Tuesday, November 28, 2006

#088: Belajar Dari Masa Lalu Itu Tetap Perlu


Belum lama berselang, seseorang terjungkal dari kursi empuknya karena melakukan sebuah kesalahan dalam membuat kebijakan yang diskriminatif (baca: timpang). Ia, tidak hanya menjadi bahan kutukan (baca: musuh) bersama, tapi juga terlempar dari kursi panasnya. Kini, kasus itu sepertinya terulang lagi.

Orang mungkin lupa, belajar dari masa lalu itu tetaplah perlu. Saat ini, orang begitu mudah melupakan masa lalu. Dipikir, apa yang terjadi pada masa lalu itu tidaklah penting. Karenanya, banyak orang beranggapan, lupakan masa lalu dan tatap masa depan saja. Sebuah anggapan yang simplifikatif, tentunya.


*
Masa lalu, bagaimanapun buruknya yang terjadi, tetaplah perlu dipelajari sebagai bahan evaluasi ke depan, agar kelak di kemudian hari kita tidak terjerumus dalam lubang kesalahan yang sama. Masa lalu, seperti yang dikatakan oleh Jose Ortega Y. Gasset, adalah masa lalu bukan karena ia terjadi pada orang lain (pada masa lalu), tetapi karena ia membentuk bagian-bagian kehidupan kita di masa kini. Kehidupan sebagai realitas merupakan kehadiran absolut: kita tidak bisa mengatakan tidak ada sesuatu apapun kecuali yang hadir pada masa kini. Karena ada masa lalu yang "aktif" pada masa kini (Ortega Y. Gasset, "Histori as a System" dalam Hans Meyerhoff [ed], The Philosophy of History in Our Time, 1959).

Masa lalu adalah bagian dari (boleh dikatakan sebagai) sejarah. Terpuruknya bangsa kita saat ini, yang sulit lepas dari krisis multidimensi (berawal dari krisis moneter), disebabkan juga karena bangsa ini tak mengenal sejarahnya secara benar. Kita menjadi bangsa yang a-historis, cenderung lupa akan karakter dan jati diri bangsa sendiri. Akibatnya, negeri Nusantara ini terus terpuruk dalam kondisi perekonomian dan politik yang memiliki daya tawar lemah di mata dunia internasional.

Masa lalu, bagaimanapun pahitnya, tetaplah memiliki hubungan dengan masa kini dan masa mendatang. Karenanya, perlu dijadikan sebagai bahan renungan untuk melakukan kajian yang mendalam.

Masa lalu, layaknya sebuah kaca spion bila kita sedang mengendarai mobil. Menatap masa depan saja tanpa menghiraukan masa lalu, sama halnya mengendari mobil tanpa melihat kaca spion. Apa yang terjadi? Di jalan raya, mobil kita akan berjalan dengan seenaknya. Belok kiri-belok kanan dengan tanpa memperhatikan pengguna jalan yang lain. Bisa jadi, mobil kita terserempet, atau malah mobil kita tertabrak dari samping kiri, kanan atau belakang.

Begitupun bila kita hanya melihat masa lalu saja. Ibaratnya, kita mengendari mobil dengan selalu melihat kaca spion tanpa sering melihat ke depan. Akibatnya, mobil yang kita kendarai bisa menabrak mobil orang, oleng, dan berakibat fatal.

Tentu saja, keduanya bukanlah sebuah pilihan. Dua-duanya sama-sama membahayakan dan merugikan. Memposisikan masa lalu secara porposional sebagai bahan kajian untuk masa mendatang, adalah hal yang harus dilakukan. Benar-salah, suka-duka, manis-pahit, baik-buruk, yang terjadi pada masa lalu, seharusnya bisa diambil hikmahnya, dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk menyongsong hari depan yang cerah, agar tidak lagi salah.

So, bagaimanapun, belajar dari masa lalu itu tetap perlu. Barangkali, hanya (ma'af) keledai yang bisa terperosok dua kali dalam lubang kesalahan yang sama.
Bukankah demikian? Wallaahu'alam bi ash showab.



Landmark 8th Floor, 4 April 2005
(c) Gus John

0 Comments:

Post a Comment

<< Home