Thursday, November 02, 2006

#056: Raden Ayu Jumilah


Peta kiriman teman itu kulihat dan kupandangi. Sudut demi sudut jalan kota itu kembali terbayang, kini. Toko buku paling murah, alun-alun dengan beringin kurungnya, istana raja, makam-makam kiai tua, situs-situs purbakala (sejarah), shopping-center, hingga pusat-pusat makanan paling enak di kota itu. Seolah-olah, setiap jengkal tanah kota menjadi saksi bisu dari sejarah perjalanan dua anak manusia yang pernah mengikatkan diri atas nama cinta.

Setiap sudut kota itu seperti memperdengarkan desahan nafasku, bermandikan keringatku ketika bersepeda motor mengelilingi kota. Aku hapal betul nama-nama daerahnya. Biasanya, bila aku ke sana, begitu turun dari kereta, terus naik becak dengan membayar sepuluh ribu rupiah. Atau terkadang bila ada waktu senggang, Raden Ayu Jumilah menjemputku sendiri dengan land-rover atau sedan putihnya.

"Ah, entah apa yang terjadi dengan Raden Ayu Jumilah saat ini," gumamku dalam hati. Dalam buaian kenikmatan lamunan itu, tiba-tiba Kiai Mujurono menamparku dari belakang. Membangunkanku dari segala khayalan. Kiai 'nyentrik' ini biasanya memang tak pernah menolak permintaanku. Tapi untuk yang satu itu, menikahi Raden Ayu Jumilah, dia jadi marah-marah. Dan tidak hanya cukup sekedar marah, tapi benar-benar menamparku!

"Saya siap melamarkan sampeyan ke anak jenderal, anak pengusaha, anak direktur, anak pejabat, tapi jangan coba-coba sampeyan meminta saya untuk melamar Raden Ayu Jumilah," kata Kiai Mujurono mengingatkan.

"Kenapa, Kiai?" kataku dengan penuh iba.

"Karena level ke-maqamanku masih kalah dengannya," katanya mengingatkan.
"Saya memang dipanggil orang kiai, tapi Raden Ayu Jumilah itu putri dari Embahnya para kiai. Sampeyan harus tahu itu!", kata Kiai Mujurono dengan nada tinggi.

Aku hanya bisa diam dan tertunduk lesu. Harapanku satu-satunya agar bisa menikahi Raden Ayu Jumilah akhirnya kandas, setelah melalui perjuangan yang maha berat. Sangat berat, mengharukan, sekaligus melelahkan. Disamping karena ditolak mayoritas dari keluarga Raden Ayu Jumilah yang golongan priyayi itu, bundaku sendiri juga merasa keberatan karena perbedaan status sosial (apakah cinta mengenal status sosial?). Plus, kini giliran Kiai Mujurono menamparku dengan geram. Keinginan itupun benar-benar gagal. Padahal, aku tahu betul perjuangan berat Raden Ayu Jumilah untukku.

Dan, lebih sedihnya lagi, cerita nan penuh nuansa kesedihan (unhappy ending) itu benar-benar usai ketika kaki Wanus menendang kepalaku. "Plakkkkkkkk". Membuatku sontak terbangun. Terduduk kaget. Kulihat jam. Waktu sahur nyaris terlewat. Kurang 3 menit lagi. Tamparan Kiai Mujurono itu, ternyata tendangan kaki Wanus! Menyedihkan.




Ramadhan ke-25 1424 H
(c) Gus John.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home