Wednesday, November 01, 2006

#052: Polemik Diri


Kiai Mujurono menjabat tanganku dengan erat. Kutatap wajah "imut"-nya dengan tajam. Ada rasa yang berkecamuk dalam dadaku malam itu, ketika bertemu dengan dirinya. Terbersit rasa haru, rindu, benci, dan geregetan bila mengingat-ingat ulahnya selama ini.

"Saya kira, sampeyan tidak datang, Gus?" tanyanya penuh selidik di tengah keramaian orang, setelah sebelumnya kuucapkan salam kepadanya.

Malam itu, aku memang terlambat untuk datang ke acara undangan makan malamnya. Karena sebelumnya sempat muncul pergulatan dalam pikiran, apakah aku harus datang ataukah tidak untuk menemui dirinya?

Dengan masih terbengong-bengong kujawab, "Saya............."
Belum usai kujawab, kiai 'nyentrik' itu memberondong lagi dengan pertanyaan, "Sampeyan takut saya minta untuk berceramah?", sambil mesam-mesem ia bermaksud mengajakku bercanda.

Aku hanya senyum, tapi diam. Hanya bisa bicara seperlunya. Tak mampu berbasa-basi sepatah-katapun untuk meladeninya. Mungkin, kejengkelanku pada kiai muda itu sudah memuncak sampai di ubun-ubun, sehingga pada pertemuan malam itu tak sempat lagi kucium tangannya yang halus, seperti yang pernah kulakukan di Hotel Indonesia, beberapa tahun yang lalu. Cium tangan yang menandakan penghormatanku yang teramat dalam pada "ke-diri-an" seseorang, dimana nuraniku sendiri pun tak mampu untuk dibohongi.

Kali ini aku memang kecewa padanya. Kiai Mujurono memang menyebalkan! Bersamanya, kesabaranku serasa dikoyak-koyak. Ia berikan asa, kemudian ia tarik-ulur seperti benang kusut.

Mendampinginya, pergulatan hidup ini memang menggetirkan. Bertahun-tahun kuabaikan keberadaan diriku sendiri karena setia menemaninya. Pertarungan hidup yang melelahkan. Melanglang buana, dan terkadang mengharuskan bersinggungan, baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan para pendekar lokal Nusantara. Terlibat konflik.

Ketika berada pada titik nadir kesadaran, aku merasa seperti berada di dunia yang lain. Mungkin, karena hal-hal seperti itu, dikarenakan ilmuku yang belum cukup mumpuni, kemudian terkadang membuatku mudah 'mutung' (putus asa) di tengah jalan. Lalu aku marah-marah kepadanya. Marah, tak lama kemudian reda. Marah lagi, reda lagi. Dan begitu seterusnya. Begitulah sikapku pada Kiai Mujurono.

Namun demikian, aku masih sangat menghormati sosok kiai muda yang berusia setengah abad itu. Karena kutahu, di tangan kanannya ia genggam secuil "jalan Tuhan", sementara tangan kirinya menyimpan rapat "sabdaning pandhito ratu" (perkataan-perkataan penguasa). Adanya perpaduan antara dua kekuatan (Ilahiyah dan duniawiyah) itulah yang membuatku selama ini sangat menghormati dirinya.

Dalam benakku, Kiai Mujurono bukanlah sembarang orang. Sedikit-banyak, dia telah ikut merubah tatanan peradaban yang menyangkut nasib-hidup orang banyak. Ia memang tak sering nampak di permukaan, tapi perannya di belakang layar tak bisa disepelekan. Di mataku, sosok kiai humoris itu merupakan figur dan tokoh ideal, yang kelak akan kujadikan cermin-pantul dalam upaya pengabdian hidup pada masyarakat.

Perasaan benci tapi rindu, itulah potret hubunganku kini dengan Kiai Mujurono. Suatu saat, nurani hitamku menggelegak, memintaku untuk melakukan perlawanan. Memberi pelajaran kepadanya, agar ia bisa lebih transparan lagi untuk menceritakan apa makna sebenarnya tentang hidup. Tapi kemudian, nurani putihku menolak. Nurani suci itu menyuruhku untuk tetap bersabar. Tabah sebagai seorang murid yang wajib menghormati dan tunduk pada sang guru. Karena bagaimanapun juga, dari Kiai Mujurono jugalah selama ini telah kukenal banyak hal tentang kebajikan hidup. Tentang kesabaran dalam menghadapi penderitaan. "The passion", meminjam istilah Mahatma Gandhi. Akhirnya, nurani putih itu mengajakku kompromi agar bisa menjalani segala ujian, coba'an ini dengan sabar, sekaligus menyisakan coretan-coretan harapan sebagai bekal agar bisa berbuat yang lebih baik di masa depan.




Padepokan Tebet, subuh ke-15 Ramadhan 1424 H.
(c) Gus John.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home