Wednesday, December 20, 2006

#099: Air Keruh


Air keruh kecoklatan mengalir cukup deras menuju ke Karet Pasar Baru Barat, belok ke utara melewati Petamburan, Stasiun Tanah Abang, Jembatan Tomang, sebelah ITC Roxy Mas, lalu ia bertemu dengan Kali Angke, menyusuri Pantai Indah Kapuk, ujungnya bermuara di pantai Pluit.

Air keruh di Banjir Kanal Barat itu bisa digunakan sebagai pertanda. Dua hari kemarin teman kantorku tidak masuk kerja. Mudah saja menebaknya. Bila air Banjir Kanal Barat pasang, maka ia bisa dijadikan sebagai indikasi ada beberapa perumahan yang terendam banjir kiriman dari Bopuncur (Bogor, Puncak dan Cianjur). Salah satunya, ya rumah temanku tadi.

Jakarta sejak dulu memang sudah dikenal sebagai "Kota Seribu sungai". Banyak nama "Ci" di beberapa sudut di kota ini, yang menandakan bahwa ibukota negara ini menyimpan makna air yang begitu luas.

Ada Cibubur, Cideng, Cidodol, Cikijang, Cikini, Cikoko, Cilandak, Cilangkap, Cililin (Petogogan), Cililitan (Kramatjati), Cilincing, Cilungup (Duren Sawit), Cimacan (Rawa Badak), Cinere, Cipayung, Cipete, Cipedak (Srengseng Sawah), Ciganjur, Cipinang, Cipulir, Ciracas, Ciranjang (Rawa Barat), dan lain sebagainya.

Belum itu termasuk "Ci" yang berpotensi mengirim air dari wilayah selatan Jakarta, seperti : Cianjur, Ciangsana, Ciawi, Cijayanti (Sentul), Cikeas, Ciomas, Cilebut, Ciliwung, Cimahpar, Cimanggu, Cinangka, Cipanas, Ciparahiangan, Cipayung-Sentul, dan "Ci"-"Ci" lainnya yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bogor.

Jan Pieter Zon Coen -atau orang Betawi menyebutnya sebagai "Mur Jangkung", pendiri Batavia-kolonial tahun 1596 pada saat membuka hutan Batavia waktu itu penuh dengan berdarah-darah. Karena dominan lahan rawa, maka bala pasukannya banyak yang terserang wabah penyakit, seperti diare dan malaria.

Di jaman Soeharto, rezim paling biadab yang pernah dimiliki di negeri ini, dulu juga berencana memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke arah Jonggol yang dekat ke Cianjur dengan alasan yang sama; banjir.

Dan hingga kini, di era rezim Sutiyoso yang serba modern ataupun pada saat Bang Ali Sadikin di era 60-an, masalah banjir itu masih juga belum tuntas.



***
Memandang dan menulis arus air Banjir Kanal Barat dari atas lantai 8 Landmark ini memang seolah tiada hentinya, mengingatkanku seperti halnya duduk-santai di atas bantaran Sungai Brantas di belakang rumah di Jombang sana, yang dasarnya begitu dalam. Yang mengalirkan air dari menuju Ujung Pangkah di Gresik, sambil ditemani putri terkasihku, Sekar Ayu Nak Mas Pambayun yang cerdas.



Landmark, 30 Jan 2006 (c) Gus John

Tuesday, December 19, 2006

#098: Pecel Lele dan Profesi (sebagai) Petani

Selama dalam perjalanan di ibukota -bukan lewat jalan tol tentunya, pernahkah Anda menghitung, berapa jumlah warung pecel lele di sepanjang jalan yang Anda lalui itu?
Coba diamati juga, berapa warung pecel lele yang ada di deretan warung di sekitar kantor Anda.
Pertanyaan ini sederhana, tapi implikasinya luar biasa buat masa depan bangsa.

*
Seminggu yang lalu seorang teman memberi saya sebuah undangan; acara halal-bi halal warga asli Lamongan di Taman Mini Indonesia Indah. Sebagai penyelenggaranya adalah Paguyuban "PUALAM" (Putra Asli Lamongan). Bupati dan pejabat Pemda Lamongan direncanakan akan hadir dalam acara itu. Sebagai penutup acara, sang Bupati akan mengunjungi wilayah Kebayoran Lama yang disebut-sebut sebagai "Kampung Lamongan" di ibukota; karena -disebutkan dalam undangan itu- hampir 90% masyarakat di sana berasal dari Lamongan yang berprofesi sebagai pedagang ikan di pasar.

Semula saya tercengang; apa benar 90% warga Kebayoran Lama itu orang Lamongan?
Jika iya, lalu bagaimana dengan penjual pecel lele yang begitu banyak kita jumpai di sepanjang jalanan ibukota?

Bila sore menjelang misalnya, di sepanjang jalan Mampang Prapatan hingga Warung Jati Barat, Jakarta Selatan. Mulai dari Hero Mampang hingga Kantor Telkom Ragunan, berderet puluhan tenda warung pecel lele yang siap didirikan. Selain untuk konsumsi lingkungan kantor, mereka biasanya hanya buka di malam hari.

Begitu juga dari Jalan Saharjo (Pasaraya Manggarai) hingga Pasar Minggu. Jalan Hankam Raya; dari Plaza Pondok Gede hingga Jalan Alternatif Cibubur. Belum yang di bilangan Kalibata, Pancoran, Tebet, Kemang, Bangka, Ciputat, Pamulang, Blok M, dan di jalan-jalan kecil, lingkungan komplek lainnya. Belum juga daerah-daerah di Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor. Bisa dibayangkan, di luar Kebayoran Lama saja seperti tak terhitung jumlahnya. Plus, 90% di Kebayoran Lama, berarti betapa banyaknya warga Lamongan di ibukota.

**
Warung pecel lele memang identik dengan orang Lamongan. Tidak hanya di Jakarta. Di Bandung, Bali, Kutai Kertanegara, Balikpapan, Samarinda atau kota-kota yang lain, pecel lele adalah "trade-mark" (baca: masakan asli) Lamongan -selain soto ayam, wingko babat, nasi boranan, tahu tek, tahu campur dan sebagainya.

Mereka, para penjual pecel lele itu pada mulanya terkonsentrasi berasal dari Kecamatan Sekaran --sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian utara yang berbatasan langsung dengan Sungai Bengawan Solo. Tapi pada perkembangan berikutnya, daerah-daerah lain di Lamongan mengikuti "trend" tersebut; berprofesi sebagai penjual pecel lele. Wilayah Pucuk, Sukodadi, Laren, Kembangbahu, Sugio, Kedungpring dan Kota Lamongan sendiri pun ada.

Mereka, yang rata-rata masih muda itu melakukan eksodus besar-besaran dari kampung menuju kota-kota besar dengan berprofesi sebagai pedagang. Jual pecel lele, atau menjadi pedagang kelontong (beras, sayur-mayur) di Kalimantan dan pulau lain. Atau, ada juga yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia.

Tak heran, bila kampung menjadi kosong-melompong, hanya tinggal orang tua (baca: lansia) saja. Hampir semua anak mudanya bekerja di luar kota; merantau. Jika lebaran tiba, mereka baru pulang menjenguk orangtua. Pada saat seperti itu, kereta ekonomi Kertajaya dari Jakarta menuju Surabaya penuh-berjubel dengan penumpang dan barang. Tidak ada celah (space) kosong. Banyak orang bergelayutan di lokomotif, apalagi di gerbong. Jangankan selonjorkan badan, miring saja susah!

***
Anak muda merantau, warung pecel lele tumbuh subur di mana-mana. Sawah-ladang di desa menjadi terbengkalai. Hanya golongan tua saja yang tersisa, mau bertani. Profesi petani sudah tidak menarik lagi bagi mereka. Itu dikarenakan pemerintah tidak memiliki kebijakan yang berpihak pada petani. Dalam catatan saya sebelumnya; harga pupuk lebih mahal dari harga jual gabah. Sawah kering-retak seperti terkena gempa tsunami. Air susah. Pengairan tidak optimal. Petani jadi bangkrut. Bercocok-tanam hanya untuk menyambung hidup, tidak bisa lagi diharapkan untuk menambah kekayaan (saving, menabung). Bukan untung, petani malah buntung! Sudah begitu, pemerintah malah impor beras. Beras impor lebih murah dari beras lokal. Lengkap sudah penderitaan petani. Di Amerika, pemerintah memprotek nasib petani dengan aturan dan kebijakan yang menguntungkan mereka. Tapi di sini, pemerintah "mengabaikan nyawa" rakyatnya itu sudah lumrah.

Dalam posisi seperti itu tidak heran bila anak muda Lamongan memiliki budaya merantau yang kuat. Di saat profesi sebagai petani yang sudah tidak menarik lagi, mereka mencoba mengadu nasib ke kota-kota besar. Dari asumsi ini pula kasus Amrozi sang teroris Bom Bali I itu bisa dipahami.

Daerah Amrozi yang kering-minus (Kecamatan Solokuro), menyebabkan warga di sana eksodus ke Malaysia jadi TKI. Dari sanalah awal radikalisme agama yang dilakukan Amrozi cs, termasuk Dr. Azahari dkk bermula. Terbukti kemudian banyak di antara mereka itu menjadi TKI secara ilegal. Begitu dipulangkan dan tidak lagi punya pekerjaan di kampung, maka angka kriminalitas di Lamongan bagian utara itu pun ikut meningkat.

****
Kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada nasib petani menyebabkan sawah menjadi terbengkalai. Tak ada lagi regenerasi petani, lalu muncullah pecel lele di ibukota dan kota-kota besar lainnya. Sisanya, jadi TKI. Jika salah jalan, bisa seperti Amrozi. Inilah siklus hidup, yang kadang pemerintah sendiri sangat sulit untuk bisa dan mau memahami.
Wallaahu'alam bi ash showab.




Landmark-Jakarta, 07 Des 2005 (c) Gus John

Monday, December 18, 2006

#097: Orang Kota, Orang Kampung, dan "Kampungan": "Norax Culture" [1]

Rombongan bus yang mengangkut Aremania tertahan lama di Senayan, Sabtu malam, 19 Nopember 2005. Bahkan, beberapa bus pendukung tim Arema itu sempat dilempari oleh Jakmania -suporter Persija, yang kecewa karena timnya kalah 3-4 dalam partai Final Copa Djie Sam Soe 2005 sore itu. Padahal, hubungan kedua suporter selama ini berjalan cukup baik. Di babak penyisihan, kedua suporter saling menerima dan menyambut hangat bila tim mereka bertandang ke kandang lawan. Jika main di Lebak Bulus-Jakarta Selatan, Jakmania menyambut mesra Aremania. Begitu sebaliknya, bila bertanding di stadion Kanjuruhan-Malang, ganti Aremania yang menyambut hangat Jakmania. Tak ada bentrokan. Kedua suporter dikenal sangat akur. Damai!

Tapi tidak dengan Sabtu kemarin. Pendukung Persija mengamuk pasca Persija kalah melawan Arema. Luapan emosi mereka dilampiaskan dengan merusak fasilitas umum di sekitar Senayan. Termasuk lampu-lampu di kawasan komplek olahraga itu. Aksi brutal mereka juga dilakukan dengan melempari polisi dengan batu.

Aksi beringas Jakmania kemarin bukanlah untuk yang pertama kali. Pasca final Liga Djarum 2005 tempo hari, mereka juga melakukan anarkisme yang sama. Setelah Persija ditekuk Persipura 2-3 dalam laga final kala itu, para suporter beringas itu telah menghancurkan benda-benda di sekitar stadion, diantaranya 18 kendaraan roda empat yang hancur. Plus, tawuran dengan aparat kepolisian dan mengintimidasi suporter Persipura. Sampai Bang Yos, selaku Pembina Persija malu dan sempat mengancam akan membubarkan Jakmania bila kelakuannya tetap anarkis.

Bang Yos memang pantas marah, tim bertabur bintang dengan gaji paling mahal, plus dengan biaya anggaran yang "unlimitted" toh tidak mampu memenangi pertandingan. Dus, suporter beringas yang tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang. Entah, dengan melihat brutalnya kembali Jakmania Sabtu sore kemarin, apa yang ada dalam benak Bang Yos?!


*
Selama ini, suporter yang diidentikkan dengan kerusuhan adalah 'Bonek', suporter fanatik Persebaya Surabaya. Setiap Persebaya tanding ke Jakarta, media massa selalu meliput besar-besaran keberangkatan dan kedatangan mereka di Jakarta, layaknya liputan lebaran.

Dari pengalaman selama bergabung dengan Bonek di Senayan, mereka memang terkadang keterlaluan. Merampas makanan, minuman dan rokok milik PKL (pedagang kaki lima), menggoda perempuan yang melintas, minta duit orang-orang yang lewat, dll. Di Stasiun Senin, beberapa tahun yang lalu mereka juga pernah bikin rusuh. Begitupun kejadian-kejadian di daerah bila terjadi pertandingan derby sesama tim Jawa Timur.

Tapi, rusuh bukan hanya 'trade mark' Bonekmania. Aremania pun sama anarkisnya! Mereka hanya menjadi "suporter manis" tatkala tandang ke Jakarta saja. Tapi bila bertemu sesama suporter Jawa Timur, beringasnya mereka minta ampun. Lihat saja kasus hancurnya Stadion Wilis di Madiun, ketika Arema melawan Persikabpas Pasuruan dalam partai penyisihan lalu. Melawan Persik Kediri pun berpotensi rusuh. Apalagi bila mereka ketemu "musuh abadi", Bonekmania.

Maknanya, rusuh bukan hanya "monopoli" Bonekmania. Tapi kini juga sudah dilakukan oleh Jakmania, Aremania, Macz Man -suporter PSM Makassar, dan suporter lainnya, terutama suporter tim di Divisi I. Yang terakhir ini (Macz Man), ketika partai final wilayah barat di Senayan lalu, pada saat ribut dengan Bonek dan SNEX -suporter PSIS Semarang, mereka sudah membawa panah, pedang, parang, dan senjata tajam lainnya. Itu membuktikan kalau memang mereka datang ke Jakarta sudah berniat ingin tawuran!


**
Bila Persija ketemu Persebaya di Lebak Bulus atau Stadion "Gelora Bung Karno" Senayan, Jakmania sering mengejek Bonek dengan kata, "kampungan" bila Bonek membakar bangku duduk di dalam stadion, atau melakukan tindakan anarkis yang lain.

Dalam persepsi saya, kata "kampungan" itu menyatakan sebuah tindakan atau budaya yang dibawa oleh orang kampung yang dianggap 'norak', aneh, dan cenderung menyalahi etika-norma yang berlaku.

Dalam dunia sosial, dikenal "orang kota" dan "orang kampung". Orang kota dikenal maju, berpendidikan tinggi, cepat mendapatkan informasi, dan sebagainya. Pokoknya, peradaban mereka dianggap sudah maju. Sementara, "orang kampung" dianggap sebaliknya. Mereka dianggap norak, ndesit, konservatif, tidak bisa tertib, dan hal-hal lain yang cenderung negatif lainnya.

Sekarang, coba kita melihat kembali kasus anarkisme yang dilakukan oleh Jakmania pasca final Liga Djarum dan final Copa Djie Sam Soe di Stadion Senayan kemarin. Dengan menghancurkan aset-aset negara (seperti lampu-lampu dan taman di sekitar stadion), merusak 18 kendaraan bermotor, dan menciptakan permusuhan baru dengan suporter lain yang sebelumnya bersahabat baik, maka sesungguhnya mereka adalah orang kota yang kampungan.

Ini sekaligus mematahkan definisi dari dua topologi sosial di atas, bahwa "kampungan" dan budaya norak (norax culture) bukan hanya monopoli orang kampung semata, tapi orang kota pun bisa melakukannya. Selama pelanggaran terhadap etika-norma yang berlaku di masyarakat (prilaku destruktif) kerap terjadi, maka tidak peduli seseorang itu bertempat tinggal di kota ataupun di desa, mereka itu sesungguhnya telah norak dan kampungan!


***
"Kampungan", tidak melihat lokasi hunian; apakah seseorang atau masyarakat itu tinggal di kota ataukah di desa (kampung), tapi lebih mengarah kepada perilaku sosial yang mereka lakukan.
Wallahu'alam bi ash showab.





Jombang, 12 Nopember 2005 Jakarta, 22 Nopember 2005 (c) Gus John