Tuesday, November 21, 2006

#080: Bila Kalangan Pekerja Kehilangan Hak Suara


Hasil survey Perkumpulan Suaka Keadilan (Suaka) yang dimuat dalam Indo Pos (15/1/04) dan Bisnis Indonesia (28/1/04) menunjukkan: 92% komunitas marjinal kota (KMK) tidak memahami tentang perubahan UU Pemilu 2004. 93% tidak paham tentang cara pemilihan, 86% tidak memahami keberadaan KPU, dan 90% merasa tidak paham dengan fungsi dan kinerja KPU. Hasil dari penelitian yang dilakukan di berbagai kawasan kumuh di DKI tersebut kemudian menyimpulkan secara prinsipil bahwa, pemilu 2004 tidak dapat dijadikan tempat harapan akan munculnya perubahan. KMK atau yang juga sering disebut dengan kaum miskin kota sering terpinggirkan secara hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya oleh negara.

Menjadi pertanyaan penting, apakah benar, hanya KMK saja yang terpinggirkan secara politk? Lalu bagaimana dengan kalangan menengah (baca: kalangan pekerja) yang mayoritas memang masyarakat urban (berasal dari luar Jakarta)?

Dari hasil survei yang saya lakukan secara acak selama seminggu (8-14 Maret 2004), melalui kuesioner baik secara langsung ataupun via e-mail, dengan akurasi profil responden bisa mencapai 99,999% valid, dengan melibatkan responden yang berprofesi sebagai pekerja di berbagai perusahaan di berbagai kota, sungguh mencengangkan! Dari 104 responden, ditemukan hal-hal pokok sebagai berikut; pertama, 52% diantara responden tersebut dapat dipastikan tidak berhak mengikuti pemilu dengan alasan: belum terdaftar(33%), tidak tahu (12%) dan ragu-ragu (7%) [lihat diagram-1].

Dari hasil wawancara dengan para responden yang belum terdaftar, mereka mengatakan selama ini tidak merasa didatangi oleh panitia pemilih. Ini bisa dimaklumi, karena setiap pekerja pada umumnya di hari aktif (kerja) tidak berada di rumah. Sedangkan yang sudah terdaftar, sebagian mereka mengatakan ada anggota keluarga di rumah sewaktu ada proses pendaftaran pemilih. Sebagian lagi mengatakan, mereka selama ini tidak terdaftar, tapi mendaftarkan diri. Itupun mereka ketahui setelah mendapatkan sosialisasi proses pemilu oleh partai politik yang menjadi idola mereka.

Dengan melihat tingginya prosentase calon pemilih yang belum terdaftar, hal tersebut menunjukkan kurangnya partai politik dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana sosialisasi politik. Banyak calon pemilih yang sebenarnya ingin menggunakan hak pilihnya dalam pemilu bulan depan, hanya karena tidak tahu jadwal dan mekanisme dari setiap proses pemilu itu, menyebabkan mereka menjadi calon pemilih yang gagal dan tidak berhak mengikuti pemilihan.

Tidak semua parpol melakukan pendidikan politik kepada konstituennya sebagaimana mestinya seperti yang termaktub dalam pasal 7(a), pasal 9(e) dan (f) UU No.31 Th. 2002 tentang Partai Politik. Misalnya dengan melakukan kegiatan simulasi pencoblosan, menjelaskan dari setiap proses pemilu, dan sebagainya. Ini membuktikan, selama ini parpol hanya menjalankan fungsinya sesuai dalam ayat (c): "penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara".

Kepada konstituen, seharusnya parpol mengajarkan apakah yang menjadi hak, kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara yang baik, seperti yang diungkapkan oleh Gabrial A. Almond, bahwa sosialisasi politik dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa, dan dapat pula memelihara kebudayaan suatu bangsa dalam bentuk penyampaian kebudayaan itu dari generasi tua kepada generasi muda, serta dapat pula merubah kebudayaan politik (Drs. Haryanto, Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum, Liberty, 1984).

Kedua, ada kecenderungan masyarakat kelas menengah (MKM) bersikap acuh dengan setiap proses pemilu yang akan berlangsung. Ini dibuktikan dengan data temuan: 36% menyatakan "diam" bila belum didaftar sebagai calon pemilih (capil), 31% tidak tahu-menahu, 15% menunggu. Sedangkan yang berniat melapor hanya 18% (lihat diagram-2). Temuan ini mengindikasikan kurangnya partisipasi masyarakat (koresponden) untuk mengikuti proses pemilu, meskipun hal tersebut sudah diatur dalam pasal 53 ayat 1, Bab VI, UU No. 12 Tahun2003 tentang Pemilu ("pendaftaran pemilih dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih dengan mendatangi kediaman pemilih dan/atau dapat dilakukan secara aktif oleh pemilih"). Tapi asumsi tersebut terbantahkan dengan hasil yang digambarkan oleh diagram-4 yang menunjukkan kasus yang terjadi sebenarnya, yakni dikarenakan sebagian besar responden tidak paham dengan UU Pemilu 2004.

Hal ini mencerminkan, masyarakat sudah mulai pesimis, skeptis dan malas mengikuti perkembangan politik. Jumlah golput saja 12%. Sedangkan 69% koresponden sebenarnya ingin menggunakan hak pilihnya (lihat diagram-3). Mereka tak terdaftar hanya karena tidak mengetahui mekanismenya. Saat ini, aparat pemerintah (level kelurahan, RW, RT) cenderung cuek dan bersikap masa' bodoh. Sosialisasi KPU juga menjadi faktor penting akan hilangnya suara ini. Sosialisasi dan mobilisasi warga untuk mengikuti pemilu tidak sebagus seperti pada pemilu 1999.

Dalam catatan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) menyebutkan, 19% dari masyarakat DKI tidak terdaftar dan tidak berhak ikut memilih dalam pemilu 2004. Dari total 52% responden yang belum terdaftar (diagram-1), merasa tidak tahu dan ragu-ragu, menunjukkan 77% kasus tersebut terjadi di DKI Jakarta. Terbanyak di Jakarta Pusat (19 responden), disusul Jakarta Selatan(14 responden) [lihat diagram-8].

Ketiga, politik dan infrastrukturnya hanya menjadi konsumsi dan wacana kaum elite, karena terbukti 76% MKM tidak tahu tentang UU Pemilu 2004. 7%-nya menyatakan ragu-ragu, dan hanya 13% yang mengikuti perubahan politik (lihat diagram-4). Dan, dari pemilu yang hanya kurang beberapa hari lagi, hanya 57% yang paham tata cara pemilihan (lihat diagram-5).

Profil Responden:
Semua responden ini 100% berstatus karyawan. Bekerja di berbagai perusahaan, terutama di DKI Jakarta (70%), Bekasi (5%), Depok (10%), Tangerang (6%), dan dari Luar DKI (9%) yang meliputi: Semarang, Banjarmasin, Malang, Pekanbaru, Lamongan, Purwakarta, Bandung dan Balikpapan, yang masing-masing dengan satu responden (lihat diagram-6). Dengan latar belakang pendidikan STM/SMA, D3 dan S1. Dengan batas usia dari 18 tahun hingga 50 tahun (lihat diagram-7).



Jakarta, 15 Maret 2004
(c) Gus John al-Lamongany

#079: Hakekat Kematian


Raga itu terus berjalan. Menyisiri sebagian jalanan ibukota. Pagi, siang, sore menuju malam. Kembali lagi; pagi, siang, sore menuju malam. Begitulah ketika waktu terus berputar. Dan, raga itu terus berjalan seolah-olah menghiraukan berputarnya sang waktu.

Ini seperti melewati batas kota. Dengan sekali melangkah, sang raga telah berpindah ke kota yang lain.

Sangat singkat. Tak terasa! Dan begitulah dengan kematian. Perpindahan dari alam kehidupan menuju ke alam kematian seperti halnya melewati sebuah batas kota. Berpindah, tanpa sang raga bisa merasakan; telah mati ataukah tetap tinggal. Bercengkerama, beraktivitas, tapi dalam dunia yang berbeda. Dunia kasat mata. Dunia maya. Alam ghaib!

Sekali lagi, karena ini adalah kematian. Salah satu misteri kehidupan manusia.


Padepokan Tebet, 14 Maret 2004, 01:30 WIB.
(c) GJ

Monday, November 20, 2006

#078: Kehilangan Momentum Penting


Tiga hari baru saja sibuk di rumah dengan jadwal yang melelahkan. Kepulanganku selalu terbayar dengan kegiatan yang bernilai "mahal" untuk dilewatkan. Sungguh sayang, tak bisa hadir.

September lalu, di saat pulang kampung, Wikusama sedang mengikuti turnamen futsal antar perusahaan. Prestasi bagus bisa dicapai; Wikusama menjadi semifinalis turnemen futsal yang diliput tabloid "Bola". Tiga tahun sebelumnya, pas cuti seminggu, ternyata ada proses pindah bagian. Apa boleh buat, pemberitahuan mendadak telah menjegal proses perpindahan itu. Begitupun awal tahun ini. Aku mengalami nasib yang sama. Pun dengan liburan yang hanya tiga hari kemarin itu. Seorang sahabat menghubungiku via sms, "Sampeyan sudah minta undangan ke kiai Fulan, Gus!"

"Ada apa?", tanyaku.

"Ada Konferensi Islam Internasional di Jakarta."

"Apakah aku bisa mendapatkan undangannya?"

"Sudah, hubungi saja Kiai Fulan," jawabnya.

Memang, sejak tanggal 23 -26 Februari, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) punya gawe besar. Mereka menggelar International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di JCC (Jakarta Convention Center) yang akan dibuka Presiden Megawati, 23 Februari, dan akan ditutup Wapres Hamzah Haz.

Konferensi yang mendapat respons cukup besar dari para pakar dan cendekiawan muslim dari puluhan negara itu, akan membicarakan tiga isu pokok. Pertama, Islam, perdamaian dan pendidikan. Kedua, Islam dan pembangunan ekonomi. Ketiga, Islam, informasi dan media massa.

Konferensi ini juga akan dihadiri oleh sekitar 62 peserta internasional. Dan, 43 negara berencana akan ikut ambil bagian dengan mengirimkan wakilnya. Plus, 31 pembicara dari luar negeri, diantaranya: Abdullah Badawi (PM Malaysia) selaku Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI), Prof. al-Jarf (Saudi Arabia), Prof. Dr. Wahbah Zuhaili (Syria), Prof. Dr. Mohammad AliTaskhiri (Iran), Prof. Dr. Mohammed Abdel al-Fadhil Abdul Aziz (Mesir), Prof. Dr. Abdulah Saeed (Australia), Dr. Azizah al-Hibri (Amerika Serikat) dan Sharif Muhammad Hasanul Ban (Inggris).
Sementara dari Indonesia, tokoh yang akan menjadi pembicara adalah KH Abdurrahman Wahid/Gus Dur (mantan presiden RI), KH MA. Sahal Mahfudh (Rais 'Am PBNU), Prof. Dr. A. Syafi'i Ma'arif (Ketua PP Muhammadiyah), Nurcholish Madjid, Emil Salim, Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI), Azumardi Azhra(Rektor IAIN Ciputat), Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos), dan sejumlah pakar lainnya.

Konferensi yang bertemakan "Upholding Islam as Rahmatan lil 'Alamiin" itu bertujuan untuk mengukuhkan Islam yang moderat di Indonesia, seperti yang diungkapkan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi di kantor PBNU, Sabtu lalu, "Kita akan mengukuhkan Islam yang moderat. Indonesia pun akan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional dan membuktikan diri bahwa dalam menghadapi radikalisme dan terorisme, kita selalu mengedepankan hukum dan agama." (Jawa Pos, 23/02/04).

Di samping itu, menurut Kiai Hasyim, pertemuan ICIS juga memiliki banyak manfaat, diantaranya: (1) melibatkan tokoh Islam dari berbagai faksi, diharapkan bisa dicapai visi dalam mengembangkan Islam yang selaras dengan kepentingan kebangsaan, (2) diarahkan untuk menjembatani hubungan Islam-Barat yang mengalami kerenggangan sejak invasi Amerika Serikat ke Afghanistan, Irak, persoalan konflik Israel-Palestina, dan stigma terorisme yang diidentikkan dengan Islam. Dengan acara ini, diharapkan timbul saling pengertian dari kedua belah pihak.

Sayang, info yang datang itu telat! Padahal, sehabis acara seminar, di penghujung acara penutup ada acara jalan-jalan ke Keraton Jogja dan dijamu oleh Kanjeng Sultan Hamengkubuwono X, melihat Candi Borobudur, ke kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, keliling pesantren al-Hikam di Malang, dan Pesantren Sidogiri di Pasuruan.

Lagi-lagi momen bagus ini terlewat dikarenakan pas sahaya pulang kampung. Informasi akan diadakannya perhelatan akbar ini sebenarnya sudah kuketahui jauh hari sebelumnya --hanya saja belum tahu waktu persisnya, setelah aku tahu Kiai Fulan pergi ke negara-negara Timur-Tengah untuk melobi dan menyebarkan undangan.

Apakah ini sebuah "kesialan"? Ya, mungkin saja, bisa menyaksikan dan mengikuti waktu-waktu baik itu memang belum jodohku! :(
Wallaahu'alam bi ash showab.


Pancoran, 24 Feb '04
(c) GJ

#077: Perjalanan Spiritual (1)


Padepokan Tebet, di suatu malam Jum'at. Langit di atas bumi Padepokan dipenuhi awan pekat. Beberapa hari belakangan ini, badai memang mengguncang di beberapa wilayah Nusantara. Banjir, tanah longsor, hujan deras tiada henti, angin puting-beliung, pepohonan tumbang, membuat panik dan hiruk-pikuk warga. Terutama yang tinggal di daerah pesisir.

Kulihat langit dari tengah taman padepokan, di bawah pohon cemara yang menjulang tinggi. "Malam ini, hujan mungkin akan turun dengan derasnya," gumamku. Segera aku masuk ke dalam kamar. Kututup pintu. Kuletakkan buku yang tadi kubaca, kubiarkan menumpuk berserakan di sebelah tv, lalu kumatikan lampu. Hanya tv channel ESPN yang menemani.

Di antara titik kritis kesadaran. Wussss, gurden biru yang menutupi kaca di sebelah utara kamar tiba-tiba tersingkap. Sosok laki-laki berjubah putih muncul dari balik gurden itu. Ia berdiri tegak. Mematung, memandangiku dengan diam di pojok kamar sebelah barat, dekat tv yang telah mati. Jubah putih itu terlihat sangat terang di balik kegelapan yang menyelimuti kamar, tapi wajah laki-laki itu samar-samar masih bisa kulihat dan kukenali.
"Kiai Mujurono????" ujarku menjerit kaget.

"Assalamu'alaikum, Gus," sapa lelaki yang kukenal sebagai Kiai Mujurono; sosok kiai misterius yang hingga kini aku sendiri tak mengerti akan kedekatannya denganku.

"Wa'-alaikumus-salam, Kiai," ujarku membalas dengan tergagap-gagap. Kucoba untuk menenangkan diriku sejenak. "Ada apakah gerangan kiai malam-malam begini menemui saya?"

Kiai Mujurono menarik nafas sebentar, lalu mensedekapkan kedua tangannya. Kali ini kepalanya mulai bergerak. "Saya ingin mengajak sampeyan jalan-jalan, biar sampeyan tahu dunia lain di luar sana."

Aku hanya bisa terdiam. Masih meraba-raba, ini nyatakah atau hanya dalam mimpi? Seakan tak ingin memberiku kesempatan untuk menjawabnya, serta-merta Kiai Mujurono menarik lenganku dimana diriku masih terbaring di atas kasur lusuh. Dan laksana secepat angin, ia membawaku pergi.


#
Jombang, di kala sang waktu sulit untuk kutentukan. Di kala dimensi waktu teracak dengan sadis, membuat buyar memory akan keteraturan sang waktu.

Tanah lapang di tengah pesantren itu menjadi putih-terang. Sekitar ratusan orang berkumpul sambil duduk bersila di atas daun pisang, daun kelapa, daun jati, dan dedaunan lain di tengah lapang itu. Surban, kain penutup kepala, dan sarung warna putih menjadi warna dominan dalam 'halaqah' raksasa yang penuh wibawa.

"Astaghfirullah hal 'adzhiima.............." 3x --(Aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung). 3x

Seorang kiai yang masih muda memimpin acara di pagi yang cerah itu. "Bukankah itu Kiai Wahid Hasyim??", pekikku tertahan penuh keterkejutan.

"Laa haula walaa quwwata illaa billaahil 'aliyil adzhiim". 3x-- (Tiada daya dan upaya, tiada kekuatan kecuali dengan [pertolongan] Allahyang Maha Tinggi lagi Maha Agung). 3x

Ratusan orang yang menjadi jama'ah di tengah lapang itu serentak menirukan lantunan do'a yang dibaca sang kiai muda berpeci hitam agak miring, yang kukenal sebagai Kiai Wahid Hasyim, putra tertua Hadratussyaikh, tuan rumah bagi hajatan akbar yang sedang berlangsung itu.

"Allaahumma shalli alaa sayyidina muhammadin wa 'alaa aali muhammad". 3x--(Wahai Allah, berilah rahmat kepada junjungan kami Muhammad besertakeluarga beliau). 3x

Tanah lapang itu seperti penuh sesak, meskipun mereka hanya berjumlah sekitar ratusan orang. Tidak seperti sekarang, dalam setiap istighotsah (do'a bersama), jama'ah yang datang bisa ribuan atau bahkan ratusan ribu, datang dari berbagai daerah di pelosok. Tapi acara itu, mengumpulkan orang dalam jumlah ratusan di era kompeni pasca Perang Jawa (1825-1830) bukanlah hal yang mudah. Sejak tertangkap dan dibuangnya Pangeran Diponegoro ke Makassar, banyak kiai yang melarikan diri ke daerah pedalaman. Mereka sembunyi-teratur, menghilangkan jejak tapi pantang menyerah. Tetap melanjutkan perlawanan.

Hubungan antar kiai masih terjalin dengan erat. Bisa lewat pertalian hubungan pernikahan ataupun meningkatkan hubungan silaturahmi. Lambat-laun, perlawanan itu tidak hanya terjadi secara fisik, tapi secara kultural. Maka, bermunculanlah banyak pesantren di daerah pelosok. Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren tidak hanya menjadi institusi yang mencetak kader ulama penerus ajaran para nabi, tapi juga menciptakan para pejuang (syuhada) bagi kemerdekaan bangsanya.

Bila tanah lapang itu bukan pesantren milik orang yang memiliki pengaruh besar di tanah Jawa, tentu itu sebuah kemusykilan. Kompeni sangat alergi dengan kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar. Apalagi, para kiai memilih sikap non-kooperatif dengan mereka. Sebuah perlawanan yang tiada akhir, hingga para ulama', para santri, bisa mengusir penjajah kafir itu dari bumi Nusantara; bumi para syuhada'.

(bersambung..........)


Padepokan Tebet, 24 Feb '04
(c) Gus John

#076: Kursi Kiai Semar


Batavia, 27 Jan '04.
"Sampeyan tak perlu nglurug (datang berduyun-duyun) ke sini," kudengarkan Kiai Mujurono menjelaskan kepada seseorang yang tadi menelponnya, di balik hand-phonenya. "Kalau ada isu, sampeyan bisa tabayyun ke saya terlebih dahulu," kiai Mujurono melanjutkan dengan sedikit tegas.

Kiai Mujurono memang berhak marah. Orang daerah, bila ada masalah biasanya tidak mau menggunakan/melalui mekanisme sistem yang sebenarnya. Inginnya mereka langsung ke Batavia, ketemu dengan Kiai Semar. Menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada Kiai Semar. Mereka seolah-olah tidak mempercayai mekanisme sistem yang sudah ada. Dalam benak mereka, ketemu dengan Kiai Semar secara otomatis bisa menyelesaikan masalah.

Urusan pencalegan memang sesuatu yang sensitif. Terkadang, aspirasi pusat tak sejalan dengan yang dikehendaki oleh daerah. Atau sebaliknya, keinginan daerah dianggap kurang tepat bagi pusat. Hubungan pusat-daerah pasca era reformasi ini memang sering membuat suasana tegang bagi sebuah partai politik.

Inilah dunia politik yang terkadang membuatku kurang tertarik. Orang saling sikut, tendang, intrik sesama teman-kawan. Hanya karena ingin dekat dengan Kiai Semar, segala cara dilakukan. Termasuk, rencana kedatangan ratusan orang Indramayu yang ingin bertemu dengan Kiai Semar, karena merasa tidak puas dengan daftar caleg di daerah mereka yang telah ditetapkan oleh pusat.


Batavia, Agustus 2002
Padepokan Kemuning itu berdiri megah. Gedung berlantai dua inilah yang menjadi salah satu istana Kiai Semar setelah lengser dari kursi kerajaan tiga tahun lalu. Kini, setelah istana itu tak lagi dipakai, Kiai Semar pindah istana di Padepokan Keramat dan Padepokan Gober.

Kuparkir motorku di depan Padepokan Kemuning. Langsung aku masuk ke dalam. Ada janji bertemu dengan Kiai Mujurono. Ingin menyerahkan lukisan Kiai Semar yang dibuat oleh teman kantorku --seorang office boy yang pintar menggambar, sebagai hadiah ulang tahunku.

"Mau bertemu siapa, mas?", kata seorang security yang menghampiriku.

"Kiai Mujurono ada, pak?" tanyaku.

"Ada, mas. Sebentar ya, saya sampaikan dulu." Setelah sekian menit security menghubungi Kiai Mujurono, kemudian dia katakan, "Silahkan, mas. Sudahditunggu di atas".

Aku langsung naik tangga menuju lantai dua. Di depan pintu, seorang security yang lain kembali berdiri menghadangku. Tapi kemudian dia mundur ketika melihat Kiai Mujurono datang menyongsong kehadiranku.

"Silahkan masuk, mas!" pinta Kiai Mujurono.

"Inggih, Kiai." Aku bergegas mengikuti langkah Kiai Mujurono, memasuki ruangan berkarpet hijau. Tampak, beberapa orang --tentu dengan berbagai kepentingan, duduk-duduk di sofa ruang lobbi. Ada mantan menteri, anggota dewan rakyat, kiai, pengusaha dan tokoh-tokoh lainnya. Tapi tak kulihat Kiai Semar. Sepertinya barusan ada rapat pleno penting di padepokan itu.

Kuabaikan saja! Aku langsung masuk ke ruang Kiai Semar. Ruangan itu tidak terlalu luas. Sebuah kursi empuk warna coklat dengan sandaran yang agak tinggi berada di belakang meja dengan seperangkat komputer berspesifikasi canggih. Sebuah almari arsip di sebelah barat kursi itu. Tasku kutaruh di deretan kursi sofa berwarna coklat dekat pintu masuk. Aku duduk sebentar, lalu kuserahkan lukisan Kiai Semar ke Kiai Mujurono.

"Semua orang bisa membuat lukisan seperti ini. Tapi tidak ada yang istimewa dari lukisan ini, kecuali bahwa ini asli bikinan teman kantor saya, Kiai," ujarku membuka obrolan di ruangan yang dianggap oleh banyak orang sebaga itempat "keramat" --karena tidak semua orang bisa dan berani masuk keruangan- itu.

"Oh, iya?"

"Ini saya serahkan ke Kiai Semar dalam rangka ulang tahun saya, Kiai".

"Oh, iya. Nanti saya sampaikan. Saya akan pajang lukisan ini di sini," ujarKiai Mujurono sambil menunjuk ke dinding sebelah barat.

Sebentar kemudian Kiai Mujurono keluar ruangan. Lalu ia balik lagi diikuti oleh seorang office boy di belakangnya sambil membawa paku dan martil.

Tidak ada yang membuatku senang hari itu, kecuali lukisan yang kupesan dengan harga seratus ribu dari teman kantorku itu telah terpajang di ruang Kiai Semar. Dan, ketika Kiai Semar pindah dari Padepokan Kemuning ke Padepokan Gober, lukisan itu masih terpasang dengan menterengnya di dinding ruangan Kiai Semar.

"Saya mau pinjam komputernya, Kiai. Saya mau up date situs Kiai Darso".

"Silahkan." Kiai Mujurono kemudian ke luar ruangan. Kuutak-atik keyboard di atas kursi empuk bersandar tinggi. Browsing internet. Up date itu kulakukan dengan begitu cepat karena komputer Kiai Mujurono memang canggih.

Kuabaikan setiap mata yang memandangku masuk ke dalam ruangan --dengan penuh tanya. Pintu itu memang dibiarkan terbuka oleh Kiai Mujurono, sehingga setiap orang dari ruang rapat bisa dengan leluasa melihatku ketika melewati ruangan Kiai Semar.

Kiai Darso masuk ruangan Kiai Semar bersama Kiai Mujurono setelah ia tadi kulihat lama duduk-duduk di ruang lobbi. Keduanya kemudian duduk di kursi sofa yang dekat pintu, sementara aku masih 'nongkrong' di kursi Kiai Semar yang biasanya diduduki Kiai Mujurono bila Kiai Semar tidak ada. Kita ngobrol banyak hal tentang perkembangan situs Kiai Darso.

Mengingat hal itu, terkadang terbersit kedunguanku, walaupun aku tak ingin berpikiran yang aneh-aneh. Sementara orang rebutan agar bisa mendekati kursi Kiai Semar --dengan berbagai cara, dengan santainya aku telah duduk dengan 'mancal-mancal' di atas kursinya di Padepokan Kemuning dua tahun yang lalu. Hidup ini memang terkadang ada fragmen yang lucu bila kita mengingatnya.


Wisma Bakrie, 4 Feb '04
(c) Gus John