Tuesday, March 27, 2007

#106: Gus Dur, Sunan Kudus, dan Hasyim Muzadi

Saya salah persepsi, ketika sepintas membaca judul tulisan dari mas Ulil
Abshar-Abdalla di koran Duta Masyarakat, 12 Mei 2003, yang berjudul:
"Khaled, Gus Dur, dan Sunan Kudus". Pada awalnya, saya mengira, tulisan mas Ulil itu akan membahas soal konflik antara Gus Dur dengan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, yang kembali menghangat akhir-akhir ini. Tidak tahunya, tulisan itu lebih mengupas tentang "Kedudukan Toleransi dalam Islam" yang telah dilakukan oleh Sunan Kudus pada masanya, dan Gus Dur di tahun '80-an, yang mengacu pada buku karangan Dr. Khaled Abou El-Fadl, seorang intelektual
Mesir.

Mas Ulil menganggap, di era '80-an, Gus Dur telah sukses mampu menempatkan Islam sebagai ideologi komplementer terhadap Pancasila. Menurut Gus Dur
--dalam kacamata mas Ulil, Islam merupakan doktrin yang melengkapi sesuatu yang sudah ada dalam masyarakat, sehingga Islam tidak diandaikan sebagai ajaran yang "memusuhi" tradisi setempat, tidak didudukkan sebagai sesuatu yang superior dan mengatasi segala hal praktek-praktek sosial yang sudah berlaku. Hal yang juga telah dilakukan oleh Sunan Kudus di eranya. Sungguh unik, karena menara masjid Kudus yang berada di Kudus, Jawa Tengah, yang
dibuat oleh Sunan Kudus bangunannya meniru bentuk pura, tempat ibadah umat Hindu. Dengan demikian, Islam bisa berkembang dan duduk berdampingan secara damai dengan tradisi masyarakat yang berlaku. Satu bentuk keberhasilan dari kedua tokoh tersebut untuk mendudukkan toleransi dalam Islam, yang itu bukanlah sesuatu yang mudah.


***
Telah menggugah saya, judul tulisan mas Ulil tersebut, dengan melihat konflik yang terjadi di kalangan elite-elite NU belakangan ini. Karenanya, lahirlah judul saya seperti di atas. Adalah sangat menarik, bila kita melihat konflik Gus Dur-Hasyim Muzadi itu, dikaitkan dengan komitmen kita bersama terhadap proses pembelajaran politik, khususnya bagi warga NU ke
depan.

Seperti yang telah diberitakan oleh media massa beberapa waktu lalu. Gus Dur meminta agar Hasyim Muzadi mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU, bila Hasyim ingin maju dalam pencalonan sebagai presiden tahun 2004 (April 2003). Menurut Gus Dur, tidak diperbolehkan seseorang yang ingin maju sebagai capres, sementara jabatan di NU belum dilepaskan. Padahal, Gus Dur sendiri pada tahun 1999, ketika maju sebagai capres, posisinya juga masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Tentu masih segar dalam ingatan publik,
bagaimana seorang KH Abdurrahman Wahid selaku presiden, menghadiri dan membuka Muktamar NU ke-30 di Lirboyo-Kediri (Nopember 1999), yang Ketua PBNU-nya waktu itu adalah Gus Dur.

Karenanya, tentu saja, permintaan Gus Dur atas pengunduran diri Hasyim itu pun bak gayung bersambut. Asnawi Latif, mantan sahabat dekat Gus Dur dengan tegas mengatakan: Logikanya, jika Hasyim harus mundur, maka Gus Dur pun harus mundur, mengingat Gus Dur juga menginginkan tetap maju dalam pencalonan presiden melalui PKB, sementara ia sendiri juga berada dalam struktur NU sebagai Mustasyar (Suara Pembaruan, 24/4/'03).

Polemik terus berlanjut. Konflik pun semakin terbuka, ketika Hasyim dengan beraninya mengkritik bagaimana tidak idealnya PKB, di depan forum PPP yang dihadiri kandidat presiden lainnya, Nurcholish Madjid (II/5/'03). Padahal, setahun yang lalu di depan 675 pengurus MWC NU se-Jawa Timur yang baru dilantik (28/4/'02), Gus Dur sendiri yang meminta agar warga nahdliyin tidak resah dengan tuntutan akan adanya Muktamar Luar Biasa (MLB) untuk
"mengadili" Hasyim. Publik pun waktu itu menganggap, konflik Gus Dur-Hasyim sudah selesai. Ternyata tidak!


***
Kalau mas Ulil, mengaitkan peran Sunan Kudus dengan Gus Dur, dari sisi keberhasilan mereka berdua untuk mendudukkan posisi toleransi dalam Islam, maka dalam tulisan ini, menjadi menarik bagi saya bila dikaitkan pula antara posisi Sunan Kudus dan Gus Dur dari sisi peran keduanya yang terlihat sangat dominan --kalau tidak boleh dikatakan terlalu berlebihan-- dalam kancah politik (bagi umat Islam/warga NU).

Pada masanya, di era Demak pasca Sultan Trenggono (hingga awal berdirinya Mataram baru) --seperti yang diceritakan dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: "Babad Demak", "Babad Tanah Djawi", "Serat Kandha", dan "Babad Meinsma", terlihat bagaimana peran politik yang sangat menonjol, dilakukan oleh Sunan Kudus. Ketika itu, sebagai "musuh politik" Sunan Kudus
adalah Sunan Kalijaga. Kedua wali itu saling menebarkan hegemoni di kalangan para santri, sehingga menimbulkan gesekan pengaruh ideologi di kalangan elite, yang kemudian berimbas ke umat.

Berbeda dengan sosok Sunan Kalijaga yang digambarkan sebagai seorang wali yang lemah lembut, maka sosok Sunan Kudus, dalam berbagai versi cerita yang telah difilmkan, cenderung bersifat "antagonis". Sunan Kudus selalu ikut andil dalam setiap suksesi kerajaan yang terjadi pada waktu itu. Dia berada di belakang Arya Penangsang (Jipang) ketika menyingkirkan Sunan Prawoto (putra Sultan Trenggono), dan kemudian berseteru dengan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Ia juga berada di belakang Aria Pangiri (putra Sunan Prawoto) ketika mengusir Pangeran Benowo (putra Hadiwijoyo) untuk kemudian menduduki Pajang, dsb.

Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dalam bukunya yang berjudul "Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati" (2001), dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar "Sultan" bila telah
mendapatkan "restu" dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri (NU-ku edisi ke-263/Des '02).

Terlalu "banyak ikut campur tangan" menurut De Graaf tersebut, yang harus kita renungi bersama dalam melihat konflik elite yang terjadi di NU saat ini. Hal itu bisa dipahami, karena selama ini, konflik elite NU --yang sebenarnya lebih bersifat pribadi- selalu melibatkan organisasi, dimana NU dijadikan sebagai ajang konflik. Suatu fakta yang menunjukkan betapa tidak dewasanya para elite NU bila berkonflik. Baik Gus Dur ataupun Hasyim, keduanya sama-sama ingin maju sebagai capres dengan menggunakan "kendaraan" NU; hal yang tidak pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, baik Amien Rais ataupun Syafi'i Ma'arif.

Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra, yang keduanya merupakan kader terbaik Muhammadiyah saat ini, pernah konflik dan saling mengejek dalam debat capres tahun 1999. Tapi keduanya tidak sedikitpun mengikutsertakan Muhammadiyah --sebagai sebuah institusi- untuk dilibatkan dalam konflik mereka. Begitupun antara Yusril dengan Hartono Mardjono, dsb. Terlihat, elite Muhammadiyah sangat dewasa bila mereka konflik, tanpa melibatkan organisasi sebagai taruhan. Di NU, proses pemilihan gubernur saja harus melibatkan kiai-kiai untuk berkonflik ria. Apalagi pemanfaatan (baca: eksploitasi) terhadap umatnya. Kalau tidak isthigotsah, ya tawuran karena imbas politik. Lalu kapan saatnya rakyat (baca: warga nahdliyin) di-"cerah"-kan dan diberdayakan?

Perlu pula dilihat kritik Gus Mus terhadap Gus Dur, dalam tulisan yang berjudul "Gus Dur dan Perdamaian Dunia" (Duta Masyarakat, 1/4/2003). Walaupun tulisan Gus Mus itu terkesan tidak nyambung antara judul dan isi (menurut saya), tapi dalam tulisan itu, paling tidak bisa terlihat dengan jelas, bagaimana "gemas"-nya Gus Mus terhadap peran-peran yang selama ini
dilakukan Gus Dur --seperti pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah (pilkada), ngurusi bupati dsb, yang itu dianggap oleh Gus Mus tidak sesuai dengan kapasitas dari seorang Gus Dur. Dalam istilah Gus Mus, Gus Dur terlalu mengurusi hal yang remeh-temeh. Padahal, Gus Dur maqamnya tidak seperti itu. Kalau kita mengaku mencintai Gus Dur, tulisan "gemas" (kritik)
Gus Mus tersebut seharusnya dipahami sebagai suatu bentuk "rasa sayang" Gus Mus terhadap Gus Dur. Bukan sebaliknya.


***
Tanpa pula bermaksud mengenyampingkan ketokohan dari sosok Sunan Kudus, Gus Dur, ataupun Hasyim Muzadi. Tapi alangkah baiknya, saat ini, bila para elite NU itu konflik, tidak perlulah sampai mengorbankan organisiasi (NU), melibatkan para kiai, "ngompori" umat, hanya untuk dijadikan sebagai tumbal konflik pribadi. Karena, bila dendam permusuhan telah ditanamkan, bukanlah suatu hal yang mudah untuk mendamaikan.
Wallaahu'alam bi ash showab.




*penulis adalah mantan Redaktur Buletin Esia (Synergi). Kini, Direktur Publikasi Lembaga Pendidikan Pesantren
Pancoran, 21 Mei 2003
(c) Gus John

0 Comments:

Post a Comment

<< Home