Thursday, November 02, 2006

#057: Dari Masjid ke Masjid: Catatan Perjalanan Tarawih Keliling Selama Ramadhan 1424 H


Ramadhan malam ke dua puluh tiga.
Masjid itu berusia tua, terlihat dari bangunan aslinya yang kuno, dengan modelnya yang antik dan artistik. Letak masjid itu persis di pinggiran (sebelah timur) jalan yang menghubungkan antara wilayah kota di Jakarta Pusat, dengan Blok M di Jakarta Selatan.

Di depan masjid, terdapat tulisan: "Masjid ini merupakan bangunan bersejarah, sekaligus bagian dari bangunan cagar budaya. Dilindungi oleh Pemda DKI dengan SK Gubernur....," kira-kira begitulah inti dari tulisan yang terpampang di papan depan masjid. Entah, bangunan itu didirikan tahun berapa. Tulisan di papan petunjuk itu sudah terlalu buram, aku tak bisa
membacanya dengan jelas. Sampai sekarang, belum kutemukan dengan pasti kapan tahun berdirinya masjid itu.

Ketika masuk ke dalamnya, kutemukan banyak hal-hal yang unik. Jama'ah masjid tua itu, rata-rata mengenakan surban. Bukan surban baru yang serba putih mengkilat seperti yang dijajakan pedagang kaki lima di luar masjid itu, tapi surban yang kelihatan sudah usang. Mungkin saking lama dan istiqomahnya mereka dalam menggunakan surban itu.

Melihat dari wajah para jama'ah, sepertinya mereka kebanyakan para pendatang, bukan penduduk asli sekitar masjid. Bahkan, seperti wajah-wajah bukan orang Indonesia, karena juga kutemukan diantaranya ada yang berkulit hitam seperti muslim dari Afrika. Mereka bukan tampang orang kaya atau berduit seperti yang sering kulihat sholat di Masjid Sunda Kelapa (Menteng), tapi orang yang kelihatan lusuh dengan tas yang berisikan perbekalan. Dalam
dugaanku, mereka itu para musafir yang berkelana dari satu masjid ke masjid tua yang lain. Seperti orang yang datang dari jauh untuk melakukan riyadloh (perjalanan spiritual). Itu terlihat jelas dari raut muka, pakaian dan sikap mereka.

Tempat wudhu masjid itupun lucu. Tidak seperti di masjid lain pada umumnya berwudhu dilakukan dengan berdiri (agak membungkuk), maka di masjid itu bila kita berwudhu maka harus duduk. Tempat duduknya sudah tersedia dengan terbuat dari logam besi. Tinggi pancuran air kira-kira 30 cm. Bila masuk lagi ke dalam, ke arah kamar kecil (toilet). Tembok yang memisahkan antar toilet tingginya hanya kira-kira 1 meter. Jadi bila ingin buang air kecil,
mau tidak mau kita harus duduk, seperti yang juga disarankan oleh tulisan yang menempel di tembok toilet.

Yang paling unik, tentu saja bangunan asli masjid tua itu yang terletak di bagian tengahnya. Walaupun sudah dipugar dan mengalami pelebaran, tapi bagian asli masjid tua itu masih ada bekasnya. Berdinding tembok tebal, bercat hijau dengan corak hiasan khas jaman dulu. Khas bangunan peninggalan sejarah lama dengan usia yang telah berabad-abad lamanya.

#
Itulah pengalamanku malam itu. Bersama Patrang, Dawet dan dik Cholisoh (Nyonya Dawet), malam itu kita menuju ke sebuah masjid tua di Kebun Jeruk, setelah sebelumnya menjenguk kelahiran putra pertama Ipin di RS Haji, Pondok Gede. Masjid tua bersejarah, yang usianya kira-kira lebih dari 2 abad itu persisnya terletak di depan Gajah Mada Plaza, dekat daerah Glodok, Jakarta Pusat. Orang sering menyebutnya, Masjid Kebun Jeruk.

Soal mencari berbagai "model alternatif" dalam beribadah, Patrang memang menjadi teman setiaku selama Ramadhan kemarin. Dulu, sebelum menikah, Dawet yang paling rajin. Alhamdulillah, malam minggu itu kita bisa pergi bersama-sama, berangkat bareng dari Padepokan Tebet. Dan, pengalaman adalah guru yang paling berharga. Apalagi, pengalaman spiritual.

Jauh-jauh hari sebelumnya, tepatnya di malam pertama ramadhan, kita (crew Padepokan) meniatkan pergi sholat tarawih di Masjid Istiqlal. Imamnya tidak tanggung-tanggung, Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Said Aqiel al-Munawwar, kiai-ulama-intelektual Islam yang hafidzh (hafal Qur'an). Prosesi sholatnya lama banget. Pakai sambutan segala. Delapan rakaat saja selesainya jam 21:00. Maklum, dalam setiap tarawih semalam, harus bisa menyelesaikan 1 juz.
Pikir-pikir, bagaimana lamanya bila 23 rakaat? Karena sudah 'ngos-ngosan', akhirnya kita putuskan ambil yang delapan raka'at. Setelah itu, pulang!

Tarawih kedua, kusempatkan mampir ke Majelis Taklim Duren Tiga milik KH Aziz Amin yang terletak di depan persis Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata. Di tempat inilah, bersama teman-teman di Jakarta dan dari Kairo-Mesir, dulu pernah kita lahirkan sebuah forum diskusi yang dikenal dengan FKDIA (Forum Komunikasi dan Diskusi Islam Ahlus sunnah wal Jama'ah); sebuah forum yang kemudian berkembang dengan "liar"-nya, dan terdiaspora ke berbagai bentuk kegiatan yang di kemudian hari cukup signifikan perannya bagi perkembangan NU (dengan wujud berdirinya NU cabang luar negeri di beberapa negara) dan bagi dunia Islam (membantu Jaringan Islam Liberal, Pesantren Virtual, dll), baik secara langsung, ataupun tidak langsung.

Di musholla Kiai Aziz Amin ini sholat tarawihnya 23 rakaat. Tapi cepat banget. Jam setengah sembilan, sholat sudah selesai. Di sini aku ketemu dengan teman-teman lamaku, ada Ustad H Lukman (putra Kiai Amin), Firman (aktivis Remaja Masjid setempat), dll.

Tarawih ketiga, kumeluncur ke Masjid Darurrahman, perempatan Kuningan. Ini adalah masjidnya Buya Sidik (ctt: tentang sekilas sosok Buya Sidik, baca CHGJ ke-49: "Ramadhan Kini: Berartikah Bagiku?"). Sayang, niat berjumpa dengan Buya Sidik gagal. Padahal, aku rindu mencium tangannya.

Tarawih keempat di Masjid al-Mughni, Kuningan Barat, sebelah Gedung Patra Jasa di Jl. Gatot Subroto. Masjid ini adalah peninggalan Guru Mughni, ulama Betawi yang terkenal di jamannya. Dalam sebuah catatan seorang tokoh Betawi yang pernah saya baca (entah di mana kini keberadaan makalah itu?), masjid ini ada dan lahir berkat peran dan jasa dari generasi ulama yang hidup di era ekspansi Demak pimpinan Fatahillah ke Sunda Kelapa pada tahun 1527 M.
Setelah menaklukkan Sunda Kelapa, para pengikut Fatahillah kemudian melakukan ekspansi agama ke wilayah bagian selatan. Salah satu diantaranya dalam catatan yang terdapat dalam makalah itu adalah Masjid Guru Mughni tersebut. Keunikannya tarawih di masjid ini, setiap selesai 2 kali sholat tarawih, maka dibacakan do'a. Hal baru yang belum pernah kutemukan
sebelumnya di tempat yang lain.

Begitulah seterusnya, tarawih keliling itu --dengan segala keunikannya- memang sudah kuniatkan sejak awal, dengan terkadang diselingi kemalasan-kemalasan sehingga beberapa kali juga "off" dari tarawih-berjama'ah. Maklum, kehinaan diri ini masih juga selalu membelit dan
membelenggu.

Tarawih kelima di Musholla Baitur, Mp. Prapatan XVIII bersama mantan tetangga dulu. Kemudian tarawih di Masjid al-Munawarroh, Ciganjur. Lalu di Bongkaran bersama anak-anak anggota Yayasan Anak Teladan. Kemudian di masjid dekat POM Bensin, Cikoko (MT Haryono), dan begitu seterusnya. Hingga menjelang akhir ramadhan di sebuah masjid di Menanggal, Surabaya. Dan kututup ramadhan kali ini dengan sholat tarawih di masjid kampung sendiri,
Baitul Muttaqien. Masjid yang memberiku sedikit pemahaman tentang ilmu agama.

#
Begitulah. Ini bukan persoalan sugesti, tapi kuanggap keluyuran mencari masjid ini sebagai bagian dari silaturahmi. Dalam pemahaman saya, silaturahmi itu terbagi dalam dua macam: pertama, silaturahmi sesama makhluk hidup (sesama manusia, teman, kiai, keluarga dll), dan yang kedua, silaturahmi dengan makhluk tak hidup (makam para auliya', makam para wali,
masjid-masjid, dan peninggalan bersejarah lainnya).

Dari sisi manfaat, saya bisa merasakan banyak hal dari melakukan silaturahmi ini, diantaranya: pertama, mengenal keanekaragaman bentuk dan model ritual-ibadah yang ada. Masing-masing tempat punya ciri khas sendiri dalam beribadah. Seperti diketahui, pada umumnya Betawi itu merupakan kaum sunni, tapi toh berbeda-beda juga tata cara pelaksanaan ritual ibadahnya. Seperti misalnya, do'a di antara tiap selesai sholat dua raka'at tarawih, panggilan bagi jama'ah yang dilafalkan oleh bilal (?) untuk menunaikan sholat tarawih/witir, dan sebagainya. Tapi itu bukanlah hal yang prinsipil. Terpenting, pengetahuan akan keanekaragaman di "dunia luar" inilah yang kuharapkan bisa membuka pikiranku tentang keagamaan (bersifat inklusif
dalam beragama), bahwa sesungguhnya dalam beragama itu banyak corak dan ragamnya. Dengan pengenalan disertai pemahaman seperti itu, satu hal yang kuharapkan; bisa menjadi orang yang berpikiran terbuka dalam beragama.

Manfaat kedua, mengenal karakter penduduk setempat. Aku bisa mengenalnya dari bagaimana jama'ah merespon setiap panggilan bilal dalam menunaikan sholat tarawih. Tersimpan banyak nilai yang terselimuti kultur. Di sana kutemukan etos-kerja masyarakat, rasa persaudaraan warga, religiusitas lingkungan, dan sebagainya.

Ketiga, belajar memahami sesama manusia. Kutemukan manusia dengan berbagai modelnya. Keempat, meningkatkan ukhuwah Islamiyah. Dan masih banyak lagi yang lain.

Hikmah yang terkandung dalam silaturahmi itu sendiri menurut para ulama sangat positif, diantaranya: memanjangkan usia dan melapangkan rejeki. Jadi, keluyuran ke masjid-masjid selama ramadhan itu tentu tak ada salahnya. Bukankah demikian?
Selebihnya, wallaahu'alam bi ashowab.



Pancoran, 2 Des '03,
(c) Gus John al-Lamongany

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Ehem, jadi ingat yang dulu...:)
Kapan ya kita nanti bisa seperti saat itu lagi...??

2:16 AM  

Post a Comment

<< Home