanya. Kuinginkan "barokah" dari keramahannya, seperti dulu. Kuingin mencium tangannya yang lembut selembut hatinya. Tapi, Buya tetap tak kelihatan, hingga kemudian kumeninggalkan masjid itu.

Lebih dari itu, sebenarnya aku merasakan ada yang "hilang" dalam ramadhan kali ini. Dari Tebet, Mampang, Duren Tiga, Kalibata, Cikoko, Pancoran, tak kudengar sedikitpun lantunan ayat-ayat Illahi menggema. Ataupun bunyi gelegar petasan menyambut Ramadhan. Tak seperti di kampungku. Setiap habis tarawih, di masjid-masjid, anak-anak remaja dan orang tua bertadarus, membaca kitabullah. Sementara anak-anak kecilnya bermain petasan di jalanan atau di rel kerata api, memeriahkan datangnya ramadhan.

Di kalangan anak-anak, petasan bikinan Jombang adalah yang paling terkenal. Begitupun di langgar-langgar putri. Gadis-gadis cantik desa, dan beberapa ibu dengan anak-anak kecilnya juga bertadarus. Ya, budaya tadarus, satu hal yang sangat sulit kutemukan di ibukota ini. Kumerasakan kering! Kota ini begitu kering ritualnya.

Tak kutemukan Buya. Tak kudengar tadarus di masjidnya. Tak kudengar bunyi petasan. Akhirnya kumeluncur, silaturahmi ke salah seorang teman Kristianiku. Ku ajak ia menemaniku makan malam, mengisi perutku yang keroncongan, karena sebelumnya hanya terisi air putih dan tiga buah kurma ketika tadi sore berbuka. Masih juga tak kudengar gema tadarus di tempat baru itu. Kering! Sekering ramadhan kali ini, yang tak merubah sedikitpun ibadah, sikap dan tingkah lakuku.

Yang aku hanya bisa. Menjelang berbuka, menyiapkan makanan seenak-enaknya. Bila malam tiba. Tak ada bedanya dengan malam hari-hari biasa. Kumanjakan mata, tidur-terlelap bila jam sudah menunjuk angka 10. Tak ada tadarus, baca Qur'an, ataupun sholat malam. Tak ada bacaan-bacaan Illahiyah, mengagungkan nama-Nya. Tak ada waktu untuk berdialog dengan-Nya. Tak ada waktu untuk menangis, bersimpuh di depan-Nya. Kalaupun hingga sampai larut malam, itupun karena besoknya libur (malam mingguan). Yang ada hanyalah malam diisi dengan canda-tawa. Yang ada hanyalah alasan capek kerja. Yang ada hanyalah kesibukan di pagi dan siang hari. Memuja harta dan memikirkan duniawi. Seperti tak ada istimewanya sama-sekali ramadhan kali ini. Sungguh kering!

Diriku bagaikan seonggok sampah tak berguna. Sungguh hina diri ini.Duh, Gusti Pengeran, kalaupun jiwa dan hatiku menjadi kering karena tak mendengar ayat-ayat Qur'ani, setidaknya berilah hamba kekuatan untuk bisa menjadi embun yang menyejukkan bagi makhluk Tuhan yang lain.

Duh, Gusti, ampuni hamba. Jika memang Ramadhan kali ini tak memiliki arti sama-sekali bagi ibadah, sikap dan tingkah-laku hamba-sahaya, lalu kenapa Engkau masih panjangkan usia hamba untuk menanggung beban dosa? Karena akibat kebebalan hamba, hamba masih juga tak mampu secara cerdas memahami segala kehendak-Mu.
Wallaahu'alam bi ash showan.


Padepokan Tebet ba'da Subuh, 29-10-03,
© Gus John.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home