Friday, October 13, 2006

#023: Filsafat Mahabarata [3]


KETIKA

Ketika Duryudana tidak meminta restu ibunya, Dewi Gandari, sebelum berperang melawan Pandawa, maka muncul ajaran filsafat "Kutukan ibu lebih hebat dari restunya".

Ketika Duryudana memerintah Hastinapura dengan lalim dan tamak, "Jika orang bersandar pada kejahatan, maka pintu kehancuran sudah terbuka". "Ketamakandan kelicikan dapat menghancurkan bangunan istana kebaikan".

Ketika Pandu meninggal tatkala Pandawa lahir, "Jiwa akan abadi, kebenaranakan tetap terjaga".

Ketika Dewi Madrim (ibu Nakula dan Sadewa) ikut mati bersama Pandu, "wujud kesetiaan seorang istri".

Ketika Raja Kansa membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir, "Kelaliman adalah investasi kebinasaan. Kebaikan adalah tangga menuju kesuksesan".

Arjuna adalah penengah Pandawa. Dia adalah seorang ksatria yang sakti-mandraguna. Bahkan, kesaktiannya melebihi kakak-kakaknya, Yudistira dan Bima. Meskipun demikian, ia tetap patuh pada kedua kakaknya itu. Maka muncul filsafat, "Sehebatnya kehebatan seorang adik, ia harus menghormati kakaknya".

Ketika Duryudana lebih percaya pada Patih Sengkuni, "Kebutaan hati menyebabkan mudah dihasut".

Ketika Drupadi dengan setia selalu menemani suaminya dalam pengasingan 13 tahun di tengah hutan, "Wanita utama adalah yang tetap menjaga akan cinta sejatinya".

Ketika Yudistira memerintah Amarta dengan adil, "Cahaya keadilan akan menyebar dan menerangi setiap orang". "Setiap keputusan yang diambi haruslah bersih dan adil".

Ketika Resi Bisma dan Resi Wiyasa menghormati Kresna, "Hanya wali yang bisa mengetahui seseorang itu wali".


YANG LAIN

Hasil interpretasi penulis yang lain: "Jika kita tidak menghormati masa depan, ia akan menggilas kita"; "Orang harus bisa tertawa pada saat yang sulit"; "Penderitaan adalah awal dari kebahagiaan"; "Tirakat dan riyadloh adalah kunci kedekatan pada Tuhan"; "Ketertutupan atas kebenaran yang dilakukan adalah sebuah kesalahan besar"; "Senyuman istri adalah wujud sikap ksatria"; "Kedudukan wanita itu mulia dan tinggi di muka bumi"; "Kejujuran di atas segalanya"; "Tidak ada yang lebih besar selain berkat orang tua"; "Terkadang, ketidaktahuan itu adalah kesenangan. Kesadaran adalah kemalangan"; "Menghindari diri dari persoalan bukanlah cita-cita. Cita-cita adalah mampu mengendalikan diri"; "Demi kebenaran, integritas dan kejujuran harus ditegakkan"; "Kepandaian dan keahlian, tanpa kenal ilmu politik, hanyalah sebuah kesia-siaan"; "Hak seorang anak wanita harus tetap dihargai"; "Seorang politisi yang baik, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri"; "Bagaimanapun, menikah dengan orang yang dicintai adalah sebuah kebahagiaan"; "Setiap orang memiliki peran"; "Kebenaran akan mengalahkan kejahatan"; "Suatu masa depan, diawali oleh masa lalu"; "Sang waktu tidak akan kehilangan jalannya";


(C) aGus John al-Lamongany, 3 July 2003

#022: Filsafat Mahabarata [2]


KETIKA

Ketika Drupadi ditelanjangi Dursasana di depan forum istana Hastina, maka muncul sebait kalimat, "Waktu tak bisa menutup mata atas peristiwa yang terjadi. Ia hanya menjadi saksi".

Ketika melihat peran Ibu Kunti yang bijaksana dan berlaku adil, "Kedudukan wanita utama sangatlah mulia".

Ketika Sang Kresna membeberkan tentang rahasia alam dan peran manusia, "Setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab atas perbuatannya".

Ketika Bisma gelisah melihat Duryudana, "Kebijakan yang menjauhi kebenaran, maka ia akan mendekati kehancuran".

Ketika Arjuna ingin meminta senjata ampuh yang lebih banyak lagi dari para dewa, "Bagi manusia, melewati batas adalah tidak mungkin".

Ketika Pandawa memenangkan Perang Baratayudha di Kurusetra, "Di mana kebenaran bersemayam, di situlah harapan kemenangan".

Ketika Pandawa sudah terjebak permainan judi untuk yang kedua kalinya, maka sang ahli politik, Rama Widura berujar, "Judi hanya akan merusak akal budi". "Keledai pun tidak mau terjebak untuk kedua kalinya". "Keahlian/kepandaian tanpa kewaspadaan, adalah kelalaian". Atau, "Kejujuran tanpa perhitungan, adalah awal kehancuran".

Ketika Kurawa memerintah Hastinapura, "Kecurangan dan penipuan dapat menciptakan ketakutan dan kejahatan". "Suatu penipuan menyembunyikan kelemahannya di bawah jubah keramahan". Atau, "Bila sifat politik kenegaraan dicampuri dengan kepentingan individu, ia akan menuju kehancuran".

Ketika Gandari menangisi kematian 100 anaknya di medan Kurusetra, "Seorang ibu sebenarnya memberkati anaknya".

Ketika Kurawa memenangkan sengketa Hastina atas Pandawa melalui meja perjudian yang disaksikan oleh para petinggi Hastina, "Kejahatan yang dilakukan secara prosedural, akan bisa menjadi sebuah kebenaran".

Ketika Pandawa dibuang ke hutan, "Hutan itu layaknya Ibu. Ia penuh dengan kesejukan. Jika panas terik, kita berteduh di bawah pohonnya".

Ketika kesengsaraan hidup melanda mereka, "Tirakat dan riyadhlo adalah sarana menuju kesempurnaan hidup".

Ketika Bima menikah dengan wanita raksasa, DewiArimbi, "Cinta tak mengenal bangsa". Atau, "Menjadi wanita dan satria utama, ia didukung oleh kekuatan cinta".


YANG LAIN

Kumpulan baris-baris filsafat yang lain: "Penyesalan tidak akan menyelesaikan masalah"; "Adat dan kebiasaan bisa hancur oleh derita seorang perempuan"; "Seseorang tidak akan mampu merubah takdirnya, walaupun berulang kali dicoba"; "Kendalikan diri, rencanakan masa depan"; "Kebenaran tetaplah kebenaran, betapapun pahitnya"; "Kelicikan tak dapat mengukur kadar dari sebuah kejahatan"; "Adalah dosa, menyangsikan kasih sayang orang tua"; "Kehormatan bukanlah warisan, tapi ia adalah hasil dari perbuatan diri sendiri"; "Kata-kata adalah modal yang paling berharga, maka sebelum mengucapkannya, pertimbangkanlah!";



(C) aGus John al-Lamongany, 3 July 2003

#021: Filsafat Mahabarata [1]


"Waktu kan berpihak pada kesalahan, bila kebenaran itu tak ditakdirkan." Sebaris kalimat yang berbau filsafat di atas, penulis sempatkan rangkai ketika menyaksikan kekalahan kubu Pandawa dari Kurawa, pada saat kedua kubu itu menyelesaikan sengketa mereka dengan mempertaruhkan harta, tahta, dan wanita, di atas meja perjudian.

Sebuah cuplikan dari tayangan yang menceritakan tentang epos kepahlawanan yang bertajuk "Mahabarata", yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta selama tiga bulan, setahun yang lalu.


INTERPRETASI YANG BERBEDA

Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menginterpretasikan suatu persoalan. Persoalan itu bisa berupa; apa yang mereka lihat, apa yang dirasakan, apa yang dikerjakan, apa yang dibaca, apa yang dipelajari, dsb.

Dengan contoh analogi yang lebih sederhana; dua orang yang mengamati satu benda yang sama, tentu memiliki penafsiran yang berbeda atas benda tersebut. Maka, dari penafsiran yang berbeda, muncul sebuah pengetahuan baru.

Berangkat dari pemahaman tersebut di atas, maka sangatlah wajar bila sebuah ilmu mengalami perkembangan kemajuan yang luar biasa. Sebuah ilmu itu kemudian bercabang, terpecah-belah menjadi beberapa cabang ilmu yang lain. Begitupun dengan ideologi, filsafat, atau bahkan agama sekalipun juga bisa terbelah dalam berbagai penafsiran yang berbeda, yang kemudian menyebabkan terciptanya aliran-aliran (faksi-faksi) dalam agama tersebut. Soal penafsiran yang berbeda -dengan catatan kuat sumber hukumnya, maka muncul istilah 'Ijtihad' bila dalam ilmu agama.


KETIKA

Dengan bekal interpretasi sendiri dan tentu berbeda dengan tafsiran orang lain --seperti ulasan penulis di atas, maka berikut ini hasil penafsiran penulis atas setiap fragmen yang terjadi dalam cerita epos Mahabarata tsb. Bila Anda pernah mengenal dekat dengan dunia pewayangan, tentu memahami ini bukanlah suatu hal yang susah.

Misalnya, ketika melihat masa kecilnya Kresna yang kontroversial, maka muncul filsafat: "Tanda-tanda orang besar adalah ketika ia menjadi pusat perhatian orang".

Ketika Pandawa diasingkan selama 13 tahun di tengah hutan, maka muncul sebaris kalimat dalam benak penulis, "di mana orang berbudi dilukai, disitulah akan datang kehancuran".
Atau, "jika kebenaran terancam, moral manusia akan pudar".

Ketika melihat Raja Destarastra yang bebal, maka mengalir sebaris kalimat, "Tidak mau belajar dari pengalaman adalah suatu kebodohan".

Ketika Pandawa melepaskan Duryudana dari penyanderaan para gandarwa, maka muncul, "Bagi si baik, menolong si jahat adalah kewajiban. Sebaliknya, bagi si jahat, itu adalah penghinaan yang mempermalukan".

Ketika perseteruan Pandawa-Kurawa sudah menemui jalan buntu, "Perang terjadi bila semua jalan perdamaian tertutup".

Ketika melihat intrik politik yang selalu dimainkan Kurawa untuk menjahati Pandawa, "Iri dan kebencian menyebabkan buta hati";

Ketika Pandawa ingin membalas dendam, "Tidak dibenarkan, kebenaran yang mengabaikan etika".

Ketika Kurawa merasa dirinya sudah berlaku adil, maka muncul "Keadilan dan ketidakadilan bukan terletak di ruang hampa. Memahaminya, membutuhkan lapangan dan masyarakat untuk menilainya".

Ketika Yudistira memimpin Kerajaan Amarta dengan adil, "Kebajikan hati adalah pedoman hidup masyarakat".


YANG LAIN

Penulis juga memiliki baris-baris filsafat yang lain, diantaranya: "Janji yang terucapkan, bukan untuk diingkari, karena ia bersifat mengikat jiwa":

"Kesetiaan adalah ketika rasa nurani keluar dari diri";

"Kasih sayang adalah pengharapan untuk bisa memiliki orang lain";

"Jangan menghina orang kalah/lemah, karena ia juga patut untuk dihormati";

"Sang waktu pun tak mampu mencegah akan goresan takdir";

"Untuk menuntut hak, hanya dibutuhkan kepercayaan diri";

"Masa lalu akan selalu menjadi bagian dari masa yang akan datang";

"Pengampunan adalah kebjikan"; "Janganlah menolak permohonan orang"; "Kebenaran terletak di hati nurani";

Namanya juga filsafat. Smoga tidak menjemukan.


(C) aGus John al-Lamongany, 3 July 2003.

#020: Kisah Cinta Para Raja


Rabu, 25/6/03 jam 20:00. Salah satu stasiun televisi swasta menayangkan film Indonesia berjudul "Damarwulan". Dikisahkan dalam film tersebut, ada seorang pemuda gunung bernama Damarwulan, ingin mengabdikan diri pada Kerajaan Majapahit. Untuk menuai maksudnya, dalam perjalanannya dia selalu ditemani oleh dua orang cantriknya, Sabda Palon dan Naralaya (?). Maka, pergilah mereka bertiga menuju Majapahit.

Ketika memasuki fragmen yang mengetengahkan cinta, penulis jadi semakin tertarik. Rencana pergi ke KSBD (Kebun Sirih Barat Dalam) 26 pun jadi batal. Diceritakan, setelah berjalan cukup lama, sampailah Damarwulan di pelataran istana kerajaan.Tanpa diduga, Sang Patih telah memergoki mereka. Patih pun menanyakan maksud dan tujuan mereka bertiga. Karena sikap dan tingkah laku Damarwulan sangat sopan, maka diterimalah ia sebagai kepala prajurit di kerajaan. Selama menjadi kepala prajurit itulah, Damarwulan berjumpa dengan Anjasmara, putri Sang Patih.

Tanpa diketahui Sang Patih, keduanya kemudian menjalin hubungan cinta. Karena kepergok oleh kedua kakak sang putri, Layang Seto dan Layang Kumitir, Damarwulan harus menerima kenyataan untuk mendapatkan hukuman pindah tugas sebagai tukang rumput dan memelihara kuda istana. Setiap hari, hinaan, cercaan dan makian akibat rasa iri dari kedua kakak sang putri, selalu ia terima. Profesi baru sebagai tukang rumput, dia jalani dengan sabar dan tabah. Ketika kedua cantriknya mengajak untuk pergi meninggalkan segala kesengsaraan itu, Damarwulan menolak dengan halus. Dia mengatakan, tentu ada hikmah di balik itu semua.

Begitulah. Dengan kesabaran dan ketabahan, Damarwulan mampu menjalani segala hinaan dengan tanggung jawab terhadap profesi secara mulia. Yang pada akhirnya mengantarkan Damarwulan bisa memperistri putri sang Patih, Anjasmara, setelah mampu membuktikan bahwa dirinya berada di pihak yang benar.

Soal kisah cinta para raja, penulis jadi ingat cerita cinta raja yang lain, yakni antara Joko Tingkir dengan Putri Kambang. Kisahnya pun hampir sama dengan Damarwulan. Penuh liku-liku, harus menghadapi hinaan, cercaan, fitnah, iri-dengki, intrik politik dari orang-orang yang merasa terancam jabatannya, dsb. Joko Tingkir sempat terusir dari lingkungan istana, setelah kepergok menjalin hubungan asmara dengan putri Sultan Trenggono tersebut. Joko Tingkir hampir putus asa. Dalam keputus asaan itulah, dia kemudian berguru ke guru-guru spiritualnya, di antaranya kepada Ki Buyut Banyu Biru. Akhir cerita, Joko Tingkir mampu memenangkan perseteruan, dan mengawini Putri Kambang, untuk kemudian 'jumeneng' di Kerajaan Pajang, sebagai pewaris Kerajaan Demak yang saat itu mulai mengalami kemunduran.

Di era berikutnya, kisah cinta Ki Ageng Mangir dengan putri Panembahan Senopati, Putri Pambayun, juga sangat mengesankan, walaupun berakhir dengan memilukan. Alkisah, ketika Kerajaan Mataram Baru belum lama berdiri. Untuk mengembangkan kekuasaannya, Panembahan Senopati, raja pertama Mataram, sangat menginginkan agar kerajaannya bisa solid. Karenanya, semua wilayah/negara di sekitarnya harus takluk pada Mataram dengan bukti harus mau menyetorkan upeti.

Ketika itu, di daerah Mangir --berada di sebelah barat Mataram- juga sedang mengalami kemajuan. Di bawah kekuasaan Ki Ageng Mangir, wilayah Mangir perekonomiannya mulai menggeliat. Mataram merasa terancam. Karena takut akan pengaruh dan kesaktian Ki Ageng Mangir, maka Panembahan Senopati melakukan tipu-muslihat untuk bisa menjebak Mangir agar mau takluk pada Mataram. Karena kesaktian Ki Ageng Mangir cukup disegani, satu-satunya cara yang ditempuh oleh Mataram adalah dengan mengorbankan Putri Pambayun sebagai umpan, untuk menaklukkan Ki Ageng Mangir.

Bukannya menaklukkan, tapi malah takluk. Pambayun benar-benar jatuh cinta dan menjadi istri Ki Ageng Mangir. Meskipun demikian, dia tetap menjalankan misinya dengan melumpuhkan senjata ampuh yang dimiliki penguasa Mangir itu.

Inilah sebuah fragmen dari proses cinta sejati yang justru menghinggapi di antara dua belah pihak yang bermusuhan. Lama-kelamaan, rahasia Pambayun terbongkar. Nyaris saja ia dibunuh oleh suaminya yang telah kalap karena merasa dijebak. Tapi karena cinta, Ki Ageng Mangir membatalkan niatnya dan mengampuni istrinya. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan sowan ke mertuanya yang sebenarnya juga musuhnya, Panembahan Senopati di Mataram.

Selama dalam perjalanan itulah, segala intrik politik terjadi. Di tengah perjalanan, atas permintaan raja, senjata ampuh Ki Ageng Mangir yang berupa tombak, dilucuti oleh utusan resmi kerajaan Mataram. Sebelum sampai di istana, rombongan Ki Ageng Mangir juga diserang oleh pasukan seorangTumenggung Mataram, yang merasa cemburu karena calon idamannya kini telah menjadi istri Ki Ageng Mangir.

Dada Ki Ageng Mangir robek tertembus ujung panah, tapi dia tetap terus memburu senopati Mataram yang melarikan diri ke bangsal istana. Di depan raja, keduanya bertarung. Ki Ageng Mangir akhirnya berhasil membunuh senopati Mataram yang telah melakukan pengkhianatan itu.

Dengan terhuyung-huyung, Ki Ageng Mangir menghampiri singgasana yang terbuat agak rendah, yang diduduki oleh raja. Dia bermaksud sungkem pada mertuanya. Namun yang terjadi justru, Panembahan Senopati memegang kepala Ki AgengMangir, kemudian membenturkannya pada singgasana yang didudukinya. Ki Ageng Mangir tewas di depan istri dan mertuanya. Sebuah kisah cinta yang agung, mengesankan, tapi juga memilukan.


***
Menelusuri kisah cinta para raja memang mengasyikkan, tapi menghayati kisah cinta kaum miskin -papa juga bukanlah sebuah keburukan. Baik Damarwulan, JokoTingkir, Ki Ageng Mangir, ataupun kisah cinta sejati pemuda tani dari daerah pesisir Tuban bernama Wiranggaleng --seperti yang diceritakan PramoedyaAnanta Tour dalam novel sejarahnya yang berjudul "Arus Balik", semuanya memiliki makna filsafat cinta sesuai dengan takarannya.

Tantangan, harapan, keputus asaan, intrik politik, cinta sejati, semua menjadi satu dalam balutan proses cinta itu sendiri. Dari sudut pandang ini, penulis jadi ingat dan sekaligus membenarkan signature yang sering dipakai oleh dik Andies Aryana --adik kelas penulis di kampus Perbanas- yang menyatakan, "Cinta adalah energi kehidupan". Menyitir sebuah pesan dari seorang Brahmana Tuban bernama Rama Cluring di awal abad16 --ketika Majapahit mengalami kemunduran secara moral dan struktural negara, "Ketahuilah anakku, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati, dan dunia tinggal jadi padang pasir." Itulah Cinta.



(C) aGus John al-Lamongany, 26/6/03

Thursday, October 12, 2006

#019: Memilih: Nasionalisme, atau Separatisme?


Suatu malam, di awal bulan Juni. Tiga orang teman aktivis dari LembagaSwadaya Masyarakat (LSM), datang silaturahmi ke rumah penulis. Kita ngobrol banyak hal hingga larut malam, ketika pada saat itu sahabat karib penulis, Noka Robeth juga menghubungi penulis untuk membicarakan soal masa depan IAW.

Menerima teman-teman aktivis LSM dan politik di rumah adalah hal yang biasa, karena kita sering melakukan sharing informasi, kapan dan di mana saja. Kebetulan, mereka sudah lama tidak mampir ke rumah, dan baru bisa datang malam itu.

Banyak tema yang kita bahas, tapi satu tema yang menarik adalah soal pelaksanaan Darurat Militer di Aceh. Mereka bercerita, kalau TNI sudah banyak melakukan pelanggaran HAM di Aceh. Mulai dari aksi intimidasi terhadap warga sipil, mengisolasi ruang gerak bagi aktivis LSM, hingga penyempitan akses bagi pers. Dalam perspektif mereka, tindakan yang telah dilakukan TNI di Aceh, harus segera dihentikan.

Selama beberapa saat penulis terdiam, hanya menjadi pendengar yang baik.Saya biarkan saja mereka bicara, mengeluarkan uneg-unegnya tentang TNI. Ketika mereka selesai, barulah penulis katakan, "Saya pun tercatat sebagai anggota LSM seperti Anda. Tapi saya punya cara pandang yang berbeda dengan Anda dalam memaknai konflik bersenjata di Aceh".
Mereka sontak terdiam. Kini mereka yang ganti mendengarkan.

Penulis jelaskan, kita patut cemas dengan sikap TNI, karena memang mereka itu biadab! Selama 10 tahun di era rezim Soeharto, Aceh telah dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang memakan korban hingga ada yang menyebutkan mencapai 10.000 orang. Logikanya, mana ada tentara membunuh rakyatnya sendiri sedemikian kejamnya? Tapi, membiarkan Aceh lepas merdeka di bawah ketiak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bukanlah sebuah pilihan yang baik.

GAM --menurut penulis- tak ubahnya seperti seperangkat alat yang dimainkan/dimanfaatkan oleh kekuatan asing untuk mengobok-obok integritas wilayah Indonesia. Sama halnya dengan gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM), RMS di Ambon dsb.

Penulis kemudian jadi ingat pesan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam sebuah kesempatan, kurang lebih tiga tahun yang lalu. Cak Nun menyebutkan, Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam (SDA), saat ini sedang diincar oleh kekuatan asing.

Menurut Cak Nun, rencananya NKRI akan dipecah-belah menjadi beberapa negara kecil (6 negara). Cak Nun waktu itu menyebut: Papua, Maluku, Aceh, dll, yang ditandai dengan lepasnya Timor-Timur dari pangkuan NKRI. Pada saat yang bersamaan, Aceh,Maluku, dan Papua mulai ikut bergolak. Unik, karena daerah-daerah yang bergejolak dan mengancam akan melepaskan diri, rata-rata memiliki SDA yang luar biasa. Sebut saja, Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua.

Khawatir terhadap sikap TNI yang anarkhis di Aceh memang diperlukan, tapi membiarkan Aceh lepas dari NKRI jelas bukanlah sebuah pilihan yang lebih baik. Dari perspektif ini, penulis mengkritik teman-teman yang aktif diLSM, yang memandang apa yang dilakukan oleh TNI selalu dengan kacamata negatif. Karena, bila GAM dibiarkan, tentu itu akan membahayakan posisi RI sebagai negara kesatuan.

Yang ideal --menurut penulis, menumpas GAM tetap harus diteruskan. Virus GAM harus dilenyapkan sampai ke akar-akarnya, tapi juga jangan biarkan TNI melakukan kebiadaban untuk yang kesekian kalinya di bumi Aceh (dan di mana saja). Korban atas rakyat sipil harus dihindari seminimal mungkin. Jika kita ikut terbawa arus opini mencela TNI dan membiarkan GAM berkeliaran, yang menjadi pertanyaan, "Apakah kita akan membiarkan kuku-kuku kolonialis-imperialis modern semakin mencengkeram bangsa kita, sementara ekonomi bangsapun hingga saat ini belum tentu telah merdeka?"

Dalam mensikapi kasus Aceh, barangkali tidak ada salahnya bila kita mencermati sikap Ketua Umum PBNU, Kiai Hasyim Muzadi yang menghimbau agarKomnas HAM dan sejumlah LSM tidak membaca kasus Aceh ini dalam paradigmaHAM, tapi paradigma perang. Menurut Cak Hasyim, "Bagaimana perang dikomentari dengan paradigma HAM , sementara perang itu sendiri sudah merupakan pelanggaran atas HAM".

Sementara, dalam mengomentari pernyataan Kedubes AS bahwa pemerintahIndonesia kurang demokratis dalam menyikapi GAM, Kiai Hasyim dengan lantang menyebutkan, "Bagaimana AS ngomong demokrasi, jika penyerangan secara sepihak ke Irak belum lama ini justru menutup mata dan telinga (mengabaikan) atas seruan PBB. AS harusnya bisa mengaca diri dong, " ujarnya kritis (SuaraPembaruan, 21/6/03).

Dengan melihat pernyataan Kedubes AS soal Aceh, bukankah kita patut curiga dan semakin nyata, siapa di balik GAM?
Wallaahu'alam bi ash showab.


(C) aGus John al-Lamongany, 25/6/03 ketika aku memilih..

#018: Kesederhanaan


30 Mei 2003.
Jum'at sore, di Jakarta Hall Convention Center (JHCC). Saya berada di sebuah stand khusus printer warna, sedang bertanya sama sang gadis penjaga stand, mengenai spesifikasi berikut harga dari printer tersebut. Disela-sela obrolan, tiba-tiba seseorang datang menghampiri, dan kemudian menyapa: "Hello, Gus. Apa kabar?" Saya agak tertegun sebentar. Siapakah gerangan orang ramah yang menyapa sahaya?

Setelah lama mengamati, "Masya Allah, P' Anung?! Apa kabar juga, Pak?" Karena saking gugupnya, saya mengucapkannya pakai bahasa Jawa Kromo-Inggil. Beliau pun membalasnya dengan bahasa yang sama. Seingat saya, orang yang murah senyum ini memang berasal dari Jawa. LulusanITS, kalau tidak salah.

Biar lebih nyantai, saya minta ma'af sebentar pada si mBak penjaga stand, "ma'af, mBak. Saya tinggal ngobrol dulu dengan dosen saya".

Dosen? Iya, Pak Anung memang mantan dosen saya di Perbanas. Sudah setahun lebih kita tidak bertemu.

"Bapak kok masih ingat saya?"

"Keusilanmu di ruang kelas itu, yang selalu mengingatkan saya," jawabnya berdiplomatis sambil tersenyum. Padahal, rambut sudah saya papras habis. Tapi, dosen yang menjadi favorit saya karena selalu berpenampilan bersahaja itu, masih ingat juga.

Kita kemudian berbicara, saling bertanya kabar masing-masing. Tampaknya, PakAnung masih seperti yang dulu. Bertubuh agak gemuk, berbaju koko, dan jenggot hitam klimis sebagai ciri khas.

Kalau mengajar, biasanya sering pakai baju koko warna coklat cerah, dan itupun seperti menjadi pakaian resmi waktu mengajar. Salah satu kebiasaan Pak Anung yang masih saya ingat, bila habis mengajar, pas waktu sholat Maghrib, beliau langsung menuju ke musholla kampus. Habis sholat, mampir dulu di koperasi. Beli kue, sebuah-dua buah plus aqua gelas, dan tanpa rasa malu ataupun sungkan, dimakan di tempat itu juga bersama-sama dengan mahasiswa yang lain.

Moment seperti itu, biasanya yang sering saya gunakan untuk ngobrol dengannya, dulu, ketika masih kuliah. Anung Pamungkas, nama lengkap dosen yang sederhana dan sangat egaliter itu.


***
Tiga tahun yang lalu, di sebuah kedai-cafe --orang sering menyebut kedai ini sebagai "kedai politik"-- di Komplek Majalah Tempo, Utan Kayu. Saya sedang ngobrol santai dengan mas Ulil Abshar-Abdalla, yang kini dikenal menjadi salah seorang tokoh Islam Liberal. Kita bicara banyak hal. Tentang Islam,NU, dan politik. Saya merasa senang bila bertemu dengannya, karena disamping ilmu saya selalu ter-upgrade, tokoh muda Islam yang satu ini selalu mengingatkan pada sosok kakak saya. Orangnya cerdas, tangkas, tanggap dan memiliki karisma.

Dengan mas Ulil, saya menimba tidak hanya ilmunya, tapi juga cara bicaranya ketika menjadi pembicara, tutur katanya, kemoderatannya dan keluasannya dalam beragama, dan sebagainya. Beliau telah cukup banyak memberikan warna dalam proses hidup yang saya lalui.

Di tengah-tengah suasana ngobrol, ketika saya sedang minta saran, perihal akan membuat sebuah buletin lokal yang terdistribusi secara nasional, terdengarlah salam dari seseorang yang baru saja datang.

"Assalamu'alaikum...," ucap seorang laki-laki berambut putih.

Usia orang ini sepertinya sudah memasuki paruh baya. Sekitar 50-an tahun lebih. Berbadan tambun, pakai baju koko dipadu dengan celana jeans warna biru, merk "Cardinal". Sandalnya bertuliskan "Carvil", seperti yang tidak jauh beda dipakai oleh anak-anak kampung ketika merayakan lebaran.

"Wa'alaikumsalam wr wb," jawab saya serentak dengan mas Ulil.

"Sederhana sekali orang ini," pikir saya. Saya pun kemudian dikenalkan oleh mas Ulil dengan sang tamu.

"Beliau ini mas Danarto, Gus. Seorang budayawan terkenal," ujar mas Ulil. Saya mengangguk, sambil menyambut perkenalan dengan orang yang baru datang tadi.

Danarto. Seingat saya, dia seorang penulis novel yang hebat. Karya-karyanya sudah banyak yang dibukukan. Dia adalah salah satu novelis brilian yang dimiliki Indonesia, yang karya-karyanya begitu saya suka, di samping sederatan novelis handal lain, seperti: Pramoedya Ananta Tour, Umar Kayam,Putu Wijaya, Koentowijoyo, dll.

Sambil mengikuti obrolan mas Ulil dan Danarto, saya masih belum percaya betul, apakah benar, orang tua berbadan tambun, dengan pakaian yang sederhana, di depan saya ini adalah sang novelis hebat, Danarto?
"Hm, sungguh bersahaja!" gumam saya.


***
Baik P' Anung, Ulil, ataupun Danarto, adalah orang-orang yang pernah saya jumpai. Yang pernah saya kenali dan kagumi, yang memiliki kesahajaan, kesederhanaan dalam menyikapi persoalan hidup.

Berpanutan pada sikap dan akhlak Rasulullah adalah sebuah keharusan, tapi belajar memahami sikap-moral yang baik dari orang lain untuk kemudian kita jadikan sebagai sebuah suri-tauladan, tidak pula menjadi sebuah persoalan.

P' Anung, Ulil, dan Danarto. Sangat yakin, sebenarnya mereka mampu untuk hidup layaknya jet-set, seperti para selebritis. Berpenampilan borju, parlente, dan mengumbar kekayaan di depan khalayak ramai, seperti halnya kebanyakan orang sekarang yang sudah terlarut gaya hedonisme akibat virus-virus kapitalisme. Tapi tidak! Tidak mereka lakukan. Meraka tidak menampakkan itu semuanya.

Barangkali, ide-ide, gagasan dan pemikiran yang mereka miliki adalah harta paling berharga bagi mereka. Bukan terletak di pakaian, bukan pula disandang-pangan dan papan yang serba glamour. Karena penulis sendiri yakin, eksplorasi dan eksploitasi akal merupakan bagian dari sebuah karunia Tuhan, yang tak kalah lebih berharganya.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.


*tatkala badai mulai beranjak pergi.........
(C) aGus John al-Lamongany, 15/6/03

#017: "Perang Batin" dalam Partai Final*

Menyaksikan secara langsung kemenangan tim putra Jakarta Phinisi atas Surabaya Flame, 3-2, dalam partai final ProLiga 2003 [20/4], memang cukup menyesakkan dada, mengingat penulis sangat menjagokan Flame bisa menjadi juara ProLiga tahun ini. Paling tidak, itu untuk mengobati kekalahan mereka tahun lalu ketika peluangnya dikandaskan oleh Bandung Tectona, 2-3 di partai final, juga melalui proses kekalahan yang memilukan --setelah lebih dulu unggul 2-0.

Lebih menyesakkan lagi, kekalahan Flame atas Phinisi dalam final kali ini terjadi, setelah Flame terlebih dulu unggul 14-12 di set ke-5, yang akhirnya harus menyerah 17-19. Tapi, meskipun Flame kalah, penulis lumayan bisa terhibur, karena kunci di balik sukses Phinisi meraih juara ProLiga tahun ini, tak bisa dilepaskan dari peran sentral dan sosok sang tosser, LoudryMaspaitella.

Tosser kawakan yang kini berusia 34 tahun itu, merupakan idola penulis sejak SMP, ketika masih terobsesi untuk bergabung dengan klub Petrokimia Gresik. Loudry, adalah fenomena bagi masyarakat Jawa Timur dan dunia bola voli nasional di era akhir 80-an dan 90-an. Bersama Syamsul Jaiz [pelatih BandungArt-deco sekarang, juara ProLiga tahun ini], Jalu Sudiro, Dennis Taroreh dll, mereka adalah pilar-pilar utama tim Petro, tim PON Jawa Timur dan jugatim nasional. Bersama timnas, Loudry mampu merebut medali emas bola voli SeaGames 1997 di Jakarta, setelah di final mampu menumbangkan Thailand.

Loudry memang pantas menjadi bintang dalam setiap pertandingan. Dia adalah tipe tosser yang sangat tenang, memiliki umpan yang sulit diduga dan bagus dalam blok dan receive. Ia adalah sosok tosser yang mumpuni, dan masih belum tertandingi hingga kini. Sehingga pantas, Li Qiujiang, pelatih timnas putra asal Cina --yang juga pelatihnya di Phinisi, masih memintanya untuk memperkuat barisan tim nasional.

Dengan ketenangannya, Loudry mampu menstabilkan mental-bertanding teman-temannya yang sempat "terkejut" dengan permainan Flame yang mulai bangkit dan bisa membaca permainan mereka di set ke-3 dan 4. Sejak Flame menyamakan kedudukan menjadi 2-2 setelah sebelumnya tertinggal 0-2, mental para pemain Phinisi dalam kondisi tertekan. Permainan menjadi buruk. Berkali-kali open-spike yang dilancarkan pemain muda penuh berbakat, INyoman Rudi Tirtana, berhasil dimentahkan para pemain Flame. Tapi, berkat segudang pengalaman yang dimilikinya, Loudry mampu mengangkat kembali moril teman-temannya, sehingga Phinisi mampu keluar dari problem mental. Dan memang itu terbukti efektif, Phinisi mampu menekan balik Flame, dan mereka layak menjadi juara.

Dengan umpan-umpan Loudry, para pemain Flame sering terkecoh dalam mengantisipasi serangan Phinisi. Quick keras Robby Meliala, open-spike Rudi,dan bola tinggi Minar begitu mudah menembus pertahanan Flame. Hanya Hadi Esmanto --juniornya di tim PON Jawa Timur, yang efektif mampu mematikan gerakan bola Loudry. Tapi ketika Hadi berada di posisi belakang, kembali serangan Phinisi sulit dibendung oleh pemain Flame. Angka demi angka diraih Phinisi ketika Hadi berada di belakang.

Dengan keunggulan mampu mengatasi dan keluar dari problem mental yang tertekan, Phinisi akhirnya menjadi juara ProLiga tahun ini. Hadi Esmanto memang bermain sangat cemerlang, tapi Loudry adalah kunci sukses di balik keberhasilan Phinisi.
Bravo Hadi, sukses buat Loudry!


*tulisan ini dibuat setelah partai final ProLiga 2003.
©aGus John al-Lamongany, Pcr-21/4/03

#016: Pendatang Baru, Juara Baru*


Tim debutan baru, Bandung Art-deco sepertinya tidak punya lawan. Dalam 10 pertandingan di babak penyisihan, mereka hanya mengalami satu kali kekalahan dari Gresik Phonska. Di pertandingan final kemarin, bertemu dengan Phonska, pertandingan berjalan kurang menarik.

Permainan berjalan kurang seimbang. Skor telak akhirnya untuk Art-deco, 3-0. Publik memang sudah menduga, the real-final di bagian putri sebenarnya sudah terjadi di semifinal Jum'at[18/4] lalu, ketika Artdeco menumbangkan juara tahun lalu, Jakarta Monas dengan skor 3-1.

Kemenangan Li Wen dkk atas Sentya dkk ini sekaligus menunjukkan bahwa kemenangan Phonska atas Art-deco ketika bertanding di depan publik Gresik pada putaran pertama lalu, patut dipertanyakan kembali.

Dari sisi skill, pemain-pemain Phonska lebih merata. Spike-spike yang dilancarkan juga cukup tajam. Sentya Angelita, Purwitasari, Maya dan Santi dikenal punya spike yang bagus. Namun sayang, faktor mental dan antisipasi setiap serangan dari Art-deco yang selalu bertumpu pada Li Wen dan He Shan kurang dipahami. Ini beda dengan Jakarta Monas, yang sedikit banyak mampu membuat frustasi Li Wen dkk di pertandingan semifinal, karena spike-spike mereka mampu diblok oleh Siti Nurjanah dkk. Paling tidak, hal itu bisa dilihat di set-1, ketika Monas mampu mencuri set dalam pertandingan tersebut.

Kekalahan Phonska juga terjadi karena para pemain sering melakukan kesalahan sendiri yang sebenarnya tak perlu terjadi. Sentya misalnya, berulangkali spikenya nyangkut di net dan receivenya kurang begitu bagus. Begitupun Kiki Maria, umpan-umpannya kurang begitu akurat. Sering terlalu keluar, sehingga sulit dijangkau oleh spiker-spiker Phonska. Blok-blok terhadap spike Li Wen dan He Shan juga kurang efektif.

Faktor lain, pelatih Phonska juga kurang komunikatif. Bila diamati, pelatih Phonska adalah pelatih yang lebih banyak duduk daripada berdiri untuk melakukan briefing kepada tim asuhannya. Beda misalnya dengan yang dilakukan oleh Syamsul Jaiz, pelatih Art-deco yang selalu tampak berdiri di pinggir lapangan, sambil memberikan instruksi kepada para pemainnya selama pertandingan berlangsung.

Sementara di sisi yang lain, kemenangan yang diraih Art-deco, tak bisa dilewatkan dari peran sentral Li Wen dan He Shan, dua pemain asal Cina yang begitu merajai even ProLiga tahun ini. Dua pemain itu juga yang kemungkinan besar akan menyabet dua gelar untuk pemain, yakni "Pemain Terbaik" untuk HeShan dan "Top Skorer" untuk Li Wen.

Kedua pemain ini menjadi andalan bagi Art-deco dalam menumbangkan setiap lawan-lawan yang dihadapi. Umpan-umpan manis dari Veronika hampir 90 % selalu mengarah pada kedua pemain tersebut. Li Wen dan He Shan boleh dikatakan menjadi roh permainan bagi Art-deco. Jika ingin mengalahkan Art-deco, strateginya harus bisa mematikan kedua pemain tersebut. Namun sayang, level pemain lokal masih satu atau beberapa tingkat dari kedua pemain Cina tersebut, sehingga keduanya bisa merajai dalam setiap pertandingan.

Peran Syamsul Jaiz, pelatih Art-deco yang asal Lamongan itu juga sangat penting. Mengingat Syamsul adalah mantan pemain yang dibesarkan Petrokimia [Phonska] dan pernah menjadi pilar Timnas di era 90-an. Jadi, dia sangat hapal betul permainan Petrokimia Gresik Phonska.

Peran sentral dua pemain Cina, punya pelatih yang bagus, plus didukung oleh permainan pemain lokal yang memiliki 'tim-work' sangat bagus, menjadi faktor penting dan kunci sukses Artde-co menjadi juara tahun ini.
Selamat buat Bandung Art-deco!


*tulisan ini dibuat setelah partai final ProLiga 2003. Pernah dikirim keTabloid GO, tapi ndak dimuat karena alasan terlalu panjang :-)

©aGus John al-Lamongany, Pcr-21/4/03

#015: Memahami Histori, Merajut Silaturahmi


Di ruang lobi Hotel Sabang. Sore ini menjelang malam, penulis bertemu-muka, bersilaturahmi dengan mBak Zahrotul Jannah, alumni angkatan 1 yang kini bekerja di Indosat Semarang. Dalam kacamata penulis, pertemuan ini mengandung beberapa nilai penting, karena memiliki histori yang bisa dijadikan untuk merekatkan silaturahmi antar alumni --dalam kerangka yang lebih luas- di masa yang akan datang. Yakni pertama, pertemuan malam ini akan sangat menentukan terbentuknya Ikatan Alumni Wikusama (IAW) untuk wilayah Jawa Tengah, khususnya di Semarang.

Kedua, penulis sangat menghormati sosok perempuan berjiwa aktivis yang sedang hamil tujuh bulan ini, karena beliaulah yang pertama kali memperkenalkan organisasi kepada penulis, ketika di STM dulu. Ketiga, bersama dengan beliau dan teman-teman yang lain, kita dulu mampu mendirikan sebuah forum sosial di wilayah Bongkaran, Tanah Abang, Jakpus; sebuah kegiatan sosial yang pertama kali dilakukan oleh Wikusama, yang masih eksis hingga sekarang.

Walaupun singkat hanya 1 jam, tapi kita membahas banyak hal soal alumni. Satu hal yang penting dalam pembicaraan itu adalah, bagaimana IAW yang telah terbentuk, kelak di kemudian hari bisa menjadi pemberi solusi atas berbagai masalah yang terjadi di kalangan alumni --yang masih terjadi hingga saatini.

Pembicaraan kita pun mulai merembet ke wilayah yang paling "sensitif" perihal soal alumni. Dalam pandangan kami berdua, sesungguhnya problem terbesar yang dihadapi alumni, terjadi di angkatan 1 dan 2. Kami berdua sependapat, kedua angkatan itu adalah "angkatan percobaan" di STM Telkom Malang; sebuah ungkapan yang sungguh membuat dada saya terkadang terasa sesak. Itulah yang juga menyebabkan, kenapa ikatan alumni selama sekian tahun sangat sulit untuk dibentuk, dan kurang mendapatkan respon yang cukup positif dari semua angkatan.

Memang, belum bisa diketahui secara pasti, berapa prosentase jumlah alumni yang dikatakan "berhasil" dan "tidak berhasil" dari kedua angkatan itu.Tapi, fakta memang berbicara demikian, bahwa masih banyak teman-teman dari kedua angkatan tersebut yang perlu mendapatkan prioritas perhatian.

Uraian selanjutnya ini, penulis akan berusaha untuk mengurai (apa yang penulis anggap sebagai) fakta. Tentu saja hanya sebatas apa yang penulis ketahui/sangka. Bolehlah ini dianggap sebagai asumsi atau sebatas imajinasi:


***
Rezim Orde Baru di awal era '90-an. Bidang telekomunikasi, waktu itu beradadi bawah kendali Menteri Soesilo Soedarman. Direktur Telkomnya, Cacuk Soedarjanto. Kedua orang itu sangat bagus. Mereka memiliki visi, bagaimana ke depan, Indonesia di bidang telekomunikasi, diisi oleh tenaga-tenaga muda yang cerdas dan berkualitas untuk menggantikan SDM di PT Telkom yang memiliki kendala di bidang skill dan latar belakang pendidikan.

Untuk mewujudkannya, maka didirikanlah STT Telkom di Bandung. Lulusan mereka langsung ikatan dinas di PT Telkom, dan begitu masuk, mereka rata-rata memiliki posisi yang bagus, karena memang kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, ketika penulis melakukan proses magang seminggu di Kantor Cabang Telkom Lamongan, Kancatelnya baru lulus dari STT.

Ide brillian kedua tokoh tersebut tidak berhenti hingga di situ. Untuk menopang STT, maka didirikanlah STM Telkom --via Yayasan Sandhykara Putra- untuk mengisi di level jabatan menengah ke bawah (setingkat SMA). Lima (5) STM Telkom kemudin didirikan; Medan, Jakarta, Purwokerto, Malang dan Ujung Pandang (sekarang: Makassar) dengan spesifikasi jurusan yang berbeda. Siswa yang bisa masuk ke STM harus melalui seleksi yang sangat ketat. Mereka merupakan lulusan dari SMP di kota masing-masing dengan nilai-nilai yang jempolan. Yang membuat banyak orang tua berminat menyekolahkan anaknya masuk ke STM adalah, adanya janji "ikatan dinas"; sebuah ungkapan yang manis untuk didengar.


***
Waktu terus berjalan. Dan terkadang, nasib tidak harus selalu bisa berkompromi dengan sang waktu. Sebelum angkatan 1 lulus, sang menteri, P'Soes, yang kelahiran Cilacap, yang punya gebrakan brilian itu telah berpulang kepada sang Khalik. Beliau meninggal sebelum bisa menyaksikan hasil dari ide dan gagasannya. Tak lama kemudian, sang Dirut pun dipecat! Konon kabarnya, itu disebabkan Pak Cacuk tidak meloloskan tender yang diajukan keluarga Cendana dalam proyek di bidang telekomunikasi.

Berita yang mengenaskan! SDM yang sudah tua dan rapuh, yang ada di Telkom barangkali "bersorak-ria" dengan pencopotan itu, karena mereka tidak akan tergusur dalam waktu dekat, dan tidak merasa terganggu dengan kebijakan P'Cacuk yang cemerlang itu . Tapi sebaliknya, itu menjadi berita duka bagisiswa STT dan STM Telkom. Ungkapan manis "ikatan dinas" pun hilang-lenyap begitu saja!


***
Tibalah sang waktu pada pertengahan tahun 1995. Angkatan 1 lulus. Tahun 1996, angkatan 2 lulus, dan begitu seterusnya. Janji PT Telkom benar-benar telah pudar. Ikatan dinas tidak terealisasikan. Yang bisa melihat peluang justru datang dari Indosat, Telkomsel, Ratelindo, Lintas Arta, dan perusahaan telekomunikasi lainnya --di luar PT Telkom. Karena seperti menemukan "emas-permata" yang terbengkalai tanpa tuan, mereka sampai harus merelakan datang ke sekolah, untuk melakukan perekrutan siswa sebagai karyawan perusahaan mereka. Yang lulus, ya langsung kerja. Yang tidak? Untuk sementara waktu "harus mau" sebagai tenaga kontrak di Telkom.

Karena memang dasarnya orang-orang pilihan, angkatan 1 yang kerja di perusahaan-perusahaan telekomunikasi --di luar PT Telkom- mampu menunjukkan kinerja yang bagus dan berkualitas. Maka, kembali perekrutan dilakukan. Sebagian angkatan 2 pun masuk. Sisanya, kembali harus magang di PT Telkom. Karena kembali menunjukkan kualitas yang bagus, mudahlah bagi angkatan selanjutnya untuk masuk ke bursa kerja. Perekrutan dilakukan secara besar-besaran, yang jumlahnya melebihi dari angkatan 1 dan 2.

Apa yangterjadi kemudian? bisa kita lihat hingga sekarang. Angkatan 3 dan seterusnya, relatif lebih mudah diterima di perusahaan --khususnya di PTTelkom- bila dibandingkan dengan apa yang harus dialami oleh angkatan 1 dan2, yang telah bersusah-payah mencari di mana sebenarnya pencaharian hidupnya

"Kita adalah angkatan percobaan," kata mBak Zahro dalam akhir percakapan kita malam ini. "Ya benar! Tapi kita adalah pioner di perusahaan masing-masing, yang hasilnya bisa dirasakan secara tidak langsung oleh adik-adik kelas kita," jawab penulis menimpali.


***
Keberadaan angkatan 1 dan 2 yang dikatakan "belum berhasil", memang menjadi problem. Sementara, sebagian yang lain, yang sudah dianggap "berhasil" disebuah perusahaan, mereka sesungguhnya adalah pejuang. Pejuang bagi diri mereka sendiri, dan tentu saja bagi adik-adik kelasnya. Sekali nama almamater tercoreng, biasanya perusahaan enggan untuk kembali merekrut karyawan yang berasal dari sekolah asal alumni yang bersangkutan. Ini seperti kasus yang terjadi dengan UGM yang enggan merekrut siswa dari SMAN 2 Lamongan, gara-gara ada dalam satu angkatan di SMA itu menolak ketika dipanggil masuk dalam program PMDK-UGM.

Penulis sendiri berharap, problem mereka bukan hanya menjadi problem mereka sendiri, tapi itu menjadi bagian dari problem yang harus kita pecahkan bersama. Dan sesungguhnya, problem yang harus kita hadapi bukan hanya dari kedua angkatan itu, tapi yang terjadi di semua angkatan. Di sinilah fungsi kita mengikatkan diri dalam ikatan alumni. Yang merasa sudah "berhasil"mencoba dengan sekuat daya dan upaya untuk membantu yang dianggap "belum berhasil". Tidak perlu saling membuat jarak. Toh, dulu kita sama-sama berangkat dari sebuah komunitas yang pernah kita lalui bersama --baik suka ataupun duka, dan itu akan menjadi bagian dari sejarah hidup kita. Karenanya, dengan memahami histori yang pernah kita lalui, mari kita rajut dan eratkan silaturahmi.


*ketika sang waktu mulai merangkak menuju transisi ke 27 Mei 2003*
©aGus John al-Lamongany

#014: H-2


Acara Temu Alumni STM Telkom Malang, kurang dua hari lagi. Tepatnya Minggu, 4 Mei, 'kera-kera MTS Moklet Ngalam' secara resmi akan memiliki sebuah ikatan alumni, yang bernama: Ikatan Alumni Wikusama [IAW]. Sebuah ikatan alumni, yang kelak diharapkan bisa menjadi sebuah "jembatan komunikasi" antara para alumni, perusahaan dan pihak sekolah. Terutama demi kepentingan adik-adik kelas yang belum lulus, dan para alumni yang masih belum menemukan pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan.

Mengingat H-2, panitia kelihatan semakin super-sibuk. Noka, K-San, Cipeng, Cho'i, Usma, E-wenk dari angkatan-1. Parjon, Dodik, Patrang, Wanus, Kriwul,Ipin, Kencong, Roy, Lilis dari angkatan-2. Malit, Toha Masykur dari angkatan-3. Dan angkatan-angkatan berikutnya: AWW, Hoodprist, IkaWahyuningsih, Hendra, Wijiasih, Fitri, Ira N, serta panitia lainnya yang belum tersebutkan secara tuntas, tampak semakin intens dengan job-desc-nya masing-masing. Belum itu teman-teman yang sibuk dari Surabaya.

Luar biasa! Mereka punya pekerjaan, ada yang sudah berkeluarga, tapi masih mau dan bersedia meluangkan waktunya untuk ikut andil dalam proses pembentukan ikatan alumni ini; mulai dari awal hingga Minggu besok. Bahkan, mungkin mereka akan tetap konsisten mengawal IAW dalam perjalanannya ke depan.

Temu Alumni besok minggu, yang juga menghadirkan perwakilan guru dari STMTelkom, Malang, memang barulah sebuah awal. Tapi itu langkah permulaan yang bagus, mengingat jalan yang harus ditempuh IAW masihlah panjang dan berliku. Sudah banyak gagasan dan ide yang tertampung, tapi itu tentu membutuhkan proses dan waktu untuk mengaktualisasikan konsep-konsep tersebut. Plus, konsistensi; satu hal yang dengan setia selalu mengiringi proses dan waktu, bila ingin mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.

Landasan berpikir yang terpenting: IAW adalah milik bersama. Milik semua alumni Wikusama, tanpa terkecuali. Karenanya, setiap individu dalam IAW memiliki hak yang sama di mata organisasi. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan bagi kemajuan IAW. Maju dan tidaknya IAW adalah menjadi tanggung jawab kita bersama.


***
TMII akan menjadi bagian awal dari sejarah IAW. Jalan masih panjang, dan inibarulah sebuah permulaan. Semua pihak tentu berharap, apa yang kita gagas dan lakukan ini, bisa membuahkan hasil yang nyata dan gemilang. Penulis sendiri berharap, acara Minggu besok bisa berjalan dengan sukses, agar sebanding dengan keringat dan perjuangan yang telah dilakukan oleh para panitia di atas, dan juga teman-teman alumni yang lain.
Smoga.


*dalam lamunan 11 Mei
©aGus John al-Lamongany, 2 Mei '03

Wednesday, October 11, 2006

#013: Generasi Peternak


Pramoedya Ananta Tour, atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan'Pram', merupakan seorang novelis Indonesia terbesar menurut penilaian GusDur. Karena, orientasi dari karya-karya sastra Pram lebih dominan menonjolkan sisi perikemanusiaan yang begitu tinggi, menentang kekerasan, dan membela rakyat kecil.

Sementara menurut Mansour Fakih (Direktur Insist), karya Pram yang berjudul "Gadis Pantai", layak disebut sebagai karya sastra terbesar sepanjang zaman.Karena dalam novel tersebut, Pram mengetengahkan adanya proses dehumanisasi atau proses penolakan terhadap kemanusiaan seseorang yang ditimbulkan oleh feodalisme agama. Sebuah novel yang secara tak langsung memudahkan kita menyadari arti bahayanya memelihara keyakinan yang sempit, seperti rasisme yang berakibat diskriminiatif terhadap kelompok minoritas, kaum pinggiran dan marginal serta masyarakat adat.

Pram memang seorang novelis hebat Indonesia yang saya kagumi. Diantara karya-karya sastranya yang terkenal dan sudah diterjemahkan ke dalam 32 bahasa, diantaranya adalah: "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "JejakLangkah", "Rumah Kaca", dsb.

Ketika dirinya didaulat sebagai pembicara dalam sebuah acara orasi budaya diTaman Ismail Marjuki (TIM), 6 Februari yang lalu, ada istilah menarik dari Pram yang menyebutkan bahwa, saat ini, generasi muda Indonesia yang tidak mampu dan merasa peduli untuk ikut melakukan perubahan terhadap arah nasib perjalanan bangsa dan lingkungannya, mereka itu pantas disebut sebagai "generasi peternak". Dalam perspektif yang lain, "generasi peternak" yang disebutkan Pram, saya maknai sebagai generasi yang hanya bisa beranak, melahirkan anak.

Berkat kehebatannya, sejak saat itu, setiap tanggal 6 Februari dikenalsebagai "Hari Pram " (Pram Day).


***D
iskusi tentang "Mutu STM Telkom Malang Mulai Menurun", setelah melalui proses diskusi yang panjang dan berliku, akhirnya telah melahirkan sebuah gagasan baru untuk membentuk sebuah ikatan alumni (IAW) yang representatif pada Mei mendatang. Saya merasakan, ada "nilai kepedulian" dalam proses diskusi tersebut.

Nilai kepedulian itu tidak hanya terlihat dari aktivitas teman-teman yang menggagas terbentuknya draft IAW, ataupun yang memberikan masukan, gagasan atau juga yang tergabung dalam kepanitiaan acara Temu Alumni. Tapi, juga terhadap teman-teman yang diam pun, cap kepedulian rasanya harus tetap diberikan. Karena terkadang, diam itu biasanya menjadi mayoritas(silent-majority), walaupun diam itu sendiri bisa dimaknai sebagai hal yang setuju ataupun tidak. Ada yang diam itu karena pasrah, asal bisa terbentuk.Tapi ada juga yang memang dasarnya pesimis, skeptis, apatis, dan individualis. Bersikap masa' bodoh dengan apa yang terjadi.

Ditarik dalam konteks yang lebih luas, nasionalisme adalah salah satu wujud dari adanya sebuah kepedulian. Nasionalisme bisa tumbuh dan berkembang secara benar, bila semangat itu dipupuk dari lingkungan yang paling kecil; keluarga. Kemudian merembet peduli terhadap lingkungannya, masyarakat sekitarnya, hingga ke wilayah 'state'.

Jika seseorang hanya memikirkan diri sendiri, bagaimana dan darimana kita bisa menilai ia seorang yang berjiwa nasionalis [baca: yang punya kepedulian]? Nah, orang-orang yang model begini, dalam perspektif saya, tidak usah terlalu besar untuk memikirkan soal kebangsaan, kenusantaaraan, keindonesiaan, maka bisa saya sebut sebagai "generasi peternak" dalam ruang lingkup yang sangat kecil, yakni tidak punya kepedulian terhadap alumni.

Generasi peternak, generasi yang hanya bisa bekerja, menikah, beranak, melahirkan anak, membeli rumah, kendaraan yang kesemuanya itu hanya untuk kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dia tidak perlu lagi memikirkan bagaimana nasib sekolahnya, alumninya, generasi penerusnya, adik-adik kelasnya, teman-temannya, lingkungan sekitarnya dan sebagainya.

Smoga, kita tidak termasuk dalam generasi yang dikritik oleh Pram itu.


*dalam perjalanan Jogja-Jakarta, 23 Feb '03.
©aGus John al-Lamongany

#012: Menjadikan IAW sebagai Organisasi yang Ideal


Diskusi seputar berdirinya Ikatan Alumni Wikusama (IAW), yang bergulir sejak awal Februari, masih terus berlangsung hingga sekarang. Beda pendapat dan terjadinya gesekan ide dan pemikiran adalah hal yang wajar. Asal kesemuanya itu masih dalam satu kerangka membangun dan disikapi dengan kepala dingin, segala macam debat yang terjadi itu tidak perlu dirisaukan. Itulah yang dinamakan dinamika dalam sebuah organisasi.

Jika kemudian ditanya, bagaimana membuat Ikatan Alumni Wikusama (IAW) yang akan terbentuk mendatang bisa menjadi sebuah organisasi yang ideal? Penulis memiliki beberapa jawaban, diantaranya: pertama, IAW harus menjadi tanggung jawab bersama. Tidak hanya oleh panitia Temu Alumni atau pengurusnya, tapi setiap individu yang menjadi anggota IAW punya hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang sama dalam membesarkan IAW.

Soal hak dan kewajiban anggota, itu semua sudah diatur dalam PD/PRT IAW, yang akan disahkan (dilegalkan) setelah IAW terbentuk di TMII, Mei mendatang. Diantaranya berisikan: (a) hak dan kewajiban anggota untuk mengikuti voting dalam setiap kebijakan yang akan diambil organisasi, (b) setiap anggota memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam organisasi, dsb.

Kembali merujuk pada point pertama di atas, maka seyogyanya, IAW bisa menjadi organisasi yang bersifat sangat terbuka. Terbuka, bukan dari sisi keanggotaannya, tapi terbuka dalam hal mampu menggali "identitas diri" sebagai sebuah organisasi, yang semua input-saran-masukan itu berasal dari anggota sendiri. Diantaranya, soal visi dan misi, serta segala kebijakan yang akan menjadi garis kerja organisasi mendatang.

Setiap anggota berhak memberikan usul tentang visi-misi (harapan)-nya dan itu wajib ditampung oleh pengurus IAW, untuk kemudian bisa dirumuskan sebagai sebuah visi-misi bersama (organisasi). IAW juga harus menampung segala aspirasi yang berkembang di kalangan anggota. Misalnya, soal jenis kegiatan usaha yang akan dilakukan kelak. Dan sebagainya.

Kedua, membuat IAW bisa menjadi milik bersama. Oleh semua angkatan, dan semua wilayah dimanapun anggota alumni berada. IAW bukan hanya milik Indosat. Bukan hanya milik Telkomsel, Telkom, Ratelindo, Lintas Arta dsb. Atau, IAW bukan hanya milik Kebon Sirih, Cibubur, Cililitan, Pondok Karya,Tanah Abang dsb, tapi IAW adalah milik bersama anggota alumni STM Telekomunikasi Malang.

Hal ini bisa dicermati melalui proses: diskusi yang panjang di millist seputar pendirian IAW. Pembuatan istilah nama untukalumni (IA-Wikusama) yang melalui mekanisme vooting, pembuatan logo, soalpenggalangan dana, pembentukan panitia yang melingkupi semua angkatan, dsb, merupakan indikasi awal yang bagus untuk menjadikan IAW sebagai organsiasi milik bersama. Jadi, proses vooting yang terkesan berlarut-larut, sebenarnya juga memiliki makna kebersamaan, bahwa organisasi memberikan kesempatan pada semua pihak untuk ikut andil dalam mengemukakan pendapat.

Ketiga, IAW harus menjadi sebuah organisasi yang efektif dan berkelanjutan dari sisi program. Efektif tidaknya program IAW adalah menjadi tugas kita bersama, karena setiap anggota punya hak dan kedudukan yang sama dalam organisasi. Usul, saran, masukan dari setiap anggota alumni sangat dibutuhkan bagi perkembangan organisasi ke depan.

Tentu, yang memiliki otoritas dalam menjalankan segala kebijakan organsiasi adalah pengurus. Mereka memiliki peran dan tugas yang besar, sekaligus berat. Tapi, tanpa adanya dukungan dari kita bersama, sangatlah tidak adil. Karena itu dukungan dari semua anggota alumni sangat diperlukan demi suksesnya IAW ke depan.Sekali lagi, IAW adalah tanggung jawab kita bersama.


[c] aGus John al-Lamongany, 8 April '03

#011: Inul


Sebenarnya, saya sedang asyik mempelajari teks-teks sejarah Nusantara klasik. Khususnya sejarah Jawa (History of Java, meminjam istilahnyaThomas Stamford Raffles). Tapi, fenomena munculnya Inul di media massa akhir-akhir ini benar-benar cukup mengganggu pikiran dan nalar, membuat saya tidak bisa diam untuk ikut memberikan komentar soalnya.

Barangkali, coretan saya ini sungguh tak terstruktur. Maklum, karena bicara soal Inul; orang yang sekarang menjadi "besar" dengan latar belakang yang sangat tidak "terstruktur" pula. Tapi, ketidakstrukturan ini, hanya semata ingin melihat, mengamati fenomena Inul secara lebih komperehensif, dari berbagai sisi, biar lebih adil.


***
Inul. Siapa sekarang yang tidak kenal dengan penyanyi dangdut dengan julukan si "goyang ngebor" itu. Bahkan, Mr. President, Taufik Kiemas pun tidak mampu menahan syahwatnya untuk memeluknya di sebuah acara di TV-7.

Bila goyangan Inul menggoncangkan "etika sopan santun" masyarakat Jakarta baru saat ini, di kampung-kampung, khususnya di Jawa Timur, justru sudah sejak setahun yang lalu VCD-Inul telah beredar. Mulai dari kakek-kakek yang mengalami puber kedua, orang-orang setengah baya yang istrinya sudah memberikannya selusin anak, hingga anak-anak kecil belum cukup umur, mereka sudah familiar dengan Inul. Maklum, Inul adalah simbol hiburan masyarakat lapisan bawah.

Inul, seorang gadis desa yang lugu, tiba-tiba kini menjadi sosok yang dielu-elukan masyarakat pada saat rakyat sedang mengalami krisis figur. Inul muncul ketika rakyat sudah jenuh dan muak dengan dagelan-dagelan politikyang sering dipertontonkan para elite.

Inul, menjadi simbol hiburan. Sebagai "artis kampung", kini ia telah naik daun menjadi "artis terkenal". Bahkan, menurut pengakuannya, berkat goyangan khasnya itu, dia pernah diundang hingga ke mancanegara (Jepang dan Amerika). Padahal, suara Inul sungguh tak layak masuk di musik dangdut. Dia lebih cocok dengan aliran rock, aliran musik yang memang ia sukai sejak awal, sebelum menjadi artis terkenal.

Falsafah yang mengatakan semakin tinggi pohon, semakin kencang ia diterpa badai. Begitulah sekarang yang dialami Inul. Goyangannya pun kini mulai dipermasalahkan. Sampai majelis ulama selevel MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga ikut-ikutan 'ngurusin' Inul. Sebuah bentuk kerendahan dari peran ulama. Logikanya, etika masyarakat tergantung pada ulama lokal. Jika ulama "bukan lokal" (selevel) MUI turun 'ngurusi' Inul, itu pertanda ulama lokal tidak punya peran di masyarakat.

Pernah TransTV dengan acara "Kupas Tuntas" menyandingkan Inul dengan seorang ulama dari Pasuruan. Sang kiai memberikan himbauan agar Inul menjaga dan mengurangi goyangannya serta mengindahkan etika ketika di depan masyarakat. Si Inul pun waktu itu manggut-manggut di depan pak kiai.

"Terima kasih, pak kiai, atas himbauannya," kata Inul. Tapi, besoknya di stasiun TV yang berbeda, Inul kembali diundang. Baru saja, malam ini, SCTV menyiarkan siaran langsung 1 jam bersama Inul. Lagi-lagi, Inul, sang "wanita liar" itu bergoyang 'ngebor'. Inul barangkali sudah lupa dengan janjinya di depan pak kiai.


***
Apa hendak dikata. Ulama mencegah, media massa justru memberi harga. Antara ulama dan kecemasan masyarakat, tidak 'nyambung' dengan kepentingan media massa yang lebih mementingkan sisi komersial, profit. Sama halnya dengan kontroversi soal 'Valentine's Day'. Banyak kecaman datang, tapi media massa seakan berlomba-lomba memberikan acara yang terbaik, acara spesial menyambut hari yang tidak jelas dan cenderung merusak moral itu.

Semua stasiun televisi dominan warna pink menjelang tanggal 14 Februari kemarin.
Inul. Sungguh sangat kasihan. Bila saya lihat pada saat dia bergoyang, dia seperti dalam kondisi yang "tidak sadar". Entah apa yang ada dalam benak Inul ketika sedang bergoyang. Barangkali, ia kini menjadi figur kontroversial karena ia berada di posisi yang sungguh tidak mengenakkan.

Disatu sisi, dia menjadi simbol hiburan bagi masyarakat kampung di berbagai penjuru tanah air. Yang namanya hiburan, berkaitan erat dengan budaya. Semakin religius suatu lingkungan masyarakat, maka budaya (hiburan) yang berkembang juga akan bernilai religi yang amat tinggi. Sebaliknya, bila nilai religiusitas di sebuah kawasan itu rendah, maka budaya yang berkembang di daerah itu juga tidak akan mencerminkan nilai religi yang baik. Sangat mungkin, Inul berkembang di sebuah lingkungan yang sangat longgar etika dan nilai religiusnya.

Di sisi yang berbeda, Inul sedang menuai hujatan dari masyarakat yang "konon katanya" mengerti agama (agamis). Dia dicaci-maki, dicap sebagai "perempuan liar". Artis seprofesinya, Liza Natalia misalnya, mengatakan Inul sangat kampungan dan tidak mutu. Tapi uniknya, pada saat yang lain, Liza sendiri juga tampil dengan goyangan yang begitu seronok di acara "Laris-Manis", SCTV.

Ya, bagi saya itu sama saja. Keduanya jelas bukan "perempuan normal". Sangat jelas, orang normal tidak akan mau dan pasti malu melakukan, mempertontonkan "goyangan cabul" seperti itu. Bedanya barangkali, Inul "liar"-nya level kampung, tapi si Liza level ibukota. Wilayah dan cara bermainnya tentu berbeda.

Menariknya, di sisi yang lain lagi, media massa membutuhkan orang sepertiInul dengan iming-iming uang yang menggiurkannya karena alasan komersial. Media massa tidak pernah berpikir etis atau tidak etis, yang penting acaranya laku. Mendatangkan banyak iklan, yang tentu saja mendatangkan pula keuntungan, profit buat si media. Selama belum ada tindakan yang nyata dari ulama dan masyarakat, maka media akan terus membayar Inul.


***
Jadi, persoalan Inul ini tidak bisa hanya dibebankan pada si Inul semata, tapi harus dilihat dari berbagai faktor, diantaranya: pertama, lingkungan sekitar Inul yang mendukungnya, sehingga membuat Inul bisa menjadi artis tenar seperti sekarang, dan mereka mengganggap goyangan Inul sebagai bagian dari budaya. Kedua, longgarnya nilai religiusitas di tingkat masyarakat di sekitar tempat Inul dibesarkan, sekaligus mempertanyakan peran ulama ditempat Inul tersebut.

Ketiga, pada saat yang berbeda, hiburan "kampungan"yang dipertontonkan Inul, menjadi konsumsi masyarakat luas yang masih mentabukan (atau munafik?) hal-hal seperti itu dibawa ke wilayah publik (via media massa), sehingga ia menuai kecaman. Keempat, peran media massa (terutama televisi) yang sangat efektif sebagai media pembawa pesan perusak moral masyarakat --disamping memberikan wawasan pengetahuan, walaupun faktor ketiga menentang habis-habisan.

Alasan media pasti sangat sederhana; Inul mendatangkan profit! Masa' bodoh dengan etika, sopan-santun dan sebagainya. Meskipun ulama menghimbau dan masyarakat mengecam, tapi bila media massa terus "memberi harga" Inul, maka fenomena Inul dipastikan tidak akan berhenti, walaupun MUI harus menurunkan harga diri; dari level ulama tingkat pusat mengurusi hanya goyangan seorang Inul. Padahal, tempat-tempat maksiat yang mempertontonkan tarian gadis telanjang bukan hal yang aneh lagi di ibukota. Jadi, sebenarnya siapa yang munafik?

Sekali lagi, ini hanya tulisan soal Inul. Jadi tak perlu saya mengungkapkannya secara terstruktur.



(c) aGus John al-Lamongany, 21 Feb '03

#010: Karyawan Indosat dan Petani-Buruh Tembakau di abad XIX


Ketika mampir ke Yogya tempo hari, saya menemukan sebuah buku yang sangat menarik, yang berjudul: "Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870", karya Vincent JH. Houben, seorang sejarawan Jawa berasal dari Belanda.

Inti dari buku setebal 785 halaman, terbitan Bentang itu adalah, menceritakan secara gamblang ihwal periodesasi ketika kolonial melakukan eksploitasi secara eksplisit di Indonesia, khususnya di dua daerah semi-otonom, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Secara terperinci, Houben menguraikan ekspansi, eksploitasi, dan intervensi Pemerintah Kolonial terhadap kedua wilayah tersebut. Tentang masa itu,Houben mencatat adanya suatu pergeseran, yakni dari dependensi militer keraton terhadap Pemerintah Kolonial, menuju dependensi ekonomi.

Ketika elite penguasa di kedua kerajaan bekas pecahan Mataram Baru --yang terbelah akibat dari Perjanjian Giyanti (th. 1755 M)-- itu hanya disibukkan dengan saling menebarkan pengaruh dan rebutan tahta kekuasaan di lingkungan keluarga, dengan lihainya Kompeni Belanda memanfaatkan situasi krisis tersebut untuk menguasai tanah-tanah para bangsawan dengan harga sewa tanah dan upah buruh yang murah.

Dengan mengedepankan politik ekonomi yang rakus, dan memanfaatkan ketamakan dan kekerdilan berpikir para elite penguasa lokal (Surakarta danYogyakarta), Kompeni akhirnya berhasil menjerat para bangsawan itu dalam hutang yang sulit untuk dibayar. Setiap ada acara pernikahan, pesta atau hajatan dari penguasa lokal, Kompeni dengan "baik hati"-nya memberikan modal pinjaman untuk keperluan tersebut. Dampaknya, para penguasa lokal itu kemudian terjerat oleh ketergantungan pada para penyewa tanah, sehingga menyebabkan tanah-tanah kerajaan dijual atau digadai dengan harga yang murah untuk kepentingan Kompeni.

Jika sebelumnya, penguasa lokal kehilangan otoritas politiknya karena diambil-alih oleh birokrat-kolonial, maka dalam perkembangan selanjutnya, mereka juga kehilangan otoritas ekonomi yang telah digadaikan kepada para investor "asing" pada jaman itu (baca: Kompeni).
Saya sendiri belum sempat menuntaskan semua isi dari buku yang terbitanaslinya dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde), Leiden-Belanda tersebut. Tapi ada satu halaman yang menarik saya, untuk kemudian secara spontan saya melakukan analisis, membuat perbandingan, antara jaman penindasan Kompeni pada masyarakat Jawa di abad 19 dengan neo-kolonialisme era kapitalisme global yang terjadi sekarang.

Sebuah potret klasik di halaman 592, tepatnya. Tampak para petani-buruh tembakau menyortir hasil panen tembakaunya, di sebuah gudang, di bawah pengawasan seorang petugas birokrat Belanda yang bule, didampingi seorang 'centheng' (tangan kanan, tukang pukul) berwajah pribumi. Rata-rata para petani-buruh itu sudah berusia tua. Yang wanita memakai kemben, berkebaya, dan ditutup baju tradisional Jawa yang melekat tanpa dikancing. Sementara yang pria bertelanjang dada, memakai pakaian bawah seperti sarung dan memakai blangkon. Semua petani-buruh itu tak memakai alas kaki. Mereka tampak kurus-tak terawat, dan dari raut mukanya tidak sedikitpun terbersit sinar kebahagiaan.


***
Imaginasi saya kemudian terbang, mengembara, menuju ke peristiwa yang baru saja terjadi di abad 21 ini, ketika program privatisasi Indosat harus merelakan 46 % sahamnya (divestasi) untuk selanjutnya dikuasai oleh pihak asing. Tidak bisa dibayangkan, Indosat yang punya prospek bagus di bidang telekomunikasi, tapi hasil keuntungannya mengalir ke luar negeri.

Samahalnya dengan kasus-kasus yang lain yang telah terjadi selama ini, seperti: Freeport, Exxon Oil, KPC, Caltex dll. Sumber daya alamnya dari kita, sumberdaya manusianya juga dari kita, tapi aliran modalnya menuju dan dinikmati oleh orang-orang "utara" dari "Negeri Atas Angin" --meminjam istilah Pramoedya Ananta Tour. Hasil keuntungan dari eksploitasi sumber daya alamNusantara, nyaris 50% --atau lebih- dikeruk ke luar negeri. Hal yang sangatditentang oleh Bung Karno, ketika masih menjabat sebagai presiden pertama RI.

Melihat dari proses divestasi Indosat tersebut, dan rencana pemerintah akan terus "menggadaikan" aset-aset negara ke pihak asing, dalam kacamata saya, apa yang dialami oleh para petani-buruh tembakau pada abad 19, dengan karyawan Indosat saat ini, tidaklah ada bedanya. Perbedaan mungkin ada dari sisi konteks ruang, waktu dan peristiwanya saja. Tapi substansinya sebenarnya tetap sama; modal yang dikeruk dari sumber daya alam Nusantara, mengalir ke luar negeri.

Bedanya secara fisik dan materi, petani tembakau bertelanjang dada, kulitnya hitam legam tersengat panas, dibayar dengan upah rendah. Kantornya hanya ruang gudang yang panjang, tanpa memperhatikan kelayakan untuk dihargai sebagai manusia. Mereka tidak pernah mengenal HAM, demokrasi, kesejahteraan dan kesetaraan, sehingga sang majikan Kompeni bisa berbuat seenak hati. Sedangkan karyawan Indosat sekarang berdasi, berbaju rapi dan berkendaraan pribadi. Mereka sudah mengenal HAM. Kalau kesejahteraan tidak diperhatikan, bisa melakukan unjuk rasa. Ada kebebasan berpendapat yang membedakan antara mereka.

Tapi pada dasarnya tetap sama; keduanya sebagai "kacung", buruh di negeri sendiri. Sementara orang-orang bule, tetap berkacak pinggang, duduk-duduk santai sembari minum kopi dan bir di negaranya sana, sambil menunggu sekaligus selalu menghitung aliran baliknya modal. Sementara, yang berperan sebagai 'centheng' diperankan oleh Menteri BUMN, para broker politik, dan para dewan Direksi yang tidak ingin kehilangan kedudukan dan posisi.

Mereka tidak ada persoalan dengan hati nurani dan nasionalisme, yang penting bisa menjadi patron, bisa memberikan "servis" yang memuaskan bagi kepentingan kelompok yang memiliki modal besar. Tak peduli Nusantara harus digadaikan!

Sekali lagi, dalam coretan yang singkat tanpa proses editing yang mantap ini, saya berani berpendapat, bahwa karyawan Indosat saat ini tak ubahnya seperti petani-buruh tembakau di abad 19. Sebagai buruh yang berdasi, merasa asing di negeri sendiri, dan tidak pernah akan mendapatkan kesempatan untuk ikut dalam mengambil setiap kebijakan. Merasa sebagai anak-bangsa, sungguh nasib seperti itu sangat mengenaskan!


(c) aGus John al-Lamongany, 16 Jan '03

#009: Reuni


Dik Ali (Ali Thamrin, angkatan 3) pernah cerita ke saya, mengenai sulitnya mengumpulkan teman-teman yang berada di daerah [Surabaya dll] untuk diajak dalam acara reuni kelas. Padahal, acaranya juga di daerah. Menurut Ali, itu terjadi karena ada perasaan minder dari teman-teman di daerah bila bertemu dengan teman-teman dari [yang bekerja di] Jakarta.
Lho, kok bisa? Ya, memang begitu kenyataannya. Di samping halangan sakit, biasanya sibuk karena rutinitas pekerjaan juga dijadikan sebagai alasan. Tapi minder atau tak percaya diri, menurut Ali merupakan alasan yang kerapkali keluar.

Kenapa begitu? Menurut saya, itu bisa saja terjadi, bila seandainya harta dijadikan sebagai parameter [tolak ukur] dalam berteman. Ada image, seolah-olah yang bekerjadi Jakarta itu glamour, hidup penuh dengan kesuksesan dsb. Padahal sama saja.

Contoh kecilnya saja, saya misalnya. Sampai kini pun tidak memiliki properti yang berarti, aset pribadi yang berlebih, atau bahkan [boro-boro] mobil pribadi...:) Padahal kerja sudah lama. Justru teman-teman di daerah sudahpunya rumah di Sidoarjo, misalnya. Jadi, kenapa harus minder? Semua sama saja. Sederhana saja berpikir: Tuhan menilai akhlak. Menilai bermanfaat atau tidaknya manusia terhadap lingkungan di sekitarnya, dan bukan dari kekayaannya.

Kalau alasannya karena "gengsi" pekerjaan. Banyak macam ragam pekerjaan yang bisa memberikan pendapatan --tidak hanya berkutat pada perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi belaka. Ada pabrik, berniaga/berdagang, wiraswasta, kerja di level wacana atau massa-basis (LSM, Lembaga Swadaya Masyarakat) dsb. Belum tentu, kerja di perusahaan telekomunikasi gajinya bisa lebih besar dari seorang office boy di sebuah LSM. Karena saya pernah tahu itu.

Berpijak pada Masa Lalu

Seharusnya, bila ingin ber-reuni, perasaan egaliter [senasib-sepenanggungan], seperti yang pernah kita rasakan ketika hidup bersama di (m)Bareng atau Sawojajar, yang kita kedepankan. Itu yang harus kita pegang dan gunakan sebagai parameter dalam menjaga abadinya sebuah hubungan. Bukan parameter harta atau kekayaan.

Harus ditanamkan pula pemahaman, bahwa; pertama, kita dulu berangkat dari segala sesuatu yang hampir sama. Sama-sama merasakan hidup prihatin. Sama-sama mengalami hidup "miskin", sama-sama mengkonsumsi masakan Bu Tajab, Bu Boneng, lihat film 300-an perak di Kelud dsb.

Kedua, harta itu titipan Tuhan. Ada atau tiada, [harta] itu hanyalah sebuah keniscayaan. Hanya waktu dan kesempatanlah yang membedakan. Ada waktu yang dibingkai dalam batas "kemarin", "sekarang", dan hari "esok" yang masih terbentang lapang. Hidup masih panjang, dan rejeki menjadi "otoritas mutlak" Tuhan. Dia-lah yang menentukan segalanya. Dunia adalah fana. Jadi, kalau hanya persoalan beda harta, kenapa harus takut untuk ber-reuni? Bukankah demikian, kawan?


[c] aGus John al-Lamongany, 8 Maret 2002

#008: Teks


Saya tidak terbiasa mendefinisikan suatu kata atau kalimat, dengan berangkat dari "Kamus Besar Bahasa Indonesia" --karena memang belum punya. Selama ini, dalam memaknai sebuah kata atau kalimat, saya cenderung menggunakan "perasaan". Ya, katakanlah itu sebagai "ilmu kira-kira", begitu.

Teks. Saya artikan sebagai sebuah "bacaan". "Sesuatu yang bisa dibaca". "Sesuatu", saya artikan sebagai sebuah bentuk barang atau benda, baik yangberwujud [nyata] ataupun tidak [abstrak]. Tulisan [bisa berupa artikel, email, surat pos dll], buku [koran, majalah, jurnal, buletin dll], kodifikasi atas madzhab dalam beragama, atau bahkan kitab suci adalah kumpulan dari teks --di samping sebagai wahyu Tuhan.

Kejadian yang kita jumpai dan alami sehari-hari adalah teks dalam wujud abstrak. Karakter, pribadi, sifat seseorang adalah sebuah "teks". Begitu juga takdir, kehendak Tuhan. Kenapa begitu? Karena ia bisa dipelajari, bisa dibaca. Bisa dipahami, bisa dimengerti, atau bahkan mungkin diyakini akan kebenarannya.

"Dibaca", dapat saya artikan sebagai fungsionalisasi atas panca indera [mata, telinga, hidung, kulit dan mulut]. "Dibaca", tidak terpaku pada konteks membaca tulisan semata. Tapi juga "sesuatu" itu bisa dirasakan,dilihat, diamati, didengar dsb. sesuai dengan wujudnya; nyata ataukah abstrak.

Dari pembacaan atas teks itu, tentu akan menimbulkan akibat, reaksi. Pilihan, penolakan, tuntutan dan berbagai macam reaksi yang dilakukan oleh manusia adalah akibat dari pembacaan atas teks. Begitu juga dengan penerimaan, tanggapan dsb.


***
Bagi saya, orang yang "berharga" adalah ketika dia mampu membuat dan memaknai "teks" secara terbuka. Terbuka, dengan maksud membiarkan teks itu bisa dipahami secara multi-interpretatif, dengan penuh dilandasi oleh semangat nalar-kritis. Semua orang boleh menafsirkan, dan semua orang berhak untuk mengartikan --tentu dengan batas-batas yg dimiliki masing-masing. Setelah itu baru kemudian memutuskan --sebagai akibat dari pembacaan terhadap teks tersebut.

Berangkat dari pemikiran sederhana seperti ini, maka dengan penuh santun saya ingin mengkritik para pemikir, ahli agama jaman dahulu, sekarang, atau yang akan datang, yang berusaha untuk "menutup" atas penafsiran dari sebuah teks. Karena dengan penutupan atas teks itu, ajaran agama hanya akan menjadi sebuah dogma. Ia akan berjalan dengan statis, dan mengalami kesulitan untuk memecahkan problema. So, biarkanlah teks itu terbuka, dan biarkan orang lain dengan bebas menginterpretasikannya.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.


[c] aGus John al-Lamongany, 7 Maret 2002

#007: Arti Penting (dari) Persahabatan*


Mas Ridwan, seorang 'my old cyber-friend' dari Tuban, yang sampai saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa pasca sarjana sebuah universitas Islam di Malaysia, berkunjung ke rumah, di Cililitan. Di samping silaturahmi --karena selama ini hanya kenal via internet/email saja, memang ada pembicaraan khusus mengenai pengembangan ekonomi keumatan yang sedang kami rintis bersama.

Dengan didampingi oleh seorang aktivis gerakan dari Ciputat yang berasal dari Gresik, kita ngobrol, saling mengenal lebih jauh. Dari informasi yang saya dapatkan darinya, saya mencatat bahwa, dia pernah mondok di Pesantren Langitan, Widang-Tuban. Ia juga pernah nyantri di Pesantren Sarang, Rembang, kemudian mengambil pendidikan sarjana Islam di Kairo, Mesir, dan kini mengambil gelar master di Kualalumpur. Nama pesantren terakhir (di Rembang) inilah yang kemudian kelak akan melahirkan aktivis-aktivis muda, baik yang aktif di dunia gerakan massa-basis, intelektual (wacana) ataupun politisi (politik praktis) di DPR.

Berangkat dari lingkungan pesantren ini pula, sebenarnya cerita persahabatan yang saya kutip ini berawal. Karena sudah lama ingin bertemu, pembicaraan kita pun berlangsung dengan cukup hangat. Maklum, saya dan mas Ridwan sudah saling kenal sejak 1999, dan baru tiga tahun kemudian bisa berjumpa, bertatap muka (copy darat). Tapi belum lama kita ngobrol, telepon genggamnya berbunyi. Seseorang telah meneleponnya dengan cukup singkat. Rupanya, si penelepon itu adalah teman mas Ridwan yang kini duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia bilang, kita sudah ditunggu di rumahnya.

Pembicaraan yang berlangsung hanya sekitar 30 menit itupun kita tutup. "Mau ikut saya ke komplek DPR, Gus?" pinta mas Ridwan. Saya hanya diam, tapi tidak menolak.
"Ada pertemuan 'penting' lagi yangharus saya jalani", batin saya bicara. Ya, Chotibul Umam Wiranu, teman mas Ridwan yang menelepon tadi, namanya sudah saya kenal cukup lama, ketika dia dulu masih menjabat sebagai redaktur di koran "Duta Masyarakat". Kebetulan, saya dulu aktif menulis artikel untuk koran yang menjadi milik kebanggaan warga NU itu. Dari dunia jurnalistik itulah kita saling mengenal nama.

"Ya deh, mas. Saya ikut," saya ambil keputusan cepat. Kitapun berangkat bersama. Dari basecamp, kita meluncur menuju komplek Perumahan DPR-RI di Kalibata. Kebetulan, jaraknya tidak terlalu jauh; kurang lebih 600 meter.Dengan naik mikrolet, 5 menit kita sudah sampai. Di depan pintu masuk komplek, kita sudah dijemput mas Umam. Dengan Jeep-Cheeroke, kita menuju ke A8-5, rumah dinasnya.

Di teras belakang rumah, kita ngobrol banyak tentang perkembangan politik bangsa secara global. Di sela-sela obrolan, keluar seorang wanita yang anggun, feminim, menghidangkan sajian. Dia adalah istri mas Umam.

"Dia orang Jombang. Dulu, dia aktif di LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) -ada juga yang menyebutnya sebagai "wajah baru" dari gerakan Lemkari/DarulArqam, sebuah organisasi Islam yang dianggap "sesat" oleh MUI. Tapi sekarang dia sudah masuk NU," kata mas Umam setelah meninggalkan rumahnya. Sebelumnya kita pun menyempatkan diri berkenalan dengan istrinya.

"Jadwalmu hari ini mau ke mana, Bal?" tanya mas Umam pada mas Ridwan.

"Gimana kalau ke TMII (Taman Mini Indonesia Indah) aja, Tib?" jawab mas Ridwan, yang nama lengkapnya adalah Ridwan Hambali.

"Ya, ayo kita berangkat kalau begitu. Mumpung masih pagi."

Kita (berlima) pun meluncur menuju TMII, sebuah kawasan yang dibangun semasa Orba-GSM (Golkar-Suharto-Militer) berkuasa, sebagai replika budaya bangsa.

Lucu sekaligus menyenangkan. Lucu, karena saya merasa kita sudah tua kok mainnya ke TMII. Menyenangkan, karena hari Natal itu (25 Des '01) --berbeda dengan hari Natal yang dulu-dulu-- merupakan salah satu hari yang memiliki kesan cukup mendalam, mengingat yang mengajak jalan-jalan itu adalah seorang politikus, mantan wartawan, yang dulu hanya kenal namanya saja. Apalagi pada waktu itu ia sedang bersengketa dengan Ginanjar Kartasasmita, Wakil Ketua MPR, seputar KKN di Balongan. Jadi, selama perjalanan, saya bisa diskusi banyak tentang kasus tersebut.

Tiga puluh menit, kita sudah sampai di TMII. Begitu masuk, kita putar-putar, keliling-keliling dari satu hanggar ke hanggar yang lain. Kurang puas, kita berputar lagi. Siang itu, TMII penuh sesak dengan padatnya pengunjung. Begitu merasa capek, mas Umam mengajak mampir ke warung yang menjual es kelapa muda. Kita pesan makanan. Dari mas Umam-lah, hingga kini saya mencoba untuk menyukai es degan (kelapa muda).

"Sejak berkeliling ke beberapa negara di Eropa, saya semakin menyadari, betapa pentingnya peran dan jasa dari seorang sahabat," ujar Mas Umam.

"Saya sangat merasakannya (arti penting dari persahabatan itu), Gus. Dengan bantuan seorang teman, saya dipandu bila kemana mau pergi. Dan itu sangat membantu. Itulah kenapa, kalau ada teman saya yang datang ke Jakarta, apalagi dia belum pernah sebelumnya, saya selalu mencoba untuk meluangkan waktu, mendampinginya, mengantarkannya ke manapun dia pergi. Saya tidak akan merasa keberatan melakukan semua itu," kata mas Umam lebih lanjut.

Mendengar penjelasan itu, Mas Ridwan yang duduk di depan saya, terlihat tersenyum.
Dalam batin saya, "luar biasa", betapa penting dan berartinya nilai persahabatan di mata seorang anggota dewan yang terhormat itu. Rasanya, saya --atau mungkin juga Anda- perlu belajar banyak terhadapnya. Itu (ungkapan mas Umam) adalah satu pelajaran hidup yang kembali saya terima, dari rangkaian proses hidup yang panjang, yang penuh dengan "pencerahan"(enlighment) ini.

Memang, adakalanya di antara sebagian dari kita masih punya pandangan, persahabatan itu tak memiliki makna. Misalnya, diundang acara nikahan teman tapi tidak datang --dengan alasan yang tidak jelas. Beberapa kali diundang acara reuni kelas, alumni, juga tidak pernah datang, dst. Padahal, manfaat dari silaturahmi (bertemu teman) begitu besar.

Lalu bagaimanakah caranya bisa memahami dan memaknai arti penting dari nilai persahabatan itu? Saya sendiri pun sampai saat ini masih mengalami kesulitan untuk bisa "menerjemahkan"-nya. Tapi paling tidak, catatan harian ini menjadi pengalaman yang cukup menarik, terutama bagi saya pribadi.


*tema ini muncul 2 Jan '02
(c) aGus John al-Lamongany, 7 Maret '02

#006: Profesionalisme dalam Perbedaan


Malam semakin pelan merambat menuju kekelaman. Ketiga orang itu masih duduk di kedai makan dekat terusan Maleische Gragt itu hingga larut. Cornelis yang tak pernah lepas dari penyamarannya jika berada di luar penginapan itu terus berbicara meracu. Entah sudah berapa kendi arak yang telah mengguyur tenggorokannya. Valentijn masih bisa menahan diri untuk tidak terhanyutdalam buaian minuman yang memabukkan itu. Sedang Raden Suryo hanya menyentuhnya sedikit. Pemuda itu lebih banyak menghabiskan rokok cerutunya yang dihisap sambung-menyambung tiada henti.

Guna mengurangi kekakuan suasana, Valentijn mencoba mengalihkan pembicaraan yang barangkali kurang menyenangkan bagi Raden Suryo. Sementara Cornelis sudah lama tak sadarkan diri.

"Apakah kau akan tetap tinggal di kota ini Raden?" tanya Valentijn.

"Benar!"

"Lantas apa rencanamu di sini kelak?"

"Aku akan meneruskan perjuangan ayahku dalam upaya membebaskan tanah Jawa Raya ini dari belenggu penjajahan bangsamu....," jawab Raden Suryo datar.

Mendengar jawaban Raden Suryo tersebut, Valentijn tidak berhasrat lagi untuk meneruskan percakapannya. Cornelis dan Valentijn harus kembali ke Belanda, sementara Raden Suryo mengantarkannya hanya sampai di Pelabuhan Sunda Kelapa. Mereka pun berpisah dalam suasana penuh persahabatan.


***
Tidak hanya dalam lingkungan pekerjaan saja, kita menerapkan sikap profesionalisme. Tapi, dalam hal berbeda pendapat, walaupun itu sangat prinsip dan menyentuh persoalan yang asasi dan esensi sekalipun, sikap profesionalisme harus tetap dijaga.

Dalam salah satu fragmen dari novel sejarah "Sang Penumpas", karya DukutImam Widodo (pen: Djambatan:1988, hal:194) di atas, memberikan gambaran tentang bagaimana erat dan tulusnya persahabatan di antara ketiga tokoh pelaku dalam novel itu.

Untuk bisa mengukur lebih jauh isi (kadar) dari persahabatan mereka, tak ada salahnya kita perlu mengenal ketiga tokoh tersebut: Valentijn adalah seorang perwira berpengalaman yang ditugaskan oleh kerajaan Belanda untuk memburu dan menumpas Mayor Gustaaf van de Broecke, seorang tentara Belanda yang melakukan disersi bersama 30 anak buahnya untuk melakukan pemberontakan pada pemerintahan di Batavia. Gustaaf adalah putra bangsawan Mataram, Pangeran Guritno, yang beristrikan seorang wanita Belanda.

Tokoh kedua, Cornelis. Nama lengkapnya Cornelis van de Broecke. Dia putra Gustaaf. Kedatangannya ke Batavia, karena ditugaskan oleh ibunya untuk menyadarkan ayahnya. Tapi karena alasan prinsip membela kebenaran, Gustaaf tetap bersikukuh pada pendiriannya, yang menyebabkan dirinya harus terbunuh oleh Cornelis, anaknya sendiri.

Sementara Raden Suryo. Dia putra Pangeran Nataningrat, seorang bangsawan Mataram. Pangeran ini, karena melakukan pemberontakan pada kompeni, akhirnya dibuang ke Kaap de Goode Hoop. Tapi berkat keuletan dan ketokohannya, di wilayah paling selatan Benua Afrika itu, dia justru menjadi seorang pengusaha yang kaya raya. Raden Suryo, pergi ke Batavia --yang secara tidak sengaja bertemu dan berkenalan dengan Cornelis di atas kapal, dengan tujuan untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya ayahnya oleh Gustaaf.

Sangat menarik! Novel karya orang Malang ini diakui oleh HB Jassin--sastrawan besar Indonesia- sebagai sebuah novel yang memiliki struktur cerita detektif yang penuh liku-liku, intrik-intrik canggih yang terlalu langka dalam sastra Indonesia.


***
Kita kembali pada pertemuan ketiga tokoh di atas. Walaupun mereka dipisahkan oleh persoalan harga diri; Cornelis dan Valentijn mewakili identitas sebagai bangsa imperialis (penjajah), dan Raden Suryo sebagai identitas kaum yang tertindas (bangsa jajahan), tapi mereka bisa menjaga hubungan yang telah terjalin sebelumnya dengan baik --walaupun itu secara tidak sengaja.

Walaupun masing-masing memiliki nasionalisme pada bangsanya sendiri-sendiri, tapi mereka bisa duduk satu meja. Berdiskusi tentang masa depan dan harapan mereka terhadap bangsanya. Mereka mampu membedakan mana "ruang privat" pesahabatan/hubungan/persoalan pribadi), dan pada saat yang mana "ruang publik" (membela kepentingan bangsanya) harus dilakukan. Perasaan senasib-sepenanggungan dalam perjalanan dari Pelabuhan Kaap de Goode Hoop (Tanjung Harapan Baik) menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia (1742), telah mengikat mereka pada kesadaran bahwa mereka harus bisa berbuat profesional dalam menjaga hubungan. Sementara, persoalan menjajah dan dijajah adalah urusan lain.

Lebih lanjut, novel itupun bercerita, "Valentijn memberikan sebuah bingkisan sebagai tanda kenang-kenangan, yang berisikan sebuah pistol dari emas kepada sahabatnya, Raden Suryo, sebelum dirinya naik ke kapal."
"Tet...tet...tet...," bunyi sirine. Kapalpun mulai berjalan. Mereka salingmelambaikan tangan.


***
Alangkah indahnya persahabatan mereka. Dan sungguh indah pula bila kita bisa melakukannya; bersikap profesional dalam melihat dan memandang perbedaan.



(c) aGus John al-Lamongany, 29 Jan '02

#005: Emosi dan Artikulasi Diri


Anda, saya, ataupun siapa saja tentu pernah mengalaminya. Dalam merespon sebuah diskusi, terkadang kita langsung bersikap reaksioner. Tersinggung, mudah marah atau bahkan mengancam. Mengedepankan emosi daripada meresapi. Mengedepankan naluri daripada empati. Padahal, andaikata semua orang bisa memahami satu sama lain. Saling berempati satu sama lain, niscaya (konflik) itu tidak akan pernah terjadi.

Emosi adalah bagian dari sebuah ekspresi. Emosi juga bisa saya maknai sebagai wujud dari aktualisasi diri yang "tidak tuntas" --lebih bersifat negatif. Sama-sama bentuk dari aktualisasi diri, mungkin hanya berbeda pada tataran proses, dengan orang yang bisa berekspresi menggunakan opini(wacana). Jadi, ketika seseorang itu emosi dalam berdiskusi, sebenarnya itu menunjukkan bahwa ada "problem" dengan orang tersebut, yang berkenaan dalam proses mengartikulasikan dirinya untuk membangun sebuah opini. Dengan memahami demikian, bagi yang sudah bisa berdiskusi, beropini, makaseyogyanya dengan sabar bisa memahami orang-orang yang masih berada dalam tahap (tataran) emosi.


***
Dalam konteks pemahaman seperti itulah, yang kemudian saya jadikan pijakan untuk mengkritik --sekaligus memberikan saran- terhadap gerakan massa grass-root NU yang cenderung "radikal". Misalnya: munculnya fenomena Pasukan Berani Mati (PBM) ketika Gus Dur akan dijatuhkan. Juga aksi-aksi massa Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad yang cenderung merusak, dan aksi-aksi membakar buku-buku --yang dianggap "kiri", yang dilakukan oleh Eurico Guetteres dkk tempo hari.

Munculnya fenomena seperti itu, harusnya bisa dipahami sebagai: pertama, pembodohan elite pada umat. Terjadi disinformasi dari kalangan pemimpin kepada umatnya. Wawasan dan pengetahuan umat yang terbatas --kalau tidakboleh dikatakan terbelakang, dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Itu juga menunjukkan, ada problem artikulasi diri pada mereka, sehingga bisa dimanfaatkan oleh kalangan elite politik, hingga kemudian muncullah vonis"komunis", "anarkhis" dll terhadap kelompok yang mereka anggap lawan.

Kedua, bagi yang sudah pandai beropini (media massa, elite lawan politik, provokator dll), tidaklah perlu memojokkan mereka yang masih menggunakan cara-cara emosi untuk menyelesaikan masalah. Sesungguhnya, emosi yang mereka lakukan itu, menunjukkan ketidakmampuan untuk menuntaskan masalah melalui mekanisme intelektual (diskusi, berdebat, berbeda pendapat dll) dan cara-cara yang beradab (via wakil rakyat, aparat penegak hukum, forum diskusi dll).

Padahal, seharusnya masalah yang "tidak tuntas" itu menjadi kewajiban bersama; baik oleh yang sudah mengerti, ataupun bagi yang masih suka menggunakan instrumen emosi. Karena dengan begitu, beda pendapat di negeri ini akan berlangsung dengan sangat demokratis dan santun. Begitupun di forum diskusi ini. Semoga!.


(c) aGus John al-Lamongany, 22 Jan '02

#004: Setan Di Antara Diskusi Para Wali


Alkisah, dalam sebuah sidang yang diadakan oleh Wali Songo di Masjid Demak, terjadilah perdebatan sengit antara Sunan Kalijaga versus Sunan Kudus. Padahal, diskusinya berawal dari membahas masalah yang sangat sederhana; bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan oleh para wali melihat mundurnya Kerajaan Majapahit.

Diskusi yang diawali dengan begitu tenang, kemudian menjadi berubah.Bukannya membahas masalah Majapahit, tapi diskusi para wali itu menjadimeruncing tatkala Sunan Kudus menyindir pakaian yang digunakan SunanKalijaga. Menurut Sunan Kudus, pakaian yang dipakai Sunan Kalijaga tidak"Islami", dan dia juga mengungkit-ungkit soal penggunaan bunga setandan(kemenyan) dalam tradisi Jawa.

Menanggapi pernyataan Sunan Kudus yang tajam seperti itu, Sunan Kalijaga menjawabnya dengan santai. Tak mau kalah, Sunan Kalijaga kemudian menjawab, "Fungsi bunga setandan itu untuk membuat bau yang harum. Agama kita mengajarkan untuk menggunakan bau-bauan yang wangi. Orang Jawa, identik dengan kemenyan. Apa salahnya kalau bunga itu dimanfaatkan agar dapat memperkhusyu' ibadah?"

"Masalah pakaian yang saya kenakan, bukankah ajaran agama kita lebih mengutamakan menutup aurot daripada terpaku pada formalitas pakaian belaka?", sindir Sunan Kalijaga dengan santun.

"Lebih baik begini, tapi aurat tertutup," ujar Sunan Kalijaga kemudian. Sunan Kudus yang merasa pakaiannya terbuka (tersingkap) hingga lutut, kemudian cepat-cepat menutup auratnya yang terbuka itu. Diskusi pun kemudian terbawa ke hawa panas. Suasana sidang diskusi para wali menjadi tegang.

Untunglah dengan bijaksana, Sunan Ampel segera mengingatkan mereka berdua. "Saudara-saudara, setan telah menghinggapi di hati saudara-saudara. Sudahlah dihentikan saja diskusinya".

Para wali menundukkan kepala.Merekapun kemudian mengucapkan istighfar. Mohon ampun pada Allah.


***
Begitulah. Di manapun, baik di dunia nyata ataupun maya --internet, setan bisa menjamah. Dalam sidang para wali saja bisa, apalagi hanya sekedar level sidang macam politisi di DPR/MPR, di Wikusama dan di berbagai diskusi yang lainnya. Suasana panas, penuh emosi, mudah tersinggung dan sebagainya adalah indikasi bahwa setan ada di antara diskusi kita. Dengan menyebut nama Allah, mari kita berlindung dari-Nya atas segala tipu daya setan, sambil tetap menjaga erat persahabatan.


(c) aGus John al-Lamongany, 21 Jan '02

#003: Wikusama: Sahabat Sekaligus Guru


Ada satu ajaran dalam lingkungan pesantren yang cukup menarik untuk diapresiasi. Tepatnya dalam kitab ta'lim muta'allim, yang berisikan: "Aku adalah hamba dari orang yang mengajariku, walau hanya satu (ayat) katapun." Literatur sejarah Islam menyebutkan, "ayat" tersebut berasal dari perkataan Sayyidina Ali bin Abu Thalib ra.

Bila dipahami secara negatif, ayat tersebut bisa mengakibatkan terbentuknya pola hubungan ketertundukan yang bersifat total dari kalangan santri secara berlebihan pada kiai. Ini biasanya terjadi di lingkungan pesantren--walaupun tidak secara keseluruhan.

Padahal, banyak hadis yang menyebutkan adanya proses terjadinya tanya-jawab (dialog) antara sahabat dengan Rasulullah SAW tentang sesuatu hal. Misalnya begini, "...Sahabat bertanya, Rasulullah menjawab...". Yang ini bisa dipahami bahwa sebenarnya Rasulullah mengajarkan pola hubungan, dialog yang sangat demokratis, dua arah. Bukan monolog! Artinya, salah besar bila dalam pola interaksi kita sehari-hari, ada seorang kiai, guru, ustad tidak mau dan "mengharamkan" untuk diajak berdialog.

Di sisi yang lain, bila dipahami secara positif, maka ayat di atas akan menjadikan kita sebagai manusia yang toleran, tidak tinggi hati, tidakmerasa yang paling berilmu dan akan selalu menjaga langgengnya nilai persahabatan.

Dalam usaha memahami "pemahaman positif" dari ayat di atas, maka bisa saya umpamakan dalam ilustrasi begini: Latar belakang diskusi di millist Wikusama. Misalnya Hilal, Zakki, Anam memosting tentang wawasan keislaman, tentang gerakan Islam-Taliban. Kebetulan saya belum mengetahui itu sebelumnya. Maka bisa dikatakan Hilal dkk itu adalah guru saya.

Contoh yang lain, misalnya Arisandi, Noka, Dodik dll membahas soal sistemUnix/Linux, dan teman-teman enjoy mengikutinya, artinya: Arisandi dkk itu adalah guru dari teman-teman yang belum tahu dan menikmati pengetahuan itu.

Bila Hari-Dawet, Supri, Hendro dll posting tentang jadwal tayangan siaran sepakbola Piala Dunia 2002 dan kita mengambil manfaatnya, maka Dawet dkk itu adalah juga guru kita. Dan begitu seterusnya.

Intinya, seseorang yang bisa bermanfaat secara ilmu --apapun itu bentuknya- bagi orang lain, menurut saya dalam memahami pengertian dan maksud ayat di atas, maka orang itu boleh dianggap sebagai guru. Karenanya, Wikusama, di samping sebagai forum silaturahmi alumni --walaupun secara virtual, bisajuga dijadikan sebagai ajang diskusi antara santri (murid) dan guru. Semuabisa berpeluang untuk menjadi santri, dan punya hak yang sama pula untuk bisa menjadi guru. Jadi, mari kita jadikan Wikusama sebagai sahabat, sekaligus guru kita.

Bravo Wikusama!



[c] aGus John al-Lamongany, 17 Jan '02