Monday, December 18, 2006

#097: Orang Kota, Orang Kampung, dan "Kampungan": "Norax Culture" [1]

Rombongan bus yang mengangkut Aremania tertahan lama di Senayan, Sabtu malam, 19 Nopember 2005. Bahkan, beberapa bus pendukung tim Arema itu sempat dilempari oleh Jakmania -suporter Persija, yang kecewa karena timnya kalah 3-4 dalam partai Final Copa Djie Sam Soe 2005 sore itu. Padahal, hubungan kedua suporter selama ini berjalan cukup baik. Di babak penyisihan, kedua suporter saling menerima dan menyambut hangat bila tim mereka bertandang ke kandang lawan. Jika main di Lebak Bulus-Jakarta Selatan, Jakmania menyambut mesra Aremania. Begitu sebaliknya, bila bertanding di stadion Kanjuruhan-Malang, ganti Aremania yang menyambut hangat Jakmania. Tak ada bentrokan. Kedua suporter dikenal sangat akur. Damai!

Tapi tidak dengan Sabtu kemarin. Pendukung Persija mengamuk pasca Persija kalah melawan Arema. Luapan emosi mereka dilampiaskan dengan merusak fasilitas umum di sekitar Senayan. Termasuk lampu-lampu di kawasan komplek olahraga itu. Aksi brutal mereka juga dilakukan dengan melempari polisi dengan batu.

Aksi beringas Jakmania kemarin bukanlah untuk yang pertama kali. Pasca final Liga Djarum 2005 tempo hari, mereka juga melakukan anarkisme yang sama. Setelah Persija ditekuk Persipura 2-3 dalam laga final kala itu, para suporter beringas itu telah menghancurkan benda-benda di sekitar stadion, diantaranya 18 kendaraan roda empat yang hancur. Plus, tawuran dengan aparat kepolisian dan mengintimidasi suporter Persipura. Sampai Bang Yos, selaku Pembina Persija malu dan sempat mengancam akan membubarkan Jakmania bila kelakuannya tetap anarkis.

Bang Yos memang pantas marah, tim bertabur bintang dengan gaji paling mahal, plus dengan biaya anggaran yang "unlimitted" toh tidak mampu memenangi pertandingan. Dus, suporter beringas yang tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang. Entah, dengan melihat brutalnya kembali Jakmania Sabtu sore kemarin, apa yang ada dalam benak Bang Yos?!


*
Selama ini, suporter yang diidentikkan dengan kerusuhan adalah 'Bonek', suporter fanatik Persebaya Surabaya. Setiap Persebaya tanding ke Jakarta, media massa selalu meliput besar-besaran keberangkatan dan kedatangan mereka di Jakarta, layaknya liputan lebaran.

Dari pengalaman selama bergabung dengan Bonek di Senayan, mereka memang terkadang keterlaluan. Merampas makanan, minuman dan rokok milik PKL (pedagang kaki lima), menggoda perempuan yang melintas, minta duit orang-orang yang lewat, dll. Di Stasiun Senin, beberapa tahun yang lalu mereka juga pernah bikin rusuh. Begitupun kejadian-kejadian di daerah bila terjadi pertandingan derby sesama tim Jawa Timur.

Tapi, rusuh bukan hanya 'trade mark' Bonekmania. Aremania pun sama anarkisnya! Mereka hanya menjadi "suporter manis" tatkala tandang ke Jakarta saja. Tapi bila bertemu sesama suporter Jawa Timur, beringasnya mereka minta ampun. Lihat saja kasus hancurnya Stadion Wilis di Madiun, ketika Arema melawan Persikabpas Pasuruan dalam partai penyisihan lalu. Melawan Persik Kediri pun berpotensi rusuh. Apalagi bila mereka ketemu "musuh abadi", Bonekmania.

Maknanya, rusuh bukan hanya "monopoli" Bonekmania. Tapi kini juga sudah dilakukan oleh Jakmania, Aremania, Macz Man -suporter PSM Makassar, dan suporter lainnya, terutama suporter tim di Divisi I. Yang terakhir ini (Macz Man), ketika partai final wilayah barat di Senayan lalu, pada saat ribut dengan Bonek dan SNEX -suporter PSIS Semarang, mereka sudah membawa panah, pedang, parang, dan senjata tajam lainnya. Itu membuktikan kalau memang mereka datang ke Jakarta sudah berniat ingin tawuran!


**
Bila Persija ketemu Persebaya di Lebak Bulus atau Stadion "Gelora Bung Karno" Senayan, Jakmania sering mengejek Bonek dengan kata, "kampungan" bila Bonek membakar bangku duduk di dalam stadion, atau melakukan tindakan anarkis yang lain.

Dalam persepsi saya, kata "kampungan" itu menyatakan sebuah tindakan atau budaya yang dibawa oleh orang kampung yang dianggap 'norak', aneh, dan cenderung menyalahi etika-norma yang berlaku.

Dalam dunia sosial, dikenal "orang kota" dan "orang kampung". Orang kota dikenal maju, berpendidikan tinggi, cepat mendapatkan informasi, dan sebagainya. Pokoknya, peradaban mereka dianggap sudah maju. Sementara, "orang kampung" dianggap sebaliknya. Mereka dianggap norak, ndesit, konservatif, tidak bisa tertib, dan hal-hal lain yang cenderung negatif lainnya.

Sekarang, coba kita melihat kembali kasus anarkisme yang dilakukan oleh Jakmania pasca final Liga Djarum dan final Copa Djie Sam Soe di Stadion Senayan kemarin. Dengan menghancurkan aset-aset negara (seperti lampu-lampu dan taman di sekitar stadion), merusak 18 kendaraan bermotor, dan menciptakan permusuhan baru dengan suporter lain yang sebelumnya bersahabat baik, maka sesungguhnya mereka adalah orang kota yang kampungan.

Ini sekaligus mematahkan definisi dari dua topologi sosial di atas, bahwa "kampungan" dan budaya norak (norax culture) bukan hanya monopoli orang kampung semata, tapi orang kota pun bisa melakukannya. Selama pelanggaran terhadap etika-norma yang berlaku di masyarakat (prilaku destruktif) kerap terjadi, maka tidak peduli seseorang itu bertempat tinggal di kota ataupun di desa, mereka itu sesungguhnya telah norak dan kampungan!


***
"Kampungan", tidak melihat lokasi hunian; apakah seseorang atau masyarakat itu tinggal di kota ataukah di desa (kampung), tapi lebih mengarah kepada perilaku sosial yang mereka lakukan.
Wallahu'alam bi ash showab.





Jombang, 12 Nopember 2005 Jakarta, 22 Nopember 2005 (c) Gus John

0 Comments:

Post a Comment

<< Home