Thursday, November 02, 2006

#054: Mencari "Khittah": Catatan Harianku untuk Catatan Hariannya Ahmad Wahib


Ramadhan 1424 H, malam ke dua puluh tiga;
Secara tak sengaja, ketika aku ke toko buku di lantai 6 Sarinah-Thamrin --sehabis makan rujak cingur di warung "Tahu Campur" belakang Sarinah. Kutemukan buku kecil warna hijau dengan judul, "Catatan Harian Ahmad Wahib" terbitan LP3ES; sebuah lembaga penelitian milik Dawam Raharjo. Kulihat sampul belakang buku itu. Label harga yang tercantum, Rp. 30.000,-. Karena habis mborong buku di Gramedia-Gatot Subroto seminggu yang lalu, maka
keinginan untuk memiliki buku Ahmad Wahib malam itu akhirnya tertunda. Karena tak mampu beli, aku hanya bisa sempatkan baca daftar isinya. Aku penasaran. Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya Ahmad Wahib, tokoh "kontroversial" yang menghebohkan itu. Tokoh "pinggiran" yang catatan hariannya dicari banyak orang.

Ahmad Wahib. Aku tak pernah kenal sebelumnya dengan nama ini. Aku baru kenal namanya, ketika pernah membaca analisa seorang Indonesianis asal Australia, Greg Barton, yang mengemukakan, bahwa gerakan Islam Liberal di Indonesia sesungguhnya dipelopori oleh empat orang, salah satunya adalah Ahmad Wahib ini. Sedangkan ketiga tokoh yang lain, yakni: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Empat tokoh inilah yang intelektualitas ke-Islamannya sudah diakui dunia.

Cak Nur, aku kenal. Ketika aku mulai belajar tentang Islam, mencari "jati diri" tentang ke-Islamanku (1998), dua buku Cak Nur-lah yang pertama kali kubeli; "Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan" (Mizan, 1996:3) dan "Khazanah Intelektual Islam" (ed., Bulan Bintang, 1994:3). Djohan Effendy, sedikit kukenal. Ketika dia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara di era rezim Gus Dur. Aku hanya tahu, dia ketua ICRP, sebuah lembaga di Indonesia yang didirikan untuk diskusi agama dan perdamaian. Selebihnya, tentang tulisan-tulisan Djohan Effendy (dalam bentuk satu buku yang utuh), aku tak punya. Kecuali tulisannya per-artikel yang berserakan di berbagai buku hasil editoran/suntingan orang.

Sosok Gus Dur, aku sangat kenal. Seambrek buku tentang Gus Dur aku punya. Nah, hanya Ahmad Wahib seorang yang membuatku penasaran. Maka jangan heran, bila tadi malam mataku sangat berbinar-binar ketika menemukan buku itu. Sayang aku tak mampu beli. Aku hanya sempatkan sedikit baca. Ingin tahu, seperti apa catatan hariannya yang terkenal itu. Yang dikagumi banyak tokoh-cendekiawan. Dipuji banyak orang.


#
Kubuka halaman demi halaman, lembar demi lembar dari buku kecil itu. Sedikit dapat kusimpulkan dari buku hijau itu, diantaranya adalah, bahwa Wahib itu orang Madura. Dilihat dari fotonya, tampak tampang orangnya 'ndeso' banget; hitam, kurus, rambut agak sedikit kriwul. Wahib adalah "makhluk langka" di HMI, karena dia aktivis HMI yang bisa berpikir obyektif dan kritis. Akibat sering mengkritik kebijakan dan visi HMI, dan dianggap "mengganggu", maka akhirnya dia mengundurkan diri. Dialah satu-satunya seorang pemikir Islam Indonesia terkenal yang berlatar belakang ilmu eksata (ilmu pasti). Orang yang sering memikirkan soal-soal keagamaan secara mendalam, tapi tak dibekali ilmu keagamaan -meminjam istilah Gus Dur, yang justru disitulah menunjukkan letak "kehebatan" seorang Wahib. Itu menandakan, bahwa memahami Islam bukan hanya bisa dimonopoli oleh orang yang harus berlatar-belakang pendidikan Islam (pesantren dan IAIN) semata.

Kesimpulan-kesimpulanku yang lain: Wahib meninggal dalam usia yang sangat muda, 31 tahun. Dia meninggal akibat tertabrak motor ketika baru keluar dari kantor redaksi Tempo. Catatan hariannya yang terangkum dalam buku kecil warna hijau itu baru ia mulai tulis sejak berusia 27 tahun. Sebelum aktif menulis di Tempo, Wahib sempat berbulan-bulan jadi "gelandangan" dengan bekal tekad ingin bisa bekerja di Jakarta. Usahanya itu akhirnya membuahkan hasil. Tidak sia-sia. Dia kemudian bisa kenal dan duduk satu meja dalam forum diskusi dengan orang-orang yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh terkenal Indonesia, diantaranya: Mukti Ali (mantan menteri agama), Dawam Raharjo (pendiri LP3ES), Cak Nur, Utomo Dananjaya, Kuntowijoyo, dll.

Dan yang terpenting, isi dari catatan harian Wahib itu sendiri. Kuamati, kulihat, kubaca, kuingin tahu sejauhmana isi dari buku yang dikatakan hebat itu. Beda dengan catatan hariannya Anton Chekhov, pengarang hebat Rusia yang tulisannya bertemakan hal-hal sederhana, berisikan tentang kesahajaan, kemanusiaan, dan nasib orang-orang kecil di tengah komunitas komunisme
(sebuah ironisme?) yang berkembang di daerahnya (Rusia), maka tulisan Wahib di bagian awal dari buku itu terkesan sangat "serius". Dalam tulisannya, Wahib benar-benar menunjukkan karakternya sebagai seorang pemikir tulen, yang memiliki angan-angan cerita besar (grand-narratives). Terutama tentang ke-Islaman. Ia tanyakan tentang keberadaan Tuhan, eksistensi Tuhan, posisi wahyu dalam agama, dsb.

Bila dalam karya Chekhov, "Matinya Seorang Buruh Kecil" (Melibas, 2001) --yang oleh Maxim Gorky, seorang pengarang besar Rusia, tulisan Chekhov itu dikatakan, "setiap goresan cerita yang disuguhkan Chekhov merupakan cipratan catatan tentang harapan dan kecintaan terhadap kehidupan"-- ditulis dalam bentuk cerita pendek (cerpen) yang sangat menarik dengan penyajian secara simbolik dan metaforik, ditambah dengan penuh unsur-unsur satire dan parodi, maka catatan harian Wahib terkesan singkat, lugas sesuai tema yang ia ingin
sampaikan (to the point). Mungkin bisa dipahami. Chekhov seorang sastrawan, sementara Wahib berlatar belakang seorang pemikir. Jadi, Wahib tak perlu bersastra untuk mengungkapkan ide-idenya. Walaupun, kedua karya itu sama-sama bisa disebut sebagai catatan harian yang telah mewarnai kehidupan mereka.

Karena lugas, tanpa basa-basi, tak heran bila catatan harian Wahib lebih dipentingkan pada pokok tema. Bila memang tema bahasan itu perlu analisa yang mendalam, maka coretan Wahib itu bisa panjang. Tapi, bila tema yang dirasakan Wahib itu bukan sebuah analisa, maka coretannya sangat pendek. Ketika Wahib berpikir tentang Ke-Islaman, disitu ia mengungkapkan segala idenya secara ilmiah. Panjang penuh analisa. Tapi ketika Wahib menulis tentang dirinya yang resah. Misalnya dia sedang kesepian, dia sedang suntuk dengan jebakan ideologi, dia sedang "menggugat" Tuhan, maka tulisannya sangat singkat. Sangat pendek. Bahkan, ada yang hanya satu paragraf! Satu hari, satu tema, satu paragraf.

Jadi, jangan heran bila suatu saat catatan harianku panjang seperti Anton Chekhov, atau hanya berisikan satu paragraf seperti Ahmad Wahib. Atau, bisa jadi satu kalimat! Atau, mungkin bisa hanya satu kata! Atau, hanya satu huruf saja. Terserah saya! Karena ini adalah catatan harian. Sesuka-sukanya yang membikin! :-)




Padepokan Tebet, 18 Nov '03.
© Gus John al-Lamongany.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home