Tuesday, November 07, 2006

#065: Kedunguanku


Kata banyak orang di kampung, aku ini pintar karena bisa bersekolah di tempat yang elite di Malang (waktu itu). Kata tetanggaku, aku ini anak yang beruntung karena sehabis sekolah langsung kerja di Jakarta. Kata orang tua, aku memang cerdas, karena berhasil menyabet segala macam penghargaan ketika dulu masih berusia kurcaci. Tapi catat, aku ini sebenarnya orang dungu!

Bagaimana tidak dungu? Ketika aku lebih cinta akan ikatan primordial, ikatan emosional semata daripada sebuah fakta sejarah yang sebenarnya. Bagaimana tidak dungu, karena aku lebih fanatik terkungkung dalam ikatan ideologi, daripada 'melek' terhadap fakta sejarah yang terjadi.
Aku marah ketika orang lain membeberkan kebobrokan tentara, karena bapakku tentara. Karena saudaraku tentara. Karena ayah mertua kakakku seorang pensiunan provost militer (PM). Aku gusar ketika ideologiku dikritik orang, karena aku pembela mati-matian ideologi itu. Hidup-mati ingin bersama ideologiku. Aku ketar-ketir ketika tokoh idolaku dihujat, karena aku menghormatinya. Aku mengaguminya. Aku terpesona oleh intelektualitas dan ketokohannya yang luar biasa.

Padahal, tak ada sesuatu yang sempurna. Bahwa salah, khilaf dan alpha, kerap membaluti, menyertai dan melintasi dalam sejarah manusia. Mereka itu adalah sebuah keniscayaan, seperti halnya siang dan malam yang selalu mengiringi revolusi bumi terhadap matahari.
Sesungguhnya, orang pintar adalah orang yang mau memahami sejarah apa adanya, walaupun itu terasa pahit. Bukan malah menutupinya. Menutupi fakta sejarah, sama halnya kita tidak mau belajar dari pengalaman sejarah (yang salah). Yang itu kemudian bisa mengakibatkan kesalahan sejarah akan kembali terulang.

Jadi, aku ini sesungguhnya bukan orang pintar, tapi dungu!!! Dungu, karena aku telah mengerdilkan keterbukaan pikiranku, yang itu sebenarnya adalah karunia Tuhan, tapi aku justru membiarkannya terkungkung dalam semangat primordialisme, alam pemikiran yang konservatif. Dungu, karena aku telah menutup mata atas semua fakta yang terjadi. Dungu, karena aku hanya bisa geram, gusar dan marah ketika ada orang mengkritik, menghujat sesuatu yang dekat denganku, tanpa aku mau membaca apa sebenarnya yang terjadi. Dunia ini seperti selebar daun kelor saja. Betapa dungunya diriku.


Pancoran, 18 Des '03
(c) GJ.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home