Friday, November 03, 2006

#060: Air Mataku...Air Mataku: Secuil Kisah di Balik Tenggelamnya Jakarta


Base-camp Cililitan, Selasa, 29 Jan 2002.
Jam menunjukkan pukul 21:30. Kulihat seorang penjual kacang rebus sedang berteduh di emperan depan rumah, karena hujan di luar begitu derasnya. Hujan itu seperti tidak menunjukkan rasa persahabatannya sedikitpun. Dari pagi hingga malam, bahkan hingga dini hari tadi, ia tak juga kunjung reda.

Kudekati si penjual kacang rebus itu. Kutanya, "Kenapa Bapak tidak jalan?"

"Hujan, mas. Saya takut masuk angin," ujar si penjual kacang dengan logat khas Jawa-nya yang sangat kental. Pakaiannya setengah basah kuyup.

"Rumah Bapak di mana?"

"Dekat, mas, di Gang Pelangi".

Gang Pelangi. Gang kecil itu jaraknya sekitar 300 meter dari basecamp, di sebelah barat Kali Ciliwung. Persis di bantaran sungai terbesar yang membelah Jakarta menjadi dua bagian; timur dan barat. Gang yang dihuni oleh Bagong, salah seorang seniman Ketoprak Humor.

"Bapak mau jalan?" tanya saya lagi.

"Iya, mas, tapi nunggu hujan berhenti".

Aku berpikir sesaat. Kuambil plastik di dalam rumah yang tadi kupakai. "Saya tak punya payung, bapak mau pakai plastik ini?"

"Ada mas? Kalau ada, bolehlah...," ujar si penjual kacang itu dengan muka berbinar-binar.

Plastik berlogokan DHL itupun saya berikan. Plastik milik temanku itu, sejam yang lalu, aku gunakan untuk pulang dari kantor. Aku mengambilnya tanpa ijin, karena kutahu, pasti dia tidak mengijinkan bila dipinjam. Dan kini, tukang kacang itu lebih memerlukan. Walaupun besok saya akan memakainya dan ingin mengembalikannya, tapi tukang kacang itu bisa tidak pulang kalau tanpa plastik itu. Akhirnya benar-benar kuberikan.

"Terima kasih, mas..." Tukang kacang itupun pergi. Sementara hujan masih terus mengguyur deras.

#
Dinihari, 30 Jan 2002, jam dinding mengarah ke 01:00.
Hujan belum juga berhenti. Malah semakin deras. Sebentar kemudian agak mereda. Rintik-rintik. Orang, baik laki-laki dan perempuan lalu-lalang di depan rumah. Malam itu, hanya ada 4 orang di basecamp.

Tiba-tiba suara minta tolong terdengar di mana-mana. Aku ke luar rumah melihat keadaan. Orang-orang Arab dan Betawi, yang memang jumlahnya mayoritas di gangku itu, terlihat panik. Mobil-mobil dikeluarkan dari rumah. Barang-barang sudah mulai diungsikan. "Kenapa mereka sebegitu takut?"
pikirku.

Aku masih santai-santai saja, walaupun sudah mendengar informasi sebelumnya kalau akan datang banjir kiriman dari Bogor, tapi kita tidak yakin itu bisa menjadi persoalan di pagi dinihari itu. Kita sudah berhitung. Kalaupun air meluap, tentu kenaikan air tidak akan begitu cepat.

Jam 01:30. Kita putuskan, kita ke luar rumah. Mencoba membantu orang-orang yang sedang mengungsi. Jembatan Kali Ciliwung terlihat ramai didatangi orang. Ada yang memang hanya jalan-jalan ingin tahu. Ada juga yang ingin melihat perkembangan sekaligus untuk dapat memutuskan; mengungsi ataukah tidak. Permukaan air sungai itu sudah setinggi jembatan jalan yang menghubungkan wilayah Kalibata, Jakarta Selatan dengan Cililitan, Jakarta Timur. Rumah-rumah kardus milik penjual mainan anak-anak yang ada di bawah jembatan, hanyut lenyap terbawa arus berikut dua pikul dagangannya. Begitupun potongan-potongan bambu bekas pemilu yang diletakkan di samping jembatan. Karena masih optimis tidak terjadi apa-apa, kita pun pulang ke basecamp. Tidur. Tapi aku tak bisa tidur.

Sementara di luar, air mengalir begitu deras. Dalam hitungan menit, air bertambah cukup tajam. Jam 01:50. Basecamp sudah terkepung air! Kulihat rumah di depan basecamp. Sudah mulai masuk ke pintu! Kubangunkan teman-teman yang sekitar 15 menit yang lalu baru tidur. Suara berisik orang semakin ramai. Mereka mengungsi. Sekali lagi kulihat di luar. Kini air sudah di
depan pintu basecamp! Kita panik! Barang-barang di lantai bawah masih banyak yang belum terangkat ke lantai atas. Komputer, televisi, lemari arsip-dokumen, alat-alat dapur, perangkat wartel, meja-kursi, dan barang-barang yang lain. Kita berempat pun bergegas dengan cepat
memindahkannya ke atas. Pada saat sibuk seperti itulah, kemudian air itu masuk. Tiga puluh menit kemudian, rumah tua itu sudah tergenang 20 cm.

Ssssssrrrr.......kecpak...kcpak..... Tak terasa, air itu sudah membasahi kaki kami yang selama setengah jam lebih turun-naik tangga memindahkan barang-barang basecamp. Setelah cukup lama, setengah jam lebih, ketika air sudah setinggi paha, kita memutuskan untuk meninggalkan rumah itu, dengan terlebih dulu menguncinya.

Jam 02:30, basecamp sudah terendam air setinggi 1 meter. Bila dilihat dari Jalan Dewi Sartika (ke arah terminal Cililitan), rumah-rumah di gangku hanya kelihatan atapnya. Listrik padam. Cililitan gelap-gulita. Bahkan, Jakarta! Sengaja PLN memang mematikannya, karena akibat banjir besar yang datang setiap lima tahunan ini, puluhan gardu PLN tenggelam. Dimatikan,
dikhawatirkan bisa menyebabkan hubungan arus pendek yang bisa membahayakan
keselamatan warga.

#
Musholla pertigaan Dewi Sartika. Jam menunjuk pukul 12 siang.
Aku terbangun. Tubuhku masih terasa lemas. Ternyata semalam aku tidur di musholla dengan orang-orang Arab dan Betawi yang mengungsi. Begitu sadar, langsung aku turun ke bawah melihat keadaan. Penduduk semakin cemas! Yang di musholla, bolak-balik melaksanakan sholat dan berdo'a. Entah sholat apa yang mereka lakukan.

Tenda-tenda darurat didirikan di pinggir jalanan yang agak tinggi. Orang sibuk lalu-lalang mengurusi barang-barangnya. Bau keringat. Bau air bah. Tangisan bayi. Tangisan ibu-ibu rumah tangga menyayat hati, bercampur aduk menjadi satu. Tak terasa, air mataku menetes di pipi. Baru kali ini kuteteskan air mata, karena sekian lama aku merasa sebagai laki-laki yang
pantang mengeluarkan air mata.

Kuusap tetesan itu dengan handuk yang sengaja kubawa. Aku tak percaya bisa menangis. Aku masih tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Dari jauh, Raden Ayu Jumilah menghiburku. Hanya dia yang memperhatikan nasib diriku dan basecampku ketika itu. Bukan teman-teman seperjuanganku yang sering nongkrong di basecamp itu. Suara merdu nan penuh wibawa dari Raden Ayu Jumilah itu membuatku tentram sesaat. Ia coba tenangkan kepanikanku. Tapi,
air mataku terlanjur menetes. Air mataku, air mataku. Aku kehilangan air mataku. Tetesan air mataku mengalir sederas gelontoran air bah sungai Ciliwung. Barangkali, baru kali ini aku menangis. Aku tak menangisi diriku yang terlantar di jalanan tanpa sehelai kain pengganti. Tapi kutak kuasa menahan iba melihat penderitaan warga sekitar basecamp yang mengungsi.

Sedih. Sungai Ciliwung benar-benar marah. Ia menunjukkan keperkasaannya dengan merendam Ibukota, yang tak bisa dihentikan oleh rezim Sutiyoso. Ia tumpahkan airnya, ingin mencari tempat baru untuk gelontoran arusnya. Ia merasa sempit dengan lebar kali yang semakin hari semakin dangkal. Gang-gang perkampungan di sekitar sungai berubah menjadi anak sungai baru. Jakarta bermandikan air bah. Lumpuh. Kantor-kantor semi-libur. Media massa larut dalam pemberitaan: ibukota terendam air.



Pancoran, 3-Des-'03 (c) GJ

0 Comments:

Post a Comment

<< Home