Monday, November 27, 2006

#086: Banjir Kanal Barat

Warnanya kecoklatan. Air itu mengalir cukup deras. Membawa segala benda yang terapung di atasnya. Onggokan sampah, kayu, papan, gabus, kain, dedaunan, dan tumpukan plastik dengan segala isinya (entah itu apa). Semua mengalir menuju ke arah barat. Kira-kira 50m per menit-nya.

Seminggu yang lalu, ketinggiannya masih di bawah batas atas pinggiran sungai. Lapak berwarna coklat, di bawah pohon berdaun lebat, di sebelah rimbunan pohon pisang, masih membuka "usaha"-nya. Para pramuria (penjaja cinta), dan langganannya masih melakukan "transaksi" di pinggiran kali itu. Hanya bertutupkan terpal berwarna coklat, beralaskan koran bekas, mereka lupakan semua norma. Lepaskan nafsu hasratnya, menikmati (konon) "indahnya" dunia dalam waktu tak lebih dari 10 menit saja!

Kini, sejak hujan deras mengguyur ibukota selama dua hari lalu, lapak coklat itu hanya menyisakan cerita. Air sungai naik, menenggelamkan dasaran lapak, merendam pepohonan di sekitarnya. Koran-koran bekas yang ikut "berjasa" dan menjadi saksi bisu atas "kenikmatan" mereka, sudah pergi entah ke mana. Terbawa arus, tentunya. Atau, barangkali nyangkut di akar-akar pohon yang kebanjiran.

Itulah Banjir Kanal Barat, sungai sodetan dari Kali Ciliwung, warisan penjajah Belanda jaman baheula. Adalah Dam Tambak sebagai awal dari arus kali yang sering membanjiri gedung LandMark itu. Oleh Belanda, dulu dam itu difungsikan untuk memotong alur Sungai Ciliwung dari Bogor menuju Ancol yang melewati istana. Begitu sampai di Manggarai (disebut Dam Tambak), arus sungai terbesar di DKI Jakarta itu kemudian dipotong, dialihkan menuju Kapuk Muara dan Pluit dengan melewati sepanjang jalan Sultan Agung (Stasiun Dukuh), jalan Galunggung, KH Margono Djojohadikoesoemo, Petamburan, Stasiun Tanah Abang. Lalu membelah jalan Kyai Caringin-Tomang Raya dan KH Hasyim Asy'ari-Kyai Tapa menuju Angke. Di sana, ia bersenggolan dengan Kali Grogol yang menuju Kali Muara. Dengan Kali Angke, Banjir Kanal Barat itu kemudian bersatu menjadi Kali Muara Angke di wilayah Kapuk Muara, dan selanjutnya bermuara di Laut Jawa.


***
Arus kali itu semakin deras. Bila ketinggian air naik 30cm hingga 50cm lagi, rel kereta api di Stasiun Dukuh Atas kemungkinan akan terendam. Banjir Kanal Barat akan menjadi momok yang begitu menakutkan bagi warga Kebon Melati, Menteng, dan daerah sekitar kali --di samping Sungai Ciliwung dari Bogor hingga Manggarai. Barangkali, ia menjadi "kali tiri" --meminjam istilah "anak tiri"- dari arus Ciliwung yang lumayan tenang menuju istana --karena ia begitu dimanjakan, karena arusnya bisa diatur setenang mungkin. Apalagi, realisasi Banjir Kanal Timur --sebagai penyeimbang arus air yang menuju ibukota-- hingga kini masih juga belum ada titik terangnya. Pemprov DKI malah masih sibuk dengan proyek jalan trotoarnya yang skala prioritasnya rendah, dan tidak strategis demi kemaslahatan masyarakat luas.

Banjir lagi, banjir lagi. Sungguh memprihatinkan.



from the Landmark Center Tower B, 8th Floor Suite 801, Jakarta, 20 Jan 2005 (c) GJ

0 Comments:

Post a Comment

<< Home