Thursday, July 10, 2008

#110: Akar Terorisme

Ketika Abu Dujana yang dianggap sebagai jaringan Noordin M. Top dan Dr. Azhari tertangkap, maka ada pernyataan menarik dari salah satu anggota Jama'ah Islamiyah (JI) yang sudah insyaf. Orang itu bilang, di Indonesia sangat berkembang subur akar terorisme dikarenakan 3 (tiga) hal: Pertama, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Kedua, rendahnya tingkat taraf kehidupan (ekonomi), dan ketiga, lemahnya hukum.

Hukum di Indonesia memang harus diakui lemah. Hukum lebih efektif buat rakyat jelata, bukan untuk pejabat atau penguasa. Hukum bisa tebang pilih, bisa pilih kasih. Di sini, penegakan hukum seperti main gaplek. Dimainkan jika dibutuhkan. Ada "kartu As". Ada "kartu balak". Tergantung kebutuhan.

Lebih menarik, ternyata Abu Dujana sendiri bukan termasuk orang yang rendah pendidikannya. Dia justru lulusan sarjana dan dikenal pintar sewaktu kuliah. Atau, otak teroris semacam Azhari justru seorang Doktor. Dia adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Malaysia. Terkesan sangat musykil, seorang sarjana atau Doktor bisa menjadi "teroris" jika dikaitkan dengan 3 teori di atas.

Lalu di mana problemnya? Menurut penulis, titik persoalan justru di pemahaman individu. Tingkat (level) pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman. Tingkat pemahaman seseorang bisa dipengaruhi oleh: Pertama, modal bacaan yang pernah dia serap. Semakin banyak bacaan (variatif), semakin luas wawasan seseorang. Kedua, modal penyerapan substansi. Kemampuan menyerap suatu tema/substansi yang dipahami setiap orang berbeda-beda. Dalam konteks ini sangat bisa dipahami bila dalam ajaran Islam sendiri tersebar dalam berbagai faksi dikarenakan beda pemahaman. Ketiga, faktor lingkungan. Komunitas yang moderat tentu akan membentuk pribadi-pribadi yang moderat. Sebaliknya, komunitas radikal, eksklusif, tertutup (not open mind) akan membentuk pribadi-pribadi yang intoleran, familiar dengan kekerasan, dan memiliki fanatisme yang berlebihan. Seperti dalam iklan Esia; bagaikan katak dalam tempurung.

Di samping level pendidikan, level jabatan juga sama. Seorang staff sangat mungkin bisa berpikir lebih inklusif dan open mind dibandingkan dengan atasannya yang seorang supervisor, manager atau bahkan general manager (GM) sekalipun yang "baru memahami" Islam. Seorang bawahan sangat mungkin bisa berpikir terbuka dan berpandangan luas dibandingkan dengan atasannya yang terbatas pada bacaan dan kemampuan menyerap tema ajaran.

Kuncinya, kemauan belajar dan terus belajar agama adalah syarat utama. Kedua, bersifat membuka diri terhadap segala ajaran/aliran yang tersebar di Islam, tidak terpaku pada satu aliran saja. Fakta bahwa Islam terbelah menjadi faksi-faksi aliran harus diketahui. Pemahaman bahwa masing-masing aliran membawa nilai-nilai kebenaran yang belum tentu ditemukan di aliran yang lain adalah menjadi titik temu yang bagus untuk menjadi seorang muslim yang matang. Ketiga, memahami geopolitik; baik lokal, nasional ataupun global. Ketidakpahaman geopolitik sering menyebabkan kita sebagai umat muslim mudah untuk diadu-domba, diinfiltrasi, dipecah-belah, dan dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu (baik pejabat ataupun tangan-tangan asing) yang ending-nya justru merugikan dan melemahkan image Islam sendiri. Point terakhir ini yang paling rawan karena sejarah selalu mencatat, umat Islam selalu dijadikan tumbal di depan jika dibutuhkan, dan kemudian dijadikan kambing hitam di belakang.

Semoga kita menjadi seorang muslim yang terbaik.
Selebihnya, wallahu'alam bi ash showab.


Wisma Bakrie, 10 July 2008
(c) aGus John

1 Comments:

Blogger Zidni said...

Bagus tulisannya,
seorang muslim harus senantiasa belajar dan belajar.

11:49 PM  

Post a Comment

<< Home