Tuesday, December 12, 2006

#096: Tuangan, Jombang, dan Pembuangan "Sampah Peradaban"

Ungu-jingga di atas langit Jombang. Merahnya matahari sore berpadu dengan awan mendung, membentuk penyatuan kedua warna itu yang unik. Meskipun awan sering bermuka muram seperti itu, toh hujan belum turun juga. Kemarau berlangsung panjang, menyebabkan wilayah di daerah-daerah menjadi kering. Kasihan nasib para petani di kampung!

Hamparan ladang tebu terbentang luas, seluas mata memandang. Jika anda ke pinggiran Kabupaten Jombang menuju ke arah bantaran Kali Brantas (perbatasan dengan Kabupaten Mojokerto), hampir mayoritas di kiri-kanan jalan isinya ladang tebu semua. Karena begitu luasnya, orang setempat menyebutnya sebagai "tuangan".

Di wilayah perbatasan Jombang-Mojokerto-Lamongan-Kediri-Nganjuk merupakan daerah penghasil tebu. Maklum! Di Jombang dan Mojokerto terkenal dengan pabrik gulanya. Jadi jangan heran, bila mampir di kedua kota itu, anda akan mencium bau manisnya gula -sesekali diselingi dengan bau comberan hasil buangan limbahnya ke kali- dan menjumpai pabrik gula di setiap sudut kota. Juga, anda akan melihat hamparan tuangan, dengan truk-truk pengangkut tebu yang lalu-lalang di setiap sudut jalan pinggiran kota.


*
Jika anda naik kereta api dari Surabaya menuju Jakarta -atau sebaliknya, apalagi naik Argo Bromo Anggrek Pagi (berangkat sekitar jam 09:00), maka di sepanjang perjalanan itu -kecuali masuk wilayah kota- anda akan menyaksikan hamparan sawah-ladang, kebun, ataupun hutan di kiri-kanan rel kereta. Ya, maklum saja! Rute rel kereta api jelas berbeda dengan rute bus di jalan raya yang lebih banyak melewati jalur keramaian.

Sawah-ladang masih terbentang sepanjang mata memandang. Begitu luas! Mulai dari Kerawang -yang sebagian sudah tergusur oleh kepentingan industri/pabrik, pengembangan jalan tol dan perumahan- ke arah timur melewati Cikampek menuju Cirebon, Lemah Abang, Ciledug, Brebes, Pemalang, Kaliwungu, Bojonegoro, Gresik hingga Surabaya, lahan sawah masihlah banyak.

Atau, rute-rute yang pernah saya lalui seperti di Kuningan (dari arah Cileduk) menuju ke Cikijing, Kawali, Ciamis, Tasikmalaya, Singaparna menuju ke Garut. Dari Garut melewati Kawah Kamojang di Gunung Guntur menuju Majalaya, Cicalengka, Rancaekek terus ke Bandung. Dari Bandung via Jatinangor menuju Sumedang, Cimalaka, lalu ke Cikadu, Segalaherang, Subang menuju pintu tol Sadang via Kalijati, "stok" lahan sawah-ladang masih teramat banyak. Begitupun di wilayah Cianjur.

Maknanya apa? Ternyata, "tanah kosong" (baca: yang bukan untuk daerah hunian) di Nusantara ini masih teramatlah luas. Ironisnya, dengan lahan sawah dan ladang yang begitu luas, bangsa ini masih saja impor beras dan gula. Pemerintah, dari jaman Soeharto hingga kini sepertinya sama saja. Kebijakannya tidak pernah berpihak pada nasib rakyatnya. Petani seperti selalu berada dalam "kasta sudra" yang kepentingannya tidak perlu dibela. Mereka disuruh hidup dengan kemampuannya sendiri, tanpa didukung dengan sebuah kebijakan yang memihak dan menguntungkan nasib mereka. Misalnya saja, harga pupuk untuk pertanian dibeli dengan harga Rp. 1100,- sementara harga jual gabah ketika memasuki masa panen "hanya" laku Rp. 800,- . Artinya, petani malah nombok Rp. 300,- di saat mereka panen. Lalu bagaimana dengan persoalan balik modal dan kompensasi dari upah tenaga mereka dalam menggarap sawah-ladang selama berbulan-bulan itu?


**
Kita -bangsa ini, terlalu "boros" akan lahan sawah dan ladang akibat dari tidak tergarapnya potensi alam di bidang agraris yang dimiliki itu akibat tidak adanya dukungan dari program pemerintah di bidang pertanian. Nasib petani gabah dan tebu masih saja jauh dari harapan. Di saat awal tanam mereka berhutang modal -terjerat rentenir, sementara di masa panennya harga jual rendah -terjerat tengkulak. Dasar nasib!

Kita ini bangsa subur, bangsa yang "diciptakan" sebagai "negara agraria" sejak jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo (Mataram Baru) mulai memperluas hegemoni kultur peradaban dan kekuasaannya hampir ke seluruh tanah Jawa, hingga sedikit wilayah lain di Nusantara. Kemudian dikuatkan lagi dengan adanya perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam Traktat London tahun 1824 yang secara administratif menjadikan Nusantara sebagai wilayah yang dikuasi sistem kolonial (dan ekonomi) yang bersifat pertanian. Tapi, kita sampai sekarang masih saja minus stok beras. Negara agraria yang impor beras! "Hebat", bukan?

Sekarang, coba dibandingkan dengan nasib masyarakat Eropa. Negara mereka sempit, sementara populasi penduduknya kian hari terus bertambah. Bagaimana bila penduduk jumlahnya sudah over load, sementara lahan huniannya tidak ada?
Apakah penduduk mereka tidak boleh kawin? Tidak boleh punya anak? Jumlah anak dibatasi seperti kebijakan yang akan dilakukan di Cina? Atau anak hasil pernikahan itu harus dibunuh?

Kita -negara agraria yang lahannya luas tentu saja, tapi bingung mikir soal pangan (baca: beras). Sementara mereka -masyarakat Eropa, bingungnya bukan soal beras, tapi dikarenakan populasi penduduknya yang terus meningkat, tapi minus lahan. Jadi tidak perlu heran bila kemudian terjadi pembuangan "sampah peradaban" yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di Eropa ke negara-negara lain yang dimulai sejak abad 18.

Gelombang pertama, pembuangan peradaban itu ke benua Amerika yang mengakibatkan musnahnya suku asli Indian. Pada saat pertama kali ditemukan, jumlah mereka sekitar 600 ribu, sementara jumlah pendatang mencapai sekitar 60 juta orang. Imigran yang pertama kali datang kebanyakan dari bagian barat laut Eropa. Sensus tahun 1979, 2/3-nya jumlah penduduk Amerika berasal dari Inggris, diikuti oleh Jerman dan Belanda.

Dalam catatan yang lain, Christoporus Columbus adalah penemu benua itu pada tahun 1492. Orang-orang Spanyol kemudian berdatangan secara bergelombang pada awal abad 16 (th. 1550). Apalagi, sumber alam Amerika cukup banyak. Dan, Amerika menjadi pengekspor batu bara termuka di dunia, selain hasil gas alam dan minyak bumi.
Kapal Titanic yang tenggelam dan menewaskan hampir seluruh penumpangnya, merupakan kapal pengangkut para imigran dari Liverpool (Inggris) menuju Amerika Serikat (tahun 1912).

Gelombang kedua, pembuangan "sampah peradaban Eropa" ke Benua Australia. Penemu benua Australia adalah orang Inggris, James Cook pada tahun 1770. Dan sejak ditemukan tambang emas di benua itu tahun 1850, maka kemudian berbondong-bondonglah orang Inggris datang ke benua terkecil di dunia itu. Masyarakat asli Australia, suku Aborigin pun tergusur dan terancam punah. Menurut data tahun 1999, mereka hanya berjumlah 1,1 %. Sedangkan kulit putih (94.4%), dari Asia (2.1%) dan lain-lain (2.4%).

Lalu bagaimana dengan suku di Papua? Tidakkah wilayah yang masih "primitif" dan terasing -tapi kaya akan sumber daya alam (emas, tembaga dll)- itu sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai "lahan ketiga" bagi pembuangan "sampah peradaban" masyarakat Eropa? Setidaknya itu yang dikhawatirkan oleh Hasyim Wahid (Gus Im) dalam buletin Pitutur (2001) bila pemerintah lalai-tidak memperhatikan nasib masyarakat Papua.


***
Tuangan di Jombang yang begitu luas, dan pembuangan "sampah peradaban" yang perlu diperhatikan!
Wallahuálam bi ash showab.




Referensi: 1. Atlas Lengkap Indonesia dan Dunia, Penerbit Amelia-Surabaya, th 2003; 2. Pitutur Edisi I/Juli 2001, Meracik Wacana Melacak Indonesia; 3. P. Ginting dkk, IPS Geografi untuk SLTP Kelas 1, Penerbit Erlangga, th 2000; 4. Stephen S. Birdsell dan John Florin, "Lanskap Regional Amerika Serikat" dalam Garis Besar Geografi Amerika, th 1992.




Jombang, 11 November 2005 (ide) Pancoran, 16/11 2005 (c) Gus John

#095: Jauh-Dekat Sama Saja: Filosofi Jalanan di Ibukota [2]


Ini bukan jargon tarif angkutan umum di ibukota. Tapi, coba lihat dan amati kisah ini.


*
Setiap Senin, wajah-wajah cemberut kembali mewarnai jalanan ibukota, setelah dua hari sebelumnya (Sabtu-Minggu) libur. Maklum saja! Bagi orang-orang yang hidup dan bertempat tinggal di wilayah pinggiran ibukota –seperti di Depok, Bekasi, Tangerang, Cibubur-Cileungsi, Tangerang dan Bogor, Sabtu-Minggu dan hari libur merupakan saat yang menyenangkan buat keluarga. Hari libur adalah hari spesial untuk keluarga, karena selama 5 hari kerja, mereka harus berangkat pagi (05:30) dan pulang di sore harinya (18:00). Apalagi bila ingin menghindari macet, tentu sampai di rumah bisa jam 20:00.


Jadi tidak usah heran bila pakai lipstik, bebedak pipi hingga menor, pakai dasi, sisir rambut, dan kegiatan lainnya seringkali biasa kita lihat terjadi di balik kaca mobil yang terjebak lampu merah atau kena macet. Itu adalah hal yang biasa.


Begitupun para pengendara motor roda dua. Dahinya berkerut, kedua alis saling bertemu. Pasang muka dan tampang serius! Terkadang serobot sana-sini, menerobos di antara mobil-mobil yang jalannya merayap. Sesekali diselingi dengan raungan knalpot yang digeber. Beberapa oknum pengendara motor biasanya main kebut ketika begitu melihat ada celah kosong di depannya. Mereka seakan yang punya jalan, tidak mempedulikan nasib pengguna jalan yang lain. Terkadang, mereka juga main serobot lampu merah seenaknya, membikin lalu lintas semrawut dan tidak tertib. Main serobot aturan, ciri khas mental orang susah!


*
Ada sedikitnya tiga alasan penyebab kenapa pengendara motor –atau bahkan pengendara mobil juga?- sering main selonong lampu merah. Pertama, takut datang terlambat di kantor. Sangatlah aneh, kalau memang takut terlambat, seharusnya mereka berangkat ke kantor lebih pagi. Kedua, ikut nyerobot lampu merah karena melihat orang lain melakukan hal yang sama. Model orang-orang seperti ini masuk kategori latah! Tidak punya kepribadian. Hanya bisa mengikuti arus. Ciri-ciri orang opurtunis dan pragmatis.


Kelompok ketiga, melanggar rambu-rambu lalu-lintas karena memang sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan orang-orang yang memang tidak pernah taat aturan, tidak mempunyai standar etika dan moral dalam hidupnya, serta tidak menyukai suatu sistem bisa berjalan dengan tertib dan benar.


Kalau jarak (jauh) dijadikan sebagai alasan utama untuk melanggar lalu-lintas, maka tidak tepat lagi. Modal untuk mengarungi ruas-ruas jalan di Jakarta, kini tidak hanya ditentukan oleh jarak, tapi juga waktu. Dan “rumus waktu” itu tercipta oleh keadaan sekitar yang mempengaruhinya. Faktor itu bisa berupa: pertama, semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor di ibukota. Kedua, infrastruktur fisik jalanan ibukota yang pertumbuhannya tidak seimbang dengan jumlah kendaraan bermotor yang jumlahnya meningkat tajam tiap harinya tersebut. Ketiga, fasilitas angkutan umum yang kurang memadai dan tidak mampu mengatasi jumlah populasi pekerja di ibukota.


Sementara faktor lainnya yang bisa menjadi penyebab terciptanya “rumus waktu” misalnya, banjir, terjadinya kecelakaan, ada gali lubang di pinggir jalan, tidak tertibnya angkutan umum dan kendaraan pribadi dalam berlalu-lintas, dan sebagainya.


Masuk jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) misalnya, seperti dalam coretan saya sebelumnya, bila kita terlambat masuk jalan tol jam 06:30, maka kita akan mendapatkan kemacetan yang luar biasa. Tidak peduli apakah tempat tinggal anda di Halim, Cibubur, Taman Mini, Kampung Rambutan atau lainnya, bila anda masuk tol lebih dari jam “rumus waktu” itu, maka anda akan terjebak dalam “show room” panjang. Anda akan kalah cepat dengan arus yang datang dari Bogor, Ciawi, Cibinong, Sentul, Citeureup, Cimanggis dan daerah pinggiran lainnya, walaupun rumah anda lebih dekat.


Dalam kondisi infrastruktur jalanan ibukota seperti sekarang ini (belum ada penambahan yang berarti), maka jarak jauh-dekat seolah-olah tiada arti. Sama saja! Jam kantor masuk pukul 08:00, walaupun rumah anda lebih dekat (misalnya di Cibubur), tapi kalau tidak berangkat pagi, pasti akan datang terlambat. Masyarakat akan mengikuti “rumus waktu” masuk tol, dan lambat-laun masyarakat akan terkondisikan hal itu.




Landmark Tower B, 31 Oktober 2005 (c) Gus John

#094: "Rumus" Masuk Jalan Tol: Filosofi Jalanan di Ibukota [1]


Sekitar jam 07 pagi, jika anda melintas di atas jembatan Jalan Cililitan Besar dari Pangkalan Halim menuju Cililitan, atau di atas jembatan Jalan Kerja Bakti; pertemuan antara Halim-Kramatjati, maka anda akan menyaksikan "show room" mobil yang luar biasa spektakuler panjangnya. Mulai dari pintu tol Cililitan hingga tol Cawang-UKI menuju dalam kota, atau ke arah Priok dan Cikampek. Atau bahkan, kemacetan di jalan tol itu sudah mulai dari pintu tol Cibubur. Puanjaaaang sekali.


Ya, rumus lewat tol Jagorawi sekarang adalah = masuk tol paling lambat jam 06:30. Jika lewat dari itu, jangan harap kita akan "dapet jalan lancar" (baca: akan menemui "show room" seperti di atas). Bahkan, untuk beberapa bus feeder perumahan yang berada di wilayah pinggiran Jakarta, mereka berangkat dari komplek biasanya jam 05:00 - 05:30. Feeder Kota Wisata misalnya, mereka jalan jam 05:30. Begitupun bus dan truk (shuttle) pengangkut para anggota TNI AL dari komplek Jala Yudha yang lokasinya berada bersebelahan dengan perumahan elite bernuansakan wisata di timur Cibubur itu. Jika anda jam 05:30 mampir ke daerah itu, maka anda akan menyaksikan para ibu KOWAL (Korps Wanita TNI AL) dengan segala kedisiplinannya naik ke atas truk militer untuk berangkat kerja.


Jam kerja militer dimulai pukul 07:00, sedangkan jam kantor non-militer kebanyakan dimulai jam 08:00. Sesuai hitungan jarak, Jakarta dengan beberapa wilayah penyanggah ibukota yang berada di pinggiran kota, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Cibubur-Kota Wisata, Cibinong dan lain sebagainya- berjarak sekitar 30-40 km. Secara logika, berangkat jam 07:00 pun cukup. Dalam kondisi normal misalnya, dari Cibubur menuju Sudirman bila via tol bisa ditempuh hanya dengan waktu 30 menit. Tapi, saat ini logika semacam itu sudah tidak berlaku lagi. Sekarang berlakulah rumus masuk jalan tol seperti di atas. Masuk tol tidak boleh lebih dari jam 06:30. Jika terlambat, maka arus dari Bogor, Bukit Sentul, Permata Sentul, Cibinong, Cimanggis, Citeureup dan daerah sekitar tol Jagorawi akan lebih dulu menutup semua ruas jalan tol, terutama yang masuk jalur dalam kota. Jagorawi pasti macet!


Jika kendaraan roda empat tiap hari terus bertambah jumlahnya, otomatis rumus di atas akan berubah pula. Mungkin tidak lagi start masuk tol jam 06:30, bisa jadi lebih pagi lagi. Bisa-bisa kita berangkat kerja habis sholat Subuh seperti sindiran iklan Bank Danamon yang fenomenal itu.


**
Jakarta memang sudah tidak bisa lagi diukur dengan jarak, tapi waktu. Jarak 60 km di daerah masih bisa ditempuh dalam waktu 1 jam dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Sementara di sini, jarak 1 jam hanya untuk jarak 30 km. Itu standar pakai kendaraan roda dua. Jika naik angkutan umum di Ibukota (seperti Kopaja, Metromini dan angkot lainnya), akan memakan waktu yang lebih lama lagi. Bahkan, 1 jam hanya cukup untuk menempuh jarak 8 km saja (misalnya, rute Kalibata-Sudirman via Metromini 604) jika kita pulang kantor jam 17:00 on-time.

Perkembangan peradaban manusia ibukota memang terus berubah seiring dengan waktu yang terus melaju. Ironisnya, di sisi yang lain, trafik lalu lintas ibukota semakin parah dan memprihatinkan.





Landmark Tower B, 31 Oktober 2005 (c) Gus John