Wednesday, November 15, 2006

#075: Mendorong Kiai Semar Menjadi Raja


Nasution, salah seorang aktivis gerakan mahasiswa '98, ingin bertemu dengan Kiai Semar. Ia merasa pusing melihat peta gerakan politik di lapangan dewasa ini yang menurutnya sangat membingungkan. Karenanya, ia kemudian menghubungiku, meminta bantuan agar ia dan teman-temannya bisa bertemu dengan Kiai Semar secepatnya.

"Kenapa harus melalui saya?", tanyaku.

"Karena saya tahu, anda bisa membantu kami untuk menembus Kiai Semar," alasan Nasution mencoba untuk meyakinkanku.

"Kenapa tidak melewati saluran yang lain?"

"Secara ideologi, tidak bisa. Kita sangat berharap anda bisa membantu kami."

"Apa yang akan anda sampaikan?"
Aku bertanya agak rinci karena tidak ingin peranku disalahgunakan dan disalahartikan. Nasution pun menceritakan kegundahannya bersama rekan-rekannya dalam melihat dan menganalisis keruwetan politik saat ini. Menjelang pemilu yang sebentar lagi akan diputar, seperti biasa, gerakan mahasiswa kembali selalu mencari momentum yang tepat untuk bergerak. Untuk memetakan, siapa kawan dan siapa lawan. Menurutnya, saat ini kekuatan politik Indonesia terpolarisasi ke dalam tiga kutub utama yang sangat kelihatan bermain, yakni: kekuatan api, langit dan daun kering. Karena kebingungan ini, ia dan teman-temannya sangat ingin tahu, Kiai Semar berada di posisi mana.

"OK. Akan saya usahakan, tapi saya tidak janji," jawabku dengan tidak yakin bisa menyampaikan aspirasi mereka ke Kiai Semar.

"Terima kasih, Gus."


#
Kejadian seperti ini membuat pikiranku semakin ruwet. Dalam kondisi depresi seperti saat ini --karena harus memikirkan banyak hal dalam satu otak, masih saja ada amanah yang harus kuemban. Batin pun berpolemik, "Memang aku ini siapa?" Tapi kemudian keraguan itu buyar, bila mendengar teriakan batinku yang lain, "Kau tak boleh mengecewakan permintaan orang lain!". Kompromi batin itu akhirnya meluluskan permintaan Nasution, sahabatku. Dan, saluran yang bisa menembus Kiai Semar yang paling efektif hanyalah melalui Kiai Mujurono. Sosok kiai misterius, yang sikapnya masih membingungkanku hingga kini.

Kuhubungi Kiai Mujurono. "Saya, Kiai. Kiai ada di mana?"

"Saya sedang rapat," jawab suara laki-laki setengah baya itu. "Ada apa?"

"Gini, Kiai. Ada teman-teman gerakan ingin menyampaikan aspirasi ke Kiai Semar. Kapan njenengan ada waktu agar kita bisa bertemu?"

"Saya lagi sibuk ngurusi pemilihan calon wakil rakyat e, mas," ujar Kiai Mujurono, "sampeyan hubungi saya setelah tanggal 20 saja ya?"

"Inggih, Kiai."

Dengan sabar, kutunggu tanggal itu. 20 Januari adalah batas akhir kelengkapan syarat-syarat anggota calon legislatif yang harus sudah diterima oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Setelah dua hari terlewat dari tanggal itu, kuhubungi kembali Kiai Mujurono, "Gimana, Kiai? Saya ingin konfirmasi soal pertemuan yang saya maksud kemarin."

"Saya masih sibuk banget, mas. Sampeyan hubungi saya minggu depan ya?"

"Oh, nggih, kiai."

Hubungan seperti ini memang butuh kesabaran yang luar biasa. Suka-duka selama ini berusaha kuarungi dengan penuh ketabahan. Dan kembali aku harus menunggu untuk ke sekian putaran waktu. Nasution kembali menelponku.
"Gimana perkembangannya, Gus?"

"Aku belum mendapatkan kepastiannya. Anda tunggu saja!"


#
Jangankan detik, menit, jam ataupun pergantian hari. Bulan pun berputar begitu cepat seperti tak memiliki arti. Kini sudah masuk di akhir Januari. Rasanya, bulan Juni 2003 masih baru kemarin. Apalagi, Septembernya! Kuhubungi lagi Kiai Mujurono. Tidaklah mudah menghubungi orang sibuk seperti dirinya. Sebagai orang kepercayaan Kiai Semar, agendanya terlalu padat. Terkadang, aku sendiri merasa risih selalu mengganggunya. Tapi, bagaimana dengan amanah yang kuemban? Hanya tugas dan kewajiban yang tetap membuatku bertahan dan memberanikan diri untuk selalu mengusik waktunya.

"Gimana, kiai?", tanyaku.
Ada gelagat Kiai Mujurono pura-pura lupa. Terbersit keengganan di balik perkataannya. Terus saja kudesak. Ini adalah persoalan tanggung jawab dan tugas (baca: amanah). Dan, kalaupun gagal, paling tidak, aku sudah melalui perjuangan yang maksimal.

"OK. Hari ini saya menemani Kiai Semar hingga jam 3 sore di Padepokan Keramat. Saya tunggu anda dan teman-teman di sana."

"Terima kasih, Kiai".
Langsung kuhubungi Nasution dan teman-temannya. Sepakat, kita bertemu di Padepokan sebelum jam 3 sore.


#
Jalanan ibukota padat-merayap sore itu. Aturan "three in one" dan penerapan sistem transportasi baru, busway, membuat kemacetan terdistribusi secara merata di ruas-ruas utama jalanan ibukota negara. Termasuk ruas jalan yang tepat berada di depan Padepokan Keramat, tempat yang kutuju.

Padepokan itu berdiri megah di pinggir Kali Ciliwung. Beberapa mobil mewah parkir di depan dan basement padepokan. Sebuah mobil kedutaan asing berwarna krem dan bermata kucing, ada di antara deretan mobil yang parkir. Sekian menit yang lalu, beberapa utusan diplomat bule masuk ke padepokan. Tak kujumpai Grozny, Menlu Inggris. Ataupun Ralp Boyce, Menlu Amerika Serikat.
Ataupun Downer, Menlu Australia. Lalu dari manakah gerangan rombongan diplomat tadi?

Kuabaikan saja. Aku langsung masuk padepokan. Kulihat pintu ruang Kiai Semar tertutup. Kumenuju lantai atas, ingin 'sowan' ke Kiai Darso, karena sudah lama tak bertemu-muka. Ruang Kiai Darso juga tertutup rapat. Gelap gulita. Kuintip lewat kaca. Tak ada seorang pun ada dalam ruangan itu, termasuk staf. Kutelpon Kiai Darso. "Saya masih di rumah, mas," jawab Kiai Darso. "Ada apa?"

"Hanya silaturahmi saja, Kiai. Kebetulan saya sekarang berada di padepokan. Sekalian ingin mampir."

Karena tak kutemui Kiai Darso, kuhubungi Kiai Mujurono via sms.
'Saya sudah di padepokan, Kiai.'
'Di mana? Saya tunggu di ruang tamu Kiai Semar, ya?', Kiai Mujurono membalas sms saya.

Nasution menelepon. "Kiai Semar sudah keluar, Gus."

"Well, kita ketemu dengan Kiai Mujurono saja".

Aku langsung bergegas menuju ruang khusus Kiai Semar, yang biasanya digunakan untuk menerima tamu-tamunya. Kulihat, di depan ruangan itu begitu ramai. Banyak tamu. Kiai Semar baru saja meninggalkan ruangan. Sehabis sakit tak mengurangi jadwal kegiatannya yang tetap padat. Di depan pintu, aku berpapasan dengan Kiai Thoyib dan beberapa orang dekat Kiai Semar. Kiai Thoyib adalah kiai yang memberikan review (ulasan singkat) terhadap kumpulan tulisanku selama ini. Sedikit aku ngobrol dengan Kiai Thoyib sebelum menemui Kiai Mujurono.

Setelah berbincang dengan Kiai Thoyib, aku masuk ke lorong dalam padepokan itu, menuju ruang Kiai Semar. Secara tak sengaja berpapasan dengan Kiai Mujurono. Kusalami ia. Beberapa aktivis perempuan ngerumpi di depan ruang khusus Kiai Semar. Kuberikan salam bagi yang kukenal.

"Silahkan masuk, Gus," kata Kiai Mujurono.
Aku masuk ke ruangan Kiai Semar. Foto kira-kira berukuran panjang 1 m x 0.5 m, bergambar orang-orang dari berbagai marga Tionghoa di Indonesia, terpampang di dinding ruangan sebelah utara. Kiai Semar duduk berada di tengah-tengah komunitas Tionghoa dalam foto itu. Berbagai macam plakat penghargaan terpajang di sebelah pojok barat-selatan ruangan. Seperangkat kursi sofa berwarna coklat yang antik terjajar memenuhi ruangan. Kupilih duduk di sebelah pojok barat. Tepat persis di bawah foto tadi. Aku berbincang santai dengan Kiai Mujurono. Sudah lama kita tak bertemu. Tak lama kemudian, Nasution dan teman aktivisnya datang. Kita berbincang hanya setengah jam, karena Kiai Mujurono harus ada acara di tempat yang lain. Kita mapping kondisi gerakan di lapangan. Melakukan hitungan geopolitik. Melihat pergesekan politik lokal dan peran dari tangan-tangan internasional dalam pemilu mendatang. Khususnya, dalam proses pemilihan raja secara langsung. Dalam pertemuan inilah ada satu kesimpulan, peluang Kiai Semar untuk menjadi raja sangat terbuka.

"Tinggal sekarang anda dan teman-teman gerakan yang mendorong dan merealisasikannya di lapangan," pesan terakhir Kiai Mujurono.



Padepokan Tebet, 28 Januari 2004 (c) Gus John

#074: Angan Seorang Buruh Kecil


Masyarakat di sekitar lingkungan Chekov dibesarkan mengatakan, Chekov adalah seorang pemuda yang cemerlang. Sejak kecil ia sudah menunjukkan kenakalan yang luar biasa. Setiap hari hampir tidak ada anak tetangga yang tidak menangis akibat ulahnya. Naluri sebagai jiwa pemberontak sudah mulai kelihatan tatkala dia dengan berani melawan orang yang lebih tua, yang dianggapnya berbuat tidak adil di kampungnya. Seorang kepala desa pun pernah ia lempar dengan batu kerikil, karena ia sangat membenci ulah dan kelakuan kades yang tidak patut ditiru itu.

Chekov kecil sudah mulai lancar membaca koran sejak masih TK. Semasa sekolah, ia selalu menyabet rangking terbaik. Ia termasuk pemuda yang serba-bisa. Ia tak punya hobi yang spesifik. Dalam dirinya, mengalir darah seni. Suaranya merdu bila menyanyi. Terutama lagu-lagu Nostalgia. Ia juga pandai melukis. Hobi terbarunya adalah membaca dan menulis. Semuanya itu, ia peroleh secara otodidak, karena kedua orang tuanya tidak mewariskan ilmu
apapun kepadanya. Kecuali petuah dan kebajikan.

Dari catatan-catatan mulus dan brilian dari seorang anak keluarga miskin seperti itu, setiap orang tidak menyangka, dalam proses alur hidupnya kini, ia harus menjadi seorang buruh kecil di sebuah perusahaan "katak dalam tempurung". Sementara ia sendiri tak menyukai rutinitas kantor yang ia anggap membuang usia produktifnya. Ia merasakan tak mendapatkan apa-apa
selama bekerja di pabriknya, kecuali usianya yang semakin bertambah tua. Entah, sampai kapan?


#
Chekov adalah profil pemuda berbakat korban kemiskinan. Ia menjadi korban pragmatisme kehidupan, yang hampir dianut oleh mayoritas masyarakat di negeri ini. Banyak orang masih beranggapan, bisa bekerja lebih cepat itu lebih baik daripada harus menekuni dengan sabar jalur pendidikan yang lebih tinggi. Di sini, hampir semua orang tua mendoktrin anaknya seperti itu.
Sekolah tidak perlu terlalu tinggi, asalkan langsung bisa bekerja. Atau, mencarikan anaknya sekolah yang bila lulus bisa langsung bekerja. Sebuah kenyataan yang kontradiktif, di mana ijazah masih menjadi pegangan dasar dalam dunia kerja di negeri ini, tapi mayoritas masyarakat justru lebih memilih pragmatisme hidup yang berfokus pendek seperti itu.

Bila boleh memilih, tentu Chekov tidak ingin dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga miskin. Kedua orang tuanya seorang petani. Saudaranya banyak. Lebih dari setengah lusin jumlahnya. Tentu, sangat berat bagi kedua orang tua Chekov untuk mengurus keluarga besar seperti itu. Mampu menyekolahkan anak-anaknya saja sudah cukup. Melihat beban ekonomi yang berat seperti itu, sangatlah wajar bila kemudian orang tua Chekov mengharapkan anak-anaknya
langsung bisa bekerja setelah lulus sekolah menengah atas. Maka, sebelum Chekov dimasukkan ke sekolah menengah, orang tuanya berpesan, "Semoga setelah lulus, engkau langsung bisa bekerja, Nak."

Sebagai seorang anak dari keluarga miskin, tentu harapan itu ia pegang erat-erat. Tapi kini Chekov menjadi lebih terperanjat tatkala mengetahui bahwa teman-temannya yang dulu tidak mampu mengejar rangkingnya sewaktu di sekolah, kini beberapa di antaranya telah mengambil program Master (S2) dan Doktor (S3) di mancanegara. Khususnya di Singapura dan Afrika. Sebuah realitas yang semakin membuat Chekov menggumamkan ketidakberdayaan pada kondisi ekonominya, "Mereka beruntung. Mereka tidak lebih pandai dari aku, tapi mereka punya kesempatan dan modal yang besar untuk mengembangkan potensinya." Sebuah kecemburuan positif dari seorang berbakat yang lahir dari keluarga miskin.

Chekov selalu membatin dalam dirinya, "Aku boleh terpuruk, tapi tidak dengan generasi penerusku. Mereka harus lebih hebat dari aku." Sebuah proses pembelajaran hidup yang sangat dipegang teguh oleh Chekov, kelak untuk membangun generasi penerusnya agar bisa lebih baik dan tidak menjadi korban pragmatisme hidup seperti yang menimpa dirinya.
Sebuah angan-angan besar, dari seorang buruh kecil.




Padepokan Tebet, 20 Jan '04 (c) GJ

#073: Jiwa yang Lusuh


Gelap mulai merayap. Ia terus berjalan, sore itu, menyusuri jalanan trotoar, pulang menuju rumah kontrakannya. Begitu sampai, ia lalu benamkan pikirannya dalam tumpukan bibliografinya. Terlalu banyak ide bagi Chekov untuk menuangkan semua pernik-pernik hidup ini dalam satu dekapan otaknya. Bila dituruti, sehari bisa banyak ide yang keluar dari sel-sel otaknya. Tapi, ada kesibukan lain yang tak bisa berkompromi untuk mengaktualisasikan segala
inspirasi itu. Karenanya, terkadang ia terlalu lelah dalam balutan ide dan gagasan besarnya.

Jam kerja kantor telah usai sudah. Angka menunjuk 17:00, ruangan kantor telah sepi. Chekov sudah keluar ruangan sebelum jam 16:00 tadi. Baginya, adalah sebuah pembunuhan usia duduk di kantor tanpa aktivitas pengembangan diri. Sangat tidak berguna. Apalagi, mekanisme manajemen kantornya tak seprofesional yang ia harapkan. Ia menyadari penuh, kantornya saat ini hanyalah sebuah tempat singgah untuk menyambung hidup. Tak lebih dari itu. Itu terpancar dari style Chekov yang cenderung bebas-anti aturan dan tidak mau terjebak pada hal-hal yang membelenggu.


#
Entah, sejak kapan Chekov menyerah pada keperkasaan Dementor. Yang pasti, kehidupan 'di bawah sadar' ini terus berlanjut hingga kini. Dalam kondisi seperti ini, aku sendiri tak yakin, Chekov bisa berbuat ramah dan bisa berbuat baik pada semua orang. Kesabaran, kesetiaan, konsisten seseorang tentu ada batasnya. Dan, sebagai teman dekatnya, aku sendiri tak bisa
memprediksikan sampai kapan batas didih yang bisa membuat kesabaran Chekov itu meleleh.

'Itu sangat membahayakan,' gumamku lirih penuh keprihatinan. Aku sangat tahu efek dan dampaknya bila Chekov memutuskan melakukan 'revolusi' , mengubah 180" dari kiprah sosialnya.

Chekov memang sosok humanis, penyayang manusia yang papa-menderita. Ia juga sangat peduli pada lingkungannya. Sabarnya luar biasa. Kesetiaannya tak perlu diragukan. Tapi, sampai kapan? Aku sendiri tak yakin, pergeseran jiwa Chekov bukan tanpa penyebab. Tentu ada penyebabnya. Dan, saat ini, barangkali tak ada manusia yang berarti baginya, kecuali Scotty, perempuan belia yang setia menemaninya dalam duka. Tak ada satupun teman dekatnya yang ia percaya. Karena, kalau tidak khianat, ya bongkar aib. Itu sudah menjadi
kebiasaan lingkungan yang terjadi di sekitar Chekov.


#
Jiwa Chekov kian hari kulihat semakin lusuh. Sisa-sisa kehebatannya memang masih nampak. Tapi penurunan kualitas kejiwaan ini sungguh memprihatinkan. Aku sangat khawatir, bila ia tak mampu lagi mengatasi problematikanya, kemudian memutuskan untuk meninggalkan hingar-bingar kehidupan sosial-masyakat yang ia lakoni selama ini. Bila ini yang terjadi, tentu akan menjadi sebuah kerugian besar bagi komunitas yang telah ia rintis dan besarkan.

Chekov telah melakukan pengorbanan yang luar biasa besar. Ia tinggalkan gemerlap kehidupan di luar. Ia lebih memilih sebuah komunitas kecil yang ia rintis dan dirikan. Ia dedikasikan waktu dan pikiran. Padahal, dia bisa bermain dan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari luar komunitas itu.

Sebagai seorang sahabat sejati, aku hanya bisa mengatakan, "Bangunlah, Chekov. Bangunlah, sobat! Masih banyak orang yang membutuhkan peranmu!"




Padepokan Tebet, 20 Jan '04 (c) GJ

#072: Duka Seorang Chekov


Hujan rintik menyelimuti Batavia di pagi hari, awal abad 21 ini. Matari sudah beberapa bulan mengalah, tak menunjukkan lagi keperkasaannya. Awan-mendung berarak membuat gelap ibukota. Di sana-sini jalanan aspal basah merata. Mobil merayap lambat di atasnya. Di antara lalu-lintas yang padat itulah, terselip seorang pemuda berperawakan kurus, berkacamata tebal meniti jalan demi jalan menuju tempat kerjanya, yang berjarak sekitar 500 m dari rumah kontrakannya. Dengan muka masam, ia berjalan gontai sambil membawa beberapa buku bacaan. Pagi benar ia sudah berangkat, menyisiri kali kecil di pinggir jalan, menuju kantornya.

Aku mengenalnya: Chekov. Seorang pemuda berbakat, dari keluarga miskin yang mencoba peruntungan hidup di kota besar, Batavia. Ia besar secara otodidaks, karena hobi dan bakatnya tak sejalan dengan latar bekalang pendidikannya. Ia termasuk pemuda periang. Optimis dalam menatap masa depan. Tapi, sebentar! Tidak dengan pagi ini. Wajahnya kelihatan bermuram-durja.

'Chekov terantuk pada masalah yang berat,' pikirku. Ia kelihatan sangat murung beberapa bulan belakangan ini. Tak ada lagi keceriaan, kebahagiaan, yang terpancar di raut mukanya. Yang ada hanya kesedihan. Keluhan. Duka. Bahkan, secuil harapan pun seolah sirna. Lepas entah pergi ke mana. Chekov seperti didekap Dementor, makhluk mengerikan penghisap kebahagiaan, harapan, dan segala energi positif manusia, penjaga penjara sihir Azkaban dalam
serial novel Harry Potter.

Memang, kumelihatnya, ia masih bisa tersenyum, bercanda-tawa. Berguyon-ria. Tapi siapa sangka, senyum itu hanyalah bungkus dari kepahitan hidup yang ia alami, kini. Yang ia pikirkan, hanyalah bagaimana mencoba keluar dari lorong kegelapan, berjalan terseok-seok dalam proses memilah masa depan. Sebuah persoalan yang tak mudah diselesaikan begitu saja bagi sosok pemikir ini.

Barangkali, problematika ini adalah pukulan yang terberat bagi Chekov sepanjang sejarah hidupnya. Semua masalah seperti bermuara pada satu titik didih. Dan ia seperti berada, terjebak dalam lubang lumpur muara itu.

Bagi orang ekstrovert semacam Chekov yang kukenal selama ini, hidup berdiam diri seperti ini membosankan! Hidup seperti pengemis di dalam kantor yang tak punya visi dan mekanisme manajemen yang profesional. Perubahan manajemen ke manajemen baru tak pernah membuahkan hasil yang berarti, kecuali hanya roda organisasi perusahaan yang berjalan seperti katak dalam tempurung. Hanya golongan elite saja yang merasakan lezat-nikmat dalam setiap perubahan itu, tapi bagi karyawan kecil semacam Chekov dengan gaji yang pas-pasan,
restrukturasi atau apapun namanya, tak ada lagi gunanya. Omong kosong belaka!

Hidup yang tak lagi memiliki tantangan. Terikat dengan perasaan orang bila akan setiap bertindak. Tak sebebas burung elang dalam mengekspresikan setiap ide dan gagasan. Intelektualitas Chekov seperti terparkir oleh lingkungan yang serba mengagungkan materialisme.

Sungguh malang nasib Chekov. Ia seperti harus berjalan tertatih-tatih sendirian. Tak ada yang peduli. Termasuk kedua orang tuanya. Itu karena ia sudah terbiasa berjalan menentukan nasib sendiri sejak usia dini. Kadang, dalam kesesakan yang terdalam ia sempat berkata kepadaku, "di mana posisi dan fungsi kedua orang tuaku?"

Aku tahu, hanya Scotty yang sering menemani Chekov, baik dalam telepon, sms ataupun e-mail. Mungkin, dia satu-satunya teman yang bisa diajak berbagi kenestapaan oleh Chekov. Chekov pun sangat menyayangi Scotty. Bukan cinta, tapi hanya peduli. Chekov sudah berniat itu hanya hubungan persahabatan. Tak perlu ada cinta, karena persahabatan bisa lebih langgeng dari hanya sebatas cinta. Chekov hanya punya tanggung jawab moral untuk selalu memperhatikan
Scotty. Bagi Chekov, Scotty mengingatkannya pada sosok Katherine, teman perempuan Chekov ketika masih sama-sama hidup membujang di Batavia beberapa tahun silam. Dengan Katherine, Chekov pernah mengarungi samudera pencarian jati diri yang berujung pada pilihan ajaran agama yang hakiki. Bagi Chekov, Scotty adalah prototype seorang perempuan belia yang harus sukses dalam segala hal; ya kerja, kuliah, bersosial-masyarakat dan sebagainya. Satu hal yang Chekov sendiri mengakui akan kekeliruannya dalam melakukan strategi menggapai cita-citanya.


#
Entah sampai kapan, Chekov bisa pulih, keluar dari cengkeraman Dementor dan lingkungan puritan yang mengelilingnya.




Padepokan Tebet, 19 Jan '04 (c) GJ

Sunday, November 12, 2006

#071: Masih Belum Menyerah


Paijo dibuat pusing. Raden Ayu Jumilah masih belum juga mau menyerah. Ia terus mendesak agar hubungan mereka kembali bisa terajut indah seperti yang dulu kala.

"Ada satu hal yang sebenarnya saya malu untuk menyampaikan, tapi saya ingin jujur: saya belum bisa melupakan pengalaman-pengalaman indah yang pernah ada di antara kita. Gila!", tulis Ayu dalam e-mailnya. Sebuah bentuk kejujuran dari perasaan seorang perempuan.

Hati Paijo kontan luluh. Ia hanya bisa terdiam. Lidahnya terasa keluh. Jemarinya serasa kaku. Tak ada lagi gerakan jari-jemari yang lincah di atas keyboard. Ia menghela napas dalam-dalam. Istighfar. Hanya bisa terpaku di depan monitor dengan jemari yang tertekuk lemas. Tak ada daya.

Paijo lalu mengangkat kedua tangan. Kedua jari-jemari telapak tangan itu ia eratkan satu sama lain dengan posisi sikunya masih di atas meja. Ia menunduk, membenamkan mukanya di punggung jemari yang saling merapat itu. 'Hm, kenapa bisa begini?', guman Paijo.

Ya, pada awalnya Paijo memang tak berniat berkomunikasi yang lebih, atau bahkan berdiskusi tentang masa lalu. Ia hanya ingin mengucapkan selamat atas tulisan Ayu di sebuah koran di East Java beberapa hari sebelumnya.

"Selamat, Jeng. Seharusnya begitulah anda sebagai seorang tokoh aktivis perempuan. Harus ikut aktif beropini di media massa," tulis Paijo saat itu. Dan, Paijo tak pernah membayangkan, bila balasan email Ayu seserius seperti itu, walaupun sempat di paragraf awalnya, Ayu menulis:

"Dear Paijo, Tulisan itu lahir dari kondisi yang sangat terpaksa, untuk menyemangati teman-teman saya yang terjun ke dunia politik, khususnya teman-teman di East Java. Saya lupa kalau koran itu bukan jurnal, jadi tulisan saya banyak yang di-'kebiri'. Sejujurnya, saya lebih suka menulis untuk jurnal ketimbang koran, apalagi buletin :)".

Ada keseriusan jawaban atas pertanyaan Paijo dari email Ayu. Pun begitu dengan humornya yang kelihatan segar dan cerdas. Tapi, paragraf berikutnya itu yang membuat masalah bagi Paijo.

Paijo hanya bisa terdiam. Ia mencoba bersikap bijaksana melihat kondisi seperti ini. Bagaimanapun, ia sangat menyadari, Ayu masih mencintainya. Sudah berkali-kali Ayu berusaha menghubunginya, walaupun hanya sekedar mengucapkan selamat berpuasa ataupun ucapan selamat lebaran saja. Paijo sudah berniat, ia tak mungkin kembali pada masa lalu, kecuali hanya
menengoknya saja untuk pelajaran bagi masa mendatang. Kalaupun kemudian ia bersikap lunak pada Ayu, itu hanya karena ia tak ingin melukai perasaan Ayu. Menjaga perasaan Ayu.

"Jeng, saya tak mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita yang sudah lewat. Saya hanya ingin kita bisa berkomunikasi kembali secara normal seperti sebelumnya. Walaupun ada luka, tapi tak perlu ada dendam. Percayalah, anda pernah berarti bagiku, karena engkau adalah masa lalu yang pernah hinggap dan menyentuh hatiku. Tapi sudahlah, kita punya jalan yang
berbeda sekarang. Kita bisa saling menghargai tanpa harus saling memiliki," tulis Paijo menutup kerisauannya sore itu.

Tapi kerisauan itu belum juga mau sirna. Terus menghinggapi Paijo selama beberapa hari lamanya. Membuat pusing Paijo. Menggelitik konsep dan komitmennya.

'Ayu, ternyata kau masih belum juga menyerah,' lirih Paijo dalam-dalam.



Padepokan Tebet, 19 Jan '04 (c) GJ