Friday, July 11, 2008

#111: Buah Hatiku

"N-A (Na) S-I (Si) Na-si, U D-U (Du) U-du. Dikasih K (Uduk). Bacanya: Nasi Uduk".

Begitulah perkembangan putriku, S-Ayu NakMas Pambayun. Umurnya masih 3 tahun 4 bulan. Tidak masuk Play Group karena tahun kemarin usianya dianggap belum cukup. Tapi berkat keuletan, ketekunan mamanya, kini dia sudah bisa mulai mengeja setiap tulisan apa saja yang dia lihat dan tak perlu harus masuk Play Group. Kesibukannya setiap pagi hanya belajar mengaji saja, dan dia sekarang sudah Iqro' 2.

Jika aku ajak dia ke warung, mall, rumah sakit, atau baca koran, setiap dia menemukan tulisan maka akan dia eja. "Nasi Goreng", "Mie Ayam", "Ayam Goreng", "Pecel Lele", "Ayam Bakar", "Rumah Sakit", "Mie Rebus", "Burung Dara", "Soto Kudus", "Nasi Soto", "Sate Ayam", "Sate Kambing", "Indo Pos", "Olah Raga" dan yang lain. Semua dia eja satu persatu.

Saat ini, di samping baca, Pambayun juga terobsesi dengan ketinggian. Makan dan minumnya banyak. Kalau ditanya kenapa jawabnya, "Biar cepat tinggi", sambil kemudian dia lari menuju meteran ukuran ketinggian yang ditempel oleh mamanya di dinding dekat rak bukunya.

"Lihat, Pa. Ayun sudah tinggi nih..!"

"Coba lihat, Pa. Berapa tingginya Ayun sekarang??"

Selalu itu-itu saja yang dia tanyakan setiap habis makan. Benda-benda apa saja dia bandingkan dengan tingginya. Meja, kursi, rak buku, kunci pintu, rak TV, bangku, peta, gambar-gambar mainannya dan sebagainya. Semua dia ukur dengan tinggi tubuhnya. Dia merasa bangga jika benda-benda itu masih lebih rendah dari dirinya.

"Tuh, kan Pa.... tinggian Ayun, kan??", sambil bibirnya manyun.

Ah, Pambayun...
Terkadang papamu ini suka lupa memperlakukanmu seperti anak yang sudah dewasa. Mengajakmu bicara soal negara, sosial dan politik, novel ataupun tentang hidup. Padahal kamu masih sedang senang-senangnya nonton "Thomas & Friends", "Handy Manny", "Make Way For Noddy", "Go, Go Diego!", "Dora Explorer", "Club House of Mickey", "Little Einstein", "Tom & Jerry", "Tiger & Pooh", "Jojo Circus", "Higgly Town Heroes" atau "Bob The Builder".
Ma'afkan papa, Nak?




Wisma Bakrie, 11 July 2008 -18:10 WIB
(c) aGus John

Thursday, July 10, 2008

#110: Akar Terorisme

Ketika Abu Dujana yang dianggap sebagai jaringan Noordin M. Top dan Dr. Azhari tertangkap, maka ada pernyataan menarik dari salah satu anggota Jama'ah Islamiyah (JI) yang sudah insyaf. Orang itu bilang, di Indonesia sangat berkembang subur akar terorisme dikarenakan 3 (tiga) hal: Pertama, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Kedua, rendahnya tingkat taraf kehidupan (ekonomi), dan ketiga, lemahnya hukum.

Hukum di Indonesia memang harus diakui lemah. Hukum lebih efektif buat rakyat jelata, bukan untuk pejabat atau penguasa. Hukum bisa tebang pilih, bisa pilih kasih. Di sini, penegakan hukum seperti main gaplek. Dimainkan jika dibutuhkan. Ada "kartu As". Ada "kartu balak". Tergantung kebutuhan.

Lebih menarik, ternyata Abu Dujana sendiri bukan termasuk orang yang rendah pendidikannya. Dia justru lulusan sarjana dan dikenal pintar sewaktu kuliah. Atau, otak teroris semacam Azhari justru seorang Doktor. Dia adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Malaysia. Terkesan sangat musykil, seorang sarjana atau Doktor bisa menjadi "teroris" jika dikaitkan dengan 3 teori di atas.

Lalu di mana problemnya? Menurut penulis, titik persoalan justru di pemahaman individu. Tingkat (level) pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan pemahaman. Tingkat pemahaman seseorang bisa dipengaruhi oleh: Pertama, modal bacaan yang pernah dia serap. Semakin banyak bacaan (variatif), semakin luas wawasan seseorang. Kedua, modal penyerapan substansi. Kemampuan menyerap suatu tema/substansi yang dipahami setiap orang berbeda-beda. Dalam konteks ini sangat bisa dipahami bila dalam ajaran Islam sendiri tersebar dalam berbagai faksi dikarenakan beda pemahaman. Ketiga, faktor lingkungan. Komunitas yang moderat tentu akan membentuk pribadi-pribadi yang moderat. Sebaliknya, komunitas radikal, eksklusif, tertutup (not open mind) akan membentuk pribadi-pribadi yang intoleran, familiar dengan kekerasan, dan memiliki fanatisme yang berlebihan. Seperti dalam iklan Esia; bagaikan katak dalam tempurung.

Di samping level pendidikan, level jabatan juga sama. Seorang staff sangat mungkin bisa berpikir lebih inklusif dan open mind dibandingkan dengan atasannya yang seorang supervisor, manager atau bahkan general manager (GM) sekalipun yang "baru memahami" Islam. Seorang bawahan sangat mungkin bisa berpikir terbuka dan berpandangan luas dibandingkan dengan atasannya yang terbatas pada bacaan dan kemampuan menyerap tema ajaran.

Kuncinya, kemauan belajar dan terus belajar agama adalah syarat utama. Kedua, bersifat membuka diri terhadap segala ajaran/aliran yang tersebar di Islam, tidak terpaku pada satu aliran saja. Fakta bahwa Islam terbelah menjadi faksi-faksi aliran harus diketahui. Pemahaman bahwa masing-masing aliran membawa nilai-nilai kebenaran yang belum tentu ditemukan di aliran yang lain adalah menjadi titik temu yang bagus untuk menjadi seorang muslim yang matang. Ketiga, memahami geopolitik; baik lokal, nasional ataupun global. Ketidakpahaman geopolitik sering menyebabkan kita sebagai umat muslim mudah untuk diadu-domba, diinfiltrasi, dipecah-belah, dan dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu (baik pejabat ataupun tangan-tangan asing) yang ending-nya justru merugikan dan melemahkan image Islam sendiri. Point terakhir ini yang paling rawan karena sejarah selalu mencatat, umat Islam selalu dijadikan tumbal di depan jika dibutuhkan, dan kemudian dijadikan kambing hitam di belakang.

Semoga kita menjadi seorang muslim yang terbaik.
Selebihnya, wallahu'alam bi ash showab.


Wisma Bakrie, 10 July 2008
(c) aGus John

Wednesday, July 09, 2008

#109: Re-Born..!!!

Mungkin ini agak katro' dengernya. Seteleh setahun vakum hanya karena lupa password, akhirnya today gue bisa bersua kembali dengan my lovely Blog!

Ah, kampungan banget dengernya!
Atau memang karena kesibukan yang luar biasa yang nyebabin gue tak bisa lagi progresif dan aktif dalam ber-blog ria??
Sangat mungkin!

Tapi gue demen.
Setelah habis 600 rebu buat mborong buku di Pesta Buku Jakarta 28 Juni s/d 6 July 2008, gairah gue buat nulis seolah-olah bangkit lagi.

Gue puas, karena anak pertama gue; Sekar Ayu Nak Mas Pambayun sudah punya perpustakaan sendiri atas permintaan dia.
Dia ngiri sama 3 rak buku papanya, makanya dia pengin dibelikan sendiri.
Dan dia bisa pilih buku-buku sendiri dan dipajang-pajang sendiri di rak bukunya!

Sambil Siaga-1 --nunggu Syailendra yg Insya Allah awal Agustus ini nongol di muka bumi, gue mo coba2 "bangkit dari kubur" kevakuman.
Karena otak gue serasa penuh dengan ide2 yang kagak bisa mbrojol (tertuangkan).
Muka gue jerawatan karena tema2 hanya bisa mengendap di otak, bikin jadi migrant.

OK,
I was reborned..!!!!




WB-1, 10 July 2008.
(c) aGus John.