Tuesday, December 19, 2006

#098: Pecel Lele dan Profesi (sebagai) Petani

Selama dalam perjalanan di ibukota -bukan lewat jalan tol tentunya, pernahkah Anda menghitung, berapa jumlah warung pecel lele di sepanjang jalan yang Anda lalui itu?
Coba diamati juga, berapa warung pecel lele yang ada di deretan warung di sekitar kantor Anda.
Pertanyaan ini sederhana, tapi implikasinya luar biasa buat masa depan bangsa.

*
Seminggu yang lalu seorang teman memberi saya sebuah undangan; acara halal-bi halal warga asli Lamongan di Taman Mini Indonesia Indah. Sebagai penyelenggaranya adalah Paguyuban "PUALAM" (Putra Asli Lamongan). Bupati dan pejabat Pemda Lamongan direncanakan akan hadir dalam acara itu. Sebagai penutup acara, sang Bupati akan mengunjungi wilayah Kebayoran Lama yang disebut-sebut sebagai "Kampung Lamongan" di ibukota; karena -disebutkan dalam undangan itu- hampir 90% masyarakat di sana berasal dari Lamongan yang berprofesi sebagai pedagang ikan di pasar.

Semula saya tercengang; apa benar 90% warga Kebayoran Lama itu orang Lamongan?
Jika iya, lalu bagaimana dengan penjual pecel lele yang begitu banyak kita jumpai di sepanjang jalanan ibukota?

Bila sore menjelang misalnya, di sepanjang jalan Mampang Prapatan hingga Warung Jati Barat, Jakarta Selatan. Mulai dari Hero Mampang hingga Kantor Telkom Ragunan, berderet puluhan tenda warung pecel lele yang siap didirikan. Selain untuk konsumsi lingkungan kantor, mereka biasanya hanya buka di malam hari.

Begitu juga dari Jalan Saharjo (Pasaraya Manggarai) hingga Pasar Minggu. Jalan Hankam Raya; dari Plaza Pondok Gede hingga Jalan Alternatif Cibubur. Belum yang di bilangan Kalibata, Pancoran, Tebet, Kemang, Bangka, Ciputat, Pamulang, Blok M, dan di jalan-jalan kecil, lingkungan komplek lainnya. Belum juga daerah-daerah di Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor. Bisa dibayangkan, di luar Kebayoran Lama saja seperti tak terhitung jumlahnya. Plus, 90% di Kebayoran Lama, berarti betapa banyaknya warga Lamongan di ibukota.

**
Warung pecel lele memang identik dengan orang Lamongan. Tidak hanya di Jakarta. Di Bandung, Bali, Kutai Kertanegara, Balikpapan, Samarinda atau kota-kota yang lain, pecel lele adalah "trade-mark" (baca: masakan asli) Lamongan -selain soto ayam, wingko babat, nasi boranan, tahu tek, tahu campur dan sebagainya.

Mereka, para penjual pecel lele itu pada mulanya terkonsentrasi berasal dari Kecamatan Sekaran --sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian utara yang berbatasan langsung dengan Sungai Bengawan Solo. Tapi pada perkembangan berikutnya, daerah-daerah lain di Lamongan mengikuti "trend" tersebut; berprofesi sebagai penjual pecel lele. Wilayah Pucuk, Sukodadi, Laren, Kembangbahu, Sugio, Kedungpring dan Kota Lamongan sendiri pun ada.

Mereka, yang rata-rata masih muda itu melakukan eksodus besar-besaran dari kampung menuju kota-kota besar dengan berprofesi sebagai pedagang. Jual pecel lele, atau menjadi pedagang kelontong (beras, sayur-mayur) di Kalimantan dan pulau lain. Atau, ada juga yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia.

Tak heran, bila kampung menjadi kosong-melompong, hanya tinggal orang tua (baca: lansia) saja. Hampir semua anak mudanya bekerja di luar kota; merantau. Jika lebaran tiba, mereka baru pulang menjenguk orangtua. Pada saat seperti itu, kereta ekonomi Kertajaya dari Jakarta menuju Surabaya penuh-berjubel dengan penumpang dan barang. Tidak ada celah (space) kosong. Banyak orang bergelayutan di lokomotif, apalagi di gerbong. Jangankan selonjorkan badan, miring saja susah!

***
Anak muda merantau, warung pecel lele tumbuh subur di mana-mana. Sawah-ladang di desa menjadi terbengkalai. Hanya golongan tua saja yang tersisa, mau bertani. Profesi petani sudah tidak menarik lagi bagi mereka. Itu dikarenakan pemerintah tidak memiliki kebijakan yang berpihak pada petani. Dalam catatan saya sebelumnya; harga pupuk lebih mahal dari harga jual gabah. Sawah kering-retak seperti terkena gempa tsunami. Air susah. Pengairan tidak optimal. Petani jadi bangkrut. Bercocok-tanam hanya untuk menyambung hidup, tidak bisa lagi diharapkan untuk menambah kekayaan (saving, menabung). Bukan untung, petani malah buntung! Sudah begitu, pemerintah malah impor beras. Beras impor lebih murah dari beras lokal. Lengkap sudah penderitaan petani. Di Amerika, pemerintah memprotek nasib petani dengan aturan dan kebijakan yang menguntungkan mereka. Tapi di sini, pemerintah "mengabaikan nyawa" rakyatnya itu sudah lumrah.

Dalam posisi seperti itu tidak heran bila anak muda Lamongan memiliki budaya merantau yang kuat. Di saat profesi sebagai petani yang sudah tidak menarik lagi, mereka mencoba mengadu nasib ke kota-kota besar. Dari asumsi ini pula kasus Amrozi sang teroris Bom Bali I itu bisa dipahami.

Daerah Amrozi yang kering-minus (Kecamatan Solokuro), menyebabkan warga di sana eksodus ke Malaysia jadi TKI. Dari sanalah awal radikalisme agama yang dilakukan Amrozi cs, termasuk Dr. Azahari dkk bermula. Terbukti kemudian banyak di antara mereka itu menjadi TKI secara ilegal. Begitu dipulangkan dan tidak lagi punya pekerjaan di kampung, maka angka kriminalitas di Lamongan bagian utara itu pun ikut meningkat.

****
Kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada nasib petani menyebabkan sawah menjadi terbengkalai. Tak ada lagi regenerasi petani, lalu muncullah pecel lele di ibukota dan kota-kota besar lainnya. Sisanya, jadi TKI. Jika salah jalan, bisa seperti Amrozi. Inilah siklus hidup, yang kadang pemerintah sendiri sangat sulit untuk bisa dan mau memahami.
Wallaahu'alam bi ash showab.




Landmark-Jakarta, 07 Des 2005 (c) Gus John

0 Comments:

Post a Comment

<< Home