Wednesday, November 01, 2006

#050: Memuliakan Tamu (2)



......You may say i'm a dreamer
But i'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world is to be one.............


Dukuh Menanggal-Surabaya, September 2003.
Kutekan tuts-tuts hitam dan putih. Sambil mencari-cari dan bingung membedakan antara nada Minor dan Mayor, kucoba mainkan piano itu perlahan-lahan. Dengan ditemani ponakan kecilku (2 tahun) yang cerdas, kunyanyikan lagu "Imagine" karya penyanyi legendaris yang memberiku banyak inspirasi dalam hidup, John Lennon. Kudendangkan lagu itu hingga usai.

Pagi itu, aku memang sengaja tidak kemana-mana. Aku hanya menunggu kedatangan Cak Sukidi (tentang figur Cak Sukidi, baca CHGJ ke-41, "Mengabdi Pada Masyarakat") di rumah kangmasku. Hari itu, memang ada janji ingin sowan ke rumah Pak Ibra di sebuah kawasan perumahan di Surabaya Timur.

Ketika jam menunjuk angka 10, datanglah Cak Kidi dengan panther hitamnya. Segeralah kita berangkat menuju rumah Pak Ibra. Aku tak tahu persis lewat mana saja jalurnya untuk mencapai rumah beliau, karena aku tak pernah paham dengan peta Surabaya. Yang jelas, cukup berkelok-kelok hingga 20 menit, baru sampailah di rumah sosok figur yang sangat kuhormati itu.

Hari itu, hari Senin di bulan Sya'ban. Begitu tiba di jalan depan rumah, seorang tua berusia sekitar 50-an lebih, berperawakan kecil dengan memakai sarung dan sabuk lebar ala jaman Kompeni, dan sedikit jenggot di dagunya, menyongsong kehadiran kami dengan senyumnya yang mengembang. Pandangannya lembut, teduh. Sikapnya sangat santun. Dialah Pak Ibra yang selama ini hanya bisa kukenal lewat internet. Baru kali ini aku berjumpa langsung dengannya.

Begitu turun dari mobil, dia langsung menarik tangannya ketika tangan halus itu kucium dengan penuh taqdim, sebagai bentuk penghormatanku pada seseorang. Begitupun ketika Cak Kidi melakukan hal yang sama kemudian. Kita berdua langsung dipersilahkan masuk ke rumah.

"Dua tahun yang lalu, saya pernah mengejar sampeyan hingga ke Tunjungan Plaza, Gus, ketika saya tahu sampeyan ada di Surabaya. Tapi sayang, ndak bisa menemukan sampeyan," kata Pak Ibra memulai pembicaraan siang itu. Yang dimaksud Pak Ibra, mungkin ketika itu aku sedang ada acara janji makan malam dengan Ninis, salah seorang sahabat dekatku.

"Duh, saya minta ma'af, Pak. Saya tidak tahu akan hal itu," jawabku.

"Ya, hp sampeyan susah untuk dihubungi," kata Pak Ibra.


#
Kuamati sejenak rumah Pak Ibra. Rumah itu sangat mungil dibandingkan dengan rumah-rumah lain yang besar dan mewah di kiri-kanannya. Begitu masuk ke pelataran rumah, kulihat (ma'af) plafon depan rumah itu telah jebol. Mungkin bangunan rumah itu sudah terlalu tua, sehingga ada bagian di sana-sini yang berantakan. Tapi, apalah arti itu semua. Karena aku tak pernah menilai kemuliaan seseorang berdasarkan dari rumah, harta, atau kulitnya. Yang penting, hati dan perbuatannya serta seberapa besar manfaat orang tersebut bagi umat.

Sosok dan kiprah Pak Ibra memang terendam dalam hati saya. Dia merupakan pensiunan karyawan perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini. Walaupun pensiunan, amal-perbuatannya tetap tak terputus untuk tetap memberikan sumbangsih pemikiran bagi kepentingan umat. Aktivitasnya ketika masih muda juga patut untuk ditiru. Sejak kuliah di ITS, dia sudah bergumul dengan dunia organisasi keagamaan. Berangkat dari organisasi itulah, dia bisa kenal dekat dengan lingkungan pesantren dan para kiai.

Kita kemudian ngobrol di ruang tamu yang sempit. Kita bicara banyak hal hingga siang hari. Mulai dari soal politik, dunia kiai, hingga konflik elite. Pak Ibra menunjukkan kepada kami tentang salah satu fotonya ketika berkesempatan mendampingi mantan raja di negeri ini ketika melakukan kunjungan ke Surabaya. Dia juga menunjukkan dokumen intelijen tahun '80-an tentang gerakan radikalisme Islam. Aku hanya diam. Hanya bisa membaca, dengan sedikit komentar. Beberapa saat kemudian, muncul istri Pak Ibra dengan sirup merahnya. Empat gelas. Kebetulan aku belum makan dan haus. Kuminum habis sirup diantara salah satu gelas itu, hingga membuatku ingin ke kamar mandi.

Kulihat kemudian anak bungsu Pak Ibra memainkan komputer dengan ketikan yang begitu cepat, ketika aku menuju kamar mandi. Setelah kudekati, ia jadi malu-malu. Kubaca tulisannya. Ternyata dia bikin cerpen! Bagus banget! Cerpen itu melibatkan tokoh-tokoh dunia dalam imajinasi putra Pak Ibra itu. Anak itu baru kelas 2 SMP, tapi tulisannya sudah banyak. Kukatakan pada PakIbra, hobi putranya itu perlu difasilitasi agar dia kelak bisa berkembang menjadi seorang penulis yang handal.

Sesampai aku kembali di ruang tamu, Pak Ibra bertanya, "Sampeyan berdua belum makan, kan?"

"Belum, Pak," jawabku cepat mendahului jawaban Cak Kidi. Cak Kidi menoleh ke arahku. Ia meringis. Mungkin ia paham dan tahu betul, bahwa sejak di mobil tadi aku sudah mengeluhkan lapar.

"Ya udah. Kalo gitu kita cari makan. Sekalian saya berbuka," katanya.

"Loh, njenengan puasa toh, Pak?" tanyaku.

"Demi menghormati kedatangan sampeyan, Gus, saya batalkan puasa saya".

"Loh, ya jangan karena saya terus puasanya batal dong, Pak?" sergahku.

"Ndak papa toh, memuliakan tamu itu lebih baik dari hanya sekedar puasa sunnah," Pak Ibra kemudian menimpali, "ayo, Gus, sampeyan mau makan apa? Sampeyan belum makan, kan? Sampeyan mau pilih apa?" tanyanya.

Masya Allah?! Merinding aku mendengar jawaban tersebut. Seketika itu juga kujawab, "Saya suka tempe penyet, Pak."

"Duh, siang-siang gini jangan tempe penyet. Nanti malam aja. Gimana kalau sekarang kita mampir ke warung Arab 'Madinah' di Ampel? Di sana khusus menyediakan masakan spesial kambing. Sampeyan belum pernah makan ke sana, kan?" tanya Pak Ibra menawarkan.

Aku dan Cak Kidi hanya bisa bengong. Di satu sisi takjub atas sikap PakIbra. Di sisi yang lain, perut ini sudah sulit diajak kompromi. Kitapun bertiga akhirnya berangkat menuju kawasan Ampel. Menuju Warung "Madinah" yang khusus menyediakan masakan kambing. Pak Ibra benar-benar membatalkan puasa sunahnya.

Aku tak habis berpikir. Sedemikian taqdimnya beliau pada tamu, sehingga puasa sunnah pun dibatalkan. Berhadapan orang seperti ini, kembali logika dan nalar fiqihku berjalan; mencari-cari alasan dari setiap kejadian di depan mata-kepalaku. Dua standar yang selalu kugunakan; pilihan Pak Ibra itumengandung manfaat ataukah mudharat? Bermanfaat menyangkut persoalan pribadi ataukah bermanfaat untuk kepentingan umum (baca: orang lain)? Maklum, aku bukan orang pesantren yang paham ilmu agama. Hanya kemampuan ala kadarnya inilah yang selama ini kugunakan untuk mencermati setiap problema yang ada.

Subhanallah! Jika puasa sunah saja bisa dibatalkan demi memuliakan sang tamu, lalu kenapa masih ada orang-orang yang tega menelantarkan temannya ketika datang berniat silaturahmi dengan hanya dipersilahkan duduk-duduk di emperan rumahnya? Tentu, itu bukan sebuah sifat yang bijaksana.
Wallaahu'alam bi ash showab.



Malam keempat Ramadhan 1424 H-29/10/03 (c) GJ

0 Comments:

Post a Comment

<< Home