Friday, November 03, 2006

#061: Islah: Antara "Pendidikan" dan "Agama"*


Satu langkah simpatik dan menarik yang dilakukan oleh Hamzah Haz, begitu terpilih menjadi Wakil Presiden (2001). Ketua Umum DPP PPP itu mengajak agar semua kekuatan dan komponen bangsa segera melakukan islah. Alasannya, menurut Hamzah, agar muncul suasana kondusif untuk dapat membantu dalam menyelesaikan persoalan bangsa secepatnya.

Untuk mendukung kebijakannya tersebut, Hamzah sampai harus bersilaturahmi ke kantor PBNU ataupun Muhammadiyah, dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia. Dia juga berencana untuk "berislah" ke pesantren-pesantren di Jawa Timur, meskipun ada banyak penolakan.

#
Islah. Menjadi kata yang manis karena artinya memang mengajak damai. Istilah lainnya, rekonsiliasi. Dalam kondisi politik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia seperti yang terjadi dewasa ini, islah memang sangat diperlukan. Sangat mustahil, pemerintah bisa membangun bila ada pihak lain menghambatnya. Pengalaman yang terjadi pada pemerintahan Gus Dur menunjukkan islah kurang menjadi perhatian utama. Pemerintah jalan ke kanan, DPR
mintanya ke kiri. Misalnya, DPR meminta pemerintah bersikap tegas pada koruptor. Begitu presiden akan menangkap Akbar Tanjung, Ginanjar Kartasasmita, Arifin Panigoro dan gembong-gembong koruptor di DPR, Gus Dur malah terguling. Begitulah seterusnya. Rezim reformasi pasca kejatuhan Soeharto seperti tak pernah memiliki kesamaan dalam satu visi untuk membangun bangsa. Masing-masing berpikir untuk kepentingan kelompoknya
sendiri-sendiri. 'Eker-ekeran karepe dhewe'.

Dalam konteks demikian itulah, islah yang ditawarkan Hamzah sangat relevan. Tapi, pengertian islah itu kemudian menjadi rancu tatkala Hamzah menggunakan istilah "islah" untuk memaafkan dan melupakan segala dosa yang telah dilakukan Orde Baru. Dengan menawarkan konsep islah, maka Hamzah mengharapkan agar kita melupakan dosa-dosa lama Orde Baru, yang sebenarnya tak kalah kejam dibandingkan dengan "hantu komunisme" yang didengungkan
rezim Soeharto untuk melibas kekuatan pro-Soekarno di era akhir '60-an.

Islah ini kemudian hanya akan menjadi 'salah kaprah' dalam pemahaman Hamzah. Islah hanya akan dijadikan tameng bagi Hamzah Haz untuk melindungi kepentingan Orde Baru. Dengan demikian, islah yang sebenarnya sangat diperlukan, menjadi tidak efektif dan salah arah.

Islah 'ala Hamzah terbukti menjadi tidak efektif lagi tatkala Ketua Umum Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif menawarkan orang-orangnya untuk mengisi kabinet terutama di bidang pendidikan ketika Hamzah Haz berkunjung ke kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah. Begitupun dengan NU.

#
Di level permukaan, banyak orang Muhammadiyah dan NU mengajak islah; perdamaian. Tapi, pada sisi "dalam"-nya, sebenarnya perseteruan di antara keduanya tidaklah hilang sama sekali. Perseteruan ideologi, politik, kepentingan ekonomi, hegemoni kultur, dan sebagainya masih terus berjalan. Walaupun, kini lambat-laun hubungan keduanya berkembang menuju ke arah yang lebih baik.

Dengan sangat sederhana, kecenderungan adanya "perebutan" jatah kabinet, di mana bidang pendidikan dikavling oleh Muhammadiyah dan wilayah agama diminta oleh NU dengan mudah bisa dibaca. Islah kemudian mengalami pengalihan makna. Dari makna perdamaian menjadi bagi-bagi kursi. Dari makna rekonsiliasi menjadi pengalihan isu korupsi (Orde Baru).

Jika islah hanya diartikan sebagai "bagi-bagi" jatah kursi, sangatlah bisa dipahami, kenapa Gus Dur begitu singkat menjadi presiden. Inilah realita politik! Tak ada kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Wallaahu'alam bi ash showab.



Pancoran, 4-Des-'03 *diolah dari sketsa coretan 15/8/'01. (c) GJ.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home