Sunday, January 11, 2009

#121: Kampung: Recharge Otak

Orang tua lugu. Kulitnya gelap sepekat gagang sabit yang dia bawa. Pakaiannya lusuh, bercapil (topi) bundar. Makan satu warung denganku. Menunya sederhana; nasi, rawon kangkung (menu rawon tapi daging diganti dengan kangkung), plus tempe dan sambal. Dia makan dengan lahapnya.

Rawon kangkung merupakan menu "khas" kampung. Di saat daya beli masyarakat yang rendah, tapi lidah masih ingin merasakan menu rawon, dengan rawon kangkung, si pemilik warung bisa menjual masakannya dengan harga murah. Biasanya, menu ini untuk konsumsi anak-anak sekolah. Rasanya sama. Sama-sama hitam. Bedanya, jika rawon beneran, kita gigit kenyal dagingnya, ini kita kunyah sayur kangkungnya.

Mak, si pemilik warung menyuguhkan teh hangat dalam gelas besar ke Pak Tua. "Monggo, Pak".
"Matur suwun," kata si Pak Tua. Segera saja ia sruput teh hangat itu.

Mata si Pak Tua, yang cekung dan tajam menerawang ke luar. Menjebol dinding warung yang terbuat dari bambu anyaman yang jarang-jarang itu. Sambil terus mengunyah dan menelan, tatapannya seperti kosong. Nasi satu piring dan teh segelas pun disruput sampai habis. Sepeda dan keranjang rumput dia sandarkan di tiang warung sebelah depan. Hari masih pagi, dan waktu terus berjalan.

"Sampun, pinten, Bu?" tanya Pak Tua pencari rumput sambil berdiri dan menyodorkan uangnya.

"Sampun pun. Kersane," kata si Mak pemilik warung. Uang itu dikembalikannya lagi.

Pak Tua bengong. "Nggih pun, matur suwun sanget". Dia pun pergi.

Aku hanya bisa menyaksikan saja sambil memangku Sang Putra Fajar, Narayana yang mengenakan blangkon.

***
Makan gratis. Sekali lagi, ini kampung. Kehidupan desa. Trust, jujur, ramah, high tolerancy. Minta cabe, daun pisang, batu bata. Atau apa saja, semua tanpa biaya. Atau, makan gratis buat si pencari rumput seperti yang saya tulis di depan.

Tak ada yang sebaik kehidupan di desa, benakku selalu bergumam begitu ketika liburan di kampung. Di kota? Rutinitas kerja yang padat, tingginya angka kriminalitas, egoisme dalam bermasyarakat, mengendari kendaraan seenaknya dan sebagainya hampir setiap hari terekam dalam memory otak kita, yang secara tidak sadar kemudian membuat berkarat otak kita. Lalu secara perlahan secara alamiah menjadikan kita manusia yang egois, tidak toleran, hedonis, dan penyakit orang kota kebanyakan.

***
So, jika kau penat kehidupan kota, maka datanglah ke desa. Jadikan kehidupan kampung sebagai kawah candradimuka untuk kembali 'recharge otak'; meningkatkan kesabaran, kejujuran, dan tentu saja keberkahan dalam hidup. Cari inspirasi tentang kebenaran, kehidupan yang toleran dan mencintai kebersamaan. Nilai-nilai yang menjadi "barang mahal" di perkotaan.

I love U, kampung.


(c) aGusJohn, Cuti End of December 2008.
at Bantaran Kali Brantas

noted:
-monggo = silahkan
-matur nuwun = terima kasih
-sampun = sudah
-pinten = berapa?
-kersane = tidak usah, biarkan saja
-nggih = ya sudah
-sanget = sekali

#120: Bermain Dengan Hati dan Otak

Final AFF Suzuki 2008 yang dulu dikenal sebagai turnamen "Piala Tiger" menampilkan juara baru. Timnas sepakbola Vietnam di luar dugaan menggilas juara bertahan Singapura di semifinal, dan berhasil melakukan revans dengan menaklukkan kandidat terkuat Thailand di partai final.

Apa Vietnam lebih baik dari Thailand? Tidak. Vietnam pun tidak lebih baik dari Singapura. Juga tidak lebih baik dari Indonesia. Serangan Vietnam sangat monoton, sering salah umpan dan mudah dipatahkan. Tapi, mereka bermain dengan otak dan hati.
Singapura dan Thailand yang menekan habis-habisan di sepanjang 90 menit pertandingan, tapi pertahanan Vietnam begitu lugas mengantisipasinya. Man to man marking timnas Vietnam sungguh efektif membuat striker Singapura dan Thailand menjadi frustasi. Dan ketika serangan lawan bisa dipatahkan, dengan cepat Vietnam melakukan serangan balik yang mematikan.

Vietnam fisik sangat bagus. Solid, kompak dalam bertahan dan menyerang. Tidak seperti Indonesia. Kalau sudah ketinggalan (dengan gol cepat) sudah pasrah, dunia seperti kiamat. Seperti sudah pasti kalah. Atau sebaliknya, kalau dalam posisi unggul menjadi jumawah. Santai, bertahan, terus jadi kalah (kasus ketika melawan Thailand).


***
Sesungguhnya pemain kita cerdas. Seperti ungkapan salah seorang pemain sepakbola terkenal ketika tim klub sepakbola Italia bertandang ke Indonesia di tahun 90-an, mereka bilang: "Pemain Indonesia itu punya kecepatan. Mereka punya bakat skill bagus. Tapi sayang, kurang cerdas".

Kurang cerdas, berarti: para pemain timnas tidak memiliki visi dan orientasi bermain. Apa itu arti menang? Bagaimana cara mencari kemenangan? Diving dan segala trik selama dianggap bukan pelanggaran tapi berpotensi mencetak gol jarang sekali dilakukan. Padahal, 2 gol Singapura ke gawang Markus Horison justru datang dari bola-bola mati. Ketika striker Singapura frustasi dengan rapatnya pertahanan Indonesia, maka mereka mencari bola-bola mati, dan gol.

Pemain timnas kita juga kurang ulet, kurang sabar dan mudah menyerah. Jika ketinggalan gol, sebelum peluit panjang berbunyi, adalah waktu yang sangat berharga untuk menyamakan defisit gol, atau justru surplus gol. Sabar artinya tidak mudah putus asa memborbardir pertahanan lawan. Jika strategi A dianggap kurang efektif, maka gunakan strategi B, dan begitu seterusnya. Lihatlah bagaimana Thailand dibuat benar-benar menangis di second leg Final AFF ketika Vietnam membuat gol di saat injury time, padahal Thailand sangat optimis dengan keunggulannya 1-0 untuk bisa memperpanjang nafas dan atau hingga adu penalti. Dan Thailand pun benar-benar menangis.

Artinya, kekurangan itu semua disebut sebagai tim yang tidak memiliki mental juara. Sikap mental ini penting, karena tidak akan minder dalam menghadapi tim lain walaupun tim tersebut di atas kemampuan timnas kita. Apakah timnas kita nasionalismenya rendah -tidak seperti pemain Vietnam yang bermain tanpa takut untuk body contact layaknya semangat para pejuang Vietkong?

Ketika melihat bermain dengan sikap mental yang loyo dan mudah nerimo begitu saja, Timnas Indonesia seperti bermain tanpa hati dan otak. Dan kita harus jujur mengakui, timnas sepakbola kita tidak memiliki keduanya. Artinya, jangan terlalu berharap menjadi timnas yang berkualitas jika tidak memiliki kedua organ vital tersebut.
Sungguh memprihatinkan!



(c) aGusJohn, 01 Januari 2009 at Bantaran Kali Brantas

#119: Bangsa Koruptor

Sejauh mata memandang, saat ini foto Caleg (baik Caleg DPR/DPRD Tk.1/Tk. 2) terpampang hampir di setiap sudut, pelosok kota/desa. Dari Ciangsana (Bogor), Ujung Aspal (Pondok Gede), Jakarta hingga di pelosok kota/desa seperti di Lamongan ataupun Jombang. Seperti biasa, janji-jani manis, slogan-slogan klise layaknya kecap nomor satu tertulis di samping foto para calon wakil rakyat itu. Mengaku paling religius, paling nasionalis. Di saat dunia sedang krisis, jaman lagi susah, tak menyurutkan niat para caleg itu untuk menjual diri mereka. Ada gula, ada semut. Jabatan wakil rakyat bagaikan gula, dan para caleg itu adalah semutnya.

Muncul pertanyaan usil, apa niat sesungguhnya mereka menjadi wakil rakyat? Ingin mengabdi pada rakyat dengan sesungguhnya? Atau ingin mengejar gengsi jabatan agar jadi orang terpandang? Atau hanya ingin jadi seorang koruptor? Padahal, tidak sedikit modal yang dikeluarkan untuk kampanye. Jika pilihan terakhir yg dipilih, ternyata keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih juga belum bikin jera para calon pejabat/wakil rakyat untuk jera jadi pencoleng, penilep, pengentit, pengutil uang rakyat.

Coba simak berita Jawa Pos, Kamis 11 Desember 2008 berikut ini:

Dari gambar terekam jelas deretan Bupati/Walikota/Mantan BUpati/Walikota di Jawa Timur yang terseret kasus korupsi dengan status terakhirnya (kecuali Mantan Bupati Nganjuk yang bebas). Mereka adalah contoh pejabat-pejabat koruptor, tidak amanah, pengemplang uang rakyat. Jabatan mereka dapat rata-rata sebelum adanya KPK.

Apakah berita Jawa Pos tersebut kemudian sedikit bisa menjawab pertanyaan di atas; apakah para caleg itu 'kemrungsung' menjual diri hanya ingin dapat antrian dari penangkapan KPK selanjutnya?
Wallahu'alam.

Sebagai generasi idealis, yang masih punya hati nurani, yang masih cinta atas bersih dan tegaknya NKRI dari anasir-anasir jahat para birokrat/aparat yang keparat dan suka merugikan kepentingan rakyat, sudah sepantasnya kita sangat prihatin. Kita patut memberikan dua jempol buat KPK, semoga tidak surut dalam menjebloskan para pejabat sekaligus penjahat itu ke dalam bui. Jangan hanya yang mantan-mantan saja, kalau memang pejabat aktif yang terbukti korupsi, langsung diseret saja ke penjara.

Jangan biarkan bangsa kita nongkrong di ranking 126 sebagai negara bersih di dunia. Jika Singapura, negara kecil tapi kaya-raya saja bisa menjadi negara terbersih nomor 4 di dunia, kenapa kita yang sebenarnya kaya (resource-nya: SDA, SDM-nya) tapi miskin (mental/orientasi kebangsaan) ini justru terpuruk dan justru kalah dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam.

So, maju terus KPK..!!!
Kita masih punya anak-turunan yang akan mewarisi bangsa ini. Jangan warisi mereka dengan mental dan budaya korupsi warisan Kompeni Belanda dan Orde Baru-nya Soeharto.
Sikat terus pejabat keparat pemakan uang rakyat!


Salam anti korupsi...!!!

(c) aGusJohn
at Bantaran Kali Brantas, 11 Desember 2008