Tuesday, November 28, 2006

#088: Belajar Dari Masa Lalu Itu Tetap Perlu


Belum lama berselang, seseorang terjungkal dari kursi empuknya karena melakukan sebuah kesalahan dalam membuat kebijakan yang diskriminatif (baca: timpang). Ia, tidak hanya menjadi bahan kutukan (baca: musuh) bersama, tapi juga terlempar dari kursi panasnya. Kini, kasus itu sepertinya terulang lagi.

Orang mungkin lupa, belajar dari masa lalu itu tetaplah perlu. Saat ini, orang begitu mudah melupakan masa lalu. Dipikir, apa yang terjadi pada masa lalu itu tidaklah penting. Karenanya, banyak orang beranggapan, lupakan masa lalu dan tatap masa depan saja. Sebuah anggapan yang simplifikatif, tentunya.


*
Masa lalu, bagaimanapun buruknya yang terjadi, tetaplah perlu dipelajari sebagai bahan evaluasi ke depan, agar kelak di kemudian hari kita tidak terjerumus dalam lubang kesalahan yang sama. Masa lalu, seperti yang dikatakan oleh Jose Ortega Y. Gasset, adalah masa lalu bukan karena ia terjadi pada orang lain (pada masa lalu), tetapi karena ia membentuk bagian-bagian kehidupan kita di masa kini. Kehidupan sebagai realitas merupakan kehadiran absolut: kita tidak bisa mengatakan tidak ada sesuatu apapun kecuali yang hadir pada masa kini. Karena ada masa lalu yang "aktif" pada masa kini (Ortega Y. Gasset, "Histori as a System" dalam Hans Meyerhoff [ed], The Philosophy of History in Our Time, 1959).

Masa lalu adalah bagian dari (boleh dikatakan sebagai) sejarah. Terpuruknya bangsa kita saat ini, yang sulit lepas dari krisis multidimensi (berawal dari krisis moneter), disebabkan juga karena bangsa ini tak mengenal sejarahnya secara benar. Kita menjadi bangsa yang a-historis, cenderung lupa akan karakter dan jati diri bangsa sendiri. Akibatnya, negeri Nusantara ini terus terpuruk dalam kondisi perekonomian dan politik yang memiliki daya tawar lemah di mata dunia internasional.

Masa lalu, bagaimanapun pahitnya, tetaplah memiliki hubungan dengan masa kini dan masa mendatang. Karenanya, perlu dijadikan sebagai bahan renungan untuk melakukan kajian yang mendalam.

Masa lalu, layaknya sebuah kaca spion bila kita sedang mengendarai mobil. Menatap masa depan saja tanpa menghiraukan masa lalu, sama halnya mengendari mobil tanpa melihat kaca spion. Apa yang terjadi? Di jalan raya, mobil kita akan berjalan dengan seenaknya. Belok kiri-belok kanan dengan tanpa memperhatikan pengguna jalan yang lain. Bisa jadi, mobil kita terserempet, atau malah mobil kita tertabrak dari samping kiri, kanan atau belakang.

Begitupun bila kita hanya melihat masa lalu saja. Ibaratnya, kita mengendari mobil dengan selalu melihat kaca spion tanpa sering melihat ke depan. Akibatnya, mobil yang kita kendarai bisa menabrak mobil orang, oleng, dan berakibat fatal.

Tentu saja, keduanya bukanlah sebuah pilihan. Dua-duanya sama-sama membahayakan dan merugikan. Memposisikan masa lalu secara porposional sebagai bahan kajian untuk masa mendatang, adalah hal yang harus dilakukan. Benar-salah, suka-duka, manis-pahit, baik-buruk, yang terjadi pada masa lalu, seharusnya bisa diambil hikmahnya, dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk menyongsong hari depan yang cerah, agar tidak lagi salah.

So, bagaimanapun, belajar dari masa lalu itu tetap perlu. Barangkali, hanya (ma'af) keledai yang bisa terperosok dua kali dalam lubang kesalahan yang sama.
Bukankah demikian? Wallaahu'alam bi ash showab.



Landmark 8th Floor, 4 April 2005
(c) Gus John

#087: Rintihan...

Kepalaku penat. Syaraf otakku berdenyut-denyut seolah-olah ingin ambrol saja. Inspirasi dan ide begitu banyak, tapi sulit untuk kutuangkan dalam tataran teks. Ide, inspirasi, asumsi, hipotesa, semua bercampur menjadi satu. Berbaur, seiring dengan telingaku yang mendengar berita, mataku yang melihat dan membaca, dan otakku yang kemudian melakukan analisa. Semua bergelindan menjadi satu.


***
Dadaku serasa bergetar. Denyut jantungku berdecak keras. Terlalu banyak ide menimbulkan pergulatan pikiran di dalam batin. Ide-ide itu mengisi setiap relung-relung otak, seperti halnya arus Ciliwung yang mengalir deras melewati kanal-kanal.

Telah kutemukan hipotesa tentang nasionalisme yang lebih bersifat fisik, atau aku menyebutnya sebagai "nasionalisme semu" di kalangan militer. Kebobrokan negara karena kebijakannya yang cenderung a-historis; mengangkangi hukum di bawah daulat kekuasaan. Tentang kerajaan nusantara; kaitannya dengan kehidupan sekarang. Atau tentang Banjir Kanal Timur dan kebijakan-kebijakan Pemprov DKI dengan segala kontroversinya. Dan masih banyak lagi yang lain. Duh, begitu banyaknya......

Semua masih dalam tataran konsep. Aku masih belum bisa menuangkannya dengan lancar. Otakku terasa penuh. Lidahku terasa keluh. Mulutku terasa gagu. Akhirnya semua kubiarkan mengalir begitu saja, menunggu waktunya.

Ah, andaikan saja ada laptop kecil yang selalu menemani kemanapun aku pergi, tentu inspirasi-inspirasi itu tak akan terbuang begitu saja. Tentu inspirasi-inspirasi itu tak akan terbawa lamunan, terseret dalam mimpi, lalu ia pergi. Lenyap karena begitu banyaknya.
Ah, sungguh penat otakku.




02-02-05. Landmark Center Tower B, Suite 801, Jakarta (c) GJ

Monday, November 27, 2006

#086: Banjir Kanal Barat

Warnanya kecoklatan. Air itu mengalir cukup deras. Membawa segala benda yang terapung di atasnya. Onggokan sampah, kayu, papan, gabus, kain, dedaunan, dan tumpukan plastik dengan segala isinya (entah itu apa). Semua mengalir menuju ke arah barat. Kira-kira 50m per menit-nya.

Seminggu yang lalu, ketinggiannya masih di bawah batas atas pinggiran sungai. Lapak berwarna coklat, di bawah pohon berdaun lebat, di sebelah rimbunan pohon pisang, masih membuka "usaha"-nya. Para pramuria (penjaja cinta), dan langganannya masih melakukan "transaksi" di pinggiran kali itu. Hanya bertutupkan terpal berwarna coklat, beralaskan koran bekas, mereka lupakan semua norma. Lepaskan nafsu hasratnya, menikmati (konon) "indahnya" dunia dalam waktu tak lebih dari 10 menit saja!

Kini, sejak hujan deras mengguyur ibukota selama dua hari lalu, lapak coklat itu hanya menyisakan cerita. Air sungai naik, menenggelamkan dasaran lapak, merendam pepohonan di sekitarnya. Koran-koran bekas yang ikut "berjasa" dan menjadi saksi bisu atas "kenikmatan" mereka, sudah pergi entah ke mana. Terbawa arus, tentunya. Atau, barangkali nyangkut di akar-akar pohon yang kebanjiran.

Itulah Banjir Kanal Barat, sungai sodetan dari Kali Ciliwung, warisan penjajah Belanda jaman baheula. Adalah Dam Tambak sebagai awal dari arus kali yang sering membanjiri gedung LandMark itu. Oleh Belanda, dulu dam itu difungsikan untuk memotong alur Sungai Ciliwung dari Bogor menuju Ancol yang melewati istana. Begitu sampai di Manggarai (disebut Dam Tambak), arus sungai terbesar di DKI Jakarta itu kemudian dipotong, dialihkan menuju Kapuk Muara dan Pluit dengan melewati sepanjang jalan Sultan Agung (Stasiun Dukuh), jalan Galunggung, KH Margono Djojohadikoesoemo, Petamburan, Stasiun Tanah Abang. Lalu membelah jalan Kyai Caringin-Tomang Raya dan KH Hasyim Asy'ari-Kyai Tapa menuju Angke. Di sana, ia bersenggolan dengan Kali Grogol yang menuju Kali Muara. Dengan Kali Angke, Banjir Kanal Barat itu kemudian bersatu menjadi Kali Muara Angke di wilayah Kapuk Muara, dan selanjutnya bermuara di Laut Jawa.


***
Arus kali itu semakin deras. Bila ketinggian air naik 30cm hingga 50cm lagi, rel kereta api di Stasiun Dukuh Atas kemungkinan akan terendam. Banjir Kanal Barat akan menjadi momok yang begitu menakutkan bagi warga Kebon Melati, Menteng, dan daerah sekitar kali --di samping Sungai Ciliwung dari Bogor hingga Manggarai. Barangkali, ia menjadi "kali tiri" --meminjam istilah "anak tiri"- dari arus Ciliwung yang lumayan tenang menuju istana --karena ia begitu dimanjakan, karena arusnya bisa diatur setenang mungkin. Apalagi, realisasi Banjir Kanal Timur --sebagai penyeimbang arus air yang menuju ibukota-- hingga kini masih juga belum ada titik terangnya. Pemprov DKI malah masih sibuk dengan proyek jalan trotoarnya yang skala prioritasnya rendah, dan tidak strategis demi kemaslahatan masyarakat luas.

Banjir lagi, banjir lagi. Sungguh memprihatinkan.



from the Landmark Center Tower B, 8th Floor Suite 801, Jakarta, 20 Jan 2005 (c) GJ

#085: no identification

#084: Re-launching: Antara Spirit, Tema, dan Berani Tampil Beda


Bila "launching" diartikan sebagai peluncuran, maka "re-launching" bermakna peluncuran ulang. "Re" menunjukkan adanya kegiatan yang bersifat mengulang(i) dari yang telah dilakukan sebelumnya. "Re" juga menandakan adanya sebuah revisi.

Menjadi pertanyaan penting kemudian, apakah "re" yang dimaksud dengan re-launching itu nanti tidak berdampak pada image di masyarakat tentang Esia; bahwa (target) launching sebelumnya dianggap kurang mengena (baca: gagal) bagi pasar? Berikut ada cerita menarik yang berkaitan tentang itu.


*
Produsen sepeda motor nomor satu di Indonesia, Honda, baru-baru ini meluncurkan produk baru mereka dengan label "Karisma X". Munculnya versi X ini merupakan kelanjutan, sekaligus mengakhiri dari dua versi Karisma sebelumnya, "Karisma125" dan "Karisma125D" yang dilepas ke pasar pada akhir tahun 2002.

Dulu, pada awal munculnya Karisma (tromol) dan Karisma D(isk Brake), teman-teman yang berpengalaman beberapa tahun di dunia perbengkelan pernah mengingatkan, bahwa produk itu kurang bagus. Mereka menyarankan untuk lebih memilih "Supra X", daripada Karisma. Kini terbukti, baru dua tahun, "Karisma D" sudah direvisi menjadi versi X. Begitupun dengan merk "SupraV", "SupraXX" dan "Legenda" yang terlihat kedodoran melawan determinasi "Smash" punya Susuki. Lambat-laun, "Supra V" dan "Supra XX" lenyap dari pasaran. Legenda mulai berbenah. Untuk melawan Smash, Honda meluncurkan Supra Fit; model Supra, tapi bermesin produk sebelumnya (Legenda/Astrea Grand).

Hebatnya, Honda tidak pernah mengatakan itu sebagai sebuah kegagalan; bahwa versi X sebagai revisi (atas kegagalan) dari versi D, atau Supra Fit sebagai revisi dari Legenda dan Grand. Yang selalu dikatakan, X lebih bagus dari D. Fit lebih bagus dari Legenda, produk terbaru lebih bagus dari produk sebelumnya, agar orang tertarik untuk membelinya. Juga tak ada penjelasan, kenapa produk Supra V dan XX tidak berproduksi lagi. Yang didengungkan adalah alasan klasik; berdasarkan minat pasar.


**
Ketika saya melakukan site acquisition (sitac) ke beberapa kandidat Base Transceiver Station (BTS/pemancar) kita di Bandung sebulan yang lalu, pertanyaan mendasar dari para calon klien (pemilik gedung/rumah) yang kita survey itu, diantaranya, "Esia itu apa? Apakah sama dengan Flexi?" Pertanyaan dengan jawaban yang dilematis. Bila kita jawab "ya", ternyata image Flexi bagi masyarakat Bandung kurang begitu bagus.

"Kalo di dalam ruangan, sering putus-putus, mas," kata Bu Ila, bagian administrasi Wisma Dapenpos di Jalan Suci, salah satu kandidat BTS yang akan kita bangun.

Sementara, bila dijawab "tidak", kita bingung mulai dari mana menjelaskan tentang Esia. Saat ini atau beberapa bulan kemarin, orang masih dengan mudah mengenal Flexi, tapi tidak untuk Esia. Walaupun image Flexi kurang begitu bagus, tapi fakta empirik menunjukkan bahwa flexi lebih dulu dikenal oleh masyarakat. Flexi telah menjadi established brand, telah mengendap di ingatan masyarakat, bahwa handpone dengan pulsa telpon rumah yang dikenal adalah Flexi. Ini seperti halnya, kita pesan minuman gelas ke pedagang asongan di perempatan jalan, maka sering kita bilang "Aqua". Padahal, belum tentu Aqua. Bisa jadi, mereknya Club, Ades, Aquades, dan sebagainya. Orang kampung jaman dulu menyebut "King Kong" untuk obat nyamuk bakar, padahal ada merk lain: Baygon. Atau, masyarakat sering menyebut "indomie" bila beli mie instant, padahal ada merk "Supermie", "Ilhami", "Sedaap" dll. Orang dulu menyebut "Odol" untuk pasta gigi, padahal ada merk "Ciptadent", "Pepsodent" dll. Dan masih banyak contoh yang lain. Maka, solusi yang ditawarkan oleh Pak Harapan --Kadiv Field NW Operation yang khusus menangani wilayah Bandung-- saat itu untuk menjelaskan Esia ke calon klien ataupun pelanggan yakni dengan mengatakan, "Teknologi kita memang sama, tapi kualitas suaranya berbeda. Kita lebih bagus dan jernih daripada Flexi". Jawaban inilah yang kemudian menjadi semacam jawaban baku bila ada klien yang bertanya tentang Esia.


***
Dalam waktu dekat, Esia akan mengadakan relaunch. Bagaimanakah image masyarakat tentang tema "relaunching"? Perlukah relaunch dipublikasikan ke masyarakat, dijadikan sebagai tema dengan dicetak tebal-tebal dalam pamflet-pamflet dan iklan, ataukah "relaunch" cukup hanya dijadikan sebagai spirit saja?

Bila belajar dari kasus Honda di atas, jawabannya tentu: spirit "Yes", tema "No". Sebagai tema, tema "relaunch" mungkin bisa diganti dengan tema yang lain, misalnya: "Esia Menggebrak", "Esia Membumi", "September Ceria Bersama Esia", dll, sehingga kesan "re" yang (cenderung) negatif (bagi pasar) bisa dihindari. Tapi sebagai spirit, perlu, untuk menunjukkan bahwa Esia memiliki komitmen untuk terus melakukan perubahan dan perbaikan dari sisi layanan dan mutu kepada pelanggan. Relaunch sebagai tema, lebih cenderung berdampak ke luar, diamati, diperhatikan dan dirasakan oleh konsumen, sedangkan relaunch sebagai spirit berdampak ke internal, yakni adanya niat untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan.

Sedangkan secara filosofis makna dari solusi yang ditawarkan oleh Pak Harapan di atas, Esia diharapkan bisa berani tampil beda dari operator yang lain. Atau, meminjam istilah Adam Morgan, seorang pakar merk, kunci sukses sebuah merk baru (challenger/second/new brand) adalah dengan cara mengembangkan identitas yang jelas terhadap merk tersebut, kemudian menampilkannya secara intensif dan konsisten, sehingga konsumen menyadari akan keberadaannya.

So, selamat relaunching Esia. Spirit "yes", tema "no", dan Esia harus berani tampil beda.



wb-5th floor, 7/9/04 di kala Gedung BTN semakin cerah.......... (c) GJ

#083: no identification

Sunday, November 26, 2006

#082: Seks Penguasa dan Status Kelas di Masyarakat


"Orang Mojokerto itu cenderung brangasan, karena turunan budak", begitu asumsi seorang netter dalam sebuah diskusi di millist politik yang pernah saya buat, lima tahun yang lalu.

Menuruti apa kata asumsi atau stigma yang berkembang, mungkin tak akan pernah ada habisnya. Tapi, jangan pula terlalu meremehkan stigma yang berkembang di masyarakat, karena ada beberapa diantaranya justru kemudian menjadi bagian (mengintegrasi) dengan adat-istiadat. Ia dipercaya, diyakini, lebih dari itu, lalu diakui, dipatuhi oleh masyarakat. Misalnya saja stigma atau sejenis mitos yang berkembang di Lamongan, bahwa orang Lamongan tidak boleh menikah dengan orang Kediri. Lalu ada stigma, orang Jawa berpantang menikah dengan orang Sunda, dan sebagainya.

Tentu, semua itu punya latar belakang sejarah di masa lalu. Ia bisa benar, bisa juga tidak, atau hanya sekedar hasil rekayasa masa lalu belaka. Mungkin, stigma premature yang berkembang di masyarakat tentang karakter orang Mojokerto seperti tersebut di atas, berangkat dari latar belakang sejarah Majapahit yang pada waktu berdirinya pada abad 13, harus mendatangkan orang-orang bertipe pekerja keras asal Madura, untuk membuka dan membangun sebuah desa kecil, bernama Tarik (Krian), yang kelak di kemudian hari berubah menjadi pusat sebuah kerajaan besar, Majapahit.

Mereka, para pekerja itu, sengaja didatangkan oleh Arya Wiraraja, penguasa Madura, atas permintaan RadenWidjaya, dengan sebelumnya mendapatkan persetujuan dari Raja Kertanegara (raja terakhir Singosari). Mendatangkan penduduk dalam jumlah besar, dengan latar belakang pekerja kasar itulah yang mungkin menjadi dasar, latar belakang dari stigma yang berkembang secara turun-temurun tersebut.

Begitupun menurut penelitian Lance Castle --diikuti oleh para epigonnya- dalam studi etnic profilenya di tahun 1967. Castle mengatakan, nenek moyang Betawi adalah keturunan budak. Hipotesa tersebut berangkat dari adanya kebijakan Jan Pieterszon Coen, Gubernur Jenderal pertama Batavia, yang mendatangkan ratusan budak dari luar Jawa (dan luar Nusantara) untuk membangun Kota Batavia yang baru saja ia dirikan, 1619 M. Kontan saja, asumsi tersebut dibantah dengan keras oleh pakar budaya Betawi, Ridwan Saidi dalam bukunya "Profil Orang Betawi: Asal-Muasal, Kebudayaan dan AdatIstiadatnya" (Gunara Kata, 1997).

Bantahan secara ilmiah yang dilakukan oleh Ridwan itu setidaknya menunjukkan, bahwa tidak selamanya asumsi, stigma itu benar. Asumsi atau stigma, adalah pendapat. Kalaupun kemudian sampai diyakini, diakui masyarakat secara luas, maka ia telah berkembang menjadi sebuah mitos yang cenderung takhayul. Tapi, semua orang berhak untuk berasumsi dan berpendapat. Tinggal diuji saja sejauhmana nilai kebenarannya. Nah, berikut ini ada beberapa cerita yang ada kaitannya dengan stigma, mitos dan legenda yang akan saya ulas secara sederhana sesuai dengan tema.



Javadwipa, di sekitar abad 12.
Dusun itu bernama Pangkur, terletak di lereng selatan Gunung Kawi. Di kampung yang hijau subur itu, tersebutlah nama Ken Saptiarti Andragini, seorang dara nan cantik jelita. Orang sering memanggil 'kembang desa' itu dengan sebutan Ken Endok, yang mengandung arti "ibu kandung"; sebagai penghormatan atas parasnya yang elok. Berkat kecantikannya itulah, Ken Endok kemudian diperistri oleh seorang brahmana yang sangat dihormati, Resi Sri Girinata.

Oleh sang resi, ternyata Ken Endok diharapkan bisa menjadi seorang yogini (menjadi perawan suci sampai ajal datang menjemput), satu hal yang membuat naluri keperempuanan Ken Endok kemudian memberontak. Karena merasa tak akan pernah "disentuh" oleh sang resi, maka Ken Endok kemudian menyukai Para, seorang lelaki dari golongan sudra (rakyat jelata, kasta terendah), yang sering ia jumpai dalam perjalanan setiap kali ia akan memberikan sesaji di pura yang terdekat dari rumahnya.

Karena merasa tak diperhatikan sama sekali oleh suaminya, sang resi, cinta Ken Endok semakin hari semakin bersemi ke Gajah Para. Gayung pun bersambut. Demikian dengan Para, ia pun sangat mencintai Ken Endok. Tapi, meskipun sangat mencintai Ken Endok, Gajah Para sangat menghormati perempuan ayu itu. Ia tak berani berbuat macam-macam karena ia tahu bahwa Ken Endok istri seorang resi yang sangat dihormati. Proses pacaran kedua insan manusia itupun berlangsung cukup serius, diselingi cium pipi dan bibir, tapi keduanya tak sampai melakukan yang lebih dari itu.

Suatu ketika, Ken Endok kembali mengajak Para untuk melakukan sesembahan di pura yang biasa mereka datangi. Mereka tak menyadari, ketika setiap hari melakukan pemujaan dengan memberikan sesaji, ada sepasang mata nakal yang terus mengintai. Mata tua seorang resi yang tergoda oleh kemulusan dan kecantikan wajah Ken Endok. Karena birahi sudah tak dapat diajak kompromi, sang brahmana itu melakukan tipu-muslihat. Sengaja ia menawarkan dupa yang harum baunya ke kedua insan yang dimabuk cinta itu. Ketika dibakar, dupa itu menebarkan aroma wewangian. Ken Endok dan Para tak sadar, bau dupa itu dicampuri dengan ilmu sirep sang resi. Akibat terlalu senang menghirup bau wewangian dupa, maka tertidurlah kedua kekasih itu. Di saat keduanya terlelap dalam tidur, sang brahmana itu memperkosa Ken Endok hingga kemudian hamil. Bayi hasil hubungan gelap itulah yang kelak dikenal oleh ahli sejarah sebagai Ken Arok, pendiri Dinasti Singosari, yang juga menjadi cikal-bakal dinasti Majapahit (Legenda Ken Arok Ranggah Radjasa, Yongky Y, Grasindo,2004).

Ada juga cerita sejarah menarik yang dikisahkan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya, "Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser" (LKIS, 2002, h. 3). Di salah satu tulisannya, "Membaca Sejarah Lama (1)", Gus Dur mengisahkan: "Ki Ageng Gringging punya sebutir kelapa muda yang ia letakkan pada rak di dapur. Ketika ia pergi ke kebun, datanglah Ki Ageng Pamanahan yang langsung menuju ke dapur. Karena haus, dan melihat butir kelapa muda tergeletak, maka ia langsung melubangi dan meminum isi airnya. Karena minum air kelapa itu, ia kemudian menjadi cikal-bakal dinasti Mataram."

Nah, dalam analisa dan pemahaman Gus Dur, menurut budaya Jawa, minum air kelapa itu bisa diartikan sebagai serong dengan istri orang lain. Ki Ageng Pamanahan telah melakukan proses selingkuh dengan istri Ki Ageng Gringging, dan hasil dari selingkuh inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal yang melahirkan raja-raja Mataram.


#
Memahami dua cerita di atas, ada sedikitnya dua hal yang bisa saya simpulkan, bahwa; pertama, status kelas di masyarakat bukanlah seperti hitungan integral ataupun differensial, sehingga bisa dilimpahkan menjadi subyek baru, dengan cara dinaik atau diturunkan secara otomatis. Status kelas adalah pilihan individu --tentu saja dengan dipengaruhi oleh lingkungannya. Ia bukan semata-mata hasil turunan (baca: warisan). Siapa yang berusaha secara maksimal, maka dia akan mendapatkan status kelas yang lebih baik.

Seorang pencuri (maling) berharap tentu anaknya tak ingin meniru profesinya. Orang yang miskin, tentu berharap agar anaknya bisa hidup lebih baik. Atau orang menjadi besar berangkat dari kemiskinan (kisah JK Rowling, penulis novel hebat, Harry Potter). Sebaliknya, anak presiden belum tentu bisa menjadi presiden. Bisa saja ia malah jadi preman, koruptor ataupun penjahat ekonomi.

Seorang anak tentara bisa saja menjadi bajingan. Sama halnya dengan seorang budak, tak selamanya melahirkan anak sebagai budak. Seorang presiden bisa lahir dari seorang yang berprofesi sebagai guru kecil (Bung Karno). Atau, seorang presiden bisa lahir dari seorang petani(pengakuan Soeharto).

Untung Suropati misalnya, dia adalah seorang budak belian berasal dari Bali, yang kemudian bisa menjadi seorang pahlawan besar hingga ditakuti oleh kompeni era Mataram. Namanya harum dan terkenal dari Batavia hingga Bangil, Pasuruan. Dan, masih banyak lagi contoh yang lain. Artinya, strata sosial (status kelas) masyarakat atau individu tidak semata-mata karena faktor turunan --seperti stigma di atas. Lebih unik lagi, dengan melihat ulasan kedua berikut ini;

Kedua, latar belakang keturunan para penguasa Jawa jaman dulu cenderung kontroversial. Tidak jelas silsilahnya. Seperti kisah di atas, ternyata Ken Arok lahir dari proses hasil selingkuh. Ia tak punya nasab yang jelas. Begitupun dengan kisah Ki Ageng Pamanahan. Artinya, kedua dinasti dua kerajaan besar (Majapahit dan Mataram) itu berasal dari asal-usul yang tak jelas. Tapi, walaupun Ken Arok dan dinasti Mataram berasal dari hasil selingkuhan, toh kedua dinasti itu mampu melahirkan raja-raja besar yang agung di kemudian hari. Menarik bukan? Sangat jauh beda dengan apa yang kita pahami secara teks-book dalam teori-teori sekolah. Selama ini, silsilah raja-raja biasanya jelas dan berasal dari nasab yang bagus.

Jika reka-reka sejarah yang dilakukan oleh Yongky dan Gus Dur di atas benar, ini menunjukkan, selalu saja ada bagian-bagian sejarah yang ditutupi, dibuat baru (diada-adakan) dengan tujuan agar mendapatkan legitimasi kebenaran dari publik. Itu yang disebut dengan, sejarah dibuat sesuai dengan selera penguasa. Siapa yang berkuasa, merekalah yang memegang kendali cerita sejarah. Ironis sekali.

Berikut ini satu lagi catatan menarik dari saya untuk mengoyak kemapanan sejarah yang selama ini selalu kita anggap "suci" dan baik. Ada dua literatur sejarah yang ingin saya bandingkan di sini; yakni buku "Perjuangan Kraton Jogjakarta" karya Dr. Purwadi (Krakatau Press, 203) dengan bukunya Vincent JH. Houben, "Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870" (Bentang, Des 2002).

Jika Purwadi menceritakan sejarah, riwayat hidup dan perjuangan yang telah dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono (SHB) I hingga SHB X dengan apa adanya(baca: yang lurus-lurus saja), maka dalam catatan Houben, Indonesianis asal Belanda ini, akan kita temukan adanya persoalan "seks menyimpang" yang terjadi dalam sejarah Keraton Jogjakarta. Menurut Houben dalam risetnya tersebut, SHB V dianggap sebagai seorang laki-laki yang punya penyakit kelamin (spilis) dan impoten. Sementara SHB VII dicap sebagai raja yang suka main perempuan. Sebuah tulisan yang cukup berani, dan tak akan pernah kita temukan dalam literatur buatan sejarawan lokal.

Ini adalah temuan menarik yang tak akan pernah kita dapatkan dari pelajaran dan teori-teori sekolah. Sebuah hal yang sebenarnya masuk akal, karena sudah menjadi kebiasaan bila raja-raja jaman dulu beristri banyak. Itu yang permaisuri (garwa padmi), belum yang selir. Dalam catatan Purwadi saja, SHB VII punya 3 permaisuri dengan 78 anak. Lalu SHB II punya 4 permaisuri dengan 80 anak. Dan SHB IX punya 5 istri dengan 22 anak. Belum jumlah selirnya.

Inilah sebuah proses rekaan sejarah yang cukup menarik, sebagai langkah guna menemukan (paling tidak, mendekati) sebuah kebenaran sejarah. Atau meminjam istilah Gus Dur, bukan angka tahun dan cara menghafal (sejarah) yang dibutuhkan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita memahami proses perjalanan dari sejarah itu sendiri secara benar.
Wallaahu'alam bi ash showab.


Pesanggrahan Keramat (Buncit III), 26 April 2004
(c) Gus John.

#081: Politik: Warna dan Kebenaran


Ketika Orde Reformasi lahir di pertengahan tahun 1998, masyarakat alergi dengan warna kuning. Itu terbukti pada pemilu pertama pasca kejatuhan rezim Soeharto (Pemilu 1999), suara Partai Golkar menurun drastis. Dari kemenangan mutlak sekitar 70% era Harmoko (Pemilu 1997), turun menjadi sekitar 20% era Akbar Tanjung. Saat itu, masyarakat alergi dengan segala apa yang berbau kuning. Mobil berwarna kuning ingin keluar rumah menjadi khawatir. MobilTimor terjual dengan harga miring, karena takut kena amuk massa yang kelakuannya sinting. PNS bebas memilih partai kesukaannya, walaupun tetap dilarang untuk menjabat rangkap sebagai pengurus parpol ataupun sekedar sebagai simpatisan parpol secara terbuka. Orang takut dicap Golkar hanya karena memakai kaos kuning, jaket kuning, ataupun motor dicat kuning. Takut diamuk massa!

Pemilu 1999, warna merah menyala. Merah berjaya. Kurang lebih 34% kursi DPR dapat diraih parpol berwarna merah (PDIP), setelah sebelumnya selalu berada di urutan terakhir selama pemilu yang diadakan Orde Baru --dari pemilu 1971 hingga 1997 (hanya dapat <>Wallaahu'alam bi ash showab.


Senja hari di Masjid Syuhada, Beji Permai, Tanah Baru-Depok, 25 April 2004
(c) aGus John.