Friday, November 03, 2006

#062: Jedingku Wis Ndak Lucu Lagi*


"Jedinge kok lucu?" jare Kartolo.

"Yo ngene iki jenenge jeding kampung, Lo," jawabku.

Begitulah kenyataannya. Kampungku memang pinggiran. Kira-kira 3 kilometer ke arah barat dari kota Lamongan. Tepatnya di pinggir jalan raya dan rel kereta api jurusan Surabaya-Jakarta. Dibilang kota ya tidak. Wong, mayoritas profesi penduduknya sebagai petani. Tapi dibilang 'ndeso' banget ya tidak, karena segala sarana sudah lebih baik dibandingkan dengan tempat lain yang umumnya masih disebut sebagai "desa". Kampungku 'ndeso' itu mungkin ketika aku masih kecil. Tapi kini, bangunan-bangunan rumah tertata dengan rapi.
Sudah sangat sulit mencari rumah joglo, bangunan rumah khas 'wong ndeso' (baca: Jawa) di kampungku. Aku menyebut kampungku kini sebagai wilayah transisi desa ke kota. Desa yang persis di pinggiran kota. Semi kota, begitulah kira-kira.

Aku masih ingat betul. Listrik PLN masuk ke kampung kira-kira awal tahun '80-an. Pipa air yang menghubungkan Sungai Bengawan Solo di Babat hingga ke pabrik pupuk/semen Petrokimia, Gresik yang terletak di antara rel kereta dan jalan raya, dibangun kira-kira tahun 1983. Rumahku pasang listrik kira-kira akhir dekade '80-an. Jalanan yang menghubungkan jalan raya Surabaya-Jakarta di sebelah kampungku dengan Ds. Made (Perumnas) dibangun bagus baru sekitar tahun 1997. Itupun setelah Golkar mendapatkan suara yang lebih banyak bila dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebelumnya jalan kecamatan itu hanya jalan kerikil dan batu hitam. Atau sekali-kali batu gamping/kapur, yang terasa sakit ('nggronjal-nggronjal) bila naik sepeda ongkel melewatinya. Maklumlah. Kampungku memang menonjol PDI-nya daripada Golkarnya. Sehingga wajar bila pembangunannya jadi terhambat sekian tahun, dan baru bagus setelah '97. Alhamdulillah, semuanya sekarang sudah baik.

Soal air, unik. Lamongan bagian utara yang dekat dengan pantai Laut Jawa, seperti di wilayah Tanjung Kodok, Blimbing dan sekitarnya yang berada di Kecamatan Paciran, airnya terasa tawar. Sementara di kampungku yang jaraknya sekitar 50 kilometer dari pantai, justru terasa asin. Jadi, jangan heran kalau air jedingku bila diendapkan ada kumpulan putih-putihnya. Orang
bilang, itu garam yang mengendap. Karena asin, jika dulu aku pulang jadi maunya malas mandi. Takut hitam! Karena asin pula, Kartolo pernah bilang, "jedingmu kok lucu, Gus?" Ya, memang begitulah jedingku.

Tapi, alhamdulillah, bulan sembilan (september) kemarin PAM (orang kampung bilang, 'pet') sudah masuk. Air jedingku yang dulu berasal dari air sumur yang asin, kini sudah diganti air pet. Walaupun ndak bening-bening amat, tapi aku jadi ndak malas mandi lagi. Air sudah ndak asin lagi. Kulit ndak takut jadi hitam lagi. Ya, begitulah. Kini, jedingku sudah ndak lucu lagi.


*tulisan ini kupersembahkan buat Huda :)



Pancoran, 5-Des-'03 (c) GJ with ngguyu ngakak......

1 Comments:

Blogger Pinkina said...

hihihihhi kok kanggo mas Huda mas ?
Bukane smpyn berdua sama hitamnya ?
kok takut hitam ? hihihih peace.
Maaf lahir batin yhaa.......

7:44 PM  

Post a Comment

<< Home