Thursday, November 09, 2006

#070: JIL: Islam Pinggiran? -sebuah catatan kritis terhadap analisa Majalah Gatra


Entah, habis ketemu malaikat darimana, malam itu, sepulang dari kerja, Cipeng (teman kostku) memberiku sebuah majalah yang sangat berguna; Gatra, Edisi Khusus Lebaran (No. 2-3 Th. X), 6 Desember 2003. Menarik! Judulnya,"Beragam Jalan Islam Pinggiran".

Isinya, menceritakan tentang ajaran Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Syekh Ahmad Mutamakkin, KH. Ahmad Rifa'i, Kiai Saleh Darat, Hamzah Fansuri, dan KH. A Hamid Abulung. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dianggap sebagai profil gerakan Islam yang terpinggirkan di masa lalu.

Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging, hidup di jaman Wali Songo dan Kerajaan Demak (akhir abad 15 dan awal abad 16). Mbah Mutamakkin merupakan ulama kontroversial yang hidup di jaman Mataram Kartosuro era Sunan Amangkurat IV dan Pakubuwono II di abad 18. Kiai Ahmad Rifa'i hidup di abad 18. Ia disingkirkan oleh kolonial Belanda karena bersikap non-kooperatif dan dianggap membahayakan kepentingan kolonial. Begitupun Kiai Saleh Darat yang hidup di pertengahan abad 19. Tokoh Hamzah Fansuri hidup di abad 17 di Kerajaan Aceh. Ia dianggap sesat oleh rezim Sultan Iskandar Tsani, karenanya kitab-kitabnya dibumi hanguskan. Sedangkan KH Hamid Abulungan dihukum pancung oleh rezim Kesultanan Banjar di bawah kekuasaan Sultan Tahlilullah (1710-1802).

Kesemua ulama itu dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dicap sesat, zindiq, murtad, sehingga beberapa diantaranya dijatuhi hukuman mati oleh penguasa. Oleh Gatra, mereka dikategorikan sebagai "Islam pinggiran".

Cerita agung para kiai itu kemudian dilengkapi dengan profil komunitas-komunitas Islam Indonesia yang dianggap "nyleneh", seperti: Ahmadiyah, al-Zaytun, Darul Hadis, Inkar Sunnah, Isa Bugis, Islam Kajang, Islam Wetu Telu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Rufaqa, Salamullah, Syi'ah Indonesia.

Menurut catatan redaksi, tema ini sengaja diambil sebagai bentuk keprihatinan atas munculnya vonis sesat, murtad, bahkan hukuman mati terhadap kelompok Islam tertentu yang dianggap kontroversial di tengah masyarakat. Karenanya, Gatra mencoba menampilkan kehidupan keseharian, ritual, dan paham spiritual mereka sebagaimana mereka ingin menuturkan dirinya. Dengan ulasan ini, Gatra menginginkan bisa membangun saling pengertian dan toleransi di tengah keberagaman itu.

Cerita Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Hamzah Fansuri, mungkin aku punya bukunya. Tapi, cerita Mbah Mutamakkin, Kiai Saleh Darat, itu yang penting! Dari sinilah bermanfaatnya ulasan Gatra tersebut. Tapi, begitu jatuh pada profil JIL, ketertarikan saya jadi aneh. Bila Darul Hadis, al-Zaytun, Salamullah dll itu posisinya sudah jelas di mata umat; MUI pernah memberikan fatwa: sesat! Tapi tidak dengan JIL. Hanya sebagian komunitas Islam yang memang musuh JIL saja yang kebakaran jenggot.


#
Menurut saya, label "Islam pinggiran" yang ditasbihkan kepada JIL, kemudian mereka disejajarkan dengan paham Syekh Siti Jenar dkk yang terpinggirkan di masa lalu, terlalu menyederhanakan dalam pemetaan masalah. Berikut ini, sedikitnya ada empat catatan mendasar dari saya untuk ketidaktepatan Gatra tentang label itu, diantaranya: pertama, historis Islam pinggiran di masa lalu sangat berkaitan erat dengan kepentingan politik penguasa. Jika menengok sejarahnya Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Hamzah Fansuri dkk, Islam pinggiran ketika itu dianggap sebagai sebuah paham keagamaan yang berbeda dari mainstream paham keagamaan yang dianut oleh masyarakat dan kerajaan/pemerintahan. Mereka dianggap berbahaya oleh penguasa, karenanya harus dipinggirkan. Sementara JIL saat ini, secara politik pun tidak ada yang memusuhi. Bahkan mungkin, pemerintah dan militer sangat diuntungkan dengan keberadaan mereka untuk mengontrol gerakan Islam radikal yang sudah dicap "teroris" oleh Barat. Artinya, posisi JIL sekarang justru berada diatas angin.

Kedua, bila mengamati tokoh-tokoh Islam pinggiran di masa lalu, sanad keilmuannya sangat jelas; ke Timur-Tengah. Sedangkan tokoh-tokoh JIL sekarang bebas bisa memilih studi ke Amerika, Australia, Inggris, dan negara Barat lainnya. Kelahiran JIL juga sangat bertepatan waktunya ketika Barat dengan kepentingan globalnya mengusung satu tema utama dunia: memerangi terorisme. Melihat hal ini, JIL sangatlah tidak tepat bila disebut kaum pinggiran, karena kepentingan mereka sudah bersinggungan dengan kepentingan global.

Ketiga, yang namanya kaum pinggiran, itu asumsinya kaum minoritas. Bisa minoritas secara kuantitas (jumlah) ataupun kualitas (opini). Menurut jumlah, pengikut JIL memang tidak signifikan. Mereka bukan gerakan massa-basis. Tapi lihatlah dari sisi wacana? Mereka sangat menguasai opini di berbagai media massa. Tentu itu membutuhkan biaya yang tidak murah. Jaringannya pun para intelektual. Tidak harus dari kalangan santri, yang abangan pun bisa masuk dalam lingkaran mereka. Cendekiawan, pengamat politik, ekonom, pengurus partai, bisa relatif dengan mudah bergabung dengan ajaran JIL.

Keempat, ini yang paling penting! Jika menggolongkan JIL yang sangat terbuka itu sebagai Islam pinggiran, asumsinya, pihak di luar JIL disebut pihak yang meminggirkan. Yang dipinggirkan diasumsikan sebagai minoritas, sebaliknya yang meminggirkan disebut kaum mayoritas. Selama ini, pertempuran wacana dan gerakan Islam kontemporer di Indonesia: Liberal, lawannya radikal/fundamentalis. Bila minoritas itu JIL (karena disebut sebagai Islam pinggiran), maka mayoritas itu diasumsikan sebagai penganut paham radikal. Padahal, bicara representasi Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan NU-Muhammadiyah. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang justru berpikiran moderat. Mereka pun tidak memusuhi JIL. Baik secara politik ataupun paham keagamaan.

Sebagai mayoritas, mereka tidak mengisolirJIL seperti halnya yang pernah dilakukan oleh paham Islam mayoritas jaman dulu terhadap aliran Syekh Siti Jenar dkk yang dianggap minoritas dan "nyleneh". Justru, NU-Muhammadiyah dengan sangat nyata memerangi dan mengecam aksi penyampaian Islam yang dilakukan secara radikal seperti yang dilakukan oleh Amrozi dkk, karena hal itu dianggap sebagai merusak citra Islam.

Lalu dalam konteks apakah JIL merasa dipinggirkan? Dari perspektif mana JIL disebut sebagai Islam pinggiran, yang kemudian disejajarkan dengan posisi Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Ki Ageng Pengging, Mbah Mutamakkin dll yang terpojok itu?

Justru, dalam amatan saya, pihak Islam radikal-lah saat ini yang patut dimasukkan ke dalam bingkai Islam pinggiran. Karena mereka tidak hanya dimusuhi oleh JIL, tapi juga oleh pemerintah, militer dan masyarakat muslim moderat yang mayoritas. Dari sini, analisis Gatra dalam memetakan Islam pinggiran yang dimaksud, bisa dibaca sangat absurd.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.


Padepokan Tebet, 13 Jan '04
(c) Gus John.

Wednesday, November 08, 2006

#069: Ma'afkan Saya, Kiai


Tempuran-Magelang, akhir tahun 2003;

"Telur-telur ulet-ulet.
Kepompong kupu-kupu
Kasihan deh lu....
Kasihan deh lu...."

Suara nyanyian nenek membangunkan Orlin di pagi hari itu. Kuterbangun. Kesiangan! Jam 6:30. Mungkin, aku ini tamu yang pemalas. Tuan rumah sudah bersih-bersih rumah, sementara aku masih tertidur dengan pulasnya. Tapi entahlah, kalau di rumah orang lain, mungkin tidak begitu. Mungkin, aku sudah menganggap Tempuran sebagai rumah kedua.

"Tidur jam berapa, mas Agus?" tanya nenek Orlin sekeluar aku cuci muka dari kamar mandi.

"Jam tiga, bu", jawabku dengan penuh taqdim. Aku memang selalu 'segan' dengan wanita lembut yang sudah mulai tua itu. Selama ini, nenek Orlin sudah kuanggap seperti ibuku sendiri.
Ada kesejukan, kesabaran, jiwa yang ngemong, nilai-nilai spiritual yang tinggi, ketenangan yang dalam, yang saya temukan dalam diri nenek Orlin. Dan, penghormatanku pada seseorang, tak pernah bisa kubuat-buat ataupun kurekayasa. Ketemu kiai-penyair kondang, Gus Mus (KH. A.Mustofa Bisri) pun, aku pernah tak bisa mencium tangannya. Karena waktu itu diriku tidak ikhlas melakukannya.

"Oh, pantesan, kalau tidur sering malam, nggih?" tanya nenek Orlin.

"Inggih."


#
Habis cuci muka, aku keluar rumah. Kuambil bola milik Syafa', om Orlin. Kutendang-tendang di tembok pagar gedung BRI Tempuran, yang letaknya di kiri rumah Orlin. Kulakukan sedikit peregangan dan pelemasan otot-ototku yang mulai kaku, karena sekian bulan tak pernah menyentuh net bola voli. Udara segar daerah Tempuran, Magelang memang mengasyikkan. Setelah terasa keringat sudah keluar, aku kembali masuk rumah.

Ayah Orlin berencana mengirim kayu siang ini. Ia mengajakku. Karena hanya kirim kayu, dalam benakku, tentu nanti akan ikut angkat-angkat dan pakaian bisa kotor. Karenanya, tanpa perlu mandi, aku terus ikut berangkat naik kijang baru punya Orlin itu. Hanya kaos oblong dan celana kolor warna putih yang melekat di badan.

Syafa', om Orlin yang lucu itu ikutan. Ia duduk di kursi depan. Kijang hitam itu terus meluncur ke arah selatan, menuju kota Purworejo. Hamparan sawah nan luas. Padi menghijau-kuning dedaunannya. Cerahnya biru-putihnya langit. Gugusan gunung berada di sebelah barat. Kabut menyelimuti puncak Merapi tampak di sebelah timur. Rerimbunan pohon rambutan, dan pohon kelapa setinggi kurang lebih 10 m berjajar di kanan-kiri jalan. Hawa segar kota Magelang mengikuti perjalanan kami pagi itu. Lintasan yang berkelok, naik-turun, menambah asyik pemandangan. Betapa agungnya Tuhan, batinku...

Entah berapa belokan yang telah kita lewati. Hanya satu yang kuingat, belokan terakhir itu melewati sebuah makam. Di sebelahnya, perempuan-perempuan desa melakukan transaksi jual-beli bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Sayur-mayur, ikan, cabe, dan keperluan dapur lainnya. Orang Jawa bilang, itu pasar wetonan. Ada yang dinamakan: Pasar Sabtu Pon, Pasar Sabtu Kliwon, dan lain-lainnya.

Setelah makam, kita belok ke kanan, naik sedikit tanjakan kemudian belok ke kanan lagi. Sampailah kita di pelataran rumah yang cukup luas. Mobil Orlin parkir persis di depan rumah tua khas Jawa (baca: Joglo) terbuat dari kayu jati asli warna coklat tanpa cat sedikutpun. Rumah antik itu berada di deretan bangunan rumah paling utara menghadap ke selatan. Untuk masuk kedalamnya, kubungkukkan badan. Begitu masuk, ruang tamunya begitu luas. Dindingnya sama, kayu jati asli dibiarkan tak bercat.

"Assalamu'alaikum," ayah Orlin membuka salam.

"Wa'alaikumsalam," jawab orang yang berada di dalam rumah. "Silahkan masuk," lelaki tua berkaos oblong, berkulit kuning, berperawakan pendek, bersarung hijau dan bersurban, mempersilahkan kami untuk masuk. Kujabat dan kucium tangannya. Wajah itu teduh, lembut. Bahasanya halus, pelan, tapi jelas. Aku tak tahu, siapa orang tua di depanku ini. Yang hanya kutahu, beliau adalah buyutnya Orlin dari nasab nenek. Di sebelahnya, seorang pria sedang menemani orang tua itu ngobrol sambil memainkan handpone yang tak mendapatkan signal.

Kutebarkan pandanganku ke sekeliling ruangan rumah. Foto Megawati dan Hamzah Haz terpampang tanpa bingkai kaca di dinding sebelah utara. Ditengah-tengahnya agak ke atas sedikit, gambar Pancasila. Semuanya dari kertas, tak berbingkai. Memajang foto umara' dan ideologi negara, itu model nasionalisme khas kaum ahlus sunnah wal jama'ah di lingkungan para kiai. Dibawahnya, terdapat sebuah kursi tua dari kayu berwarna coklat. Jas warna coklat muda tergantung di kursi itu.

Kugeser pandanganku ke arah barat. Sebuah jendela terbuka membuat sehat sirkulasi udara di dalam ruangan. Dari jendela ini, masjid depan rumah bisa terlihat dengan jelas. Di dinding sebelah timur, terpajang kalender bertuliskan "Pesantren Tegalrejo". Kubangkit dari tempat dudukku. Kubuka-buka dan kubaca kalander itu.

"Itu pesantren Tegalrejo, nak," kata lelaki tua bersurban itu.

Kujawab, "Inggih, Kiai." Menemukan nama pesantren itu, ingatanku kemudian melayang ke sosok Pangeran Diponegoro. Konon, pesantren itu masih ada kaitannya dengan masa revolusi Perang Jawa, 1825-1830 yang dikobarkan oleh Pangeran Jawa putra Sultan Hamengku Buwono III itu.

"Ini minumannya. Silahkan diminum, Nak," seorang perempuan tua keluar dari ruangan dalam, membuyarkan lamunanku tentang Diponegoro. Istri lelaki tua bersurban itu menghidangkan teh hangat dan makanan (kue) lebaran.

Setelah sedikit kucicipi makanan yang dihidangkan, aku keluar rumah. Suara gemericik air dari sungai kecil di kiri rumah, mengalir di cerukan tanah yang lumayan dalam; kurang lebih 20 meter dari permukaan tanah rumah. Pepohonan kelapa di sekelilingnya. Tanah halaman itu sangat subur. Beberapa rumah mengelilingi halaman itu. Rumah yang di depan, dekat pintu masuk tadi, agak bagus. Di sebelahnya, bangunan bertingkat sudah jebol. Kacanya ada yang pecah. Kayunya keropos dimakan usia. Kuintip ke dalam. Ada karpet hijau, kitab-kitab kuning, buku-buku juz'amma, dan kertas-kertas sobekan Qur'an yang usianya mungkin sudah usang. Meniliknya, itu seperti bekas tempat pengajian.

"Ini dulunya pesantren, mas", kata seorang perempuan yang masih kerabat lelaki tua bersurban yang kutemui di dalam rumah tadi.

"Berapa orang sekarang santri yang mondok, mbak?" tanyaku.

"Sekarang sih sudah ndak ada. Kalau dulu banyak, mas. Ada santri yang menetap, dan ada yang pulang-pergi."

Di sebelah barat rumah tua yang dikatakan pesantren itu, terdapat rumah cukup bagus. Di sebelah utaranya, masjid berukuran sedang dengan tempat wudhu di sebelah kirinya. Kuintip ke dalam masjid. Masjid itu lumayan besar. Seukuran dengan masjid 'Baitul Muttaqien' di kampungku. Di utara masjid, terdapat rumah tingkat. Di sebelah timur, itulah rumah buyut Orlin.

Aku kembali lagi ke dalam rumah. Lelaki tua bersurban itu mengambil jas coklat muda yang tergantung di kursi tua, lalu ia kenakan. Buyut putri Orlin sudah ganti pakaian rapi; berkebaya dan berkerudung. Setelah dikasih tahu ayah Orlin, aku baru tahu, kedatangan kita ke lereng gunung itu untuk menjemput buyut Orlin. Ada undangan untuk memimpin do'a bagi orang yang akan naik haji di kampung sebelah. "Berarti, buyut Orlin ini kiai kampung," gumamku.

Perjalanan meluncur lagi ke arah Tempuran. Rumah orang yang akan naik haji itu di sebelah utara rumah Orlin. Jaraknya kira-kira 500-an meter. Rumah itu berada di tengah-tengah sawah. Mobil harus melewati kali kecil yang airnya mengalir cukup deras. Begitu sampai, tuan rumah menyambut dengan ramah. Beberapa lelaki penyambut mengenakan kain batik, bersarung dan berpeci. Perempuannya mengenakan kebaya dan kerudung. Begitu turun dari mobil, tangan kiai jadi rebutan untuk dicium. Dengan celana kolor aku pun ikut disalami. Dengan ramah, mereka mempersilahkan kita masuk. Di sinilah aku kembali baru sadar, buyut Orlin itu tokoh kampung, kiai kampung. Aku cepat tanggap dengan situasi seperti itu. Langsung aja aku pamit, walaupun dipersilahkan masuk. Ini untuk menimbulkan kesan, kita hanya mengantarkan pak kiai.

Hmm. Aku sewot sama ayah Orlin. Kalau tahu acaranya itu mengantarkan kiai ke tempat acara hajatan, tentu aku pakai sarung. Atau paling tidak, pakai celana panjang. Tidak dengan celana kolor yang sering kupakai voli dan futsal, plus wajah kusut karena belum mandi. Dasar, ayah Orlin!!!

Dan benar! Begitu sampai di rumah, nenek dan budhe Orlin meledekku. Aku pun minta ma'af. Sedikit banyak aku tahu adab bagaimana harus ketemu kiai. Secara sadar, kelakuanku tadi sungguh memalukan. Tidak tahu sopan-santun. Apalagi disambut orang banyak di pelataran rumah orang yang punya hajatan.

"Inggih, bu. Saya pikir tadi ngirim kayu, tidak tahunya menjemput mBah Kiai Mughni. Saya jadi ndak enak," jawabku. Nenek dan budhe Orlin hanya bisa tersenyum. Sementara aku terdiam dalam malu.


#
Siang hari menjelang sore. Kuberbaring di dalam kamar. Kuambil satu buku di antara tumpukan buku yang kemarin bersama Orlin kita beli di Jogja. Buku berjudul "Sunan Kalijaga" versi baru karya Dr. Purwadi akhirnya bisa tuntas. Di dalam keasyikan membaca, kudengar suara halus di luar kamar. Tepatnya di ruang tamu. Ada tamu, pikirku. Kumengenal pemilik suara itu. Aku langsung keluar kamar. Sebelumnya, kuganti pakaian celana panjang.

Seorang lelaki tua bersurban merebahkan tubuhnya di kasur di ruang tamu, di depan persis TV yang sering kutonton hingga larut malam. Jas coklat mudanyaia sandarkan di kursi. Matanya belum juga tidur. Mulutnya membaca sholawatan.

"Assalamu'alaikum, Pak Kiai," sapaku sambil merunduk. Kuraih tangan halus itu sebelum ia mampu bangun, lalu kucium.

"Oh, iya," jawab kiai membiarkan tangannya untuk kucium sambil mencoba untuk bangun.

"Tadi datang jam berapa, Pak Kiai?" tanyaku.

"Jam 2".

"Oh, inggih. Silahkan tidur, Pak Kiai". Aku mencoba undur diri, memberi kesempatan kiai untuk beristirahat.

'Paling tidak, ciuman tangan ini sebagai pertanda permintaan ma'afku,' batinku melirih. Kiai Mughni kembali merebahkan tubuhnya. Kutemani beliau dengan membaca buku di sofa ruang tamu. Kembali kubiarkan diriku terhanyut dalam isi buku.
Sekali lagi, ma'afkan saya, kiai.


Padepokan Tebet, 12 Jan '04
(c) GusJohn.

Tuesday, November 07, 2006

#068: Lahirnya Kota Jakarta, Awal Kolonialisme atas Nusantara


Dari Padepokan Tebet, terus ke Mampang Prapatan, Warung Buncit, Kebon Sirih, Cililitan, Kalibata, Matraman, Kramat Raya, Ciganjur, dan begitu seterusnya. Ngeluyur, memutari ibukota Jakarta, aku tak ada bosannya. Mungkin, aku ini makhluk yang tak pernah sadar, bahwa, bumi yang kuinjak ini penuh dengan lintasan sejarah. Bahwa, jalan yang selama ini kulewati pernah menjadi saksi bisu catatan sejarah masa lalu.

Nama Warung Buncit, sebagai pertanda menyisakan cerita adanya seorang Cina berperut buncit yang buka warung kelontong di sebuah jalan jaman dulu, yang kini bernama Jl. Mampang Prapatan dan diteruskan ke selatan dengan nama jalan Warung Jati Barat.

Kebon Sirih, dan nama-nama daerah yang berawalan "kebon" menandakan kalau Jakarta ini dulunya ladang luas yang subur. Ada Kebon Bawang, Kebon Kacang, Kebon Jahe, Kebon Sirih, Kebon Jeruk, Kebon Jati, Kebon Jambu, Kebon Kosong, Kebon Manggis, Kebon Mawar, Kebon Melati, Kebon Pala, Kebon Pedati, Kebon Sayur, Kebon Sereh, Kebon Nanas, Kebon Nangka, Kebon Pisang, Kebon Mangga, Kebon Kelapa, Kebon Baru, dan sebagainya.

Matraman yang sekarang masuk wilayah Jakarta Timur, dulu berasal dari nama"Mataram". Di tempat inilah dulu pasukan Mataram Sultan Agung berkemah ketika pernah dua kali melakukan penyerangan ke Batavia, yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1628 dan 1629).

Palmeriam (Matraman) dan Gudang Peluru (bhs. latin: Arsenal, Kp. Melayu) menyiratkan pernah terjadinya pertempuran antara pasukan Inggris (dipimpin Kolonel Gillespie) melawan Belanda yang waktu itu berinduk semang ke Perancis (Napoleon Bonaparte) di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Marsekal HW Daendels, yang dimenangkan oleh Inggris. Pertempuran ini terjadi di tahun1811, sekaligus sebagai awal pendudukan Inggris di Jawa hingga tahun 1816. Dan, masih banyak lagi sejarah dari jalan-jalan dan nama daerah yang lain, di wilayah DKI ini. Terkadang, aku tak pernah sadar, seolah-olah hanya bisa mendiami dan mencari nafkah 'un sich' di ibukota ini.


#
Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan anggota DPR (Kabelvision channel TV Swara) tanggal 3 Desember 2003 menjelaskan tentang rencananya untuk mereklamasi pantai utara Jakarta. Plus, melanjutkan program pembangunan banjir kanal timur yang selama ini terbengkalai.

Proyek pertama, dimaksudkan untuk membuat sebuah terminal terpadu yang terpusat di sekitar Tanjung Priok. Proyek ini nantinya diharapkan bisa meliputi: ada terminal bus, ada pelabuhan dan ada stasiun kerata api untuk melayani kebutuhan transportasi di DKI. Sedangkan proyek kedua merupakan kelanjutan dari rencana Belanda tempo dulu untuk mencegah banjir yang melanda ibukota. Selama ini, baru ada banjir kanal barat yang dibuat dengan memotong arus kali Ciliwung di wilayah Tambak (depan Ps. Raya dan terminal Manggarai) melewati Ps. Manggarai (Ps. Rumput), Landmark, Tanah Abang, Grogol, dan terus menuju ke Muara Angke (peta Jakarta edisi 12/2001-2002, karya Gunther W. Holtorf).
Sementara banjir kanal timur akan memotong arus Kali Cipinang dan Kali Sunter di sepanjang Jl. Jenderal Basuki Rahmat, terus ke Jl. Soekanto di Pondok Kopi dan kemungkinan besar akan menuju wilayah Cakung dan Cilincing (peta Jakarta idem).


#
Hari lahirnya Jakarta, 22 Juni 1527 masih simpang siur. 22 Juni yang diperingati tiap tahun oleh masyakat ibukota, yang biasanya disambut meriah dengan mengadakan pesta meriah "Jakarta Affair" yang berlangsung selama sebulan penuh, masih menyisakan penggalan-penggalan perdebatan antara dua pendapat pakar sejarah; Prof. Dr. Husein Djajadiningrat dengan Prof. Dr. R. Sukanto. Akhirnya dicari jalan tengah; profesor pertama menentukan tahunnya, sedangkan profesor kedua menentukan tanggal dan bulannya (Ketoprak Betawi, Intisari, Juni 2001). Begitulah.


#
Hm, siang ini kepalaku terasa penat! Tapi, di balik kepenatan itu, muncullah ide dari tema ini. Bahwa, bila ditelusuri dengan seksama, awal mula cengkeraman penjajah (eksploitasi) di bumi Nusantara, tak bisa dilepaskan dengan sejarah dan latar belakang berdirinya kota Jakarta. Alur ceritanya, kurang-lebih seperti ini:

Portugis berhasil menguasai Selat Malaka di tahun 1511 M. Mereka datang dalam rangka mencari daerah sumber penghasil rempah-rempah di bumi Nusantara. Karena merasa kepentingan Demak terganggu dan Portugis berusaha melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah tersebut dalam bentuk teror ke pedagang lokal, maka Pati Unus, Raja kedua Demak (putra Raden Patah) melakukan 2 kali serangan ke Malaka, tapi gagal.

Tahun 1518, Pati Unus meninggal dunia. Kemudian ia digantikan oleh Sultan Trenggono, adiknya. Berbeda dengan kakaknya, Trenggono lebih berkonsentrasi pada kekuatan darat bila dibandingkan dengan kekuatan armada laut. Cikal-bakal pasukan Brigade Mobil(Brimob, pasukan berkuda yang berada di bawah komando Polri saat ini) adalah warisan Demak era Trenggono.

Karena banyak yang kecewa dengan sikap dan fokus kebijakan pertahanan darat yang diciptakan oleh Trenggono, maka terjadilah aliansi kekuatan secara diam-diam antara pasukan Tuban (serpihan dari Kerajaan Majapahit), Bugis, Aceh, dan Jepara. Tujuannya satu, menyerang Portugis yang bercokol di Malaka! Namun, adanya aliansi itu bisa dibaca oleh Trenggono. Demak kemudian juga ikut gabung dalam rencana ekspansi tersebut. Panglimanya yang ditunjuk adalah Fatahillah (Feletehan). Dibuatlah kesepakatan bersama untuk mengusir Portugis dari Malaka.

Terjadilah pengkhianatan itu. Pasukan Tuban begitu tiba di Malaka menyaksikan sebuah kenyataan yang menyakitkan. Gabungan pasukan Aceh dan Bugis kocar-kacir melawan meriam-meriam Portugis sebelum mereka mampu melakukan pendaratan di tanah Malaka. Pasukan Demak yang ditunggu-tunggu tidak hadir juga. Bantuan pasukan Tuban tak begitu berarti. Mereka dengan mudah dihalau oleh kekuatan Portugis dan akhirnya terdesak ke pedalaman Malaka. Karena semakin terdesak, dan untuk menghindarkan diri dari pengejaran tentara Portugis, mereka lambat-laun beralih profesi dari tentara menjadi petani, kemudian berbaur (kawin campur) dengan penduduk lokal. Inilah awal-mula adanya nenek-moyang orang Jawa yang berada di Malaka. Padahal, Portugis waktu itu sangat ketakutan dengan aliansi Jawa itu. Ketika mendengar akan diserang, mereka memindahkan benteng pertahanan yang berada di pinggir pantai menuju ke tempat yang agak masuk ke pedalaman.

Pasukan Demak dibawah pimpinan Fatahillah yang ditunggu-tunggu oleh pasukan aliansi, ternyata membelok ke Selat Sunda. Tidak ke Selat Malaka sesuai dengan kesepakatan awal. Di sana, mereka malah menyerang Banten, kemudian menyerang Sunda Kelapa (waktu itu masih di bawah pengaruh Pajajaran). Armada Portugis yang merasa unggul dan mampu menghalau aliansi Jawa mencoba masuk ke Laut Jawa. Mereka menuju ke Sunda Kelapa. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan Fatahillah. Terjadilah pertempuran sengit. Portugis gagal menduduki Jawa. Menurut catatan sejarah, waktu itu, 22 Juni 1527, Fatahillah mampu menaklukkan Sunda Kelapa ke dalam kekuasaanDemak. Berdirilah Sunda Kelapa, yang kemudian memiliki nama lain: Jayakarta, Jacatra, berubah menjadi "Batavia" di era Belanda, lalu berganti menjadi Jakarta hingga kini.

#
Di mana letak korelasinya judul tema di atas bila dikaitkan dengan cerita yang masih bersifat asumsi dari saya tersebut? Pertama, Demak jelas menjadi pengkhianat dalam kasus ini. Mereka memanfaatkan kosongnya Jawa justru untuk memperkuat posisi dan hegemoni Demak di tanah Jawa. Mereka berpura-pura ikut aliansi, tapi kemudian menelikung dan menyerang Jawa di saat tentara Jawa konsentrasi menyerangMalaka.

Kedua, seandainya, Demak tidak mengkhianati aliansi Jawa-Aceh-Bugis dalam menyerang Portugis di Malaka itu, dan bila rencana penyerangan itu dilaksanakan dengan matang, bisa jadi Portugis terusir dari Malaka.Terusirnya Portugis dari Malaka itu penting, paling tidak bila dilihat dari perhitungan politis; memberikan pelajaran (sock-teraphy/psiko-historis) pada bangsa asing untuk tidak mencari masalah di bumi Nusantara. Penyerangan itu penting untuk menunjukkan bahwa kekuatan Nusantara bisa melakukan perlawanan yang gigih dan mampu mengusir bangsa asing yang lebih hebat persenjataannya sekalipun. Tapi sayang, aliansi itu ternoda oleh pengkhianatan Demak-Trenggono via Fatahillah.

Akibat dari gagalnya Portugis terusir di Malaka, maka cengkeraman mereka semakin kuat terhadap Maluku sebagai daerah sumber penghasil rempah-rempah. Mereka merasa tidak memiliki pesaing dalam usaha perdagangan itu.

Kalaupun di kemudian hari Portugis pergi dari Nusantara, itu bukan karena mereka tidak tertarik lagi dengan hasil kekayaan Nusantara, tapi terlebih karena digantikan oleh kekuatan yang lain. Maka, kemudian datanglah kekuatan Spanyol, Dan, ketika Portugis kekuatannya semakin menipis, mereka digantikan oleh datangnya Belanda ke Nusantara (1596, menurut catatan sejarah umumnya). Lalu datanglah Inggris tahun 1618. Belanda kabur ke Banda, Maluku. Tahun 1619, Belanda di bawah pimpinan JP. Coen berhasil merebut Jayakarta(Jakarta, sekarang) kembali. Dari Jakarta inilah, Belanda berkantor pusat. Mengatur kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga tahun 1945.

Ketiga, apapun dalihnya (membaca tulisan dari pakar budaya Betawi, Ridwan Saidi), berdasarkan dari asumsi saya di atas, maka berdirinya Jakarta merupakan awal lepasnya Nusantara ke dalam pelukan kepentingan Barat. Lahirnya kota Jakarta, merupakan awal Nusantara menjadi daerah jajahan yang dieksploitasi sumber alamnya oleh kekuatan asing (Barat) --hingga kini.

Kesalahan strategi, adanya pengkhianatan, belum adanya kesadaran berbangsa, lemahnya pemahaman geopolitik, dan elite politik yang terjebak pada intrik-intrik lokal, menjadi penyebab bangsa kita menjadi negara yang selalu terbelakang dan kerdil. Selalu menjadi obyek daripada menjadi subyek.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.



Padepokan Tebet, 6 Jan '04
(c) GusJohn.

#067: Ketika Aku, Sesungguhnya, Karena


Ketika aku merasa diriku ini yang paling khusyu' beribadah kepada Tuhan, sesungguhnya aku tidaklah khusyu', karena aku secara sadar bisa berpikir yang lain (tentang posisi diriku) di dalam kekhusyu'anku itu. Artinya, diriku tak konsentrasi penuh. Ibadahku tidak seratus persen ikhlas-lepas. Ada interest tertentu. Terlalu mengharap mendapat sesuatu pada Tuhan. Merasa diriku punya hubungan yang paling dekat dengan-Nya, sehingga tanpa sadar main sikut-tendang dengan sesama. Mengabaikan kenyataan bahwa, orang lainpun sebenarnya punya hak yang sama untuk mendekatkan dirinya kepada-Nya.

Ketika diriku ini merasa paling 'alim, sesungguhnya aku tidaklah 'alim, karena kesadaran akan kealimanku itu bisa menimbulkan segala macam noda hati; riya', takabur, pamer, jaga image (jaim) dalam berpolah-tingkah, memandang rendah ibadah dan keyakinan orang lain, merasa diri yang paling benar, dll. Padahal, 'alim dan tidaknya diri bukan kita sendiri yang menilai, tapi kita butuh cermin-pantul. Cermin itu adalah orang lain. Syukur-syukur, tentang kealiman kita, hanya Dia yang tahu.

Ketika aku merasa diriku kaya, sesungguhnya aku berada dalam kemiskinan (bila tak disyukuri), karena yang ada hanyalah motivasi menambah dan menumpuk kekayaan itu. Melupakan orang lain yang miskin-papa. Angkuh dengan harta. Lupa akan nasib teman-teman. Pamer, foya-foya, tidak amanah, lalu tanpa sadar larinya ke maksiat.

Ketika seseorang merasa mendapatkan istri yang tercantik, sesungguhnya ia mendapatkan musibah, karena terkadang terjebak pada kecantikan luarnya saja. Sementara hati dan tingkah-laku sang istri itu tak patut dijadikan suri-tauladan dalam berhubungan sosial. Ibarat membeli kucing dalam karung.

Ketika diriku ini merasa mulia dan agung, sesungguhnya aku biasa-biasa saja, karena kemuliaan seseorang adalah ketika berbuat baik, berbuat yang bermanfaat bagi orang lain, tapi ia sendiri tak pernah menyadarinya. Kemuliaan seseorang ialah, ketika ia bisa menemukan kehinaan dirinya, sehingga bisa memahami keagungan Tuhannya. Karena kemuliaan dan keagungan, hanya pantas menjadi milik Tuhan. Itu adalah baju Tuhan, bukan baju kita, manusia.
Ketika aku, sesungguhnya, karena.........


Padepokan Tebet, 29 Des '03, 03:45 WIB.
(c) GJ

#066: Membentuk Ikatan, Meretas Sebuah Harapan


Mengawali, memang terkadang lebih sulit daripada menindaklanjuti. Mendirikan, itu lebih sulit dari melanjutkan. Dan, mengisi kegiatan dari sebuah organisasi (mempertahankan) itu lebih berat daripada hanya membiarkan organisasi itu berdiam diri dan vakum dari segala aktivitas. Begitulah.

Berpikir bahwa begitu berdiri, IAW diharapkan langsung bisa besar sebesar ITB juga terlalu berlebihan. ITB, memiliki jaringan kuat yang cukup dikenal dengan istilah "ITB-connection" itupun setelah melalui proses yang cukup panjang dan melelahkan. Puluhan tahun. Begitupun dengan ITS, UI, UGM, dsb. Jadi, besarnya IAW kelak akan sangat tergantung pada pengurus dan tiap individu sebagai anggota yang ikut andil aktif membesarkan dan mengembangkan ikatan alumni STM Telkom Malang ini.

Kita sudah memasuki beberapa fase:1. fase pendirian IAW, meliputi dua hal penting: Rapat Anggota di TMII, 4 Mei 2003 dan disahkannya IAW sebagai sebuah "Perkumpulan" lewat akta Notaris A. Yani (Jakarta Selatan) dengan No. 21.

2. fase pembentukan pengurus IAW, yang meliputi 5 departemen ;3. fase pendirian PT Wikusama, yang telah disahkan oleh Notaris Sri Ismiatidi Kelapa Gading, Jakarta Timur;4. fase pendirian lembaga-lembaga otonom IAW, yang meliputi: Lembaga Penerbitan Buku (LPB), Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (LPP);5. dan seterusnya.

Saat ini, yang kita perlukan adalah: 1. mengisi fase-fase tersebut dengan kinerja nyata. Menjalankan program kerja IAW, follow up PT, dll dengan penuh konsisten. 2. membuat fase-fase baru untuk langkah konkrit berikutnya; mencari peluang dan kesempatan untuk mengembangkan diri.

IAW punya potensi besar sebesar ITB-connection, ITS-connection, UGM-connection, Unibraw-connection, UI-connection dll. IAW bisa menjadi sebuah wadah yang menyatukan berbagai potensi yang dimiliki anggotanya; IT, seni-budaya, sosial-politik, ekonomi-bisnis, dan sebagainya. Memang tidak bisa dilihat sekarang, tapi nanti!!!

Namun, IAW bisa besar tergantung langkah kita bersama. Tidak harus terpaku pada pengurus semata ataupun ketuanya saja. IAW bisa besar bila kita bersama-sama bersinergi membangun dan menggapai kebesaran itu. Percayalah, mimpi bisa menjadi kenyataan bila kita punya optimisme dalam menjalaninya.

Karena, bagaimana mungkin kita bisa berfikir memiliki sebuah harapan akan sebuah kebesaran bila kita sendiri tak pernah mau mengisi dan rela menjadi martil bagi kebesaran itu sendiri? IAW adalah anak macan. Dan jangan biarkan anak macan mati kelaparan, tak bisa tumbuh berkembang secara normal sebelum waktunya. Jangan biarkan anak macan yang kelak bisa dewasa hanya bisa melahirkan seorang kucing, karena hal itu sangat disayangkan...
Maka, berkembanglah dan besarkanlah IAW....



Padepokan Tebet, 22 Des '03
(c) GJ

#065: Kedunguanku


Kata banyak orang di kampung, aku ini pintar karena bisa bersekolah di tempat yang elite di Malang (waktu itu). Kata tetanggaku, aku ini anak yang beruntung karena sehabis sekolah langsung kerja di Jakarta. Kata orang tua, aku memang cerdas, karena berhasil menyabet segala macam penghargaan ketika dulu masih berusia kurcaci. Tapi catat, aku ini sebenarnya orang dungu!

Bagaimana tidak dungu? Ketika aku lebih cinta akan ikatan primordial, ikatan emosional semata daripada sebuah fakta sejarah yang sebenarnya. Bagaimana tidak dungu, karena aku lebih fanatik terkungkung dalam ikatan ideologi, daripada 'melek' terhadap fakta sejarah yang terjadi.
Aku marah ketika orang lain membeberkan kebobrokan tentara, karena bapakku tentara. Karena saudaraku tentara. Karena ayah mertua kakakku seorang pensiunan provost militer (PM). Aku gusar ketika ideologiku dikritik orang, karena aku pembela mati-matian ideologi itu. Hidup-mati ingin bersama ideologiku. Aku ketar-ketir ketika tokoh idolaku dihujat, karena aku menghormatinya. Aku mengaguminya. Aku terpesona oleh intelektualitas dan ketokohannya yang luar biasa.

Padahal, tak ada sesuatu yang sempurna. Bahwa salah, khilaf dan alpha, kerap membaluti, menyertai dan melintasi dalam sejarah manusia. Mereka itu adalah sebuah keniscayaan, seperti halnya siang dan malam yang selalu mengiringi revolusi bumi terhadap matahari.
Sesungguhnya, orang pintar adalah orang yang mau memahami sejarah apa adanya, walaupun itu terasa pahit. Bukan malah menutupinya. Menutupi fakta sejarah, sama halnya kita tidak mau belajar dari pengalaman sejarah (yang salah). Yang itu kemudian bisa mengakibatkan kesalahan sejarah akan kembali terulang.

Jadi, aku ini sesungguhnya bukan orang pintar, tapi dungu!!! Dungu, karena aku telah mengerdilkan keterbukaan pikiranku, yang itu sebenarnya adalah karunia Tuhan, tapi aku justru membiarkannya terkungkung dalam semangat primordialisme, alam pemikiran yang konservatif. Dungu, karena aku telah menutup mata atas semua fakta yang terjadi. Dungu, karena aku hanya bisa geram, gusar dan marah ketika ada orang mengkritik, menghujat sesuatu yang dekat denganku, tanpa aku mau membaca apa sebenarnya yang terjadi. Dunia ini seperti selebar daun kelor saja. Betapa dungunya diriku.


Pancoran, 18 Des '03
(c) GJ.

#064: Kesetiaan


Tak kutemukan kata 'setia' ataupun 'kesetiaan' dalam indeks Kamus IlmiahPopuler yang kubeli di Toko Buku Sarinah, Thamrin kemarin itu. Yang ada dalam buku kecil yang berwarna kuning itu, hanyalah kata yang hampir memiliki makna yang dekat dengan makna setia, yakni 'konsisten' dan 'komitmen'. Konsisten berarti: tetap (pada), konsekwen, selaras, sesuai. Sedangkan komitmen mengandung makna: kesatuan janji, kesepakatan (bersama). Mungkin, bila dicari di Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan JS. Badudu, kata itu ada.

#
Dalam penjelajahan filosofis pemahamanku atas epos Mahabharata, kesetiaan adalah ketika rasa nurani keluar dari diri. Kesetiaan adalah ketika kita konsisten memegang janji, mengingat janji yang terucapkan itu bukan untuk diingkari, tapi bersifat mengikat jiwa.

Kesetiaan adalah ketika kita menikah dan konsisten dengan orang yang kita cintai. Mengingat, menikah dengan orang yang dicintai adalah sebuah kebahagiaan. Seorang pria dan wanita yang setia, keduanya adalah satria utama. Kedudukan mereka sangatlah mulia dan tinggi di muka bumi, karena mereka didukung oleh kekuatan cinta. Wanita utama adalah wanita yang tetap menjaga akan cinta sejatinya, seperti halnya yang dilakukan oleh Ratu Drupadi yang dengan setia selalu menemani suaminya (Pandawa) dalam pengasingan selama 13 tahun di tengah hutan.

Kesetiaan bisa diwujudkan dengan berbagai cara. Kasih-sayang, cinta, kepatuhan, setia kawan, ikut merasa memiliki organisasi alumni, dan sebagainya. Kasih sayang adalah pengharapan untuk bisa memiliki orang (sesuatu yang) lain.

Kesetiaan bisa kita persembahkan ke siapa saja. Konsekuen dengan pasangan (pacar, istri), patuh pada orang tua, peduli pada sesama, ikut aktif secara konsisten (kontinyu) membesarkan alumni, dan lain-lain, yang kesemuanya itu terbingkai dalam satu term besar; kesetiaan akan kebenaran.

Kesetiaan adalah salah satu rel kebenaran. Kesetiaan hanya dapat diukur oleh perjalanan waktu. Waktu akan berpihak pada kesalahan, bila kebenaran itu tak ditakdirkan. Waktu tak bisa menutup mata atas peristiwa yang terjadi, karena ia hanya menjadi saksi. Waktu tak dapat berbicara, ia hanya mampu bercerita. Sang waktu pun tak mampu mencegah akan goresan takdir. Sehitam ataupun putih takdir itu. Karenanya, kesetiaan harus ditegakkan. Kebenaran tetaplah kebenaran, betapapun pahitnya. Ketertutupan atas kebenaran yang dilakukan adalah sebuah kesalahan besar. Ciptakanlah kebenaran, niscaya kita juga berada dalam kesetiaan.

Jika engkau seorang lelaki sejati, jadilah seorang satria utama yang memegang janji-setia yang pernah kau ucapkan, layaknya Pendeta Bisma yang mau mengalah (baca: berkorban) demi kepentingan ayahnya (Raja Sentanu, Raja Hastinapura). Jika engkau seorang wanita, jadilah seperti Dewi Madrim (ibu Nakula dan Sadewa) yang ikut mati bersama Prabu Pandu Dewanata, sebagai wujud kesetiaan seorang istri, yang merasa bersalah karena menyebabkan kematian suaminya.

Janganlah sampai kita terjebak pada pengkhianatan atas kesetiaan. Menghindari diri dari persoalan bukanlah cita-cita. Cita-cita adalah mampu mengendalikan diri dalam rel kesetiaan dan kebenaran. Percayalah, sang waktu tidak akan kehilangan jalannya. Karenanya, manusia harus bersatu dengan kesetiaan. Kembali kepada kebenaran (termasuk kesetiaan yang berada di dalamnya) adalah pilihan hidup yang mulia.
Maka, setialah....


Padepokan Tebet, 12-Des-'03
(c) GJ.