Wednesday, September 24, 2008

#114: Sampah Daur Ulang

Jika musim kemarau tiba, airnya keruh kecoklatan. Terkadang tampak hitam berbusa. Tidak hanya Sungai Ciliwung, Sungai pinggiran Lanud Halim lebih parah lagi. Baunya terasa menyengat. Lebih menyengat dari sekedar bau tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantar Gebang yang terkadang “dinikmati” oleh masyarakat komplek elite Kota Wisata Ciangsana.


Dam (pintu air) Manggarai itu kering kerontang. Pintu air yang "menentukan nasib" Kota Jakarta banjir ataukah tidak itu kini bagaikan TPA sampah. Onggokan sampah tersangkut-tersaring, menjadi pemandangan sehari-hari. Hanya air yang terus mengalir hingga Ancol dan atau Muara Angke. Pemulung-pemulung sampah berlomba mencari nafkah dari tumpukan sampah yang tersaring di dam terpenting dari Sungai Ciliwung itu.


Tapi sampah tetaplah sampah. Walaupun ada juga yang bisa didaur ulang, masyarakat memandang selama mereka teronggok sesama sampah, mereka tak ubahnya kumpulan entitas yang tak berguna. Mereka terbuang karena masyarakat sekitarnya memang tidak membutuhkannya. Bisa karena nilainya rendah (tak berkualitas), atau memang dia menjadi barang yang bermasalah dengan pemiliknya sehingga tercampakkan. Anehnya, pemerintah cenderung membiarkan sampah terus menumpuk. Tidak ada political will yang tulus dari mereka untuk membersihkan sampah agar Jakarta tidak kebanjiran lagi di musim hujan akibat onggokan sampah itu. Kelak, fungsi pemulung akan sangat penting dalam kasus ini.


Sampah-sampah itu terus berkeliaran karena tiadanya sikap tegas rezim pemegang kendali masyarakat beradab. Akibat rezim pemegang kendali masyarakat beradab dengan sistem yang amburadul, sampah-sampah itu tiap bulannya masih menerima "asupan gizi" dan bercampur dengan air yang relatif bersih, menjadikan air-air terkontaminasi keharaman mereka.


Di sini, "asupan gizi" sudah tidak lagi dipandang sebagai suatu hubungan timbal-balik yang haram, tapi justru menjadi sesuatu yang biasa saja. Uniknya, sampah-sampah itu menikmati perannya sebagai sampah. Tanpa malu, mereka terus bermain dalam lakon sebagai sampah. Sebulan-dua bulan, hingga tahunan. Halal-haram sudah tidak lagi dipedulikan. Sifat-sifat pengecut yang membuat sampah-sampah itu bertahan, dan terus membiarkan dirinya teronggok sesama sampah.

Mereka terlalu penakut untuk menantang arus apalagi sampai terhanyut. Mereka menunggu belas-kasih pemulung yang kelak akan mengambil mereka kembali, dan menempatkan mereka menjadi seolah-olah barang yang berguna lagi. Dan kelak, daur-ulang sampah oleh pemulung inilah yang akan membuat peradaban semakin kotor. Barang bersih bercampur dengan daur ulang sampah. Hidup semakin abu-abu.

Wallaahu'alam bi as-showab.




(c) Lembah Ciangsana, Sahur 23-09-2008