Wednesday, March 28, 2007

#107: Gus Dur: sebuah Potret Gandhi Modern

"Ratusan orang seperti saya boleh enyah, tetapi biarlah Kebenaran bertahta."
--Mahatma Gandhi.


Potret Singkat Gandhi. Mahatma Gandhi merupakan "Bapak sekaligus Guru Bangsa" bagi India. Tokoh besar yang lahir di Gujarat, 2 Oktober 1869 ini, pada awalnya sangat berniat untuk bisa mempersatukan Hindu-Islam dalam format satu negara; India, setelah sebelumnya berhasil membebaskannya dari penjajahan Inggris. Sayang, harapannya itu kandas. Sang "Jiwa Agung"
(Mahatma) itu meninggal sebelum harapannya terwujud.

Meskipun demikian, Gandhi, dengan niat yang kuat dan ketulusannya, telah menjadi suri tauladan keberanian dan integritas untuk rakyat India dalam perjuangan politik mereka melalui jalan non-kekerasan. Lebih dari setengah abad setelah kematiannya, Gandhi masih menjadi inspirasi bagi jutaan orang di seluruh dunia (Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan Hidupnya dan Ajarannya, Murai Kencana:2001).

Gandhi memang seorang tokoh besar. Jalan yang ditempuh Gandhi lahir dari semangat kesadarannya yang luas tentang berbagai penderitaan sebagai sarana mencapai kebenaran Ilahi. Suatu "isme" yang kemudian dikenal sebagai ajaran Gandhi; "satyagraha" (kekuatan kebenaran), "ahimsa" (anti kekerasan) dan "passion" (menderita karena luka).

Usahanya untuk mengakhiri diskriminasi di Afrika Selatan (1893), kepemimpinannya dalam revolusi rakyat (sejak 1914) hingga berakhirnya dominasi Inggris di India (Agustus 1947), Gandhi muncul sebagai manusia dengan konflik batin sekaligus memiliki kejeniusan politik dan kekuatan yang dahsyat untuk melakukan perubahan. Sejak berusia 24 tahun, Gandhi adalah
simbol pejuang civil-society - sebelum isu ini menjadi mainstream gerakan yang digeluti anak muda NU saat ini, yang sangat perhatian dengan hak-hak sipil warga negara dan pelindung bagi kaum minoritas.

Berkat integritas dan pembelaannya terhadap rakyat yang sangat besar itulah, menyebabkan masyarakat merasa ikut memiliki Gandhi. Rakyat India seolah-olah tak peduli walaupun tokoh pujaannya itu telah tiada. "Mahatma Gandhi amar rahe!" Mahatma Gandhi tak pernah mati, begitulah anggapan yang ada di benak mereka; sebuah wujud kecintaan yang luar biasa.


"Ahli Waris" Gandhi. Sebagai seorang tokoh besar, pengaruh Gandhi ada di mana-mana. Ajarannya disebarluaskan oleh para pengikut setia dan murid-muridnya. Di samping memiliki murid-murid yang di kemudian hari menjadi pemimpin dan tokoh masyarakat, baik di India ataupun Pakistan --seperti: Jawaharlal Nehru (PM pertama India), Sardar Patel (wakil Nehru),
Zakir Hussain (orang muslim pertama yang menjadi PM India, 25 tahun pasca Nehru), Birlah, Manu, Mahadev Desai, Pyrelal Nayar, Sushila Nayar, Vinoba Bhave, Madame Vijaya Lakshmi (pengikut setia Gandhi), Ali Jinnah (Pemimpin Besar Pakistan), Liaquat Ali Khan (PM pertama Pakistan) dll-, Gandhi juga mempunyai "ahli waris" di belahan dunia lainnya.

Banyak tokoh dunia yang dengan terus-terang mengaku telah berkiblat atau sekedar mengagumi perjuangan politik yang pernah dilakukan Gandhi. Marthin Luther King Jr, seorang tokoh kulit hitam pejuang anti diskriminasi dari Amerika Serikat, merupakan salah satunya. Dr. King, dalam buku "King: a Biography 2nd", karya David Levering (1978), dengan jujur menyebutkan bahwa Gandhi adalah inspirator bagi dirinya untuk mencari format gerakan perjuangan yang ideal, yang sedang ia lakukan.

Selain Dr. King, tokoh-tokoh dunia yang mengaku sebagai murid, ahli waris Gandhi adalah: WEB Du Bois, Rosa Parks, Cesar Chavez, Albert Einstein (Amerika), Nelson Mandela, Desmond Tutu (Afrika Selatan), U Thant (mantan Ketua PBB dari Burma), Kenneth Kaunda (presiden pertama Zambia), Dalai Lama (Tibet), Lech Walesa (Polandia), Aung San Suu Kyi (Birma), Benigno Aquino (Philipina) dan tokoh dunia lainnya (Stanley W:2001, hal 413). Termasuk layak didalamnya, menurut saya adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur-Gandhi Lebih Jauh. Sebelum menjabat sebagai presiden, Gus Dur pernah diminta untuk meresmikan sebuah ormas yang bernama GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi), yang lebih banyak beranggotakan warga keturunan Tionghoa. Di depan pengurus GANDI ketika mereka bertamu ke Ciganjur, Gus Dur mengakui bahwa dirinya banyak belajar dari Gandhi. Terutama perjuangan dalam melawan ketidakadilan dari rezim Soeharto di masa Orde Baru, dengan melalui jalan tanpa kekerasan. "Andaikan kelak saya meninggal, satu hal yang saya inginkan, di atas pusara saya nanti terdapat tulisan 'pejuang humanisme'," ujar Gus Dur. Suatu cita-cita luhur yang digali dari ide-ide besar Gandhi.

Ada beberapa catatan untuk membuktikan sejauhmana Gus Dur "dekat" dengan nilai, sejarah dan moral perjuangan yang telah dilakukan Gandhi, yang saya definisikan dalam dua faktor; perbedaan dan persamaan di antara keduanya. Pertama, Gandhi adalah "Guru Bangsa" -disamping sebagai Bapak Bangsa-- bagi orang India, bahkan juga mungkin bagi dunia --seperti yang saya ulas di atas. Sementara Gus Dur, dia belum sempat disebut sebagai "Guru Bangsa" dikarenakan lebih tertarik menjatuhkan pilihannya sebagai presiden RI. Gelar "Guru Bangsa" sebenarnya bisa dipastikan akan disandang Gus Dur, seandainya saja Gus Dur bisa "duduk dengan manis" di Ciganjur, dan menjadi "wasit", rujukan bagi setiap orang dari setiap persoalan yang dihadapi bangsa ini. Peran dan posisi sentral Gus Dur setelah jatuhnya Soeharto (1998) bisa dijadikan sebagai bukti. Tidak hanya kawan politik, lawan pun datang mengunjunginya. Ciganjur menjadi pusat pergulatan politik nasional waktu itu. Baik politisi, duta besar negara asing, tokoh-tokoh agama, pengusaha, wartawan, mahasiswa dan sebagainya datang ke Ciganjur, yang kemudian melahirkan sebuah karya sejarah; "Deklarasi Ciganjur".

Sayang, gelar "Guru Bangsa" itu kini sayup-sayup lenyap, seiring dengan dijatuhkannya Gus Dur dari kursi kekuasaan yang dipilihnya, melalui suatu proses konspirasi politik yang memalukan (Juli 2001). Padahal, posisi sebagai orang yang menjadi tokoh sentral nasional, sebenarnya pernah dilakukan oleh kakeknya, Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy'ari di era pergolakan kemerdekaan Indonesia. Hampir semua tokoh pejuang, elite politik dan ulama besar jaman itu memiliki hubungan dekat dengan Kiai Hasyim, seperti: Panglima Besar Jenderal Sudirman, Bung Tomo dan para ulama lainnya. Bedanya, Kiai Hasyim tidak mau terlibat terlalu jauh dengan kekuasaan dan jabatan seperti Gus Dur.

Perbedaan kedua, keinginan Gandhi untuk duduk di kursi pimpinan kekuasaan di pemerintahan India tidak kesampaian, karena Nehru dan Patel yang didukung oleh kolonial Inggris, tidak memberikan kesempatan itu padanya. Sebaliknya, Gus Dur berhasil dipilih sebagai presiden RI ke-5 (Agustus 1999-Juli 2001), walaupun hasil perolehan partainya (PKB) dalam Pemilu 1999 bukanlah mayoritas (hanya 13%).

Adapun persamaan keduanya; pertama, baik Gandhi ataupun Gus Dur memiliki intergritas, komitmen yang tinggi terhadap persoalan kebangsaan. Gandhi bisa dekat dengan siapa saja, baik ke Nehru dan Patel (India) ataupun dengan Ali Jinnah (Pakistan), dua kubu yang bertikai. Gandhi bisa memposisikan dirinya sebagai penengah konflik sesuai dengan gelarnya sebagai "Guru Bangsa" karena menginginkan tidak terjadi perpecahan di India. Begitupun dengan Gus Dur. Di saat reformasi bergulir, dia tetap menjaga hubungan baik dengan Soeharto, Habibie dan mantan elite politik Orde Baru lainnya. Pada kesempatan yang lain, Gus Dur juga tetap merangkul kelompok Ciganjur. Dan, orang bisa memaklumi itu sebagai sebuah kewajaran. Kenapa? "Karena orang mengerti komitmen dia," ujar Sarwono Kusumaatmaja, mantan
Menteri Eksplorasi Kelautan di era Gus Dur (Fahrudin Salim dkk (ed), Berguru kepada Bapak Bangsa, GP Ansor, 1999, hal.78).

Kedua, baik Gandhi ataupun Gus Dur adalah pejuang demokrasi, hak-hak sipil warga negara (HAM), pelindung dan pengayom kaum minoritas. Terbunuhnya Gandhi oleh Nathuram Godse, seorang pengikut agama Hindu-radikal (30 Januari 1948) adalah berlatar belakang dari kecurigaan dan kebenciannya karena Gandhi dianggap lebih memperhatikan kaum muslim daripada umatnya sendiri (Hindu). Gandhi bahkan dituduh telah menjadi "Nabi"-nya orang Islam. Hal yang sama dialami Gus Dur. Oleh kelompok Islam fundamentalis --yang banyak tergabung dalam partai-partai yang ada di Poros Tengah, ia dituduh lebih dekat dengan kaum non-muslim bila dibandingkan dengan kaum muslim sendiri. Gus Dur pernah dituduh sebagai antek-zionis Israel, anti Islam, kiai beraliran komunis dsb. Suatu resiko bagi seorang pelindung kaum minoritas dan pejuang demokrasi.

Ketiga, baik Gandhi ataupun Gus Dur, pernah mengalami kegagalan dari orientasi kekuasaan untuk kepentingan rakyat yang mereka harapkan. Gandhi gagal meraih kekuasaan yang diniatkan untuk menyatukan India dari perpecahan hingga akhir hayatnya. Sementara Gus Dur, gagal mempertahankan rezim yang telah diraihnya, secara tidak efektif. Nasib politik keduanya berakhir dengan tragis. Gandhi terbunuh, Gus Dur terguling.

Seperti yang saya kutip dari pesan Gandhi di paragraf awal dari tulisan ini, di balik perjalanan politik Gus Dur yang sempat mengalami peristiwa tragis (Juli 2001) itu, suatu saat nanti akan terungkap sisi lain yang penuh dengan kekuatan yang luar biasa, yang akan membantu menjelaskan kegagalannya yang terakhir untuk memenangkan sesuatu yang dengan gigih dan susah payah ia perjuangkan, sebagai sebuah resiko menjadi orang besar; memiliki "keberanian moral" untuk melawan arus, dengan segala resiko dicaci-maki, dihujat, dijatuhkan, bahkan oleh umatnya sendiri.



(a) Mp. Prapatan, 3 Juni 2002
(c) Gus John
mantan Redaktur Buletin Esia (Synergi). Kini, Direktur Publikasi Lembaga Pendidikan Pesantren.

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

baru-baru ini aku tiba-tiba sangat ngefans ama figur mahatma gandhi, dia seorang pejuang yang punya integritas, komitmen yang tangguh untuk kemajuan bangsanya. kesederhanaan dan kesahajaan jiwa yang konsekuen dia pegang dan ajarkan benar-benar adalah modal nyata bagi perjuangannya. mahatma=jiwa agung. gandhi bener-benar seorang mahatma.dan akan menginspirasi banyak orang.termasuk saya.

10:31 PM  
Blogger @GJ said...

Sepakat Pak/Bu/Mbak Eka,

banyak buku tentang Mahatma Gandhi kok. Jadi kita bisa belajar banyak dari figur beliau.
Ada satu buku karya "xxxx Stanley" (??) yg sangat obyektif. PLus-minusnya Gandhi dijabarkan dengan jelas.

12:55 AM  

Post a Comment

<< Home