Wednesday, January 24, 2007

#105: Anugerah Yang Terindah


Ketika usianya masih 10 bulan, dia sudah bisa mengucapkan 120 (kosa) kata lebih, dan berusaha untuk bisa merangkai dua kata dalam satu pengucapan. Kini, usianya sudah "setahun-akan 4 bulan" (16 bulan). Setiap aku pulang kerja dan mencoba meraih koran untuk kubaca, selalu dia mendekat, kemudian mencoba "merusak suasana".

"Pa-pa ba-ca ko-lan In-jo-Posh", sambil ia tunjuk-tunjukkan jari telunjuknya di koran Indo Pos yang kubaca.

Tentu saja, koran yang kubaca jadi semburat. Melihat "kenakalan" itu, aku hanya bisa tersenyum memaklumi masa kecilku dulu. Soal "minat baca", unik memang. Saat ia masih bayi-cenger, ketika menangis, ia akan diam bila didekatkan di rak buku. Dia tersenyum melihat buku yang tebal-tipis, baru dan kusam, berwarna-warni berjejer di rak buku.

Pambayun...

Dia sekarang sudah besar. Bisa diajak bercanda. Sense of humor-nya tinggi. Pintar berkomunikasi. Diajak ngomong apa saja nyambung. Dia tipe "bayi gaul". Temannya banyak. Satu komplek kenal semua. Kalau sore atau liburan begini, teman-temannya yang TK ataupun SD akan bermain di rumah. Membaca, mewarnai, dan bermain apa saja. Ramai jadinya. Kalau mereka sudah bubar, rumah jadi berantakan. Layaknya rumah baca anak-anak! Hmm…

Nakmas...

Kini, dia sudah bisa ku-keloni untuk kuajak tidur -sebagaimana yang pernah aku inginkan ketika dia masih bayi. Tapi bukannya ia tidur, malah ngajak bicara, cerita atau bercanda. Begitulah bila ia akan tidur dan aku ada di sisinya. Dia tak akan mau tidur. Dia hanya mau tidur dengan mamanya.

Sekar Ayu...

Ia tumbuh begitu cepat. Tak terasa, ia sudah begitu besar. Mengingatkanku, bahwa diriku sudah menjadi seorang bapak (karena terkadang masih merasa sebagai bujangan :-). Melihat cara komunikasinya, terkadang aku sering lupa memperlakukannya seperti bocah 4 tahunan; mengajaknya bicara terlalu serius. Bila kemudian ingat, "Oh, iya, kamu masih setahun-empat bulan, Nak!"

Sekar Ayu Nakmas Pambayun...

Sewaktu dulu ia masih dalam perut mamanya, sering kuciumi. Hanya satu pintaku pada-Nya, "Ya Tuhan, dia adalah anugerah yang terindah yang kumiliki. Semoga, nur-Mu selalu menyertainya kelak”.

Melihat minatmu itu, selamat datang di dunia baca, Nak!





Pesanggrahan Bumi Ciangsana, 3 Juli 2006
(c) Gus John

#104: no identification

#103: Hidup Bermasyarakat


Jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan, karena bisa jadi kita akan menjadi bagian dari apa yang kita benci itu. Barangkali, ini adalah sebuah kata bijak yang cukup ampuh terbukti “tuah”-nya. Contoh sederhana, banyak orang yang menikah pada mulanya saling benci atau tidak suka. Banyak orang membenci sesuatu, tapi tak lama kemudian ia berada (terkondisikan) dalam apa yang ia benci itu. Seperti halnya yang sekarang penulis alami.

Dulu –sewaktu masih bergulat dengan dunia dan wacana LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), saya paling alergi dengan segala sesuatu yang berbau militerisme. Tapi sekarang, Tuhan menakdirkan saya untuk hidup bertetangga dengan puluhan prajurit militer, termasuk diantaranya 5 orang Kapten TNI AL dan 1 orang AKBP (setingkat Letkol) Mabes Polri. Bisa dipastikan, dalam hitungan 8 hingga 20 tahun mendatang, bila kenaikan pangkat mereka dihitung secara wajar sesuai dengan aturan kenaikan per-4 tahunan, maka saya memiliki banyak tetangga yang level jenderal. Belum mereka yang berprofesi sebagai sutradara dan krew film, serta anak-anak perwira menengah (pamen) militer.

Tapi, bukan soal jabatan dan pangkat itu yang ingin saya bahas. Dan bukan pula soal kebencian yang berbuah “tuah”. Yang ingin saya ulas adalah bagaimana posisi mereka (para perwira militer itu) dalam kehidupan bersosial-masyarakat, hidup bertetangga dalam satu komplek perumahan. Karena memang ada yang menarik, bahwa orang yang dianggap sebagai sesepuh (yang dihormati) di komplek perumahan saya itu justru orang yang profesinya biasa saja. Ada yang bekerja di sebuah bengkel motor di kawasan Otista, dan satunya lagi pernah sebagai kurir di Mega Kuningan. Sedangkan, Ketua RT-nya berprofesi sebagai pemborong bangunan. Padahal, banyak perwira di sana.

Dalam setiap rapat atau kerja bakti yang diadakan RT misalnya, para perwira itu jarang sekali yang ikutan gabung. Justru para prajurit dan sersan yang paling aktif di lingkungan warga. Ada memang satu-dua perwira yang jiwanya gaul, selebihnya tidak. Seringkali malah para perwira cuek itu menjadi bahan omongan para prajurit dan warga sipil lain. Kata salah seorang prajurit, jabatan perwira itu memang jabatan yang penuh dengan 3-J : jaim (jaga image), jarak (jaga jarak), jawa (jaga wibawa). Akhirnya mereka sendiri mengalami kesulitan dalam bermasyarakat.

Mereka (para perwira yang tidak gaul itu), terisolasi dari pergaulan masyarakat dan bahkan dari parjuritnya sendiri akibat dari 3-J tadi. Karena tidak mau gaul, tidak mau low profile, dan terkesan tidak peduli pada lingkungan sekitar, jabatan mereka yang tinggi di kantor seolah tiada artinya di lingkungan masyarakat. Buktinya, seorang kurir pun bisa sebagai “sesepuh” (lebih dominan suaranya) di masyarakat. Dalam hal ini, sanksi sosial/moral masyarakat yang akan menilai apakah seseorang itu berguna bagi lingkungannya. Orang yang dihormati berbeda dengan orang yang ditakuti. Dihormati biasanya identik dengan disegani dan dikagumi. Tapi ditakuti, lebih ke arah caci-maki, sumpah-serapah, jadi bahan omongan orang lain. Untuk menjadi orang yang dihormati tidak perlu harus 3-J. Asal mau dan mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan masyarakat, itu sudah cukup.

Inti dari tulisan (baca: “teori baru” ) ini adalah, bahwa “orang yang berpangkat, memiliki kedudukan dan jabatan yang bagus di suatu organisasi –entah itu perusahaan atau institusi yang lain- belum tentu mempunyai posisi yang bagus pula dalam kehidupan bermasyarakat”. Yang penting adalah adanya i’tikad baik dalam hidup bermasyarakat.
Selebihnya, wallahu’alam bi ash showab.



*dedicated to my sweet baby; S-Ay. NakMas Pambayun.

Landmark Tower-B Suite 801, 20 April 2006
(c) Gus John
>>Cepatlah besar Matahariku! Kamu semakin cerdas, Nak??!!!