Tuesday, July 15, 2008

#113: Belajar Dari India (1)

Sarapan pagi di Warung Tegal (Warteg) sebelah bengkel depan Bank Ekonomi. Menunya memang simpel, tapi cocok di lidah. Ada teri kecil, teri besar, tahu-jamur, ongseng kangkung, lodeh tahu, kripik tempe kering, udang ongseng kacang, dan tak lupa dadar telur lauk favoritku.

Bersama teman-teman yang lain kita sarapan sambil ngobrol. Kebetulan, salah seorang teman ada yang baru pulang dari training 2 minggu di India. Dia bercerita tentang kondisi negara asal pemimpin besar dunia, Mahatma Gandhi itu. Mulai dari soal kedisiplinan masyarakat India, adanya konvensi (hukum yang tidak tercatat, tapi dipatuhi bersama), pendidikan yang murah, komunitas muslim yang minoritas, India sebagai negara yang kumuh tapi serba high technology, televisi pendidikan yang serva Information Technology, nasionalisme tinggi, hukum dijunjung tinggi, hingga jadi polisi India yang tidak bisa disuap.

Banyak hal! Cerita oleh-oleh dari India itu -jika direfleksikan dengan negara kita; NKRI tercinta- memberikan inspirasi bagi penulis dalam hal penting, yakni soal biaya dan kesempatan dalam memilih hidup.

Di India, biaya pendidikan murah sehingga hampir semua rakyatnya mengenyam pendidikan, sementara di Indonesia pendidikan masih menjadi konsumsi yang mahal buat orang miskin. Di negeri ini, orang miskin tidak mungkin berani bisa menyentuh sekolah swasta. Mereka hanya sangat mungkin bisa menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah negeri yang memang bebas SPP, tapi belum tentu bebas biaya-biaya buku dan adanya "pungutan liar" lainnya (semacam upeti dalam bentuk apapun; pada saat kenaikan kelas, pendaftaran siswa baru dsb -walaupun tidak semua sekolah negeri seperti itu).

Di sini, konsep sekolah negeri yang gratispun baru sebatas SD hingga SMP (bukan yang kategori unggulan), belum SMA. Belum termasuk di level peguruan tinggi. Kebijakan pemerintah dengan tidak ada subsidi untuk PTN, maka masing-masing PTN harus "mengurus" dirinya sendiri. Imbasnya, biaya pendidikan menjadi mahal. Anak pintar tapi keturunan orang miskin jika tidak mendapat beasiswa/PMDK atau semacam "wild-card" tentu sangat sulit untuk bisa mengenyam pendidikan yang baik. Jika PTN saja tidak tersentuh, lalu bagaimana dengan Peguruan Tinggi Swasta (PTS)? Tentu lebih tidak tersentuh lagi. Endingnya, orang miskin hanya bisa menyekolahkan anaknya maksimal SMA saja. Kalaupun bisa lebih, tentu jumlahnya tidak begitu menggembirakan.

Hal tersebut menjadi pertanda, pemerataan kesempatan mengenyam pendidikan hanya menjadi pepesan kosong, karena sesungguhnya kesempatan memilih hidup (dalam hal ini sekolah) hanya bisa dinikmati oleh orang berduit saja. Padahal, dengan konsep pendidikan yang murah dan gratis, rakyat akan semakin pandai. Jika rakyat pandai, maka dampaknya negara bisa menjadi lebih kuat. Penegakan hukum, disiplin, etos kerja tinggi, mengurangi jumlah pengangguran, menjadi negara yang tertib, jika tertib maka akan menjadi negara yang beradab, mencegah berkembangnya virus terorisme, tingkat pendapatan per kapita bisa naik, taraf ekonomi rakyatpun bisa ikut meningkat.

Dalam konteks olahraga. Dengan penduduk kurang-lebih 220 juta jiwa, hingga sekarang kita masih kesulitan menyusun 11 pemain timnas sepakbola yang handal. Sulit memilih bukan seperti yang dialami Dunga, Pelatih Brasil yang bingung karena di Brasil banyak pemain bagus, tapi sebaliknya; Indonesia minim pemain berkualitas. Uniknya, kita bingung memilih pemain bagus, tapi tidak bingung ketika memilih Ketua Umum PSSI yang akhirnya dipenjara (dibui).

Kenapa demikian? Karena di Indonesia kompetisi sepakbola tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua maunya serba instan. Event kompetisi diadakan dengan "menodong" sponsor, bukan berasal dari sistem yang direncanakan secara matang (bottom-up or top-down system). Hal lain, sepakbola ternyata juga ada sekolahnya. SSB (Sekolah Sepak Bola) namanya. Dan ini juga harus bayar. Hanya orang punya duit yang bisa menyekolahkan anaknya untuk bisa bermain bola.

Kalau kita tengok di Brasil, anak-anak dengan bebas bermain sepakbola di jalanan. Klub-klub sepakbola tinggal memantau dan mengambil mereka yang berbakat untuk kemudian dilatih secara resmi oleh klub. Jika mereka jadi, maka keuntungan besar akan diraih oleh klub-klub itu. Mereka akan dijual ke klub-klub besar. Ronaldo, Ronaldinho adalah contoh pesepakbola dunia hebat yang berasal dari keluarga miskin. Anak-anak miskin itulah yang selama ini menggemparkan jagat sepakbola dengan transfer jutaan Euro.

Begitupun untuk olahraga yang lain. Bulu tangkis, bola basket, bola voli dan lainnya. Semua harus bayar karena nyaris tidak ada klub yang dibuat untuk gratisan (kecuali Petrokimia Gresik di era kejayaan voli-nya di tahun 80-an). Lihatlah pemain basket dan bulu tangkis timnas kita, yang dominan justru warga keturunan. Sangat sedikit sekali yang kulitnya coklat/hitam. Ini bukan bicara soal SARA, tapi ini bicara masalah kesempatan. Hal ini menandakan bahwa olahraga yang di Indonesia ini sudah dianggap memasyarakat sekalipun, ternyata hanya bisa dinikmati orang-orang yang berduit saja.

Anak orang miskin yang memiliki bakat voli, basket, badminton sejak kecil, di masa muda dan tuanya hanya bisa sebatas buat tingkat 17-an belaka, karena untuk bisa masuk klub mereka tak punya biaya. Dampaknya seperti problem di atas; mencari 11 pemain timnas sepakbola saja kita sebagai negara (kepulauan) besar sudah gagal. Jika uang sudah bicara, maka hanya orang kaya yang bisa. Jika uang sudah bicara, maka jangan harap kualitas pendidikan merata. Jika pemerataan pendidikan dan olahraga saja pemerintah sudah gagal membuat policy, bagaimana dengan konsep mengatur pemerintahan?

Dalam hal ini, (tidak perlu malu) belajarlah dari India!



Warteg Pengkolan WB-1, 16 July 2008, 10:00 WIB.
(c) aGusJohn al-Lamongany

#112: Harta Yang Tak Ternilai

Jam menunjuk ke 00:00. Tiba-tiba kuterjaga dari tidur. Alunan musik dangdut dari rumah orang yang punya hajatan di komplek atas, bersahut-sahutan dengan sayup-sayup jaipongan di atas bukit, di atas Kali Cikeas -dua tempat yang berseberangan. Rupanya, musik-musik itu yang ikut membangunkanku.

Kulihat sebelah kiriku. Putriku, Sekar Ayu NakMas Pambayun tidur dengan pulasnya. Ekspresi tidurnya begitu merdeka! Sangat bebas. Tangan mengepal ke atas, kedua kakinya terbuka lebar seenaknya. Jika nyamuk datang menyergap, dia akan jumpalitan ke sana-ke mari. Terkadang posisinya berputar. Selimut pun dia singkirkan jika dikenakan di tubuhnya -padahal sambil tidur. Benar-benar sebuah gambaran "jiwa yang merdeka"!! Tadi, dia memang tertidur sebelum film kesayangannya "Make Way for Noddy" yang diputar setiap jam 21:30 usai.

Kupandangi sekali lagi wajah Pambayun yang tertidur pulas. Aku seperti memainkan syntax "mirror" dalam software AutoCAD. Bibirnya yang manyun, hidungnya yang pesek, alisnya yang tebal, bulu matanya yang lentik. Timbul getaran lirih dalam dadaku. Aku seperti melihat bayanganku sendiri. Sungguh sangat berbeda ketika dia sudah bangun. Yang tampak dominan adalah wajah mamanya.

Di saat musim kawin nyamuk seperti ini, tidurku terasa kurang karena harus sering-sering menjaga Pambayun dari gangguan nyamuk. Kupandangi sekali lagi Pambayun. Kucium dalam-dalam pipinya, dahinya, kepalanya, dadanya, punggungnya sembari kulafalkan Sholawat. Ini adalah kebiasaan yang kulakukan sejak dia masih di kandungan mamanya; baik di kala dia tidur ataupun tidak.

Suara nyamuk mengiang-ngiang di kamar belakang yang gelap. Kutinggalka Pambayun menuju ke kamar mamanya. Kucium perut mamanya yang sudah masuk di usia 37 minggu. Tendangan keras menyambut ciumanku. Sang "Putra Nahdlatul Wathan" itu sedang menikmati kehidupan di balik perut mamanya. Tendang di bagian perut atas-bawah, kanan-kiri. Mamanya masih saja tidur dengan pulasnya.


***
Anak-istri adalah rejeki yang luar biasa dan tak ternilai harganya. Mereka adalah harta yang tak terukur. Kebahagiaan, kesehatan, keberadaan mereka adalah kenikmatan, karunia Tuhan Yang Maha Kuasa! Mereka adalah titipan Tuhan, dan kita -kaum Adam/Bapak- adalah personal in charge atas amanah itu.

Keceriaan mereka adalah keceriaan kita. Kesedihan mereka adalah kesedihan kita juga. Mereka bukanlah sesuatu yang taken for granted; ada dengan begitu saja. Mereka tercipta (oleh Tuhan) untuk diriku, dan diriku diciptakan (oleh Tuhan) untuk mereka. Terkadang, kita merasa mereka ada dengan natural-alamiah, dengan sendirinya, sehingga kadang membuat kita tidak sadar dan lupa akan adanya sebuah amanah itu.

Sekali lagi, pandanglah anak dan istrimu di kala mereka tertidur pulas dengan segala ketidakberdayaan mereka. Tataplah dalam-dalam, ciumilah mereka, dan pahamilah posisi kita sebagai Ayah-Bapak, teman hidup, pembimbing, penjaga, kepala rumah tangga, suri-tauladan. dan apapun posisinya bagi mereka.

Semoga kita semakin cinta keluarga!
Amiin.



Pesanggrahan Bumi Ciangsana, 15 July 2008, 00:30.
(c) aGus John al-Lamongany