Monday, November 27, 2006

#084: Re-launching: Antara Spirit, Tema, dan Berani Tampil Beda


Bila "launching" diartikan sebagai peluncuran, maka "re-launching" bermakna peluncuran ulang. "Re" menunjukkan adanya kegiatan yang bersifat mengulang(i) dari yang telah dilakukan sebelumnya. "Re" juga menandakan adanya sebuah revisi.

Menjadi pertanyaan penting kemudian, apakah "re" yang dimaksud dengan re-launching itu nanti tidak berdampak pada image di masyarakat tentang Esia; bahwa (target) launching sebelumnya dianggap kurang mengena (baca: gagal) bagi pasar? Berikut ada cerita menarik yang berkaitan tentang itu.


*
Produsen sepeda motor nomor satu di Indonesia, Honda, baru-baru ini meluncurkan produk baru mereka dengan label "Karisma X". Munculnya versi X ini merupakan kelanjutan, sekaligus mengakhiri dari dua versi Karisma sebelumnya, "Karisma125" dan "Karisma125D" yang dilepas ke pasar pada akhir tahun 2002.

Dulu, pada awal munculnya Karisma (tromol) dan Karisma D(isk Brake), teman-teman yang berpengalaman beberapa tahun di dunia perbengkelan pernah mengingatkan, bahwa produk itu kurang bagus. Mereka menyarankan untuk lebih memilih "Supra X", daripada Karisma. Kini terbukti, baru dua tahun, "Karisma D" sudah direvisi menjadi versi X. Begitupun dengan merk "SupraV", "SupraXX" dan "Legenda" yang terlihat kedodoran melawan determinasi "Smash" punya Susuki. Lambat-laun, "Supra V" dan "Supra XX" lenyap dari pasaran. Legenda mulai berbenah. Untuk melawan Smash, Honda meluncurkan Supra Fit; model Supra, tapi bermesin produk sebelumnya (Legenda/Astrea Grand).

Hebatnya, Honda tidak pernah mengatakan itu sebagai sebuah kegagalan; bahwa versi X sebagai revisi (atas kegagalan) dari versi D, atau Supra Fit sebagai revisi dari Legenda dan Grand. Yang selalu dikatakan, X lebih bagus dari D. Fit lebih bagus dari Legenda, produk terbaru lebih bagus dari produk sebelumnya, agar orang tertarik untuk membelinya. Juga tak ada penjelasan, kenapa produk Supra V dan XX tidak berproduksi lagi. Yang didengungkan adalah alasan klasik; berdasarkan minat pasar.


**
Ketika saya melakukan site acquisition (sitac) ke beberapa kandidat Base Transceiver Station (BTS/pemancar) kita di Bandung sebulan yang lalu, pertanyaan mendasar dari para calon klien (pemilik gedung/rumah) yang kita survey itu, diantaranya, "Esia itu apa? Apakah sama dengan Flexi?" Pertanyaan dengan jawaban yang dilematis. Bila kita jawab "ya", ternyata image Flexi bagi masyarakat Bandung kurang begitu bagus.

"Kalo di dalam ruangan, sering putus-putus, mas," kata Bu Ila, bagian administrasi Wisma Dapenpos di Jalan Suci, salah satu kandidat BTS yang akan kita bangun.

Sementara, bila dijawab "tidak", kita bingung mulai dari mana menjelaskan tentang Esia. Saat ini atau beberapa bulan kemarin, orang masih dengan mudah mengenal Flexi, tapi tidak untuk Esia. Walaupun image Flexi kurang begitu bagus, tapi fakta empirik menunjukkan bahwa flexi lebih dulu dikenal oleh masyarakat. Flexi telah menjadi established brand, telah mengendap di ingatan masyarakat, bahwa handpone dengan pulsa telpon rumah yang dikenal adalah Flexi. Ini seperti halnya, kita pesan minuman gelas ke pedagang asongan di perempatan jalan, maka sering kita bilang "Aqua". Padahal, belum tentu Aqua. Bisa jadi, mereknya Club, Ades, Aquades, dan sebagainya. Orang kampung jaman dulu menyebut "King Kong" untuk obat nyamuk bakar, padahal ada merk lain: Baygon. Atau, masyarakat sering menyebut "indomie" bila beli mie instant, padahal ada merk "Supermie", "Ilhami", "Sedaap" dll. Orang dulu menyebut "Odol" untuk pasta gigi, padahal ada merk "Ciptadent", "Pepsodent" dll. Dan masih banyak contoh yang lain. Maka, solusi yang ditawarkan oleh Pak Harapan --Kadiv Field NW Operation yang khusus menangani wilayah Bandung-- saat itu untuk menjelaskan Esia ke calon klien ataupun pelanggan yakni dengan mengatakan, "Teknologi kita memang sama, tapi kualitas suaranya berbeda. Kita lebih bagus dan jernih daripada Flexi". Jawaban inilah yang kemudian menjadi semacam jawaban baku bila ada klien yang bertanya tentang Esia.


***
Dalam waktu dekat, Esia akan mengadakan relaunch. Bagaimanakah image masyarakat tentang tema "relaunching"? Perlukah relaunch dipublikasikan ke masyarakat, dijadikan sebagai tema dengan dicetak tebal-tebal dalam pamflet-pamflet dan iklan, ataukah "relaunch" cukup hanya dijadikan sebagai spirit saja?

Bila belajar dari kasus Honda di atas, jawabannya tentu: spirit "Yes", tema "No". Sebagai tema, tema "relaunch" mungkin bisa diganti dengan tema yang lain, misalnya: "Esia Menggebrak", "Esia Membumi", "September Ceria Bersama Esia", dll, sehingga kesan "re" yang (cenderung) negatif (bagi pasar) bisa dihindari. Tapi sebagai spirit, perlu, untuk menunjukkan bahwa Esia memiliki komitmen untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan dari sisi layanan dan mutu kepada pelanggan. Relaunch sebagai tema, lebih cenderung berdampak ke luar, diamati, diperhatikan dan dirasakan oleh konsumen, sedangkan relaunch sebagai spirit berdampak ke internal, yakni adanya niat untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan.

Sedangkan secara filosofis makna dari solusi yang ditawarkan oleh Pak Harapan di atas, Esia diharapkan bisa berani tampil beda dari operator yang lain. Atau, meminjam istilah Adam Morgan, seorang pakar merk, kunci sukses sebuah merk baru (challenger/second/new brand) adalah dengan cara mengembangkan identitas yang jelas terhadap merk tersebut, kemudian menampilkannya secara intensif dan konsisten, sehingga konsumen menyadari akan keberadaannya.

So, selamat relaunching Esia. Spirit "yes", tema "no", dan Esia harus berani tampil beda.



wb-5th floor, 7/9/04 di kala Gedung BTN semakin cerah.......... (c) GJ

0 Comments:

Post a Comment

<< Home