Wednesday, October 18, 2006

#045: Anjing: Maknanya bagi Sopir Taksi, Ahli Fiqih, hingga Kaum Sufi


Di sebuah senja di antara keramaian lalu-lintas jalan raya yang padat, di kawasan Patung Pancoran. Seorang sopir taksi dengan begitu enteng mengumpat "anjing" kepada sopir metromini, ketika bus itu menyerempet, memotong laju taksinya. Sang sopir metromini pun marah tidak terima. Ia menghentikan busnya, lalu turun mendatangi taksi. Maka, terjadilah keributan di tengah jalan yang padat-merayap itu. Keduanya mempertontonkan egoisme jalanan yang tak berpendidikan.

Memang, setiap orang akan marah bila dia dicaci-maki dengan kata-kata "anjing". Sementara, orang-orang yang biasa hidup di jalanan akan dengan mudah mengumpat "anjing" ketika emosinya sudah memuncak. Itulah kehidupan jalanan di Jakarta.

Sopir taksi dan orang jalanan di Jakarta itu barangkali tak paham, bahwa anjing pun punya posisi "terhormat" dalam hal-hal tertentu di wilayah keagamaan. Jadi tak hanya sekedar buat umpatan.

Memang, dalam literatur kitab-kitab fiqih, air liur anjing itu tergolong najis. Berdasarkan ushul fiqih, karena anjing tidak bisa mensucikan dirinya, maka ia dinajiskan secara keseluruhan. Dalam sebuah hadis diterangkan, bila terkena air liur (dijilat) anjing, harus dibersihkan hingga tujuh kali basuhan, salah satunya air dicampur dengan debu (tanah).

Uniknya, dalam cerita-cerita yang bersinggungan dengan hal-hal yang berbau keagamaan, kata "anjing" sering menghiasi dalam berbagai cerita. Misalnya, sebuah temuan sejarah gubahan Ki Sasrawijaya yang "mencengangkan", ketika jenazah Syekh Siti Jenar diganti dengan bangkai anjing oleh para Wali Songo, dengan maksud bila masyarakat melihat jenazahnya agar mereka tidak mengikuti aliran Syekh Siti Jenar.

Bagi masyarakat Hindu-Jawa, dalam kisah Mahabarata juga disebutkan, ketika Pandawa masuk surga (dalam kamus Islam mungkin disebut "hari pembalasan"[yaumul jaza']) juga disertai dengan anjingnya.

Dalam sebuah cerita hikmah juga diceritakan, seorang wanita tuna susila (WTS) bisa masuk surga hanya karena amalannya ketika dia memberi minum seekor anjing yang sedang kelaparan. Bahkan, dalam Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an, dan kitab tafsir yang lain) disebutkan, bahwa seekor anjing bisa masuk surga hanya karena dia setia menemani orang-orang saleh yang disebut Qur'an sebagai Ashabul Kahfi (QS. al-Kahfi).

Dalam kasus penggantian jenazah Syekh Siti Jenar dengan bangkai anjing di atas, ada yang mengatakan, itu sebuah penghinaan. Sebuah langkah yang tidakfair, yang dilakukan oleh para wali untuk melenyapkan ajaran Syekh Siti Jenar dari bumi Jawa. Tapi, bila fakta itu benar, menurut Sudirman Tebba, itu tidak harus diartikan sebagai sebuah penghinaan, karena walaupun anjing oleh fiqih Syafi'i dianggap najis dan haram, tapi bagi sebagian sufi, anjing termasuk binatang yang dihormati. Seperti yang dikisahkan oleh FariduddinAththar berikut ini:

Suatu hari, Syaikh Abdullah Turugbadi dari Thus mempersilahkan al-Hallaj yang datang dengan berpakaian lusuh bersama dua anjing hitamnya yang dirantai, untuk duduk di tempat yang sebelumnya ia duduki ketika ia menggelar taplak dan makan roti bersama murid-muridnya.

Syaikh memberikan roti kepada al-Hallaj. Dan al-Hallaj kemudian membagikan sedikit roti itu pada kedua anjingnya. Setelah al-Hallaj pergi, murid-murid itupun bertanya, kenapa gurunya berbuat baik terhadap tamu lusuh yang kehadiranyya justru membuat makanan tidak suci lagi? Maka sang Syaikh itu pun dengan bijak menjawab, "Anjing-anjing itu adalah keakuan (nafs), mereka tinggal di luar dirinya, dan berjalan di sampingnya (al-Hallaj, pen.), sementara anjing-anjing kita masih berada dalam diri kita, dan kita (justru, pen.) mengikuti di belakang mereka.

Inilah perbedaan orang yang mengikuti anjing dan orang yang diikuti anjingnya. Anjing-anjingnya berada di luar, dan engkau dapat melihat mereka, sementara anjing-anjing kalian tersembunyi (dalam hati, pen.)."

Maknanya dari kisah al-Hallaj itu, anjing merupakan gambaran dari sebuah simbol karakter yang harus dikeluarkan dari diri manusia. Karena ia menjadi simbol, menyebabkan kemudian anjing akrab dengan kehidupan sufi. Termasuk yang dilakukan oleh al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar.

#
Itulah pernak-pernik tentang anjing. Dia memiliki makna yang berbeda di mata sopir taksi, sopir metromini, ahli fiqih (fuqoha), hingga kaum sufi.
Selebihnya wallaahu'alam bi ash showab.


Ketika aku menemani....Cililitan, 12 Oktober 2003; 01:10 (c) GJ

Tuesday, October 17, 2006

#044: Enak di Luar, Susah di Dalam


Satu hal yang tak kusukai adalah, ketika mengkritik sesuatu, sementara aku termasuk di dalamnya; menjadi bagian dari sesuatu itu. Seperti halnya diriku menulis tentang Wikusama, sementara diriku adalah pelayannya. Aku seperti tak bisa bebas-lepas untuk bicara. Seperti terkurung dalam penjara. Katak dalam tempurung. Style kritisku selalu kupertaruhkan. Harus mampu meruntuhkan mitos-mitos seperti: ja'im (jaga image), ja-muk (jaga muka), ja-pos (jaga posisi) dst. Padahal, itu semua hampa dan fana, tak ada artinya sama sekali. Hal-hal yang tak kusukai, yang serba formalitas tanpa isi.

Seperti halnya ketika aku akan mengkritik Ulil Abshar-Abdalla dengan forum MPI (Muktamar Pemikiran Islam)-nya yang baru lalu. Forum para pemikir muda Islam itu mendapatkan respon yang positif dari berbagai kalangan, baik di media massa ataupun di kalangan intelektual/cendekiawan besar, seperti Nurcholish Madjid, Solahuddin Wahid, KH. Said Agil Siradj, dsb. Tapi tetap saja bagi saya forum itu menyisakan kelemahan di sana-sini, yang sebenarnya cukup banyak untuk bisa ditelanjangi di forum publik.

Tapi, lagi-lagi kutak berdaya mengkritiknya lewat media massa, karena disebabkan beberapa kali aku diundang rapat untuk merumuskan acara tersebut. Sebuah ironisme, bagaimana aku mengkritik sebuah forum (intelektual mudaIslam), di mana aku bagian dari forum itu sendiri?

Begitupun dengan Wikusama. Bagaimana aku mengkritiknya, sementara aku menjadi bagian sekaligus membangun sistemnya? Sangat beruntung bagi orang tukang kritik, tapi tak ikut membangun atau tak berada dalam sistem yang ia kritik. Mungkin ia akan dengan sangat bebas untuk mengkritik.

Aku jadi teringat petuah guruku, mas Ulil, dalam konteks yang lain dia pernah bicara; "sesuatu itu memang indah dan cantik bila dilihat dari luar. Akan kelihatan wujud aslinya bila didekati, dan semakin kelihatan kelemahannya bila dimasuki".

Dan itu sangat terbukti. Dua-tiga tahun yang lalu, aku bisa mengkritik NU dalam 20 tulisan per bulan sebelum masuk lebih dalam ke organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia itu. Kini, betapa susahnya membuat 1 tulisan untuk mengkritiknya.

Ya, itulah realitas. Orang akan begitu mudah mengkritik Wikusama bila dia tidak berada di dalamnya. Padahal, tak bisa dibayangkan, bagaimana beratnya tugas pengurus IAW dan PT Wikusama sekarang untuk membangun jaringan masa depan ini. Karena memang, melihat dari luar itu lebih mudah daripada berada di dalam. Dan, semua orang pun bisa bila hanya sekedar berkomentar.
Enak yang di luar, tapi susah yang di dalam.


Pancoran, 10-10-03(c) GJ sang kritikus..

#043: ~Flying...


Lagu-lagu Kristiani dari RPK (Radio Peduli Kasih) Cawang itu, telah membangunkanku di dini hari ini. Mengingatkanku dengan lantunan merdu tembang-tembang Hindu, di sanggar pemujaan di lereng Gunung Tengger, enam tahun yang lalu. Mengharuskanku malam ini melakukan sesembahan pada Gustiku. Mengurai air mata, menanyakan tentang garis-garis ke arah mana takdir itu akan berlabuh.

Beberapa menit kemudian, ragaku kembali teronggok lunglai di atas kasur kumal, di antara tumpukan buku yang berserakan, di ruang kamar sekaligus perpustakaan. Sementara jiwaku mengembara, pergi, menemui siapa saja yang ingin ia bisa temui dan menumpahkan segenap kelelahan pikiran.

Kepada Mbah Hasyim Asy'ari, belajar tentang kesufian. Ke Dipati Unus, tentang kebangsaan. Ke Gajah Mada tentang politik ketatanegaraan. Ke Raden Ayu Putri Kambang tentang hakekat cinta para raja. Ke Mbah Bisri Mustofa, tempat segala inspirasi ketika menulis itu kumulai. Ke....

Di sini, aku bagaikan seonggok daging tak berguna yang hanya bisa berdiri tegak menyelimuti tulang-belulang. Aku bagaikan terkena 'kutuk pastu' seperti dalam cerita-cerita di epos Mahabarata. Seperti Pandawa yang harus hidup di pengasingan, mengembara 12 tahun di tengah belantara hutan. Hidup dalam penyamaran, sebagai pembantu istana di Kerajaan Wirata. Hidup penuh dengan godaan, caci-maki, penghinaan dan penderitaan.

Seperti Prabu Pandu Dewanata yang tak boleh menggauli istrinya, akibat keteledorannya membunuh Resi Kindamana yang sedang bercinta. Seperti sang Krishna sendiri yang tak mampu menghindari guratan takdir, menyaksikan kepunahan bangsanya akibat ulah kecerobohan anaknya yang mempermainkan seorang pertapa (resi) agung. Seperti........
Yang kesemuanya itu sebenarnya cobaan, yang membutuhkan ketabahan untuk menjalaninya.Mampukah aku?

Andaikan malaikat maut mau memilih hamba yang hina, dan sudah hampir takkuasa lagi menahan beban hidup ini. Andai hutang hidup telah terlunasi. Andai tugas dan kewajiban hidup telah terselesaikan. Andai peradaban telah selesai kubangun. Andai.. Andaikan....
Hanya amanah yang mampu membuatku bertahan. Mengarungi samudera cinta tanpa rasa. Menjalani segala penderitaan menuju kemuliaan.
Sejati.


Padepokan Tebet, 2-10-03, 03:15© GJ with flying.....

#042: Kini, Esok dan Masa Lalu: Sebuah Kritik Terhadap Analisa Prabowo Subiyanto


Minggu, 28 September 2003.
Jam menunjuk ke 17:05 ketika aku sampai di depan pintu ruang eksekutif Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Sore ini adalah perjalanan balik menuju Jakarta, setelah cuti seminggu melihat turnamen bola voli antar klub se-JawaTimur di Perumnas Made, Lamongan.

Sebelum masuk ke ruang tunggu stasiun kereta api kebanggaan warga Surabaya itu, kusempatkan dulu beli koran "Surabaya News", yang kata kangmasku itu 'reinkarnasi' dari koran "Surabaya Post" yang dulu. Di halaman 7 dari koran harian sore itu tertulis judul "Krisis Bukan Semua Kesalahan Orba", hasil liputan wartawan atas kampanye Letjen TNI (Pur) Prabowo Subiyanto yang ikut menjadi salah seorang peserta calon presiden (capres) dari Konvensi Partai Golkar di Kendari.

Kubaca. Kupahami, dan kuamati dengan cermat koran itu. Partai Golkar memang cerdik, pantas kangmasku yang jadi guru itu tergila-gila dan jatuh cinta dengannya, dan dulu ketika Pemilu 1999 ia selalu debat terus denganku.

Di saat partai politik lain masih jalan di tempat (terlibat pusaran konflik), Golkar justru dengan lihainya melakukan "kampanye terselubung" dengan model Konvensi. Inilah salah satu contoh kecerdasan dan kematangan Golkar dalam berpolitik, yang perlu diacungi jempol. Dengan konvensi, maka Golkar bisa mendapatkan banyak keuntungan, diantaranya: pertama, melakukan konsolidasi dari setiap elemen yang dimiliki.

Lihatlah peserta yang ikut konvensi. Ada yang dari TNI, pengusaha, pemilik media massa, artis, pejabat/menteri, anggota parpol, dsb. Konsolidasi tersebut bisa dimaknai sebagai konsolidasi politik, konsolidasi partai, konsolidasi ekonomi, dll. Orang yang dulu takut mengaku Golkar sejak reformasi, kini sudah kembali lagi. Kedua, acara Konvensi itu sekaligus bisa dijadikan sebagai ajang kampanye Golkar untuk menjumput akar massa menjelang Pemilu 2004.

Dalam acara konvensi tersebut, banyak hal yang dikatakan Prabowo. Aku sepakat dengannya dalam beberapa hal bahwa, krisis multidimensi yang terjadi saat ini tak lepas dari peran IMF (baca: Barat). Bahkan, sejak jaman Sriwijaya --yang dianggap sebagai Nusantara Pertama, posisi bangsa ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh bangsa lain. Indonesia sebagai (selalu berada dalam posisi) "pheri-pheri", dan bangsa lain yang kuat yang mampu menghegemoni kita dalam segala bidang sebagai "core"-nya.

Aku sepakat dengan Prabowo, bahwa Golkar terlibat dalam kesalahan di masa Orba. Dan pernyataan itu tak boleh berhenti hanya di situ saja. Perlu ditambahi: seharusnya segala kesalahan tersebut bisa diadili secara hukum. Aku sepakat dengannya, bahwa KKN perlu diberantas sehingga kondisi bangsa tidak semakin parah. Tapi bagaimana dengan kasus tersangka Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Golkar yang telah divonis tiga (3) tahun, tapi kini masih bebas berkeliaran dan bahkan ikut mencalonkan diri jadi capres 2004?

Secara tegas, aku tak sepakat dua hal dengan Prabowo dalam acara itu, ketika ia mengatakan bahwa era reformasi tidak lebih baik dari era Orba. Dia mengambil contoh di bidang keamanan, bahwa kondisi di era reformasi lebih parah. Sejak reformasi bergulir, konflik sosial terjadi di mana-mana. Poso, Ambon, Aceh, Ketapang, dll terus bergejolak sejak Soeharto lengser.
Menjadi sebuah pertanyaan sekaligus jawaban singkatnya; bukankah segala kerusuhan itu merupakan hasil rekayasa dari kelompok pro status quo (kekuatan Orba) yang memang tidak menginginkan adanya perubahan?

Di bidang ekonomi, Prabowo juga mengatakan, kondisi bangsa kita sekarang ini bukannya tambah baik tapi semakin terpuruk. Pertumbuhan ekonomi selalu dibawah 4%, padahal di masa Orba rata-rata di atas 7% selama 20 tahun.

Memang benar, pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% selama PJPT I dan itu sangat membanggakan karena belum pernah dicapai oleh pemerintah sebelum Orba. Namun, pencapaian tersebut ditunjang oleh berbagai kemudahan, insentif, dan proteksi yang diperoleh para konglomerat, sehingga struktur ekonomi sangat timpang dan sangat tidak kompetitif. Akibatnya, struktur ekonomi cenderung monopolistik dan sangat tidak adil, karena untuk mempertahankan pertumbuhan itu disubsidi oleh usaha skala menengah dan kecil.

Ketimpangan dan ketidakadilan itu juga tercermin dalam alokasi kredit perbankan yang hanya terkonsentrasi pada sekelompok kecil konglomerat (Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan Pengalaman,LP3ES-Jakarta, 1994). Jadi, sebenarnya semasa Orba itu rakyat tidak hanya tidak berdaya secara politik, tapi juga memiliki ketidak berdayaan pulasecara ekonomi. Ekonomi tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil, tapi kongolomerat.

Prabowo mungkin lupa, sesuatu yang terjadi saat ini, tak bisa dilepaskan dari peristiwa masa lalu. Dan hari ini akan menentukan hari esok. Keterpurukan bangsa saat ini, tak bisa dilepaskan sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan sebelumnya. Awal mula kerjasama dengan IMF dan penghambaan diri secara total sebagai bangsa terhadap kepentingan Barat yang dimotori oleh Soeharto dengan kendaraan Orbanya, adalah simplifikasi contohnya. Belum secara detailnya.

Seperti yang dikatakan oleh Jose Ortega Y. Gasset, masa lalu adalah masa lalu bukan karena ia terjadi pada orang lain (pada masa lalu), tetapi karena ia membentuk bagian-bagian kehidupan kita di masa kini. Kehidupan sebagai realitas merupakan kehadiran absolut: kita tidak bisa mengatakan tidak ada sesuatu apapun kecuali yang hadir pada masa kini. Karena ada masa lalu yang "aktif" pada masa kini (Ortega Y. Gasset, "Histori as a System" dalam Hans Meyerhoff [ed], The Philosophy of History in Our Time, 1959).

Kesadaran kritis akan masa lalu dalam konteks seperti itu tampaknya yang tidak dimiliki oleh masyarakat dan juga di kalangan elite kita, termasuk oleh Prabowo. Karena itu tidak mengherankan kiranya jika krisis bangsa ini hanya dilihat sebagai krisis masa kini. Ia dianggap semata-mata sebagai krisis ekonomi dan politik masa kini yang tak ada akarnya di masa lalu. Karenanya, cara pandang dan solusi selama ini yang ditawarkan juga bersifat jangka pendek, dan untuk kepentingan politik sesaat. Akibatnya, bangsa ini tetap dalam kondisi yang bersifat "ad interim" dan carut-marut sistem yang tak terpecahkan hingga kini (Pitutur, hal. 3).

Memahami demikian, sungguh sangat unik, bila seorang calon presiden seperti Prabowo Subiyanto tidak memahami visi geopolitik bangsanya secara benar. Jika demikian, lalu mau dibawa ke mana arah bangsaku ini?
Wallaahu'alam bi ash showab.


Stasiun Ps. Turi, Surabaya, 28-09-03
(c) Gus John

Monday, October 16, 2006

#041: Mengabdi Pada Masyarakat


Senin, 22 September 2003;
Orangnya masih muda. Usianya baru 34 tahun. Penampilannya funky habis. Rambutnya dibiarkan gondrong menutupi bahunya yang kurus agak membungkuk. Kacamata minus selalu setia menemaninya ke mana ia pergi. Bila bepergian, ia suka memakai celana jeans. Setahun yang lalu, ia telah menjadi seorang haji. Padahal, konon, semasa SMA-nya, dia dulu mantan berandalan di kampungnya, dan cukup dikenal di beberapa kawasan di Surabaya. Namanya, Sukidi. Aku sering memanggilnya, Cak Kidi.

Kukatakan ia masih muda, karena bila melihat kiprahnya yang begitu luas di masyarakat, aku seakan tidak percaya, bahwa usianya memang masih 30-an. Padahal, hampir seluruh waktunya ia persembahkan buat kepentingan masyarakat. Dengan melibatkan warga kampung, ia bikin acara khataman Qur'an setiap bulannya. Membuat acara istighotsah tiap mingguan, dan menjadi pengurus sebuah organisasi anak muda di kotanya. Hari-harinya penuh dengan kesibukan. Di samping mengurusi bisnisnya, dia juga menyempatkan berkiprah secara aktif di masyarakat, yang terkadang ia sendiri lupa akan kepentingan diri dan keluarganya.

Bila ada kegiatan-kegiatan di kampung, mulai dari acara pengajian, rehabilitasi masjid dan tempat sosial, kampanye pilkades, hingga urusan rapat mendirikan sekolah sepakbola (SSB) pun, Cak Kidi pasti diundang. Sehingga sangat pantas, berkat kegigihannya dalam mengabdi di masyarakat itu, ia kini telah menjadi kiblat (tokoh panutan) bagi anak-anak muda di sekitarnya. Dengan umurnya yang masih muda itu, Cak Kidi tak menyadari bahwa dirinya telah menjadi tokoh masyarakat. Tanpa sadar, telah memposisikan dirinya menjadi tumpuan dan harapan warga masyarakat.

#
Senin malam itu, mobil panther Cak Kidi telah membawaku menuju sebuah pesantren putri di daerah Rembung, Sidoarjo. Seharian itu, aku memang sengaja mengosongkan waktu untuk menemaninya. Melihat lebih dekat kesibukan dari sosok muda yang kini telah menjadi ayah dari 3 orang anak itu. Menyusuri setiap sudut kota Pahlawan. Dari Menanggal, kawasan Rungkut, hingga jalanan di pinggir Kali Mas, menuju warung khusus hidangan kambing ala Arab, "Madinah" di kawasan Ampel. Sorenya, ke Tretes, Prigen, lalu menyusuri kota Sidoarjo di malam harinya.

Malam itu aku menemani Cak Kidi untuk mengantarkan anaknya yang baru kelas 4 MI, untuk dititipkan mondok di pesantren milik Nyai Siti Aisyah, sosok perempuan yang sangat dihormati di lingkungan para kiai. Seorang perempuan yang dikarunia ilmu laduni, menjadi ahli pidato sejak usianya belum 10 tahun tanpa proses belajar apapun.

Aku sudah tidak ingat lagi, jalan apa dan berapa kilometer yang kulewati untuk menuju pesantren Nyai Aisyah. Yang jelas, jalannya penuh berliku. Berkelok-kelok, melewati jalan beraspal di tengah-tengah sawah, dengan rel kereta lori pengangkut tebu di kiri atau kanan jalan, dan kadang melintangi jalan. Setelah perjalanan hampir 15 menit dari stadion Delta, Sidoarjo, maka sampailah di pesantren Bu Nyai.

Pesantren itu sederhana. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di daerah sekitar Porong, Sidoarjo. Terletak di sebuah desa yang terlihat asri, nyaman, bersih dan teratur. Kampung dengan deretan rumah-rumah yang masih berhalaman luas, seperti halnya rumahku. Pohon pisang, jambu dan mangga yang paling dominan menghijaukan pekarangan.

Bila ingat pondok Nyai Aisyah itu, lamunanku kemudian menerawang jauh kedepan. Alangkah indahnya mengisi hidup ini dengan hidup berada di tengah masyarakat desa, dengan memiliki pesantren khusus untuk anak-anak, tempat anak-anak belajar agama untuk menjadi bekal hidup mereka kelak dalam mengarungi hidup yang lebih serba materialistik ini. Mengajari mereka mengaji, baca Qur'an, membuat teduh suasana kampung dengan lantunan ayat suci yang mereka bacakan setiap saat.

Alangkah indahnya, di tengah suasana kampung nan damai, mendirikan sebuah yayasan yang menaungi kaum fakir-miskin papah. Yang bergerak di bidang sosial; tempat berbagi rasa dan asa, mencegah terjadinya kekufuran, menciptakan generasi yang mandiri.

Alangkah indahnya, mendirikan sebuah klub bola voli, tempat mengumpulkan dan membina generasi muda untuk aktif di bidang olahraga, berguna serta bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Membuat turnamen bergengsi, dengan mengundang tim dari kecamatan/kabupaten lain se-propinsi. Tentu ramai. Tentu membanggakan dan menjadi tontonan menarik warga kampung.

Alangkah dan alangkah.....
Ah, aku tak mau mengikuti lamunan. Tapi bukankah inti dari mengarungi hidup ini adalah pengabdian?
Wallaahu'alam bi ash showab


Griya Made Karyo XVIII-Lamongan, 26 Sep '03
© Gus John

#040: Melihat Bulan Malam Ini


Padepokan Tebet, 10-09-03, 00:34
Malam ini, penanggalan Hijriah menunjukkan ini malam 13 Rajab 1424 H. Penanggalan Jawa menyebutkan ini malam 13 Rejeb 1936 BE. Versi Keraton Ngayogyakarta menurut hitung-hitungan Pranata Mangsa menyebutkan malam ini masih berada dalam rangkaian bulan "Mongso Katelu Wiji Tuwuh Sinimpen". Entahlah, apa arti maknanya. Tapi aku sangat yakin itu memiliki makna yang dulu sangat diyakini dan dipercaya oleh para leluhur.

Di atas sana, bulan memancarkan sinarnya dengan terang, menerangi bumi. Ia tersenyum tepat di atas kepalaku. Menyapaku di balik ranting pohon cemara, di taman padepokan. Langit cerah, hampir tak berawan. Beberapa bintang dengan malu-malu memperlihatkan cahayanya. Mungkin mereka kurang percaya diri, karena sang bulan malam ini begitu perkasa, menyinari segala permukaan bumi dengan cahayanya. Hanya satu bintang yang lebih terang yang selalu setia menemani sang putri malam, dari terbit hingga tenggelam.

Melihat bulan malam ini, aku jadi teringat sabda Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Jabir bin Abdullah ra, ketika Nabi melihat bulan dan para sahabat duduk di dekat beliau, "Ketahuilah! Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu kelak seperti melihat bulan purnama ini, tanpa ada yang menghalangi untuk melihatnya. Karena itu..........". (Sahih Muslim I-IV, Syekh H. Abdul Syukur Rahimy, Widjaya, 1996, hal. 310).

Melihat bulan malam ini, aku seperti merasakan, bahwa dua harta yang sangat berharga bagiku adalah, merasa dekat dengan Tuhanku, dan mendapatkan karunia untuk selalu bisa mengaktualisasikan segala interpretasi dari segenap(panca) indera yang kumiliki dalam bentuk sebuah tulisan.

Melihat bulan malam ini, aku seperti baru terbebas dari tugas yang maha berat, setelah dua hari merasakan penatnya otak harus ikut memikirkan bagaimana menyelamatkan nasib puluhan juta umat dari malapetaka perpecahan. Aku tak bisa mengelak, karena ini adalah tugas dan panggilan sejarah. Bila kuumpamakan sejarah itu bagaikan mobil yang melaju, aku merasa berada di dalamnya --walaupun bukan sebagai pengendara dan penumpangnya, tapi aku adalah bagian dari kendaraan itu. Karena sesungguhnya, ia (sejarah) akan terus bergerak dan berproses mencari waktunya.

Melihat terangnya sinar bulan, hamparan langit yang cerah tanpa semilir angin, di sepertiga malam ini, sepertinya aku tak bisa berlama-lama memarkirkan kaki dan jiwaku di sini, di bumi padepokan. Ingin rasanya kubawa jiwaku ini pergi, ke tengah lautan lepas. Melepaskan segala rinduku padaTuhanku. Menikmati segala keagungan-Nya. Bersatu dengan-Nya seperti layaknya Syekh Wali Abu Yazid al-Busthami, Husain ibn Manshur al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar.

Ingin rasanya kubiarkan diri ini terombang-ambing di atas gelombang di tengah Laut Jawa. Lalu kusandarkan ragaku di geladak kapal perang dengan simbol kupu tarung yang besar dan kelihatan megah; simbol kemegahan armada laut Kerajaan Demak di bawah panji kebesaran Pati Unus (1517 M). Masa di mana kita sebagai bangsa masih punya harga diri, berjaya di tengah lautan, disegani oleh dunia mancanegara, ditakuti oleh bangsa-bangsa di Utara, dan dengan begitu berani melakukan perlawanan terhadap ekspansi bangsa penjajah.

Ingin rasanya diriku bercengkerama dengan Pangeran Jawa yang gagah perkasa itu, tentang makna sejatinya hidup. Tentang arti kedaulatan dan kemerdekaan bumi Nusantara. Tentang wawasan kebangsaan dan kenegaraan. Tentang riwayat dan sejarah raja-raja Jawa. Tentang kisah dan kidung cinta para raja.

Tentang.....

Ah, tapi itu semua tak mungkin, karena kaki dan ragaku masih terpaut di bumi padepokan ini. Lagipula diriku pun masih hina, dan kumerasa tidak ada artinya sama sekali di depan-Nya. Dan, lamunan ini hanya menyebabkanku kelelahan. Aku pun benar-benar lelah, maka tertidurlah...


© Gus John

#039: Kidung Cinta Para Raja


Padepokan Tebet, Malam Jum'at, 29-08-2003.
Alunan gamelan kidung cinta para raja kembali hanyut terdengar. Mengiang-ngiang di telinga, menggelayuti pendengaranku. Ia sepertinya dekat. Sangat dekat. Seolah-olah ia mengepung padepokan. Ia selalu muncul ketika nurani tidak bisa diajak kompromi. Ketika pilihan dipertentangkan.

Kubayangkan Damarwulan, Joko Tingkir, Ki Ageng Mangir, dan para raja yang lain dengan segala kebesarannya, melakoni fragmen hidup mereka yang dinamakan cinta; sebuah cerita legenda yang menyiratkan hubungan kasih suci nan agung. Yang kadang diselingi dengan perjuangan, ujian dan cobaan yang sangat berat.

Kurebahkan badanku di balai bambu di teras padepokan. Malam ini tidak seperti biasa. Di saat isu munculnya bulan kembar, tapi aku tak tertarik sama sekali dengan gembar-gembor media massa itu. Aku lebih menyukai membiarkan terjadinya pergulatan pikiran, batin, dan nurani dalam diri ini. Kubiarkan mereka berdebat secara demokratis, tuk menentukan setiap langkah demi langkah yang akan kutempuh. Kubiarkan kidung cinta para raja menguasai diriku, ditemani semilir angin yang menerpa bumi padepokan.

Beberapa waktu yang lalu, Dewi Amor menyayat-nyayat hati, menusuk perasaan. Pantas, Meggy Z bikin lagu "Lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati". Padahal, sakit gigi sakitnya juga luar biasa. Telah menggangguku saat ditemani Soewarno menyantap soto Betawi di Cikini kemarin malam. Menyebalkan!

Di kesempatan yang berbeda. Di ujung hp, Laila kembali menggangguku. Kadang SMS. Terkadang hanya 'missed-calls;. Dia terus menerorku. Menanyakan kabar, mengajak nonton pameran. Tapi aku tak bisa memenuhi permintaannya. Filsafat-filsafat Mahabarata nan agung telah melarangku. Dan aku membiarkan Laila terhanyut sendiri oleh perasaannya. "Ma'afkan aku, karena engkau adalah masa lalu, Laila..."

#
Konflik. Aku tak pernah takut dengan pilihan. Dan tak satupun orang berhak meremehkan pilihan setiap orang yang lain. Mengutip kata Hilal, "Takdir adalah pilihan. Dan jangan salahkan takdir, bila ia tidak sesuai dengan apa yang kita pilih". Sangat Mu'tazilah banget kedengarannya, tapi aku sependapat dengan kaidah itu. Agar tak terlalu pasrah kepada Tuhan seperti kaum Jabariyah, yang bisa menyebabkan kejumudan dalam perkembangan dunia Islam di kemudian hari. Lagipula, adalah sebuah kekeliruan besar bila membiarkan diriku terkungkung memahami Islam dalam satu aliran. Karena Islam itu ilmu yang sangat luas. Maha luas. Kitalah (manusia) yang sering terlalu pandir dalam memahaminya, bukan Islamnya yang salah.
"...........dan agar Allah dapat memberikan cobaan (ujian) kepadaorang-orang yang beriman dengan cobaan (ujian) yang baik dari-Nya...." (QSAl-Anfal:17).

#
Karbela, malam minggu, 31-08-03.
Aku tak pernah melakukan penyesalan terhadap apa yang telah terjadi. Karena setiap peristiwa hanya butuh diambil hikmah, untuk dijadikan evaluasi, bukan disesali. Seperti halnya malam minggu ini. Aku mendapatkan pelajaran yang berharga, tentang apa itu yang dinamakan cinta sejati. Cinta nan tulus, yang tak pernah terhenti. Yang memandang selalu dengan kacamata positif terhadap orang yang dicintai. Walaupun cinta itu harus berakhir dengan tidak saling memiliki. Luar biasa! Aku tak pernah menyadarinya.
"Duh, Gusti, aku tak pernah menyadarinya. Ma'afkan, hamba. Ma'afkan,hamba..."

Karena tak mau hanyut oleh perasaan, kubiarkan bebek besiku membawaku kemana ia kehendaki. Jaksa jadi tujuan akhir. Acara nyodok dengan teman-teman padepokan hingga larut pagi. Pandangan manusia boleh menghina, mencela, mencaci-maki dengan dalil-dalil kesucian. Tapi, urusan keimananku adalah dengan Tuhanku. Bukan dengan orang-perorang atau mereka. Manusia tak perlu berpikiran sempit dalam memahami keimanan seseorang. Nyodok itupun berakhirhingga pagi 03:00. Kukebut bebek besiku menuju padepokan.
Kidung cinta para raja itupun kembali mengalun merdu. Menyayat hati. Membuat pilu.


tulisan semrawut ini diselesaikan dengan penuh "kebingungan" di RuangSwitching, Apartemen Taman Rasuna, 01-09-03
(c) Gus John.

#038: Bila Masyarakat Awam Memaknai Kemerdekaan


Jam di hp-ku menunjukkan pukul 00:15. Pentas dangdut itu belum juga usai. Dua biduanita di atas panggung masih meliuk-liukkan tubuhnya yang terbalut baju ketat, khas penyanyi dangdut, menggoda setiap lelaki untuk berjoget di atas panggung. Dua biduanita lainnya duduk di pinggir, menunggu giliran tampil. Dengan diiringi musik organ tunggal dari Buncit Delapan, biduanita itu berjoget ditemani beberapa penonton yang sengaja memberi 'sawer'.

Keringat mengucur membasahi wajah mereka. Dengan handuk yang sengaja dikalungkan di leher, mereka seka keringat. Di malam yang kelam itu, mereka menyanyikan lagu "Noda dan Dosa", sambil berjoget, bergerombol di atas panggung. Keberisikan di tengah malam, di tempat terbuka, yang menjadi "halal" (dimahfumkan) di kehidupan sosial masyarakat. Ya, karena acara itupentas 17-an.

Tiga meter di depan panggung, kursi-kursi sengaja disibakkan. Dipinggirkan, untuk tempat berjoget bagi penonton. Sementara penonton yang lainnya, menikmati alunan musik khas Melayu itu dari kursi pertunjukan, di bawah tenda yang sudah disiapkan sejak pagi. Sebagian penonton yang lain, duduk di bangku-bangku. Ada juga yang duduk di 'dak' rumah warga.

Malam itu, lapangan di depan Padepokan terlihat semarak. Umbul-umbul "Telkomsel" ikut memarakkan pesta 17-an warga kampung Jl. Rasamala Gg. H.Marzuki. Tenda didirikan begitu gagahnya. Dihiasi kelambu warna-warni dengan warna merah dan putih mendominasi desain panggung. Terbaca, "Dirgahayu ke-58Kemerdekaan RI" di spanduk panggung.

Lapangan yang digunakan pentas malam itu adalah lapangan badminton. Letaknya di depan rumah-rumah penduduk kampung, agak masuk ke dalam gang bila dari arah Padepokan. Panggung itu menghadap ke timur. Kiri panggung tampak sederetan rumah bedeng yang terbuat dari seng berkarat bercat putih. Belakang rumah bedeng ada tanah kebun yang masih kosong. Sementara di kanan panggung, kujumpai segala macam rombong (gerobak untuk berjualan). Rombong tukang bakso, rombong tukang roti, rombong tukang minuman, yang semuanya terparkir rapi dan tergembok rantai. Di sebelahnya terdapat juga deretan 'pagupon' (rumah burung dara) bercat putih.

Malam itu begitu terang. Pentas yang dimulai sejak jam 10 pagi itu, semakin malam semakin semarak. Bintang kekuning-kuningan nampak nan jauh di sana. Di atas langit, tepat di atas kepalaku. Bintang-bintang yang lain mengintip dibalik dahan, ranting dan dedaunan pohon nangka yang berdiri tegak di depan kiri-kanan panggung. Sebagian dahan dan ranting pohon nangka itu terpapras (terpotong) untuk keperluan mendirikan tenda.

Itulah, salah satu bentuk partisipasi warga sekitar padepokan dalam merayakan hajatan kemerdekaan ke-58 RI. Tapi ada sesuatu yang hilang, menurutku. Tak kujumpai anak-anak atau ibu-ibu di deretan penonton yang berjubel itu. Yang ada hanyalah kaum pria. Di lihat dari tampang dan penampilannya, mereka seperti berasal dari masyarakat urban (kaum pendatang, bukan penduduk asli) dan lapisan masyarakat pinggiran (orang-orang awam, kaum buruh dan pekerja kasar lainnya). Tak ada yang berpakain rapi. Padahal, rumah di sekitar panggung adalah komplek BI. Termasuk padepokan. Dan, pesta 17-an di Gg. Marzuki itu benar-benar terlihat jelas hanya menjadi milik masyarakat pinggiran.

Dua malam sebelumnya, pertunjukan dalam rangka yang sama juga berlangsung diMampang Delapan belas. Acaranya juga di atas lapangan badminton, sebelah kandang sapi perah milik orang Betawi. Pentasnya juga dangdut. Nanggap organ tunggal dari Cilandak. Bedanya dengan di Tebet, di Mampang biduanita nyalebih banyak, lebih cantik, penontonnya lebih ramai. Kaum pria dan wanita, tua dan muda bercampur menjadi satu, dan ada yang berkelompok. Diramaikan oleh anak-anak kecil yang minta dibelikan mainan dan jajan. Pertunjukan itupun usai hingga jam 02:00.

#
Begitulah. Tidak hanya di Tebet dan Mampang, mungkin di hampir semua kampung di seluruh pelosok wilayah Nusantara, masing-masing memiliki acara sendiri-sendiri untuk memeriahkan kemerdekaan. Walaupun berbeda acara, tapi spiritnya tetap sama; ikut berpartisipasi dalam memaknai kemerdekaan RI. Organ tunggal atau organ tunggal plus, laris manis, panen mendapatkan job. Wanita-wanita yang lumayan seksi, meskipun suaranya pas-pasan, mencoba mencari untung dengan berprofesi sebagai biduanita. Menjadi penyanyi dangdut, walaupun goyang pun tak bisa (terlihat dipaksakan). Siklus hidup pun berjalan tanpa disadari. Masyarakat awam haus akan hiburan, para biduanita itu membutuhkan uang. Maka, pentas 17-an kini sudah diartikan sama dengan pentas dangdut. Pentas dangdut dianggap sebagai pentas rakyat. Pentas rakyat menimbulkan kesenangan masyarakat. Senang sama dengan merdeka. Asumsi yang sederhana dan praktis, menurutku.

Yang membedakan mungkin bisa dilihat dari karakter masyarakatnya. Masyarakat Mampang, berbeda karakternya dengan di Tebet. Dan berbeda pula dengan karakter masyarakat di kampung di daerah-daerah. Di Mampang, kultur masyarakatnya aneh. Mereka religius di bidang ubudiyah, tapi sangat toleran dan menyukai pentas dangdut. Sulit membedakan, mana hiburan, mana yang tergolong eksploitasi aurot yang berlebihan. Mereka ngaji ok, dangdutan juga boleh. Tahlilan bisa, togel pun dibiarkan merajalela.

Gg. Marzuki, Tebet lain lagi. Penikmat sajian dangdut itu hanya didominasi kaum lelaki. Perempuan bisa dihitung dengan jari. Sehingga sangat wajar, lelaki menjadi dominan. Sesekali juga berani kurang ajar dengan mencolektubuh bahenol biduanita. Begitupun di kampung. Tentu memiliki karakteristik, kultur masyarakat yang berbeda pula. Tapi intinya tetap sama; pesta!
Inilah ironisme dari sebuah proses hidup. Dulu, kemerdekaan diraih dengan darah dan air mata.

Di awal revolusi, kemerdekaan dirayakan dengan dentuman meriam sebagai simbol perlawanan dan kepahlawanan rakyat manunggal dengan tentara melawan kolonial. Tapi kini, kemerdekaan sudah identik denganhiburan, goyangan biduanita, pesta makanan, atau bahkan pelampiasan syahwat dalam bentuk saweran terselubung. Sebuah ironi yang patut disesali di tengah-tengah kenyataan bahwa masyarakat awam butuh hiburan, suntuk akan konflik elite politik yang kadang tak bermoral. Menyedihkan, tapi itu terjadi.


Padepokan Tebet, 01-09-03, 00:32
© Gus John

#037: Dari Kuningan hingga Tebet: Dari Turnamen Futsal hingga Rapat Perseroan Terbatas "Wikusama"


Padepokan Tebet, 18-08-03 di pagi hari.
Tatkala tetesan-tetesan embun telah melekat di dedaunan. Seperti biasa. Sekawanan suara burung membangunkanku pagi ini. Mereka bercanda sambil bersiul, dari satu ranting ke ranting pohon yang lain. Di antara sekawanan burung itu, ada satu burung yang suaranya cukup jelas kukenal. Suaranya berbeda dengan yang lain. Sangat jelas berbeda. Entah apa nama burung itu?!

Kuantarkan AW (Agus Widjaya/1C) pulang, sampai di pintu gerbang padepokan. Semalam, dia menginap di sini, setelah aku dan Wanus bertemu secara tidak sengaja dengannya di toko buku Gramedia di Hero Gatsu. Ia pun kemudian mampir dan menginap di padepokan. Kita ngobrol banyak hal hingga larut malam, ditemani kacang rebus, mie rebus, nescafe, dan Kabelvision.

Sepagi ini, Mbak Yati, istri penjaga padepokan sedang menyapu di taman. Ia bersihkan rerumputan dari kotoran dedaunan kering yang rontok. Daun mangga dan daun cemara, serta buah mengkudu yang jadi sampah di atas hamparan taman itu. Semua ia bersihkan. Kemudian ia guyur dengan air. Rerumputan itu menjadi tampak segar, layaknya menyambut mentari yang sebentar lagi kan menyapa bumi. Memberi warna pada semua permukaan.

#
Ba'da Maghrib di Padepokan Tebet; 16 Agustus 2003.
Aku tak pernah menyadari sebelumnya. Dengan hanya berbalut handuk dan kaos oblong, aku terkapar di atas kasur. Niat ingin mandi, tapi mata ini rasanya tak bisa untuk diajak kompromi. Barangkali ia marah, ingin mendapatkan haknya, yang sedari pagi sibuk oleh kegiatan olahraga, hingga rapat di sore harinya. Sangat lelah. Maka tertidurlah. Tak kuasa kumenahan kantuk yang teramat berat. Kubiarkan saja rasa kantuk itu menguasai jiwaku, kemudian mematikan sesaat ragaku. Aku pun masuk dalam dunia yang berbeda, yang aku bahkan semua manusia pun tak mampu mengendalikan atau mengontrolnya. Tidur. Terlelap.Wanus tertidur lebih dulu di sebelahku. Sejak rapat PT tadi sore, dia sudah terkapar di kasur tebalnya. Dia tertidur dalam kelelahan, setelah mencetak satu gol dalam partai futsal.

#
Dua jam yang lalu, suasana di Padepokan ini masih ramai. Tujuh mobil berjejer paralel, memenuhi halaman padepokan. Sementara lima motor berjejer menempati teras, di depan dan samping ruang perpustakaan. Sore ini, IAW memang punya gawe. Ada rapat khusus membahas perkembangan PT Wikusama; cikal-bakal yang akan menentukan kejayaan IAW di masa depan. Sebuah langkah terobosan untuk mencoba menjawab segala tantangan dan problematika yang dihadapi IAW; dulu, kini hingga hari esok.

Hadir dalam pertemuan itu: Noka beserta istri (Ummi), Choirul beserta istri (Lilis), K-San beserta istri (Tin) dan putrinya, Ewenk beserta istri (Ambar) dan putranya; Sayyid yang lucu dan menyenangkan. Juga Parjon, Kencong, M. Farid, Ali Thamrin, dan Andry Sofyan yang jauh sengaja datang dari Jatiluhur. Aku, Cipeng dan Wanus, selaku tuan rumah.

Kita kumpul pasca final futsal, hingga rapat bubar sekitar jam lima sore. Kita membahas khusus seputar PT. Mulai dari telah berdirinya PT, struktur dan susunan organisasinya, strategi dan kebijakannya, hingga prospektus. Sebelum rapat, kita makan bersama. Es degan, ayam bakar, ayam panggang, lele dan ayam goreng menjadi hidangan. Plus, ikan klothok hasil gorengan Cipeng. Sayang, sambal terasi ndak kelihatan. Rapatnya sih hanya satu jam, selebihnya acara makan bersama; mencari berkah silaturahmi.

#
Empat jam yang lalu, angkatan 7 mencetak sejarah. Mereka berhasil menjadi juara turnamen futsal antar angkatan IAW 2003; sebuah event resmi pertama yang diselenggarakan oleh Departemen Olahraga dan Seni IAW, yang rencananya akan diadakan rutin setiap enam bulanan. Dalam laga final, Jerry dkk berhasil mengalahkan angkatan 1 dengan skor telak 15-8. Sebuah partai final ideal. Penampilan angkatan lulusan tahun 2001 itu sangat atraktif. Angkatan1 yang sebelumnya mampu menghentikan langkah angkatan 2 (satu-satunya angkatan yang mengalahkan tim juara di penyisihan) di partai semifinal, dibuat bulan-bulanan. Dan, angkatan 7 memang layak jadi yang terbaik. Tiga gelar mereka rebut; Juara Turnamen Futsal IAW 2003, suporter atraktif, dan kiper terbaik. Sebuah contoh kedinamisan yang membanggakan.Selamat!

#
Seperti layaknya angkatan-7, untuk melangkah dan menatap masa depan nan gemilang, IAW butuh kedinamisan!
Bravo IAW.


Padepokan Tebet, 24/8/03© GJ

#036: Film dan Peran Pemerintah*


Aktris senior, Christine Hakim, pernah mengeluhkan atas minimnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan dunia perfilman nasional, sehingga berjalan stagnan dan tidak bisa berkembang. Padahal, menurut aktris yang pernah dipilih sebagai juri di festival film internasional Channes itu, film merupakan media yang paling efektif untuk menyampaikan informasi tentang situasi dan kondisi suatu negara. Terutama soal sosialisasi budaya dari sebuah bangsa.

Memang benar. Dengan film, kultur dan sikap bangsa kita bisa dikenal oleh mancanegara. Kita lihat saja bagaimana Amerika dengan pandainya memanfaatkan film sebagai alat hegemoni dan propaganda untuk menguasai dunia. Mereka bisa bikin film-film sejarah yang sarat dengan kepalsuan untuk kepentingan mereka sendiri. Seperti: berbagai macam dan ragam film tentang perang Vietnam, film tentang teroris dsb, yang tak ubahnya seperti sebuah"pesanan" dari Pentagon.

Memang benar pula, saat ini bermunculan para sineas muda dengan berbagai model filmnya, seperti Garin Nugroho, Mira Lesmana, Jose Purnomo, Rizal Mantovani dkk. Tapi, itu tidak bisa dikatakan sebagai wujud dari keberhasilan pemerintah dalam mengembangkan perfilman nasional. Melainkan berkat kegigihan dan kreativitas dari mereka sendiri. Dan, mereka juga terlihat panik dan cemas ketika film-filmnya beredar di pasaran lebih awal akibat kasus pembajakan. Misalnya, film "Ada Apa dengan Cinta", "Jailangkung" dsb. Menjadi pertanyaan, adakah peran dan penyelesaian dari pemerintah dalam menangani kasus tersebut?

Yang menarik, adanya penelitian dari Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH), yang menyebutkan bahwa 97,05 % mahasiswi di Yogyakarta kehilangan keperawanannya ketika masih kuliah. Tentu, melihat kasus ini, andil dari film-film impor yang begitu gentayangan bebas di bioskop-bioskop, yang bisa mengakibatkan generasi muda kita menjadi generasi yang bermoral bejat, juga perlu diperhitungkan.

Melihat kondisi yang demikian, jelas peran pemerintah sangat dibutuhkan. Apalagi dunia perfilman dewasa ini sudah cenderung mengarah pada sebuah "dunia industri" yang serba komersil. Bila sudah bersifat sangat komersil, maka pengusaha film biasanya hanya lebih mementingkan laba, sementara moral ---terutama generasi muda bangsa-- urusan belakang. Mereka lebih suka film impor, daripada film nasional.

Idealnya, dunia seniman memang seharusnya tidak perlu dicampuri oleh pemerintah. Tapi problemnya, bila dampak dari dunia perfilman yang hanya mementingkan profit-oriented itu tidak segera dicegah, akan sangat membahayakan bagi kepentingan bangsa ke depan. Yang perlu dirumuskan adalah, bagaimana bentuk dari peran pemerintah tersebut. Karena jangan sampai peran itu justru menjadi bumerang bagi dunia perfilman itu sendiri. Misalnya, kebijakan yang justru otoriter dan cenderung memasung kreativitas para seniman.

Mengenai peran dan posisi pemerintah, ambil contoh yang terjadi di Perancis. Ada tiga kebijakan pemerintah di sana yang dapat membuat dunia perfilman mereka menjadi hidup. Pertama, pemerintah membuat sebuah lembaga yang bertugas mengelola modal bagi pembuatan film. Badan yang bernama CNC itu, mengambil $ 1 dollar dari setiap selembar tiket bioskop yang terjual, yang kemudian dana itu digunakan untuk membuat film-film baru. Dengan dana itu, mereka bisa membuat 80 film tiap tahunnya.

Kedua, pemerintah mewajibkan stasiun televisi mendonorkan 3% dari omzet kepada CNC sebagai kompensasi siaran. Ketiga, melarang semua stasiun televisi Perancis memutar film layar lebar di televisi tiap hari Rabu dan Sabtu, sebab hari itu diharapkan orang menonton film di bioskop.

Dengan mengaca dari bentuk campur tangan pemerintah yang "tegas dan jelas" seperti yang terjadi di Perancis itu, diharapkan film nasional bisa kembali lebih marak. Dan yang paling penting, pemerintah kita bisa "berkampanye" tentang kultur negara-bangsa kita ke dunia luar.

Hanya saja, menjadi pertanyaan penting, apakah fungsi dan peran lembaga seperti CNC itu bisa efektif hidup di Indonesia, sementara para birokrat dan pegawai di sini cenderung bermentalkan penjarah?
Tak ada salahnya untuk dicoba!


*pernah dimuat di sebuah buletin.Mp. Prapatan XVIII, 030802.
(c) Gus John.

#035: Geopolitik


Sungguh menggelikan, ketika anak-anak muda NU, menyandingkan foto Jenderal Ryamizard Ryacudu (KSAD) dengan foto Gajah Mada, di cover depan majalah PATRIA (Pusat Analisa Ketahanan dan Kepatriotan Indonesia) yang mereka bikin.

Lucunya terletak pada dua hal; pertama, Gajah Mada tidak memiliki jiwa pemberontak ataupun pengkhianat terhadap bangsanya, walaupun pengaruh kekuasaannya lebih hebat dari rajanya, Hayam Wuruk. Sedangkan Ryamizard, mengarahkan moncong meriamnya ke arah istana, ketika Gus Dur masih berkuasa. Apakah itu wujud seorang prajurit sapta-marga?

Kedua, Gajah Mada merupakan seorang ahli politik yang ulung dan memiliki visi geopolitik yang hebat sehingga mampu menyatukan gugusan pulau-pulau dalam satu persatuan yang disebut Nusantara. Sementara Ryamizard, hanyalah seorang jenderal lokal yang tidak lebih baik dan reformis dari (almarhum) Letjen Agus Wirahadikusumah, sosok jenderal yang jujur, bersih dan berani. Jadi, menurut saya, sangatlah tidak layak penyandingan kedua gambar tersebut.


Indonesia sebagai Negara Kelautan

Indonesia merupakan negara kepulauan; terdiri dari pulau-pulau dengan dikelilingi oleh lautan yang luas. Terdiri dari sekitar 13.667 pulau, dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan lautnya mencapai 3.257.483 km2 (belum termasuk perairan ZEE). Panjang garis pantainya mencapai 81.497 km2; merupakan garis pantai terpanjang di dunia. Jika ditambah dengan ZEE, maka luas perairan Indonesia sekitar 7,9 juta km2 atau 81% dari luas keseluruhan(P. Ginting dkk, IPS-Geografi, hal.17).

Karena 81 % wilayah teritorial kita itu berupa perairan, maka nama-nama wilayah/etnis/suku di negara kita pun bersifat (mempunyai makna) "air". Sebut saja misalnya, Sunda. Dalam bahasa Jawa kuno, Sunda artinya air. Karena itu, semua nama di daerah Sunda itu umumnya berkaitan dengan air, seperti: Ci-rebon, Ci-macan, Ci-liwung, Ci-amis yang kesemuanya berarti"air".

Jawa juga demikian. Ja artinya "lahir" atau "berkembang", dan wa artinya "air". Orang Kalimantan menyebutkan dirinya orang Galuh. Ga atau Aga artinya "lahir" dan Luh artinya "sungai"; anak yang lahir di sungai. Dan sebagainya. Jadi, semua kehidupan di kepulauan Nusantara ini berkenaan dengan air (Agus Sunyoto, Pitutur No. 1/Juli 2001, hal. 42).

Coba kita dengarkan lagu-lagu etnis yang telah diakui sebagai kebudayaan nasional, seperti lagu "Ngapotek....wa'la jere eta ngale....." dari Madura, yang menceritakan kehidupan para nelayan dengan dunianya. Kemudian lagu, "Nenek moyangku orang pelaut....." dst. Begitupun lagu-lagu daerah yang berasal dari Aceh ataupun Makassar. Hampir semua menceritakan tentang dunia kelautan.

Tema lagu-lagu daerah tersebut intinya tidak jauh dari kehidupan nelayan, soal kelautan-kebaharian-kemaritiman. Karenanya, dulu, negara kita juga pernah dikenal sebagai negara bahari, negara maritim.

Karena kondisi negara kita yang lebih dominan wilayah air, maka seharusnya visi geo-politik yang dipakai juga menitik beratkan pada soal perairan/kelautan. Geopolitik sendiri merupakan studi mengenai negara sebagai organisme geografis. Karena itu ia menekankan pentingnya letak suatu negara dalam menentukan kepentingan nasionalnya.

Sebuah negara daratan, akan mengambil visi yang berbeda dengan negara yang dikelilingi lautan luas. Geopolitik mengedepankan pentingnya perangkat-perangkat politik seperti birokrasi, tentara, dan aparat-aparat penegak hukum seperti imigrasi, polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Teoriti atau wilayah adalah segala-galanya (Pitutur, hal. 23). Dan, wawasan seperti ini yang harus dikuasai oleh para pemimpin kita, bila tidak ingin bangsa ini kerdil di mata dunia.


Perlunya Geopolitik

Untuk menjadi seorang tokoh yang besar, diperlukan pemahaman geopolitik yang benar. Sejak jaman Demak di bawah kepemimpinan Sultan Trenggono hingga Indonesia kini, nyaris tidak ada tokoh bangsa dengan visi geopolitik ke-nusantaraan yang hebat seperti Gajah Mada.

Sebenarnya, jaman Raden Patah (raja pertama Demak), kita mengenal nama Pati Unus (putra pertama Raden Patah) yang dengan berani menyerang Portugis di Malaka. Tapi sejak kekalahan Pati Unus, praktis, visi geopolitik-kenusantaraan kita terkunci pada persoalan darat. Parahnya, itu berlangsung hingga kini. Rezim Gus Dur lebih baik, karena dia bikin Departemen Kelautan, yang kemudian Mega hanya melanjutkan kebijakan tersebut. Tapi kondisi ini belum bisa dianggap maksimal. Harta karun kita di laut (yang berupa ikan, dll) masih dikuasai oleh pihak asing. Sungguh, menyedihkan!


Akibat Visi Geopolitik yang Diabaikan

Itu semua bisa terjadi, akibat dari keteledoran dari visi geopolitik bangsa ini. Dan itu bisa dilihat dengan beberapa bukti dan indikasi, seperti: sering-keluar masuknya kapal-kapal asing ke wilayah perairan Indonesia, seperti yang pernah terjadi pada saat akan lepasnya Timor-Timur. Selama tahun 2002 saja, telah tercatat sekitar 700 kapal asing ilegal yang ditangkap TNI AL. Artinya, itu baru yang tertangkap, lalu bagaimana dengan jumlah kapal asing yang tidak terdeteksi oleh AL kita? Uniknya, pemilikkapal itu walaupun orang asing, tapi awaknya justru dari orang Indonesia sendiri. Dan, pencurian ikan di perairan kita itu dilakukan secara terkoordinir, dan terkadang memiliki ijin lagi.

Kedua, betapa minimnya jumlah dan kualitas armada yang dimiliki oleh TNI AL, sehingga mengejar kapal nelayan Thailand pun tidak mampu. Apalagi mau melawan Australia atau melakukan konfrontasi dengan Singapura?

Ketiga, munculnya kasus pencurian pasir laut oleh kapal asing, dari Batam dibawa ke Singapura yang sudah berlangsung 20 tahun, kata Amien Rais. Keempat, terbatasnya jumlah personel TNI AL yang tidak sebanding dengan luasnya perairan yang kita miliki, dan sebagainya.
Sudah armadanya minim, visi kemaritimannya tidak ada, mental pejabatnya pun rusak, kepastian hukumnya juga lemah.
Alangkah ironisnya Nusantara-ku ini?!


Pancoran, 12 Agustus 2003(c) Gus John
>>tulisan ini, idenya muncul tgl. 26 Des '02.

#034: Cinta Sufistik: Sebuah Rindu Imaginer Ingin Bertemu Kanjeng Nabi


"Ya kiai, bagaimana caranya, aku bisa bertemu dengan junjunganku, Muhammad Rasulullah?" tanyaku dengan penuh kebimbangan. Sang kiai sepuh itu pun terdiam. Tunduk terpekur. Mungkin dia sedang berpikir.

Hari ini aku bimbang, memang bimbang. Bagaimana tidak bimbang, ketika karunia cinta datang membalut jiwaku, tapi tak boleh ada perasaan. Sedikitpun! Ya, bahkan setitik embun pun tidak boleh! Aku harus menahannya. Aku pasrah, bertawakal. Mungkin ini cinta sejatiku.

Karenanya, secara imaginer aku datang ke dalam forum pengajian (alm) Mbah Kiai Maksum, seorang kiai "khos" di Magelang yang telah meninggal hampir seabad yang lalu. Dalam forum pengajian itulah, kucoba untuk tuangkan segala keresahan jiwa ini.

Mendengar kegelisahanku, sang kiai lama termenung. Setelah lama berpikir, sang kiai itupun mengatakan, "Hai, nak, berlakulah yang baik. Beramallah yang banyak. Dekatkanlah dirimu kepada-Nya. Kerjakanlah perintah-Nya, dan jauhilah segala larangan-Nya. Insya Allah, kau akan bisa menjumpai Rasulullah, kekasihmu yang kau maksud itu."

Hanya beberapa kalimat inti dari pesan kiai itu. Tapi rasanya begitu dalam, menyisakan pergulatan pemikiran dalam benakku. Bagaimana aku bisa? Karena aku tidaklah sealim seperti yang orang kira selama ini. Tapi, aku juga bukanlah orang hina seperti yang mereka sangka. Karena alim tidaknya diriku, itu urusan dengan Tuhanku. Bukan dengan orang-perorang atau mereka. Orang dan mereka tak punya hak menilaiku, apakah imanku tertutup ataukah terbuka?

Aku biarkan pergulatan yang berkecamuk dalam rongga dada itu. Kuhentikan lamunanku, ketika sang kiai memandangku dengan tatapan yang dalam. Bercerita kepadaku tentang perjalanan Syekh Yusuf, seorang wali agung dari Gowa, Makassar di pertengahan abad 17, ketika sang wali itu sangat ingin berjumpa dengan Nabi.

Menurut Mbah Maksum, untuk bisa menemui Rasulullah, Syekh Yusuf harus pergi ke Mekkah. Dalam perjalanannya, ia menuai ujian dan cobaan yang maha berat. Kapal yang ia tumpangi terguncang badai dahsyat. Syekh Yusuf pun harus ditenggelamkan ke laut, karena dianggap sebagai pembawa sial atas datangnya badai itu.

Ia juga diuji oleh Nabi Khidzir. Syekh Yusuf harus membiarkan kakinya dijadikan sebagai bantal oleh Nabi Khidizir selama sehari semalam lamanya, hingga Nabi Khidzir mati. Mayat orang tua, yang tak lain jelmaan Nabi Khidzir itu perutnya mulai membesar, berulat dan sangat busuk baunya. Ulatnya sebesar kelingking orang dewasa. Meloncatlah ulat itu ke wajah Yusuf. Ia hanya bisa mengucapkan, "La ilaha illallaah. Muhammadun Rasulullah". Keadaan seperti itu berlangsung tujuh hari lamanya. Syekh Yusuf melakoninya dengan sabar dan tabah.

Syekh Yusuf juga pernah diusir penjaga pintu masjid di Makkah, hanya karena ia makmum yang datangnya terlambat yang berasal bukan dari tanah Arab. Ia pun marah. Dimiringkanlah songkoknya ke kanan. Dan, atas kehendak Allah, miringlah ka'bah. Berita ini yang menggemparkan dunia Arab. Sang Khalifah pun mengutus dutanya untuk menjemput Syekh Yusuf. Atas permintaan khalifah, Syekh Yusuf diminta menjadi khatib Jum'at di masjid Makkah. Nama Yusuf pun makin kesohor ke seantero jazirah Arab.

Suatu hari, Syekh Yusuf berkunjung ke rumah Imam Syafi'i berniat hendak menimba ilmu (berguru). Sampai di sana, berkatalah Imam Syafi'i, "Wahai Yusuf, apa kau kunjungi sehingga datang ke sini?

Berkatalah Syekh Yusuf, "Saya ingin minta berkat dari Tuan."

"Wahai Yusuf, tidak dapat lagi saya kau mintai berkat, sebab sudah ada padamu semua berkat Muhammad. Baiklah engkau pergi ke Imam Maliki," kataImam Syafi'i menyarankan.

Pergilah Syekh Yusuf ke rumah Imam Maliki. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Imam Syafi'i, Imam Maliki lalu menyarankan agar Yusuf bertemu dengan Imam Hanbali. Begitupun Imam Hanbali juga menyarankan agar Yusuf menemui Imam Hanafi.

Sesampai di rumah Imam Hanafi, beliau menyarankan agar Yusuf menemui dan mencari wali yang empat puluh. "Telah 225 tahun meninggalnya," kata ImamHanafi, "dialah yang dapat memberi engkau berkat." Maka mohon dirilah Yusuf. Ia berjalan siang-malam, naik gunung turun gunung. Setelah 47 hari berjalan kaki siang-malam, bertemulah dia dengan wali empat puluh di atas puncakGunung Safa.

Berkatalah wali empat puluh, "Wahai Yusuf, apalah yang dapat saya berikan kepadamu, saya kira semuanya sudah ada padamu. Kalau engkau mau, pergilah kepada guru wali yang bernama Abi Yazidul Bustani. Telah 500 tahun ia meninggalkan dunia ini." Pergilah kemudian Yusuf ke wali itu. Atas rekomendasinya, Yusuf disarankan untuk menemui Syekh Abdul Qadir Jaelani, rajanya para wali.

Bersama raja para wali itulah, Syekh Yusuf mengalami gemblengan laku sufi yang agung. Segala ujian dan cobaan ia lakoni dengan tabah. Kedua matanya pun ia ikhlaskan untuk dicongkel sebagai ganti setitik api yang ingin ia persembahkan pada gurunya, Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Lelaku sufi SyekhYusuf tidak sia-sia. Berkatalah Syekh Abdul Qadir Jaelani, "Wahai Yusuf, saya sampaikan kepadamu bahwa semua wali dan ahli tidak ada lagi yang lebih tinggi daripadamu. Tidak ada juga yang lebih mulia darimu. Engkaulah yang paling dekat pada Rasulullah. Saya sampaikan kepadamu bahwa semua murid saya, semua wali, paling tinggi pencapaiannya kalau duduk (menumpang) di atas kaki saya atau sampai lutut saya. Tetapi engkau Yusuf, engkau duduk dikedua selangkaku mencelapak kepalaku. Namun, barulah sempurna kesufianmu kalau engkau pergi mencari makam Rasulullah."

Pergilah Yusuf mencari makam Nabi. Ketika berhasil menemukannya, ia harus melewati 7 lapisan penjagaan (dari perspektif secara ghaib). Di pintu yangke tujuh, Yusuf tak bisa berkata apa-apa. Ingatannya seperti ter-riset. Tiga hari tiga malam dia terpaku di pintu itu. Dan baru pada hari ke-4, akhirnya ia diperbolehkan masuk ke makam Nabi. Terpekurlah ia di sana. Ia meliha tberbagai macam keanehan. Seekor ular besar menggigit lehernya. Ular itu kemudian hilang, muncullah naga dan menggigit kepalanya. Muncul kemudian lipan besar dan sangat hitam menggigit selangkanya. Lalu muncul kalajengking besar datang menggigit pinggangnya. Tapi Yusuf tak bergeming.

Berkat ketulusan jiwanya itu, maka menyapalah Rasulullah, "Wahai Yusuf, engkau telah datang dari Imam madzhab yang empat, wali yang empat puluh, guru wali, raja wali hingga sampai kepadaku kini. Apalah yang akan saya beritahukan padamu, apa juga yang akan saya ajarkan kepadamu. Saya kira sudah sempurna kesufianmu dan kewalianmu, engkau jugalah yang bernama 'orang yang selamat di dunia dan akherat'. Yang saya sampaikan dan ajarkan kepadamu hanyalah yang dikatakan orang berilmu, kebingungan dan takjub. Saya sendirilah yang menjelaskan kepadamu, wahai Yusuf. Andaikan masih ada yang bernama nabi dijadikan oleh Allah Ta'ala, engkaulah yang dapat dinamai nabi. Tetapi sekali-kali tidak boleh lagi. Maka saya namai engkau, Qutburrabbani walarifinassamdani, dan saya namai juga engkau 'orang yang selamat di dunia dan akherat'. Namun demikian, saya anjurkan juga wahai Yusuf supaya kau pergi mengunjungi Qasmussiri yang sudah 180 tahun meninggalnya."

Pergilah Yusuf menemui Qasmussiri. Lagi-lagi ia harus menuai ujian berat. Iblis menjelma Nabi ingin menyesatkannya. Tapi Yusuf tak bergeming. Hingga sampailah dia di pintu surga, karena sukses melewati semua pintu ujian. Bertemulah lagi ia dengan Nabi. Nabi menyarankan agar Yusuf segera kembali ke dunia. Tapi Yusuf menolaknya. Maka murkalah Nabi. Beliau kemudian memanggil penjaga neraka agar membuka sedikit pintu neraka agar diperlihatkan ke Yusuf. Akhirnya Yusuf insyaf. Ia pun bersedia kembali ke dunia. Berpeganglah dia di jubah Nabi. Dan Nabi mengantarnya hingga ke bumi. Setelah sadar, Yusuf menyadari tubuhnya telah berada di Mekkah.

#
Begitulah, hanya demi ingin bertemu Kanjeng Nabi, Syekh Yusuf harus melewati orang-orang 'alim terlebih dahulu, untuk meminta berkat dan restu. Dan juga menghadapi ujian dan cobaan yang begitu berat.

Cerita Mbah Maksum itupun berhenti. Kembali nurani bergemuruh dalam jiwaku. Menyindir-nyindir prilaku diri. Membuka segala kelemahan, kehinaan, kenaifan, kebobrokan yang ada dalam diriku. "Bagaimana aku bisa berjumpa dengan kekasihku, Muhammad?" gumamku. Hmmm, aku jadi teringat formalitas beragama yang kaku. Basa-basi dalam bertakwa yang palsu. Birokrasi ibadah yang ruwet. Karena mereka terbukti bagaikan mesin-mesin pembunuh, yang bisa datang setiap waktu. Aku takut mereka mencengkeramku. Membuatku tak berdaya, menjadi orang yang kaku. Kering tak berspiritual. Tak memiliki keseimbangan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Menjadi orang yang linier, monolitik dalam berpandangan agama.

Kembali kumenerawang. Aku merasa hina. Tak layak bertemu Kanjeng Nabi. Nuraniku pun mulai mengendur. Harapan ingin berjuma Kanjeng Nabi akhirnya lambat-laun mulai surut.
Duh, Gusti Ingkang Maha Dumadi! Kuserahkan hidup dan matiku dalam kehendak-Mu. Engkau yang punya otoritas mutlak untuk memutuskan, apakah aku beriman ataukah tidak. Bukan orang-perorang atau mereka. Dan hanya Engkau-lah yang punya kuasa, yang punya ijin seseorang untuk bisa ataukah tidak berjumpa dengan Kanjeng Nabinya.

#
Cinta zonder perasaan. Kau minta aku kubur perasaan hingga tiba masanya. Tapi kali ini aku kangen kekasihku, Kanjeng Nabi Muhammad Rasululllah SAW. Apakah harus kubuang perasaanku? Sungguh berat rasanya. Bisakah cinta hidup tanpa perasaaan?
Wallahualam bia ash showab.


© Gus John, 11 Agustus 2003
>>inspirasi penulisan: dari ngobrol dengan Wanus dan NoviPus.
>>Literatur penulisan:* Alwi Shihab, Islam Sufistik, Mizan, 2002
* Djirong Basang, Riwayat Syekh Yusuf dan Kisah I Makkutaknang DenganMannuntungi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1981
* Sebuah film Arab di SCTV, 2001

Sunday, October 15, 2006

#033: Memuliakan Tamu


Padepokan Tebet, 4 Agustus, 22:30,
Senin malam ini tidak seperti biasa. Padepokan Tebet sore hari sudah berpersonel komplet. Wanus pulang duluan. Begitu sampai di padepokan, dia memilih tidur lesehan di balai bambu di depan kamarnya. Mungkin dia stress, komputer kantornya rusak.

Kemudian tak lama berselang, aku pulang, setelah menemani teman berbuka puasa di Kalibata. Lalu menyusul Patrang sambil membawa nasi. Lalu Cipeng dan WW.

Kita sudah berkumpul lengkap sebelum jam 20:00.Berhubung stok ikan asin bawaan Cipeng dari Surabaya minggu kemarin masih banyak, kita mengadakan acara memasak bersama, seperti beberapa minggu yang lalu. Tak lupa, bikin sambal trasi. Itu tugas Patrang.

Sepuluh menit kemudian, semua makanan sudah siap sedia. Sambil makan, kita bercerita banyak hal. Disamping membahas soal PT "Wikusama" yang akan berdiri dalam minggu ini (ctt: sudah berdiri hari Selasa kemarin [5/8/03],pen), hal lain yang kita bicarakan adalah, bagaimana seyogyanya bila ada tamu, kita memperlakukan tamu itu dengan baik.

Aku tertarik dengan tema ini. Aku jadi teringat. Dulu, ketika usiaku masih belia (belum sekolah), pada suatu malam, kubermimpi ada sebuah "kekuatan" yang mencoba memisahkan diriku dengan bunda. Dan benar. Besoknya, sepulang bunda dari sawah, ia membawa seorang perempuan. Perempuan bawaan bunda itu tampangnya kumal, lusuh, ada sebersit kelelahan di raut mukanya.

Perempuan itu begitu dekat -sengaja mendekatkan diri dengan bersikap manja- dengan bunda, ketika tetangga sekitar mengerubunginya, menjadikan aku iri, seolah-olah ia merampas bunda dariku. Aku menangis sejadi-jadinya. Karena bunda lebih merawat perempuan itu daripada diriku.

"Tenanglah, nak. Bunda masih milikmu. Bunda hanya ingin merawat si mbak yang tersesat ini," jawab bunda mencoba menenangkanku.Tapi jawaban bunda itu belum juga memuaskanku. Aku masih terisak-isak di sela-sela kerumunan orang banyak yang menonton perempuan itu. Rumahku pun sore itu menjadi ramai.

Berita bahwa bunda membawa perempuan lusuh, tersebar ke seantero kampung. Pak RT dan pak RW sampai datang. Setelah melalui proses interogasi yang berbelit-belit, akhirnya diketahui, bahwa si perempuan itu adalah seorang pekerja seks komersial. Wanita sundal, meminjam istilah novelis Pramoedya Ananta Tour dalam kumpulan cerpennya, "Cerita Dari Blora".

Proses penemuan wanita sundal itu memang unik. Ceritanya begini: bunda menemukan wanita itu ketika hari masih pagi. Perempuan itu tergeletak, masih tertidur terlelap dengan selembar koran di atas tanah ladang kepunyaan bapak. Bunda kemudian membangunkannya. Lalu menanyainya. Perempuan itu mengaku sebagai pembantu yang diusir oleh majikannya di desa sebelah. Karena merasa iba, maka bunda mengajak perempuan itu pulang.

Tapi berbeda dengan pengakuan perempuan itu ketika diinterogasi Pak RT. Ia bilang, malam kejadian itu ketika dia beroperasi mencari mangsa (laki-laki buaya), ada operasi pembersihan dari aparat kecamatan dibantu kepolisian. Merasa dirinya terancam, dia dan teman-temannya kabur sekencang-kencangnya. Berpencar mencari selamat masing-masing, hingga sampailah ia terduduk lunglai hingga kemudian tertidur di sawah-ladang punya bapak. Mungkin karena kelelahan yang teramat sangat, menyebabkan dia bangun kesiangan. Dan, akhirnya bunda memergoki di esok pagi harinya.

Setelah proses interogasi dari orang-orang kampung usai. Bunda menyuruhnya mandi. Lalu diberikan juga kepadanya dua potong pakaian milik bunda. Sebelum pamitan untuk pulang ke tempat asalnya, bunda juga memberinya sedikit uang saku untuk bekal perjalanannya.

Akibat kejadian itu, keluargaku semakin dihina. Dicemooh, dicaci-maki oleh hampir seluruh penduduk kampung. "Orang sundal kok dibawa pulang!" diantara umpatan mereka. Kubertanya pada bunda, "Kenapa orang-orang kampung mencemooh kita, bu?"

"Biarkan saja, nak, kita menolong orang jangan melihat pekerjaannya, tapi lihatlah apakah pada saat itu dia memerlukan pertolongan kita ataukah tidak," bunda menjelaskan. Pikiran beliaku mencoba-coba memahami perkataan bunda, yang kala itu masih berat bagiku. Bunda kemudian menambahkan, "Kita harus melayani setiap orang yang datang ke rumah kita dengan baik."

Ajaran bunda itu masih terngiang-ngiang hingga kini. Aku juga masih ingat betul, ketika suatu hari di bulan puasa --ketika usiaku waktu itu juga masih belia. Ada seorang tua-renta penjual kipas tangan dari anyaman bambu, dan peralatan rumah tangga lainnya, seperti ember, timba dsb. Rambutnya yang putih tertutup oleh peci hitam. Kulitnya keriput, badannya bungkuk. Seumur dia sudah sepantasnya tak layak untuk berjualan barang-barang yang lumayan berat, dipikul di pundaknya.

"Ya, inilah yang bisa saya lakukan, Pak, untuk menyambung hidup saya," katanya kepada bapak. Dia menjual barang dagangannya di pelataran depan rumah pas adzan Maghrib tiba.

"Pak tua, silahkan masuk sini, Pak," pinta bapak.

"Mari sini, pak, buka puasa bersama kami," timpal bunda.

"Nggih, sampun, matur suwun," jawab pak tua itu parau, menolak dengan halus tawaran bapak dan bunda.

"Ndak papa, masuk aja, pak," desak bunda. Akhirnya pak tua itupun masuk ke rumah.

"Nyuwun sewu...," katanya.

"Nggih, monggo-monggo. Mriki, pak. Makanan kathah kok?!" jawab bunda. Nasi, ikan asin, sambil terasi, sayur lodeh, telah menyambut kita yang ingin berbuka. Kitapun akhirnya buka puasa bersama, diselingi percakapan antara bapak dan bunda dengan pak tua. Aku mendengarkan percakapan mereka dengan seksama.

Paktua pun bercerita. Dia berasal dari Sekaran, daerah pedalaman yang jaraknya kurang-lebih 25 km ke arah utara dari kampungku. Tiap hari, dia berjalan berpuluh-puluh kilometer jauhnya, hanya demi menjajakan barang dagangannya. Sebenarnya, anak-anaknya sudah hidup cukup dan rata-rata berhasil. Dan mereka juga melarang bila ia terus berdagang. Tapi ia tetap ngotot ingin terus berdagang. Dalam ingatanku, pak tua itu bilang, "Saya ingin terus dagang. Saya senang bila saya bisa makan hasil dari keringat saya sendiri".

Selesai buka puasa, kita sholat Maghrib. Pak tua juga ikut numpang sholat. Selesai sholat, pak tua pun pamitan untuk pulang. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana rasanya berjalan 25 km di hari yang mulai petang. Hm....spiritual...spiritual...!


#
Aku juga masih ingat betul. Ketika kakakku masih jadi guru sukuan (belum tetap) di sebuah SMPN yang jaraknya 4 km dari rumah. Bila waktu istirahat atau liburan, kakak sering mengajak teman-temannya untuk sekedar makan dan tidur di rumah. Maklum, "Umar Bakrie-Umar Bakrie" muda itu masih berstatus nge-kos. Mereka baru diangkat sebagai guru tambahan di sekolah itu. Jadi wajar, bila suasananya ceria (ctt: jadi ingat waktu ngekos di Malang nih...:-). Ada yang berasal dari Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, dsb. Sangat akrab!

Begitupun ketika aku masih SD. Bila sehabis olahraga, sering aku mengajak teman pulang hanya untuk sekedar makan. Hampir setiap minggu. Anehnya, bunda tidak pernah marah, walaupun kita berasal dari keluarga pas-pasan. Ketika aku bertanya, "Apakah ibu keberatan bila teman-teman aku ajak makan di sini,bu?"

Bunda menjawab, "Tidak anakku. Ndak papa." Bunda tipe wanita yang sabar.
"Carilah barokah dari setiap tamu, anakku."kata bunda waktu itu yang masih kuingat hingga kini.

#
Keluargaku bukanlah tipe keluarga yang religius amat, tapi soal memuliakan tamu, aku tak pernah meragukannya. Aku jadi teringat juga dengan layanan yang sama, yang diberikan oleh keluarganya NoviPus di Tuban -dengan rajungan, plus sambalnya yang begitu menggoda. Lalu di rumah mBahnya Cipeng di Lawang -dengan sajian sotonya. Dan keluarganya Huda di Kepanjen -dengan pecel lelenya. Jika aku pahami, semuanya memiliki spirit yang sama; memuliakan tamu! Sesuai dengan sabda Kanjeng Nabi SAW, yang tertuang dalam hadis no.1966 dan 1967, "Terjemah Hadis Sahih Muslim Jilid I-IV", karya Syekh H.Abdul Syukur Rahimy, Cet: Widjaya, 1996. Dan juga dalam firman Allah yang menyatakan: "Dan mereka lebih mementingkan tamu dari diri mereka sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan......" (al-Hasyar-59:9).

Hm........lamunanku kemudian melayang pada kejadian di suatu sore menjelang malam. Jika nash saja sudah menyatakan dengan begitu tegas dan jelas perihal memuliakan tamu, masihkah kita menelantarkan tamu -apalagi itu teman sendiri? Biarkanlah nurani kita untuk menjawabnya.


>>Pancoran, 7 Agustus '03© Gus John.

#032: Duh, Gusti....?!


Padepokan Tebet, dini hari, 2:25
Kuterbangun! Dua jam yang lalu, tampaknya aku terlelap dalam balutan kelelahan. Benar-benar lelah. Dan ketika kini terbangun, masih kupikirkan, "Kenapa aku bisa lelah?"Aku tak punya kuasa untuk menjawab, atau bahkan menjelaskannya. Sedih. Kumenangis: ekspresi pasivisme, suatu bentuk penyerahan diriku secara total kepada-Nya.
"Karena ini sudah bukan lagi kehendakku," batinku merintih. Sedih..........


#
Tiga jam sebelumnya. Awan relatif pekat, tapi tak berarak. Bulan dengan setengah wajah begitu angkuh mempermainkan sinarnya, mengiringi setiap perjalananku malam ini. Dengan penuh muram, ia berikan sinarnya. Ke setiap sudut gedung-gedung yang menjulang tinggi, yang berada di kiri-kanan di sepanjang jalan yang kulalui. Tapi, malam ini ia tak menunjukkan wajah yang berseri seperti biasanya, yang sering ia tunjukkan kepadaku, yang kemudian kusambut dengan ritual bulanan ataupun tulisan --yang berseri pula.

Kumelihat ada balutan duka di wajahnya. Mungkin, dia ikut mengucapkan rasa belasungkawa, karena Jakarta luluh lantak siang hari tadi. Di mana persoalan-persoalan politik sudah menjadi panglima atas semuanya. Ketika rasa kemanusiaan sudah tak ada harga dan nilainya lagi.

Ataukah, dia juga bisa memahami perasaan dukaku malam ini? Aku tak tahu. Aku hanya mampu mengendarai bebek besiku, 80-110km/jam tanpa arah! Ya, tanpa arah! Mencari makan, karena aku lapar.

Beberapa saat kemudian muncul nurani, membuka konflik batin. Ia membisikiku, "Aku sudah mengingatkanmu, kau tak perlu keluar rumah, tapi kau masih jalan juga!"

"Karena aku sudah terikat janji," kilahku. "Janji adalah cermin karakter diri," sambungku kemudian.

"Iya, tapi bukankah hasil yang kau dapat malam ini sesuai dengan yang aku tunjukkan kepadamu sebelumnya?"

"Ya, aku mempercayaimu."

"Bukahkah Gusti Ingkang Maha Dumadi telah menidurkanmu sebagai peringatan aku tak menghendaki setiap langkahmu malam ini?"

Aku terdiam, karena bagaimanapun kumenangkis dengan jawaban, nurani itu terus memburuku dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu menyudutkanku. Dan, kali ini aku tak bisa berdebat dengannya. Yang pasti, lagi-lagi, firasat dan nurani itu telah terbukti mengalahkan janji. Mengalahkan debat denganku malam ini. Haruskah kukorbankan janji? Ini yang membuatku bersedih. Karena tidak semua orang akan bisa memahaminya. Tidak juga dengan diriku yang naif ini.

Dan, di sepertiga akhir malam ini, aku hanya bisa mengadu kepada-Nya. Hanya itu yang bisa kulakukan. Karena terbukti, aku tak berdaya melawan "kekuatan"yang lebih perkasa dariku. Yang datang dengan begitu tiba-tiba, dan membuatku tak berkutik. Yang membuatku seolah-olah lumpuh, tak mampu mengontrol sikap dan kearifan. Aku naif, benar-benar naif! Aku hina, begitu hina!

Duh, Gusti... Kupercaya, Engkau dekat dengan hamba, sehingga dengan mautpun kadang hamba sahaya tak pernah takut. Kupercaya, Engkau dekat sedekat ada dalam setiap tarikan nafasku.

Duh, Gusti... Jika memang hamba sudah tidak lagi berguna di hadapan-Mu, kenapa Kau biarkan hamba masih menanggung beban dunia ini?

Aku benar-benar tak kuasa. Malam ini hanya bisa bermurung duka. Sungguh, sahaya hanyalah manusia biasa, yang hina di hadapan-Mu.

Istirahatkanlah hamba, Gusti.... istirahatkanlah....
Karena aku benar-benar lelah......


(c) by GJ.

#031: Apakah Tuhan Butuh Birokrasi?


Padepokan Tebet di waktu subuh, 29 Juli 2003;
"Ashsholaatu khairum minaan nauum..........." 2x. Hawa dingin menyelimuti padepokan. Embun mulai mengintip, ingin sesegera mungkin singgah di atas dedaunan. Angin masih suci-bersih. Tanpa polusi udara, ataupun karena polah-tingkah manusia, di dalam dan atau sekitar padepokan.

Adzan sebagai pertanda panggilan sholat, berkumandang bersahut-sahutan. Dari satu masjid, ke masjid yang lain. Entah, masjid itu berada di sebelah mana. Aku sendiri belum pernah menyentuhnya. Tapi suaranya begitu dekat di telinga. Sangat jelas. Begitu jelas, seolah-olah mengepung padepokan, tempat untuk meleburkan segala gagasan bagi masa depan Wikusama.

Aku dengar. Terus mendengar, dan hanya mendengar. Tak bisa berbuat apa-apa. Adzan itu bagaikan hanya sebuah lagu. Kunikmati, setelah itu anggap saja pergi. Mungkin sekawanan setan telah menjeratku, memperdayaku, membuatku selalu terlena, terlelap oleh belaian malam dan dinginnya pagi. Seperti yang diceritakan oleh khatib-khatib kampung di mimbar dakwah ketika aku masih berusia belia, "Setan menebarkan selimut ketika waktu subuh, sehingga membuatmu selalu terlelap, dan mereka juga menyebarkan tepung-tepung untuk memejamkan matamu ketika khatib berceramah di sholat Jum'at".

Aku jadi kembali teringat pesan khatib yang pernah mondok di Jombang itu. Tapi pagi itu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Setan begitu kuat telah mencengkeramku. Menyelimuti sekujur tubuhku. Mengunci mataku rapat-rapat. Mungkin, imanku berada dalam posisi yang terendah.


***
Subuh di sebuah hari, tahun 2001. Suara adzan seorang tua terdengar begitu lantang dari sebuah masjid utama di Cililitan. Letak masjid itu persis di pinggir Sungai Ciliwung; sungai terbesar yang membelah ibukota negara. Sungai yang setiap tahunnya mengirimkan air bah, dan tiap siklus lima tahunannya, membenamkan Jakarta dalam segala ketergenangan dan kekotorannya.

Masjid itu besar, seperti telah berusia tua jika dilihat dari arsitektur bangunannya. Aku seperti pernah mengenalnya dalam gambar sebuah buku, yang entah apa judulnya; aku sendiri lupa.

Suara adzan orang tua itu terdengar parau. Membuatku terbangun, lalu bergegas menuju masjid. Aku sampai di masjid, sebelum pak tua menyelesaikan tugasnya. Begitu adzan usai, hampir mayoritas jama'ah mengerjakan sholat qabliyah subuh. Aku tak sholat qabliyah, walaupun tahu akan keutamaannya-karena pertikaian batin yang sedang berkecamuk.

Jama'ah sholat subuh masjid tua di pinggir Kali Ciliwung itu kemudian melantunkan sholawatan -syair yang sarat dengan puji-pujian kepada Tuhan dan Nabi-Nya. Lama, hampir sekitar 20-30 menit. Aku seperti berada dalam lorong-lorong kebosanan. Menunggu! Hal yang paling membosankan. Dan, sholat subuh itu baru ditegakkan ketika sang imam datang. Menunggu sang imam!

Muncul berbagai macam "pertikaian batin" susulan dalam benakku. Kenapa pelaksanaan sholat harus menunggu begitu lama? Bukankah lebih utama mensegerakan sholat, karena itu yang lebih utama --asal sudah masuk waktunya? Haruskah waktu utama sholat dikorbankan hanya karena sang imam belum datang? Berlama-lama menunggu imam, seperti ada birokrasi di sana.

"Apakah Tuhan membutuhkannya (birokrasi)?" pertanyaan terakhir yang menutup pertikaian batinku.


***
Ramadlan tahun lalu; Nopember 2002. Keluyuran selama ramadhlan, silaturahmi dari satu masjid ke masjid, dari satu pesantren ke pesantren adalah hal yang menyenangkan. Aku hanya belajar memahami setiap proses itu. Kuberjalan berpuluh-puluh kilo meter. Naik dari satu angkot ke angkot yang lain. Sesekali naik ojek. Hanya bermodalkan sandal jepit, kaos oblong, sarung, dan bekal makanan bikinan Bunda, dan sedikit uang yang cukup untuk selama perjalanan.

Dari Gresik ke Surabaya. Dari Lamongan ke Paciran, menelusuri sepanjang jalur pantura. Dari Pringgabaya, Sendang Dhuwur, Drajat, Tanjung Kodok, Palang, menuju alun-alun kota Tuban. Kemudian mampir ke --orang-orang sering menyebutnya- Boom (konon, eks pelabuhan Tuban era Majapahit -karena aku cinta peradaban Tuban). Dan bila sudah puas menyapa ombak Laut Jawa, menantang terpaan angin pantai, menggoda bayi-bayi kepiting, lalu baliklah pulang membawa beberapa botol dan jirigen berisi penuh legen -air dari buah aren.

Dalam sebuah perjalanan itu. Jalanan Pantura begitu lengang. Sunyi sepi. Masih gelap gulita. Kulihat jam masih menunjuk di angka 2:00 -dini hari. Aku keluar dari sebuah komplek pesantren. Kusisir setiap jalan beraspal, menuju ke arah barat. Berjalan dan terus berjalan, sambil mencari warung untuk makan sahur.

Hanya satu-dua mobil truk berukuran sedang, memanfaatkan jalan yang menghubungkan pantai Gresik-Lamongan-Tuban itu. Di tengah perjalanan, kadang kujumpai sekawanan anak muda kampung membunyikan musik-musik dari alat-alat seadanya, membangunkan orang untuk makan sahur. Ember, gelas, timba plastik, galon aqua, gitar, dan ada yang bawa bedug. Mereka tabuh dan bunyikan semua. Ritmenya sangat teratur. Mereka menyanyikan sholawat. Dan, aku hanya bisa mengikuti alunan musik mereka.

"Sahur....sahur....sahur," teriak mereka berulang-ulang, disesuaikan dengan ritme musik yang mereka mainkan. Mencoba membangunkan setiap orang yang rumahnya mereka lewati.

Angin laut menerpa kencang. Dari laut menuju ke darat. Suara deru ombak begitu jelas terdengar menyapa hingga telinga. Cahaya-cahaya kecil yang temaram, terlihat di tengah-tengah laut, terombang-ambing di atas ombak. Mereka adalah nelayan dengan perahunya. Angin itu menerpa setiap pepohonan yang berjejer di tepi pantai. Membuat mereka bergoyang, hingga sampai ke jalan Pantura yang kulewati. Sesekali kutemui jembatan, dan di dekatnya beberapa perahu nelayan yang tidak digunakan. Tertambat di muara, pertemuan antara sungai dan Laut Jawa.

Kujumpai pula makam di sepanjang jalan itu, dari satu kampung ke makam kampung yang lain. Kadang berada di kiri. Ada pula yang di kanan jalan. Bulu kuduk berdiri. Muncul ketakutan, tapi kemudian aku ingat, bahwa kelak akupun akan seperti mereka. Tidur di dalam tanah untuk selamanya. "Kenapa harus takut?", gumamku. Akhirnya, aku hanya bisa menyapa mereka.

Jam menunjuk 03:00. Akhirnya kutemukan juga sebuah warung. Warung itu menghadap ke utara, menantang angin laut. Kucari posisi duduk yang tepat, agar aku bisa makan sahur sambil menikmati ombak yang sedang mempermainkan, menggoyang-goyang perahu para nelayan yang mulai menepi.

Setelah sahur usai, kembali kuberjalan. Terus ke barat menuju arah Tuban. Hingga subuh itu tiba. Sampailah aku di sebuah masjid, tepatnya di Paciran.

Adzan berkumandang. Jama'ah berdatangan. Kesempatan menemukan masjid itu tidak kusia-siakan. Kubersihkan tubuhku. Kuniatkan bersih dari segala kotoran duniawi. Begitupun kotoran yang ada di batin ini. Begitu usai adzan, iqamat dilakukan, lalu sholatlah. Tak ada sholawat--apalagi yang berlama-lama-- seperti yang aku temukan di masjid pinggir Kali Ciliwung.

Proses sholat subuh di masjid pinggir pantai Laut Jawa itu berlangsung begitu cepat dan tepat waktu, sehingga aku tak sempat untuk ikut berjama'ah, karena aku masih sibuk membersihkan tubuhku.

Masjid itu pun kembali senyap. Setelah usai melaksanakan sholat, kembali kuberjalan. Menuju ke barat ke arah Tuban. Kendaraan mulai banyak yang berlalu-lalang. Kali ini, tidak hanya truk sedang, tapi angkutan umum (koltdiesel) pun mulai ikut meramaikan lalu-lintas jalan. Wanita-wanita nelayan sibuk dengan membawa ikan hasil tangkapan suaminya. Mereka menuju ke pasar.

Memandang orang-orang kampung itu, memberiku ketentraman batiniah yang luar biasa. Dalam benakku, mereka sangatlah beruntung, orang kampung yang hidup di kampung, tidak mengenal Jakarta dengan segala gemerlap dan kemaksiatannya seperti halnya diriku. Beruntunglah mereka!

Jalan Pantura itupun kemudian menjadi ramai, dan semakin ramai di siangharinya.


***
Dari pengalaman sholat subuh di Cililitan ataupun di Paciran, ada yang membedakan dari keduanya. Baik dari segi tata cara ataupun dampaknya. Tapi aku tak kan menarik persoalan ini menjadi persoalan aliran dalam Islam, karena polemik semacam itu tidak dengan serta-merta menyelesaikan persoalan. Yang ada justru hanyalah menyisakan kedongkolan dan sifat ke-egoan dalam berubudiyah.

Di sini, aku hanya memposisikan diriku yang hanya bisa memprotes bila ada semacam kejanggalan dalam setiap ibadah yang kulakukan. Bagaimanapun, aku tetap berpegang bahwa Nabi SAW sendiri memakruhkan bila umatnya melambatkan sholat dari waktunya (Syekh H. Abdul Syukur Rahimy, Terjemah Hadis Shahih Muslim I-IV No. 604-606, cet. Widjaya, 1996).

Dampaknya. Dari sisi soal adzan, kehadiran jama'ah, dan proses sholat yang begitu cepat (tanpa harus menunggu sang imam berlama-lama), sebenarnya tersimpan nilai kedisiplinan, konsistensi, komitmen, etos kerja. Itulah kenapa orang pesisir cenderung memiliki etos kerja yang tinggi bila dibandingkan dengan orang yang berasal dari pedalaman, yang lebih bersifat paternalistik dan pemalas.

Budaya pesisir menyebabkan mereka menjadi orang yang menjunjung tinggi egaliterianisme -meminjam istilah Clifford Geertz. Dan bagaimanapun, kultur di suatu tempat/lingkungan akan mempengaruhi adanya perubahan (mental) di lingkungan itu pula.

Jadi, jangan samakan dengan ketemu Pak Lurah, Camat, Bupati ataupun atasan yang butuh menunggu berlama-lama karena ada birokrasi di sana. Karena--menurutku- sesungguhnya Tuhan tak butuh birokrasi. Yang dibutuhkan hanyalah etika bila kita menghadap-Nya. Wallaahu'alam bi ash ashowab.

Pancoran, 29 Juli '03.© by GJ.

#030: Matari Tidaklah Seangkuh Kita


Matari itu lambat-laun mulai meninggi
Tiga jam yang lalu, ia masih mengintip di balik ufuk
kemudian perlahan-lahan melewati kakinya
menyapa embun memberi kehangatan angin pagi
membuat riang sekawanan burung yang terbang dari satu ranting, ke ranting pohon yang lain.

Kini, ia telah begitu perkasa memberikan segala sinarnya ke bumi
membuat merah-kuning-putih segala benda
memberikan cahaya ke alam semesta dengan penuh kelembutan

Ia perkasa, tapi tidak jumawah seperti layaknya sifat manusia bila bertahta dengan menindas semua benda yang ada di bawah
Ia perkasa, tapi tak terjebak dengan strata seperti layaknya manusia bila berkuasa
membuat jarak di sekelilingnya
Ia telah menyindir, bahkan menampar kita
Ataukah kita yang memang terlalu dungu untuk bisa memahaminya?!


Padepokan Tebet di pagi hari, 240703(c) by Gus John.

#029: Lupakanlah Aku, Laila


SAMPAILAH Laila di Jakarta. Kemarin pagi, burung besi yang ditumpanginya telah mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Begitu turun dari tangga pesawat, ia hanya mampu menundukkan wajahnya dengan muka yang masam. Penuh dengan kelelahan. Ia tidak sempatkan mampir ke toilet, atau sekedar hanya mencari makanan ringan. Ia tampak begitu lelah. Begitu barang-barangnya dirasa sudah komplit, tanpa banyak sikap-kata, ia langsung meluncur ke rumahnya, di sebuah bilangan komplek elite di wilayah Jakarta Barat.

#
KAWASAN perumahan itu begitu asri. Rumah-rumah berderet dengan rapi, dipisahkan oleh blok-blok huruf, yang menjadi ciri khas background politik si penghuni. Pepohonan menghijau, mengelilingi lokasi komplek. Juga di depan tiap rumah.

Rumah itu besar, tapi sering kosong. Maklum, rumah dinas kaum elite di negeri ini. Sepi. Penghuni rumah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Begitu sampai di rumah, hanya mbak Yem, sang pembantu rumah dinas itu, yang menemuinya.

"Ibu kemana, mbak?" tanya Laila dengan cuek sambil lalu.

"Lagi ada rapat, Jeng," jawab mbak Yem. Laila tidak melanjutkan lagi pertanyaannya. Ia tinggalkan mbak Yem yang masih melongo dengan segala keheranannya.

"Apa yang terjadi dengan Jeng Laila?" gumam mbak Yem.

Laila langsung menuju kamarnya. Ia rebahkan badannya di kasur. Di ruangan yang cukup sempit itu --bila dibandingkan dengan rumahnya yang megah, ia ingat-ingat kembali kejadian di New York. Ia tampak gelisah. Ia raih bantal. Lalu membenamkan wajahnya dalam-dalam ke pelukan bantal. Tak terasa, airmata itu pun menetes. Membasahi pipi, meluber ke sprei dan sarung bantal. Hanya diam, dan diam. Sesepi rumahnya pagi itu. Tanpa kata. Hanya itu yang bisa dilakukan Laila pagi itu. Ia lewati siklus pagi hingga menjelang malam di hari itu hanya dengan bertiduran saja.

#
Perjalanan New York-Jakarta itu terasa begitu lama baginya. Mungkin bukan karena jarak --karena ia sudah biasa, tapi perasaan yang menjadi penyebabnya. Ya, Laila sedang dirundung kecewa. Sihar, sang pujaan hati, tidak jadi menemuinya. Padahal, dia sudah janji akan menemui Laila, di sebuah apartemen di ibukota negara yang congkak itu. Ia benar-benar telah patah hati. Ia merasa, kerinduannya telah dikhianati oleh Sihar. Dan kini, kerinduan itu akhirnya telah berubah jadi benci.

Mungkin karena lelah fisik dan pikiran itulah --karena merasa dikecewakan oleh kekasih gelapnya, ia mencoba menghubungiku tadi malam, ketika aku masih di kantor menyelesaikan tugas akhirku.

"Apa kbar?" ia buka obrolan malam itu. "Sdh brapa lama kt putus?" tulisnya dalam sebuah 'short message service' (sms) begitu singkat kepadaku.

Aku merenung sejenak. "Ada apa dengan Laila?" pikirku. Sudah beberapa bulan ini kita tak berkomunikasi. Kenapa ia masih menghubungiku juga malam ini?

Karena aku tak ingin membuatnya lebih terluka, kuberanikan diri untukmembalas sms-nya:
"Kbar sy baik.Smoga bgitu dg Anda. Aku ndak tahu, sdh brapa lm kt pts?" Yang pasti, aku tak pernah lagi mengingatnya. Yang kutahu, waktu itu Laila lebih mencintai Sihar, bukan aku. Karena kesetiaan adalah harga mati bagiku, maka aku putuskan dia saat itu juga. Tapi kenapa dia kembali menghubungiku, malam ini? Itulah yang menjadi pikiranku saat ini.

Dengan cepat, Laila pun membalas, "Dg kt putus ktk itu, mgkin ada hikmahnya. Sy lsgng ambil kuliah lg di jrsn antropologi (humaniora)". Sempat kubaca, tapi tak kubalas, karena aku sudah siap-siap berkemas untuk pulang.

Begitu sampai di rumah, baru sms-nya kubaca kembali. Belum sempat kubalas, ia kirim lagi, "Bagaimana dg kuliahmu?Ma'af,ini pulsa terakhir." Sambil mengambil handuk di lemari, sms itu langsung saja kubalas, "Syukurlah.Lbh baik bgitu.Dr dl km sll bgt. Bl pulsa hbs,trs menhbgiku". Percakapan singkat vis sms itu pun berhenti, seiring dengan habisnya pulsa handphone Laila. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya kemudian.


#
AKU tak terlalu menghiraukan nasib Laila. Aku hanya kasihan kepadanya, melihat dia telah dilupakan oleh Sihar, kekasih gelapnya. Bagiku, Laila adalah masa lalu. Yang pernah singgah, kemudian pergi meninggalkanku. Sebuah bagian dari siklus hidup, proses yang panjang dan berliku, dalam pencarian cinta sejati yang hakiki --yang mendapatkan ridhla-Nya.

Harta Laila bukanlah segala-galanya, karena aku tidak begitu kemarug dengan harta dan apapun yang serba fana. Kesetiaan adalah jawabannya. Karena kesetiaan itu, ketika rasa nurani keluar dari diri seseorang. Ia adalah harga mati. Dan aku hanya ingin mencintai--sekaligus menikahi-- wanita utama; yang benar-benar menjunjung tinggi hakekat dan makna dari satu kata; setia. Dalam filsafat Mahabarata disebutkan, wanita utama adalah wanita yang tetap menjaga akan cinta sejatinya.
Simpanlah cintamu......Lalu ma'afkan, dan lupakanlah aku, Laila.....


Taman Rasuna, 23-07-03(c) by GJ

#028: Tebet Under Cover [1]


Minggu di Padepokan Tebet, 20-07-03.

#1:
"Ndang moleo, rek. Iki Patrang lagi nggoreng terong. WW lagi ndadar telor," suara Cipeng ketika menelponku, sewaktu aku sedang ada acara sosial di Cililitan.

Hari masih pagi. Jam di hp-ku masih menunjuk ke angka 10. "Loh, lah ono' opo, kok aku sampek dikon moleh barang?" rasa penasaranku mulai menguap.

"Kita makan pagi bersama. Iki yo nggawe sambel trasi barang kok," Cipeng menambahi. "Wis ndang cepet mrene!".

"Mm, kaya'nya enak nih?!," gumamku. Aku pun cepat-cepat pulang. Kutinggalkan sebentar urusan sosial, karena kaum fakir-miskin yang aku undang pagi itu, belum juga datang. Akhirnya kuputuskan, aku harus ikut makan pagi bersama dengan teman-temanku. Kupikir, kebersamaan adalah segala-galanya. Kuajak salah seorang temanku dari Cililitan untuk menemaniku. Dengan maksud, jika aku balik ke Cililitan, biar ada temannya.

Dengan bebek besiku, kita meluncur menuju Padepokan. Dengan kecepatan 80-100km/jam, aku teruskan jalanku. Sesampai di POM bensin Jl. Raya Pasar Minggu--dekat patung Pancoran, celana jeansku bergetar. Tentu ada yang menelponku. Kulambatkan bebek besiku sambil menepi. Kurogoh kantong, kuambil hp, kulihat display. Cipeng lagi...Cipeng lagi....Kubiarkan saja. Takcuekin. Sebegitu kangennya dia ke aku? :-) Sampai kurasa tiga kali jeansku bergetar. Tetap aku cuekin.

#2:
Dari Cililitan ke Padepokan, mungkin hanya 10-15 menit. Sesampai di rumah, kulihat, makanan sudah siap saji di atas meja --satu hal yang begitu aku suka, karena tidak harus melewati proses ikut memasak alias tinggal makan:-). Ada gorengan tempe setengah kering. Pindang dikasih tepung telur. Gorengan terong, telur dadar. Plus, sambal terasi kesukaanku. Menyenangkan!

Hebat betul. Salut buat Patrang! Apa pernah belajar jadi juru masak, Gus? Cipeng juga pinter masak. Bagianku barangkali cuman cuci piring, sendok, garpu, dan tempat penggorengan.
Cipeng berlari-lari membeli nasi ke warung Bu Haris --warung yang dulu pernah membuat Cipeng dan Wanus keracunan sehabis rapat IAW --membahas pendirian "PT Wikusama", kacihan de lu...:-).

Kasihan deh, Cipeng. Tadi dia nelpon aku tentu pengin nitip nasi, tapi aku dalam perjalanan, sehingga tidak sempat membelikan titipannya. Setelah Cipeng tiba dengan enam bungkus nasi dan es teh manis, kita pun mulai makan bersama. Hm, mengesankan! Sayang, tidak ada ikan asin, ikan favoritku. Hari itu, Padepokan tanpa Wanus karena dia masih di Tangerang; acara keluarga. Kita akhirnya hanya makan pagi bersama, berempat saja.

Kuambil tempe dan pindang. Kutaruh dalam cowek (cobek). Kutekan dengan ulek-ulek. Tempe dan pindang itu jadi penyet di antara sambal terasi bikinan Patrang. Aku jadi teringat kalau main ke Surabaya. Dulu, Cak Usma sering mengajakkku jalan-jalan malam, keluyuran, hanya sekedar mampir ke warung khusus yang menyediakan tempe penyet. Di warung itu, kita makan sepuas-puasnya. Dan bila perut sudah kenyang, kita kemudian pulang. Menghempaskan badan ke kasur atau tikar. Sambil mendengarkan kaset Kartolo-an, dan kita pun terlelap dalam buaian kekenyangan.

Tidak hanya dengan Cak Usma. Bila ke Surabaya, kadang aku juga ditemani Ninis atau Dodik, jalan-jalan malam, hanya sekedar mencari sambel terasi dengan tempe penyetnya. Itu saja sudah cukup nikmat, rasanya. Salah satu karunia Tuhan bagi manusia; tempe penyet.

#3:
Patrang nambah setengah nasi. WW dan Cipeng begitu lahapnya --habis berkebun, mas? :-) Sementara temanku dari Cililitan, tidur lesehan di balai depan kamar. Ia sudah makan, karenanya dia tidak mau makan bersama. Dia mencoba untuk tidur, memejamkan mata sebentar. Angin semilir dan suasana sejuk taman padepokan memang bisa membius siapa saja yang tidur di balai bambu itu.

Tak terasa, sambal terasi di cowek itu habis. Sementara masih tersisa satu bungkus nasi. Andaikan saja, sambalnya masih ada, tentu aku akan nambah. Sambal terasi bikinan Patrang memang benar-benar sangat menggoda. Dan cowek itu hanya tersisa ampasnya saja. Patrang pinter masak, ataukah karena itu terasi punya Gusti Allah --istilah untuk sesuatu yang belum jelas kepemilikannya :-), sehingga rasanya begitu enak?Apa daya, nasi di bungkusanku sudah hampir habis. Urusan terasi, biar nanti ijin sama yang punya.

Nasi itu benar-benar habis.Tinggal tugasku mencuci piring. Cipeng kelihatan mengantuk. Keracunankah lagi dia? Sepertinya, tidak! Itu mungkin sudah menjadi penyakit bawaan Cipeng, habis makan kekenyangan, terus maunya pengin tidur. Merebahkan badannya yang mulai membengkak tidak beraturan --makanya, kalo Minggu pagi jogging, mas?! :-)
Acara makan pagi bersama itupun usai. Aku harus balik ke Cililitan. Ada umat di sana yang harus kuurus. Kuambil bebek besiku. Kutancap gas, menuju Cililitan.

#4:
Sayang, minggu depan (atau bahkan dua minggu lagi) kebersamaan --sesuatu yang mahal- itu tidak mungkin terulang kembali. Aku dan Patrang ke Bandung. Patrang urusan kantor, sementara aku ngurus "under-ground". Cipeng ke Surabaya ketemu permaisuri. Sementara WW, aku tidak pernah tahu pasti. Yang pasti, yang tersisa hanyalah seorang manusia; Wanus, namanya. Dia yang akan menunggu padepokan seperti layaknya penunggu rumah kosong. Aku berharap dia bisa menjadi layaknya pendeta yang sedang bertapa, mendalami ilmunya.
Sungguh mengenaskan nasibmu, nak?! :-)


(c) by GJ dalam coretan yang tak berpola..