Wednesday, November 01, 2006

#051: Kemuliaan*


The Central of Javadwipa, pertengahan abad 15.
Langit sangat terang. Matari memancarkan sinarnya, membuat bayangan setinggi benda-benda di sekitar hamparan sawah-ladang nan hijau. Semak-belukar berwarna hijau-kecoklatan. Sangat dominan, tumbuh subur di bantaran sungai yang besar itu. Di sore itu, tampak seorang lelaki setengah baya duduk bersila di pinggir sungai, di antara semak-semak. Matanya yang tajam tapi
penuh kelembutan, terpaku pada arus sungai yang cukup deras. Lama, ia duduk terpekur menghadap sungai itu. Mulutnya bergetar, terlihat komat-kamit. Di
tangannya, sebuah tasbih hitam berputar dengan lambat. Ritme dzikir lelaki itu begitu mantap. Sosok agung, yang sebenarnya tak asing lagi bagi raja-raja Jawa-Islam itu mengenakan pakaian petani yang compang-camping, plus blangkon di kepalanya. Sementara cangkul dan tongkat untuk mengangkut rumput, berdiri tegak di sebelah kanannya. Dengan khusyu', lelaki itu terus
berdzikir mengagungkan Tuhan-Nya.

Tak lama kemudian, datanglah laki-laki gagah-perkasa dengan pakaian yang serba mewah dan gemerlapan. Orang menyebutnya, Adipati Pandanarang, Adipati Semarang yang dikenal berwatak rakus dan serakah akan harta. Dengan tanpa turun dan tetap duduk di atas pelana kudanya, sang adipati menghampiri petani itu. Maka terjadilah percakapan sebagai berikut:

"Hai, Kisanak. Saya masih membutuhkan rumput segar darimu untuk hewan ternakku. Jika kau mampu menyediakannya esok hari, aku akan memberimu upah yang lebih banyak dari apa yang kuberikan hari ini," ujar sang adipati dengan angkuhnya.

Mendengar perkataan orang yang datang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, petani itu kemudian menghentikan dzikirnya. Dengan perlahan, ia membalikkan punggungnya, menghadap sang adipati.

"Ya, Gusti Adipati. Masih tidakkah cukup rumput tadi pagi itu untuk persediaan ternakmu?"

"Aku masih ingin yang lebih banyak lagi!" jawab Adipati dengan suara yang semakin meninggi.

Memang, sesungguhnya bukan rumput semata yang diinginkan oleh sang adipati. Dari pengalaman sebelumnya, dalam ikatan rumput itu sebenarnya tersimpan kepingan emas. Setiap ia membeli rumput dari petani itu, ia selalu menemukan kepingan emas di dalamnya. Dengan kembali membeli rumput, ia berpikir tentu akan mendapatkan keping emas yang lebih banyak, dan ia bisa semakin kaya-raya.

Petani itu hanya bisa mengernyitkan dahinya, seolah-olah ia mampu membaca alam-pikiran sang adipati. Dengan tenang, ia kemudian menghampiri dan bertanya kepada sang adipati, "Gusti, buat apakah harta yang berlimpah? Tidak cukupkah hartamu yang sudah terlalu banyak itu?"

Sang adipati terhenyak sesaat atas pertanyaan petani itu. Kemudian ia berkata, "Hai, apa urusanmu bertanya itu padaku, Kisanak?" dengan penuh selidik. "Aku butuh harta yang melimpah, agar aku terpandang dan mulia di depan rakyatku. Aku ingin harta banyak, sebagai bekal buat anak-keturunanku, agar mereka kelak tidak hidup sengsara dan kelaparan," jawab adipati dengan suara berat menahan amarah.

"Astaghfirullaahaladzhiim, " desah petani itu, "Gusti, sesungguhnya kemuliaan seseorang itu tergantung dengan amalnya. Gusti akan dipandang mulia oleh rakyat, bila banyak mengamalkan harta yang Gusti miliki. Lagipula, Gusti telah mengingkari akan keberadaan Tuhan. Bukankah rejeki setiap manusia itu sudah ada garisnya? Bukankah persoalan rejeki itu sudah ada yang mengaturnya, yakni Tuhan, Gusti?"

Mendengar jawaban yang singkat namun mengandung "kekuatan yang dalam" itu, sang Adipati kemudian turun dari kudanya. Hatinya yang keras itu kini menjadi luluh. Ia bersimpuh, bersujud di tanah.

"Hai, Kisanak. Siapakah gerangan dirimu yang sebenarnya? Perkataanmu sangat bijak, dan sepertinya kau bukan seorang petani biasa?", bertanyalah ia dengan penuh keheranan.
"Siapakah kau, Kisanak?" kembali ia mengulangi pertanyaannya.

"Gusti, orang sering menyebutku dengan Kalijaga. Aku datang, diutus Tuhan untuk mengajakmu kembali ke jalan yang benar."

Semakin gemetarlah tubuh sang adipati. Kini ia baru sadar, sedang berhadapan dengan siapakah gerangan dirinya. Dialah Sunan Kalijaga; sosok yang memiliki pengaruh kuat dalam setiap suksesi kepemimpinan raja-raja di tanah Jawa. Satu-satunya wali yang sangat dihormati dan ditakuti oleh Syekh Siti Jenar; wali Jawa "kontroversial" yang membawa aliran tasawuf-falsafi.

Melihat kenyataan itu, maka bersimpuhlah sang Adipati di kaki Sunan Kalijaga. Dia meminta ma'af, mengakui akan segala kekhilafannya. Ia berjanji akan mengikuti jejak para wali untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Di kemudian hari, ia menjadi murid Sunan Kalijaga. Kelak, ia akan masuk dalam anggota dewan Wali Songo dengan sebutan Sunan Bayat. Ia dikenal sebagai wali yang sangat dermawan. Seluruh hartanya ia pergunakan untuk berdakwah,
menyebarkan agama Islam.


#
Melihat salah satu fragmen dari sejarah Wali Songo yang sedikit saya rekonstruksi sendiri tersebut, saya jadi ingat akan filsafat kebajikan yang pernah ibu ajarkan kepadaku. Menurut bunda, nilai kemuliaan seseorang itu bisa dilihat dalam dua hal. Pertama, kemuliaan seseorang karena hartanya. Ia dikatakan mulia, karena orang lain menghormatinya hanya karena faktor harta kekayaannya. Di lingkungan masyarakat, orang kaya biasanya secara otomatis
mendapatkan perlakuan yang berbeda bila dibandingkan dengan orang biasa (miskin). Apalagi bila mereka bersikap dermawan. Walaupun, tidak jarang banyak di antara mereka juga biasanya bersifat sombong dan kikir.

Kedua, kemuliaan seseorang dikarenakan ilmu dan manfaatnya. Ia dikatakan mulia, karena orang lain menghormati kepandaiannya. Dengan pengetahuan luas yang dimiliki, seseorang bisa menjadi orang yang berpengaruh karena ilmunya sangat dibutuhkan bagi masyarakat.

Kata bunda, "Nak, idealnya keduanya bisa berjalan seimbang. Kamu harus bisa mengamalkan ilmumu, dan beramal, serta berbuat baik dengan harta yang kamu miliki untuk kepentingan masyarakat banyak. Karena kemuliaan harta dan pandai saja tanpa beramal, sesungguhnya kuranglah sempurna," menutup kata bijak bunda malam itu.
Wallaahu'alam bi ash showab.




*kudedikasikan tulisan ini untuk bundaku tersayang, yang banyak mengajariku
akan filsafat kebajikan.


Malam kelima Ramadhan 1424 H-30/10/03, 23:23
© Gus John.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home