Friday, November 03, 2006

#063: Inspirasi


Seorang pria sederhana, dengan kumis tebal dan rambutnya yang agak panjang, mendatangi tempat tinggalku di Cililitan beberapa tahun yang lalu. Ia orang daerah. Datang ke Ibukota dalam rangka diundang sebagai pembicara di sebuah seminar tentang hukum yang diadakan oleh Departemen Dalam Negeri di Gedung Bidakara, Pancoran. Aku sering memanggilnya, Cak Wadi. Ia seorang Doktor hukum lulusan sebuah universitas negeri di Semarang. Kini, ia menjadi dosen di sebuah universitas swasta di Kota Pahlawan.

Saya menyukainya. Baik tulisan ataupun sikapnya yang bersahaja. Walaupun ia seorang kolumnis ternama spesialis hukum di berbagai media massa lokal dan nasional, tapi rumahnya sangat sederhana. Itu kuketahui setelah aku beberapa kali berkunjung ke rumahnya.

Ketika ngobrol di Cililitan itulah, aku mendapatkan banyak "pelajaran" dari Cak Wadi. Diantaranya, Cak Wadi bilang, kegemarannya menulis muncul sejak usia muda. Ia rajin menulis ke koran ketika masih kuliah di Strata-1 (S1). Ketika dia masuk di S2 justru frekuensi menulisnya menurun. Begitupun kualitasnya. Ini ia akui sendiri.

Begitulah. Hari itu aku mendapatkan "pelajaran hidup" yang sangat berharga dari Cak Wadi. Bahwa, persoalan ide itu tak memandang usia, strata pendidikan, status sosial (jabatan) ataupun latar belakang. Ide bisa datang ke siapa, di mana, dan kapan saja.


#
Dik Wijiasih (salah satu partner diskusiku) memintaku agar setiap tulisanku diselingi humor-segar. Itu ide menarik! Tapi, yang namanya 'ide' tak bisa dibatasi atau diatur-atur, dik. Ia datang begitu tiba-tiba laksana gumpalan awan. Bila tak ditangkap, ia akan kabur laksana angin. Begitu ia datang, lekas-lekas kutuangkan. Maka, jerawat pun hilang.

Ide atau aku sering menyebutnya sebagai inspirasi adalah anugerah Ilahi. Ia bisa berupa sesuatu yang berisi canda-tawa. Bisa juga yang serius seperti karya ilmiah. Tergantung suasana hati yang menyertai. Bila hati berbunga, maka cerahlah tulisan itu. Sebaliknya, bila nurani bermurung duka, maka tampak mendunglah sang karya.

Inspirasi. Tidak hanya menjadi monopoli orang pintar, penulis, novelis, pengamat politik, sastrawan, dan sebagainya. Tapi ia bisa menghinggapi siapa saja. Orang awam, bukan penulis, yang tidak bisa menulis, dan lain-lain pun punya kesempatan yang sama. Karena inspirasi adalah karunia Gusti Pengeran.

Bisa jadi, orang awam punya ide lebih brilian dibandingkan orang kaum elite. Bedanya mungkin, bila ide itu ditangkap oleh orang elite, mereka memiliki kelebihan pendukung lainnya. Seperti, pengetahuan dan wawasan yang luas (berhubungan dengan referensi), gramatikal (tata-bahasa), sehingga ide itu kemudian bisa dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang hebat. Sementara, orang awam, walaupun dengan segala ide cemerlangnya, hanya bisa terkungkung
pada pola pikir dan wawasan yang sebatas ia kuasai.

Karenanya, soal inspirasi itu, kita tak perlu rendah diri (minder). Yang penting kita bisa menuangkannya dengan lugas dan lancar, walaupun karya kita itu tak sepuitis penyair, tak seindah novelis, dan tak sehebat karya penulis. Asalkan kita bisa mengaktualisasikan ide dengan sederhana namun jelas, dan apa (baca: tema) yang ingin kita sampaikan mengena, itu sudah
cukup. Setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama untuk bisa menangkap inspirasi. Begitupun untuk mengaktualisasikannya.




Pancoran, 9-Des-'03
(c) Gus John

0 Comments:

Post a Comment

<< Home