Tuesday, November 07, 2006

#064: Kesetiaan


Tak kutemukan kata 'setia' ataupun 'kesetiaan' dalam indeks Kamus IlmiahPopuler yang kubeli di Toko Buku Sarinah, Thamrin kemarin itu. Yang ada dalam buku kecil yang berwarna kuning itu, hanyalah kata yang hampir memiliki makna yang dekat dengan makna setia, yakni 'konsisten' dan 'komitmen'. Konsisten berarti: tetap (pada), konsekwen, selaras, sesuai. Sedangkan komitmen mengandung makna: kesatuan janji, kesepakatan (bersama). Mungkin, bila dicari di Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan JS. Badudu, kata itu ada.

#
Dalam penjelajahan filosofis pemahamanku atas epos Mahabharata, kesetiaan adalah ketika rasa nurani keluar dari diri. Kesetiaan adalah ketika kita konsisten memegang janji, mengingat janji yang terucapkan itu bukan untuk diingkari, tapi bersifat mengikat jiwa.

Kesetiaan adalah ketika kita menikah dan konsisten dengan orang yang kita cintai. Mengingat, menikah dengan orang yang dicintai adalah sebuah kebahagiaan. Seorang pria dan wanita yang setia, keduanya adalah satria utama. Kedudukan mereka sangatlah mulia dan tinggi di muka bumi, karena mereka didukung oleh kekuatan cinta. Wanita utama adalah wanita yang tetap menjaga akan cinta sejatinya, seperti halnya yang dilakukan oleh Ratu Drupadi yang dengan setia selalu menemani suaminya (Pandawa) dalam pengasingan selama 13 tahun di tengah hutan.

Kesetiaan bisa diwujudkan dengan berbagai cara. Kasih-sayang, cinta, kepatuhan, setia kawan, ikut merasa memiliki organisasi alumni, dan sebagainya. Kasih sayang adalah pengharapan untuk bisa memiliki orang (sesuatu yang) lain.

Kesetiaan bisa kita persembahkan ke siapa saja. Konsekuen dengan pasangan (pacar, istri), patuh pada orang tua, peduli pada sesama, ikut aktif secara konsisten (kontinyu) membesarkan alumni, dan lain-lain, yang kesemuanya itu terbingkai dalam satu term besar; kesetiaan akan kebenaran.

Kesetiaan adalah salah satu rel kebenaran. Kesetiaan hanya dapat diukur oleh perjalanan waktu. Waktu akan berpihak pada kesalahan, bila kebenaran itu tak ditakdirkan. Waktu tak bisa menutup mata atas peristiwa yang terjadi, karena ia hanya menjadi saksi. Waktu tak dapat berbicara, ia hanya mampu bercerita. Sang waktu pun tak mampu mencegah akan goresan takdir. Sehitam ataupun putih takdir itu. Karenanya, kesetiaan harus ditegakkan. Kebenaran tetaplah kebenaran, betapapun pahitnya. Ketertutupan atas kebenaran yang dilakukan adalah sebuah kesalahan besar. Ciptakanlah kebenaran, niscaya kita juga berada dalam kesetiaan.

Jika engkau seorang lelaki sejati, jadilah seorang satria utama yang memegang janji-setia yang pernah kau ucapkan, layaknya Pendeta Bisma yang mau mengalah (baca: berkorban) demi kepentingan ayahnya (Raja Sentanu, Raja Hastinapura). Jika engkau seorang wanita, jadilah seperti Dewi Madrim (ibu Nakula dan Sadewa) yang ikut mati bersama Prabu Pandu Dewanata, sebagai wujud kesetiaan seorang istri, yang merasa bersalah karena menyebabkan kematian suaminya.

Janganlah sampai kita terjebak pada pengkhianatan atas kesetiaan. Menghindari diri dari persoalan bukanlah cita-cita. Cita-cita adalah mampu mengendalikan diri dalam rel kesetiaan dan kebenaran. Percayalah, sang waktu tidak akan kehilangan jalannya. Karenanya, manusia harus bersatu dengan kesetiaan. Kembali kepada kebenaran (termasuk kesetiaan yang berada di dalamnya) adalah pilihan hidup yang mulia.
Maka, setialah....


Padepokan Tebet, 12-Des-'03
(c) GJ.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home