Friday, November 03, 2006

#063: Inspirasi


Seorang pria sederhana, dengan kumis tebal dan rambutnya yang agak panjang, mendatangi tempat tinggalku di Cililitan beberapa tahun yang lalu. Ia orang daerah. Datang ke Ibukota dalam rangka diundang sebagai pembicara di sebuah seminar tentang hukum yang diadakan oleh Departemen Dalam Negeri di Gedung Bidakara, Pancoran. Aku sering memanggilnya, Cak Wadi. Ia seorang Doktor hukum lulusan sebuah universitas negeri di Semarang. Kini, ia menjadi dosen di sebuah universitas swasta di Kota Pahlawan.

Saya menyukainya. Baik tulisan ataupun sikapnya yang bersahaja. Walaupun ia seorang kolumnis ternama spesialis hukum di berbagai media massa lokal dan nasional, tapi rumahnya sangat sederhana. Itu kuketahui setelah aku beberapa kali berkunjung ke rumahnya.

Ketika ngobrol di Cililitan itulah, aku mendapatkan banyak "pelajaran" dari Cak Wadi. Diantaranya, Cak Wadi bilang, kegemarannya menulis muncul sejak usia muda. Ia rajin menulis ke koran ketika masih kuliah di Strata-1 (S1). Ketika dia masuk di S2 justru frekuensi menulisnya menurun. Begitupun kualitasnya. Ini ia akui sendiri.

Begitulah. Hari itu aku mendapatkan "pelajaran hidup" yang sangat berharga dari Cak Wadi. Bahwa, persoalan ide itu tak memandang usia, strata pendidikan, status sosial (jabatan) ataupun latar belakang. Ide bisa datang ke siapa, di mana, dan kapan saja.


#
Dik Wijiasih (salah satu partner diskusiku) memintaku agar setiap tulisanku diselingi humor-segar. Itu ide menarik! Tapi, yang namanya 'ide' tak bisa dibatasi atau diatur-atur, dik. Ia datang begitu tiba-tiba laksana gumpalan awan. Bila tak ditangkap, ia akan kabur laksana angin. Begitu ia datang, lekas-lekas kutuangkan. Maka, jerawat pun hilang.

Ide atau aku sering menyebutnya sebagai inspirasi adalah anugerah Ilahi. Ia bisa berupa sesuatu yang berisi canda-tawa. Bisa juga yang serius seperti karya ilmiah. Tergantung suasana hati yang menyertai. Bila hati berbunga, maka cerahlah tulisan itu. Sebaliknya, bila nurani bermurung duka, maka tampak mendunglah sang karya.

Inspirasi. Tidak hanya menjadi monopoli orang pintar, penulis, novelis, pengamat politik, sastrawan, dan sebagainya. Tapi ia bisa menghinggapi siapa saja. Orang awam, bukan penulis, yang tidak bisa menulis, dan lain-lain pun punya kesempatan yang sama. Karena inspirasi adalah karunia Gusti Pengeran.

Bisa jadi, orang awam punya ide lebih brilian dibandingkan orang kaum elite. Bedanya mungkin, bila ide itu ditangkap oleh orang elite, mereka memiliki kelebihan pendukung lainnya. Seperti, pengetahuan dan wawasan yang luas (berhubungan dengan referensi), gramatikal (tata-bahasa), sehingga ide itu kemudian bisa dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang hebat. Sementara, orang awam, walaupun dengan segala ide cemerlangnya, hanya bisa terkungkung
pada pola pikir dan wawasan yang sebatas ia kuasai.

Karenanya, soal inspirasi itu, kita tak perlu rendah diri (minder). Yang penting kita bisa menuangkannya dengan lugas dan lancar, walaupun karya kita itu tak sepuitis penyair, tak seindah novelis, dan tak sehebat karya penulis. Asalkan kita bisa mengaktualisasikan ide dengan sederhana namun jelas, dan apa (baca: tema) yang ingin kita sampaikan mengena, itu sudah
cukup. Setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama untuk bisa menangkap inspirasi. Begitupun untuk mengaktualisasikannya.




Pancoran, 9-Des-'03
(c) Gus John

#062: Jedingku Wis Ndak Lucu Lagi*


"Jedinge kok lucu?" jare Kartolo.

"Yo ngene iki jenenge jeding kampung, Lo," jawabku.

Begitulah kenyataannya. Kampungku memang pinggiran. Kira-kira 3 kilometer ke arah barat dari kota Lamongan. Tepatnya di pinggir jalan raya dan rel kereta api jurusan Surabaya-Jakarta. Dibilang kota ya tidak. Wong, mayoritas profesi penduduknya sebagai petani. Tapi dibilang 'ndeso' banget ya tidak, karena segala sarana sudah lebih baik dibandingkan dengan tempat lain yang umumnya masih disebut sebagai "desa". Kampungku 'ndeso' itu mungkin ketika aku masih kecil. Tapi kini, bangunan-bangunan rumah tertata dengan rapi.
Sudah sangat sulit mencari rumah joglo, bangunan rumah khas 'wong ndeso' (baca: Jawa) di kampungku. Aku menyebut kampungku kini sebagai wilayah transisi desa ke kota. Desa yang persis di pinggiran kota. Semi kota, begitulah kira-kira.

Aku masih ingat betul. Listrik PLN masuk ke kampung kira-kira awal tahun '80-an. Pipa air yang menghubungkan Sungai Bengawan Solo di Babat hingga ke pabrik pupuk/semen Petrokimia, Gresik yang terletak di antara rel kereta dan jalan raya, dibangun kira-kira tahun 1983. Rumahku pasang listrik kira-kira akhir dekade '80-an. Jalanan yang menghubungkan jalan raya Surabaya-Jakarta di sebelah kampungku dengan Ds. Made (Perumnas) dibangun bagus baru sekitar tahun 1997. Itupun setelah Golkar mendapatkan suara yang lebih banyak bila dibandingkan pemilu sebelumnya. Sebelumnya jalan kecamatan itu hanya jalan kerikil dan batu hitam. Atau sekali-kali batu gamping/kapur, yang terasa sakit ('nggronjal-nggronjal) bila naik sepeda ongkel melewatinya. Maklumlah. Kampungku memang menonjol PDI-nya daripada Golkarnya. Sehingga wajar bila pembangunannya jadi terhambat sekian tahun, dan baru bagus setelah '97. Alhamdulillah, semuanya sekarang sudah baik.

Soal air, unik. Lamongan bagian utara yang dekat dengan pantai Laut Jawa, seperti di wilayah Tanjung Kodok, Blimbing dan sekitarnya yang berada di Kecamatan Paciran, airnya terasa tawar. Sementara di kampungku yang jaraknya sekitar 50 kilometer dari pantai, justru terasa asin. Jadi, jangan heran kalau air jedingku bila diendapkan ada kumpulan putih-putihnya. Orang
bilang, itu garam yang mengendap. Karena asin, jika dulu aku pulang jadi maunya malas mandi. Takut hitam! Karena asin pula, Kartolo pernah bilang, "jedingmu kok lucu, Gus?" Ya, memang begitulah jedingku.

Tapi, alhamdulillah, bulan sembilan (september) kemarin PAM (orang kampung bilang, 'pet') sudah masuk. Air jedingku yang dulu berasal dari air sumur yang asin, kini sudah diganti air pet. Walaupun ndak bening-bening amat, tapi aku jadi ndak malas mandi lagi. Air sudah ndak asin lagi. Kulit ndak takut jadi hitam lagi. Ya, begitulah. Kini, jedingku sudah ndak lucu lagi.


*tulisan ini kupersembahkan buat Huda :)



Pancoran, 5-Des-'03 (c) GJ with ngguyu ngakak......

#061: Islah: Antara "Pendidikan" dan "Agama"*


Satu langkah simpatik dan menarik yang dilakukan oleh Hamzah Haz, begitu terpilih menjadi Wakil Presiden (2001). Ketua Umum DPP PPP itu mengajak agar semua kekuatan dan komponen bangsa segera melakukan islah. Alasannya, menurut Hamzah, agar muncul suasana kondusif untuk dapat membantu dalam menyelesaikan persoalan bangsa secepatnya.

Untuk mendukung kebijakannya tersebut, Hamzah sampai harus bersilaturahmi ke kantor PBNU ataupun Muhammadiyah, dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia. Dia juga berencana untuk "berislah" ke pesantren-pesantren di Jawa Timur, meskipun ada banyak penolakan.

#
Islah. Menjadi kata yang manis karena artinya memang mengajak damai. Istilah lainnya, rekonsiliasi. Dalam kondisi politik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia seperti yang terjadi dewasa ini, islah memang sangat diperlukan. Sangat mustahil, pemerintah bisa membangun bila ada pihak lain menghambatnya. Pengalaman yang terjadi pada pemerintahan Gus Dur menunjukkan islah kurang menjadi perhatian utama. Pemerintah jalan ke kanan, DPR
mintanya ke kiri. Misalnya, DPR meminta pemerintah bersikap tegas pada koruptor. Begitu presiden akan menangkap Akbar Tanjung, Ginanjar Kartasasmita, Arifin Panigoro dan gembong-gembong koruptor di DPR, Gus Dur malah terguling. Begitulah seterusnya. Rezim reformasi pasca kejatuhan Soeharto seperti tak pernah memiliki kesamaan dalam satu visi untuk membangun bangsa. Masing-masing berpikir untuk kepentingan kelompoknya
sendiri-sendiri. 'Eker-ekeran karepe dhewe'.

Dalam konteks demikian itulah, islah yang ditawarkan Hamzah sangat relevan. Tapi, pengertian islah itu kemudian menjadi rancu tatkala Hamzah menggunakan istilah "islah" untuk memaafkan dan melupakan segala dosa yang telah dilakukan Orde Baru. Dengan menawarkan konsep islah, maka Hamzah mengharapkan agar kita melupakan dosa-dosa lama Orde Baru, yang sebenarnya tak kalah kejam dibandingkan dengan "hantu komunisme" yang didengungkan
rezim Soeharto untuk melibas kekuatan pro-Soekarno di era akhir '60-an.

Islah ini kemudian hanya akan menjadi 'salah kaprah' dalam pemahaman Hamzah. Islah hanya akan dijadikan tameng bagi Hamzah Haz untuk melindungi kepentingan Orde Baru. Dengan demikian, islah yang sebenarnya sangat diperlukan, menjadi tidak efektif dan salah arah.

Islah 'ala Hamzah terbukti menjadi tidak efektif lagi tatkala Ketua Umum Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif menawarkan orang-orangnya untuk mengisi kabinet terutama di bidang pendidikan ketika Hamzah Haz berkunjung ke kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah. Begitupun dengan NU.

#
Di level permukaan, banyak orang Muhammadiyah dan NU mengajak islah; perdamaian. Tapi, pada sisi "dalam"-nya, sebenarnya perseteruan di antara keduanya tidaklah hilang sama sekali. Perseteruan ideologi, politik, kepentingan ekonomi, hegemoni kultur, dan sebagainya masih terus berjalan. Walaupun, kini lambat-laun hubungan keduanya berkembang menuju ke arah yang lebih baik.

Dengan sangat sederhana, kecenderungan adanya "perebutan" jatah kabinet, di mana bidang pendidikan dikavling oleh Muhammadiyah dan wilayah agama diminta oleh NU dengan mudah bisa dibaca. Islah kemudian mengalami pengalihan makna. Dari makna perdamaian menjadi bagi-bagi kursi. Dari makna rekonsiliasi menjadi pengalihan isu korupsi (Orde Baru).

Jika islah hanya diartikan sebagai "bagi-bagi" jatah kursi, sangatlah bisa dipahami, kenapa Gus Dur begitu singkat menjadi presiden. Inilah realita politik! Tak ada kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Wallaahu'alam bi ash showab.



Pancoran, 4-Des-'03 *diolah dari sketsa coretan 15/8/'01. (c) GJ.

#060: Air Mataku...Air Mataku: Secuil Kisah di Balik Tenggelamnya Jakarta


Base-camp Cililitan, Selasa, 29 Jan 2002.
Jam menunjukkan pukul 21:30. Kulihat seorang penjual kacang rebus sedang berteduh di emperan depan rumah, karena hujan di luar begitu derasnya. Hujan itu seperti tidak menunjukkan rasa persahabatannya sedikitpun. Dari pagi hingga malam, bahkan hingga dini hari tadi, ia tak juga kunjung reda.

Kudekati si penjual kacang rebus itu. Kutanya, "Kenapa Bapak tidak jalan?"

"Hujan, mas. Saya takut masuk angin," ujar si penjual kacang dengan logat khas Jawa-nya yang sangat kental. Pakaiannya setengah basah kuyup.

"Rumah Bapak di mana?"

"Dekat, mas, di Gang Pelangi".

Gang Pelangi. Gang kecil itu jaraknya sekitar 300 meter dari basecamp, di sebelah barat Kali Ciliwung. Persis di bantaran sungai terbesar yang membelah Jakarta menjadi dua bagian; timur dan barat. Gang yang dihuni oleh Bagong, salah seorang seniman Ketoprak Humor.

"Bapak mau jalan?" tanya saya lagi.

"Iya, mas, tapi nunggu hujan berhenti".

Aku berpikir sesaat. Kuambil plastik di dalam rumah yang tadi kupakai. "Saya tak punya payung, bapak mau pakai plastik ini?"

"Ada mas? Kalau ada, bolehlah...," ujar si penjual kacang itu dengan muka berbinar-binar.

Plastik berlogokan DHL itupun saya berikan. Plastik milik temanku itu, sejam yang lalu, aku gunakan untuk pulang dari kantor. Aku mengambilnya tanpa ijin, karena kutahu, pasti dia tidak mengijinkan bila dipinjam. Dan kini, tukang kacang itu lebih memerlukan. Walaupun besok saya akan memakainya dan ingin mengembalikannya, tapi tukang kacang itu bisa tidak pulang kalau tanpa plastik itu. Akhirnya benar-benar kuberikan.

"Terima kasih, mas..." Tukang kacang itupun pergi. Sementara hujan masih terus mengguyur deras.

#
Dinihari, 30 Jan 2002, jam dinding mengarah ke 01:00.
Hujan belum juga berhenti. Malah semakin deras. Sebentar kemudian agak mereda. Rintik-rintik. Orang, baik laki-laki dan perempuan lalu-lalang di depan rumah. Malam itu, hanya ada 4 orang di basecamp.

Tiba-tiba suara minta tolong terdengar di mana-mana. Aku ke luar rumah melihat keadaan. Orang-orang Arab dan Betawi, yang memang jumlahnya mayoritas di gangku itu, terlihat panik. Mobil-mobil dikeluarkan dari rumah. Barang-barang sudah mulai diungsikan. "Kenapa mereka sebegitu takut?"
pikirku.

Aku masih santai-santai saja, walaupun sudah mendengar informasi sebelumnya kalau akan datang banjir kiriman dari Bogor, tapi kita tidak yakin itu bisa menjadi persoalan di pagi dinihari itu. Kita sudah berhitung. Kalaupun air meluap, tentu kenaikan air tidak akan begitu cepat.

Jam 01:30. Kita putuskan, kita ke luar rumah. Mencoba membantu orang-orang yang sedang mengungsi. Jembatan Kali Ciliwung terlihat ramai didatangi orang. Ada yang memang hanya jalan-jalan ingin tahu. Ada juga yang ingin melihat perkembangan sekaligus untuk dapat memutuskan; mengungsi ataukah tidak. Permukaan air sungai itu sudah setinggi jembatan jalan yang menghubungkan wilayah Kalibata, Jakarta Selatan dengan Cililitan, Jakarta Timur. Rumah-rumah kardus milik penjual mainan anak-anak yang ada di bawah jembatan, hanyut lenyap terbawa arus berikut dua pikul dagangannya. Begitupun potongan-potongan bambu bekas pemilu yang diletakkan di samping jembatan. Karena masih optimis tidak terjadi apa-apa, kita pun pulang ke basecamp. Tidur. Tapi aku tak bisa tidur.

Sementara di luar, air mengalir begitu deras. Dalam hitungan menit, air bertambah cukup tajam. Jam 01:50. Basecamp sudah terkepung air! Kulihat rumah di depan basecamp. Sudah mulai masuk ke pintu! Kubangunkan teman-teman yang sekitar 15 menit yang lalu baru tidur. Suara berisik orang semakin ramai. Mereka mengungsi. Sekali lagi kulihat di luar. Kini air sudah di
depan pintu basecamp! Kita panik! Barang-barang di lantai bawah masih banyak yang belum terangkat ke lantai atas. Komputer, televisi, lemari arsip-dokumen, alat-alat dapur, perangkat wartel, meja-kursi, dan barang-barang yang lain. Kita berempat pun bergegas dengan cepat
memindahkannya ke atas. Pada saat sibuk seperti itulah, kemudian air itu masuk. Tiga puluh menit kemudian, rumah tua itu sudah tergenang 20 cm.

Ssssssrrrr.......kecpak...kcpak..... Tak terasa, air itu sudah membasahi kaki kami yang selama setengah jam lebih turun-naik tangga memindahkan barang-barang basecamp. Setelah cukup lama, setengah jam lebih, ketika air sudah setinggi paha, kita memutuskan untuk meninggalkan rumah itu, dengan terlebih dulu menguncinya.

Jam 02:30, basecamp sudah terendam air setinggi 1 meter. Bila dilihat dari Jalan Dewi Sartika (ke arah terminal Cililitan), rumah-rumah di gangku hanya kelihatan atapnya. Listrik padam. Cililitan gelap-gulita. Bahkan, Jakarta! Sengaja PLN memang mematikannya, karena akibat banjir besar yang datang setiap lima tahunan ini, puluhan gardu PLN tenggelam. Dimatikan,
dikhawatirkan bisa menyebabkan hubungan arus pendek yang bisa membahayakan
keselamatan warga.

#
Musholla pertigaan Dewi Sartika. Jam menunjuk pukul 12 siang.
Aku terbangun. Tubuhku masih terasa lemas. Ternyata semalam aku tidur di musholla dengan orang-orang Arab dan Betawi yang mengungsi. Begitu sadar, langsung aku turun ke bawah melihat keadaan. Penduduk semakin cemas! Yang di musholla, bolak-balik melaksanakan sholat dan berdo'a. Entah sholat apa yang mereka lakukan.

Tenda-tenda darurat didirikan di pinggir jalanan yang agak tinggi. Orang sibuk lalu-lalang mengurusi barang-barangnya. Bau keringat. Bau air bah. Tangisan bayi. Tangisan ibu-ibu rumah tangga menyayat hati, bercampur aduk menjadi satu. Tak terasa, air mataku menetes di pipi. Baru kali ini kuteteskan air mata, karena sekian lama aku merasa sebagai laki-laki yang
pantang mengeluarkan air mata.

Kuusap tetesan itu dengan handuk yang sengaja kubawa. Aku tak percaya bisa menangis. Aku masih tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Dari jauh, Raden Ayu Jumilah menghiburku. Hanya dia yang memperhatikan nasib diriku dan basecampku ketika itu. Bukan teman-teman seperjuanganku yang sering nongkrong di basecamp itu. Suara merdu nan penuh wibawa dari Raden Ayu Jumilah itu membuatku tentram sesaat. Ia coba tenangkan kepanikanku. Tapi,
air mataku terlanjur menetes. Air mataku, air mataku. Aku kehilangan air mataku. Tetesan air mataku mengalir sederas gelontoran air bah sungai Ciliwung. Barangkali, baru kali ini aku menangis. Aku tak menangisi diriku yang terlantar di jalanan tanpa sehelai kain pengganti. Tapi kutak kuasa menahan iba melihat penderitaan warga sekitar basecamp yang mengungsi.

Sedih. Sungai Ciliwung benar-benar marah. Ia menunjukkan keperkasaannya dengan merendam Ibukota, yang tak bisa dihentikan oleh rezim Sutiyoso. Ia tumpahkan airnya, ingin mencari tempat baru untuk gelontoran arusnya. Ia merasa sempit dengan lebar kali yang semakin hari semakin dangkal. Gang-gang perkampungan di sekitar sungai berubah menjadi anak sungai baru. Jakarta bermandikan air bah. Lumpuh. Kantor-kantor semi-libur. Media massa larut dalam pemberitaan: ibukota terendam air.



Pancoran, 3-Des-'03 (c) GJ

#059: Nikahilah Idealismeku


Seandainya, hanya ada dua pilihan. Jika aku disuruh memilih antara harta (materi, bisnis-usaha), atau karya (pemikiran, berpikir, menulis, dsb), jika tidak bisa mendapatkan kedua-duanya, maka aku lebih memilih pada pilihan yang terakhir.

Ada beberapa faktor penyebabnya; pertama, karya bertautan erat dengan "hidayah" Tuhan. Ia adalah karunia. Terdapat proses penangkapan "momentum Tuhan" di sana. Dan, tidak semua orang bisa mendapatkannya dengan mudah. Meminjam kata bijak dari sahabatku, Ario Wicaksono, "orang pandai, belum tentu bisa mengungkapkan kepandaiannya.." (millist Wikusama, 10/3/02).

Sementara harta, hanyalah cenderung pada faktor kesempatan. Harta bukanlah hanya monopoli golongan pintar, golongan kaya, atau golongan tertentu semata. Semua orang bisa meraih harta yang diinginkan, asal punya kesempatan. Tapi belum tentu dengan karya.

Kedua, karya bisa digunakan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Mencari nilai-nilai "kebenaran Tuhan" yang berserakan di seluruh muka bumi. Mengagung-agungkan Gusti Pengeran, sambil mencari-menemukan kehinaan diri 'tuk menggapai kemuliaan sejati. Sebaliknya harta, cenderung menjauhkan diri dari-Nya. Bila miskin mendekati kekufuran, bila kaya bisa menjadi serakah.

Ketiga, karya bisa melahirkan kepuasan batin. Sementara harta hanya sebatas kepuasan duniawi. Kepuasan batin berimplikasi pada ketenangan jiwa. Sedangkan hidup dengan penuh kepuasan duniawi, belum tentu bisa tenang --jika tak pandai mensyukurinya.

Makanya, aku heran bukan main ketika suatu saat pernah menjumpai seorang wanita (ataupun pria) yang selalu berorientasi pada harta (materialistis) sebelum menikah, yang kemudian rela mengorbankan jalinan hubungan asmara dengan pasangannya hanya karena pacar lamanya itu dianggap "tidak menjamin" kehidupannya kelak. Padahal, soal hidup-mati, kelahiran dan rejeki, ada di tangan Tuhan.

Semuanya, tergantung bagaimana kita dengan pintar menyikapinya.
Berhubung karena kini aku pun tak berharta, so, bila kau mau, nikahilah
idealismeku!!! :)



Pancoran, 3-Des-'03
(c) GJ

Thursday, November 02, 2006

#058: Sebuah Keniscayaan


Tangan itu kubelah. Tak kusangka, kutemukan di sana guratan-guratan Gusti Pengeran. Kuamati dan kuingat-ingat kembali, apa makna dari setiap guratan itu. Kutelusuri, kemudian kuhubungkan dengan apa yang terjadi di masa
lampau, kini, dan mendatang. Ketemu!!!

Mungkin kata orang, aku ini dibilang manusia beruntung karena bisa melihatnya. Tapi, terkadang aku menyesalinya (seandainya saja Gusti Pengeran memberiku opsi penyesalan), kenapa aku bisa mengingatnya?

Menyesal, karena bila kurenungkan, guratan-guratan itu terkadang harus bersinggungan dengan orang lain. Dengan sahabat, dengan teman dekat, dengan keluarga, atau yang lainnya. Akan menyakitkankah? Sedikit-banyak, pasti! Dan, sesungguhnya diriku ini terasa berat untuk bisa menyakiti hati orang lain. Apalagi itu orang dekat.

Aku menyesal bisa menemukan dan mengingat kembali guratan itu. Penyesalanku ini mengingatkanku akan penyesalan Syekh Abdul Qadir Jaelani yang justru tidak senang diberi karomah Gusti Pengeran, karena dengan karomahnya itu, setiap orang yang bersalaman dengannya bisa menjadi kaya. Setiap tanah yang diinjaknya bisa berubah menjadi emas. Begitupun penyesalan yang dirasakan (alm) Mbah Hamid (KH. Hamid Abdullah), Pasuruan. Menurut beliau-beliau itu, justru apa yang dianggap karunia itu sebenarnya adalah petaka. Ujian berat bagi beliau berdua.

Aku benar-benar tersiksa. Betapapun aku menolak, melakukan perlawanan sehebat-hebatnya, guratan-guratan itu tak akan mampu kulawan. Ia akan terjadi, dan kemungkinan besar benar-benar akan terjadi. Ia menggelinding bagaikan bola salju yang siap menimpa diriku. Aku tak kuasa apa-apa. Aku tak berdaya dengan segala kehinaanku.

Aku menyesal (sekali lagi jika boleh). Bukan menyesali sesuatu yang akan terjadi, tapi proses yang telah dilewati oleh sesuatu yang akan terjadi itu dengan segala benturannya, yang terselimuti oleh guratan Ilahi itulah penyebabnya. Benturan dari proses yang akan terjadi itulah yang membuatku benar-benar harus berhenti sesaat, berpikir dengan bijaksana dalam kubangan segala kehinaan yang membalut diriku. Tapi aku tak boleh menyesal, karena
bagaimanapun ia adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang harus kuhadapi.
Wallaahu'alam bi ash showab.



Pancoran, 2-Des-'03
(c) GJ with flying ~

#057: Dari Masjid ke Masjid: Catatan Perjalanan Tarawih Keliling Selama Ramadhan 1424 H


Ramadhan malam ke dua puluh tiga.
Masjid itu berusia tua, terlihat dari bangunan aslinya yang kuno, dengan modelnya yang antik dan artistik. Letak masjid itu persis di pinggiran (sebelah timur) jalan yang menghubungkan antara wilayah kota di Jakarta Pusat, dengan Blok M di Jakarta Selatan.

Di depan masjid, terdapat tulisan: "Masjid ini merupakan bangunan bersejarah, sekaligus bagian dari bangunan cagar budaya. Dilindungi oleh Pemda DKI dengan SK Gubernur....," kira-kira begitulah inti dari tulisan yang terpampang di papan depan masjid. Entah, bangunan itu didirikan tahun berapa. Tulisan di papan petunjuk itu sudah terlalu buram, aku tak bisa
membacanya dengan jelas. Sampai sekarang, belum kutemukan dengan pasti kapan tahun berdirinya masjid itu.

Ketika masuk ke dalamnya, kutemukan banyak hal-hal yang unik. Jama'ah masjid tua itu, rata-rata mengenakan surban. Bukan surban baru yang serba putih mengkilat seperti yang dijajakan pedagang kaki lima di luar masjid itu, tapi surban yang kelihatan sudah usang. Mungkin saking lama dan istiqomahnya mereka dalam menggunakan surban itu.

Melihat dari wajah para jama'ah, sepertinya mereka kebanyakan para pendatang, bukan penduduk asli sekitar masjid. Bahkan, seperti wajah-wajah bukan orang Indonesia, karena juga kutemukan diantaranya ada yang berkulit hitam seperti muslim dari Afrika. Mereka bukan tampang orang kaya atau berduit seperti yang sering kulihat sholat di Masjid Sunda Kelapa (Menteng), tapi orang yang kelihatan lusuh dengan tas yang berisikan perbekalan. Dalam
dugaanku, mereka itu para musafir yang berkelana dari satu masjid ke masjid tua yang lain. Seperti orang yang datang dari jauh untuk melakukan riyadloh (perjalanan spiritual). Itu terlihat jelas dari raut muka, pakaian dan sikap mereka.

Tempat wudhu masjid itupun lucu. Tidak seperti di masjid lain pada umumnya berwudhu dilakukan dengan berdiri (agak membungkuk), maka di masjid itu bila kita berwudhu maka harus duduk. Tempat duduknya sudah tersedia dengan terbuat dari logam besi. Tinggi pancuran air kira-kira 30 cm. Bila masuk lagi ke dalam, ke arah kamar kecil (toilet). Tembok yang memisahkan antar toilet tingginya hanya kira-kira 1 meter. Jadi bila ingin buang air kecil,
mau tidak mau kita harus duduk, seperti yang juga disarankan oleh tulisan yang menempel di tembok toilet.

Yang paling unik, tentu saja bangunan asli masjid tua itu yang terletak di bagian tengahnya. Walaupun sudah dipugar dan mengalami pelebaran, tapi bagian asli masjid tua itu masih ada bekasnya. Berdinding tembok tebal, bercat hijau dengan corak hiasan khas jaman dulu. Khas bangunan peninggalan sejarah lama dengan usia yang telah berabad-abad lamanya.

#
Itulah pengalamanku malam itu. Bersama Patrang, Dawet dan dik Cholisoh (Nyonya Dawet), malam itu kita menuju ke sebuah masjid tua di Kebun Jeruk, setelah sebelumnya menjenguk kelahiran putra pertama Ipin di RS Haji, Pondok Gede. Masjid tua bersejarah, yang usianya kira-kira lebih dari 2 abad itu persisnya terletak di depan Gajah Mada Plaza, dekat daerah Glodok, Jakarta Pusat. Orang sering menyebutnya, Masjid Kebun Jeruk.

Soal mencari berbagai "model alternatif" dalam beribadah, Patrang memang menjadi teman setiaku selama Ramadhan kemarin. Dulu, sebelum menikah, Dawet yang paling rajin. Alhamdulillah, malam minggu itu kita bisa pergi bersama-sama, berangkat bareng dari Padepokan Tebet. Dan, pengalaman adalah guru yang paling berharga. Apalagi, pengalaman spiritual.

Jauh-jauh hari sebelumnya, tepatnya di malam pertama ramadhan, kita (crew Padepokan) meniatkan pergi sholat tarawih di Masjid Istiqlal. Imamnya tidak tanggung-tanggung, Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Said Aqiel al-Munawwar, kiai-ulama-intelektual Islam yang hafidzh (hafal Qur'an). Prosesi sholatnya lama banget. Pakai sambutan segala. Delapan rakaat saja selesainya jam 21:00. Maklum, dalam setiap tarawih semalam, harus bisa menyelesaikan 1 juz.
Pikir-pikir, bagaimana lamanya bila 23 rakaat? Karena sudah 'ngos-ngosan', akhirnya kita putuskan ambil yang delapan raka'at. Setelah itu, pulang!

Tarawih kedua, kusempatkan mampir ke Majelis Taklim Duren Tiga milik KH Aziz Amin yang terletak di depan persis Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata. Di tempat inilah, bersama teman-teman di Jakarta dan dari Kairo-Mesir, dulu pernah kita lahirkan sebuah forum diskusi yang dikenal dengan FKDIA (Forum Komunikasi dan Diskusi Islam Ahlus sunnah wal Jama'ah); sebuah forum yang kemudian berkembang dengan "liar"-nya, dan terdiaspora ke berbagai bentuk kegiatan yang di kemudian hari cukup signifikan perannya bagi perkembangan NU (dengan wujud berdirinya NU cabang luar negeri di beberapa negara) dan bagi dunia Islam (membantu Jaringan Islam Liberal, Pesantren Virtual, dll), baik secara langsung, ataupun tidak langsung.

Di musholla Kiai Aziz Amin ini sholat tarawihnya 23 rakaat. Tapi cepat banget. Jam setengah sembilan, sholat sudah selesai. Di sini aku ketemu dengan teman-teman lamaku, ada Ustad H Lukman (putra Kiai Amin), Firman (aktivis Remaja Masjid setempat), dll.

Tarawih ketiga, kumeluncur ke Masjid Darurrahman, perempatan Kuningan. Ini adalah masjidnya Buya Sidik (ctt: tentang sekilas sosok Buya Sidik, baca CHGJ ke-49: "Ramadhan Kini: Berartikah Bagiku?"). Sayang, niat berjumpa dengan Buya Sidik gagal. Padahal, aku rindu mencium tangannya.

Tarawih keempat di Masjid al-Mughni, Kuningan Barat, sebelah Gedung Patra Jasa di Jl. Gatot Subroto. Masjid ini adalah peninggalan Guru Mughni, ulama Betawi yang terkenal di jamannya. Dalam sebuah catatan seorang tokoh Betawi yang pernah saya baca (entah di mana kini keberadaan makalah itu?), masjid ini ada dan lahir berkat peran dan jasa dari generasi ulama yang hidup di era ekspansi Demak pimpinan Fatahillah ke Sunda Kelapa pada tahun 1527 M.
Setelah menaklukkan Sunda Kelapa, para pengikut Fatahillah kemudian melakukan ekspansi agama ke wilayah bagian selatan. Salah satu diantaranya dalam catatan yang terdapat dalam makalah itu adalah Masjid Guru Mughni tersebut. Keunikannya tarawih di masjid ini, setiap selesai 2 kali sholat tarawih, maka dibacakan do'a. Hal baru yang belum pernah kutemukan
sebelumnya di tempat yang lain.

Begitulah seterusnya, tarawih keliling itu --dengan segala keunikannya- memang sudah kuniatkan sejak awal, dengan terkadang diselingi kemalasan-kemalasan sehingga beberapa kali juga "off" dari tarawih-berjama'ah. Maklum, kehinaan diri ini masih juga selalu membelit dan
membelenggu.

Tarawih kelima di Musholla Baitur, Mp. Prapatan XVIII bersama mantan tetangga dulu. Kemudian tarawih di Masjid al-Munawarroh, Ciganjur. Lalu di Bongkaran bersama anak-anak anggota Yayasan Anak Teladan. Kemudian di masjid dekat POM Bensin, Cikoko (MT Haryono), dan begitu seterusnya. Hingga menjelang akhir ramadhan di sebuah masjid di Menanggal, Surabaya. Dan kututup ramadhan kali ini dengan sholat tarawih di masjid kampung sendiri,
Baitul Muttaqien. Masjid yang memberiku sedikit pemahaman tentang ilmu agama.

#
Begitulah. Ini bukan persoalan sugesti, tapi kuanggap keluyuran mencari masjid ini sebagai bagian dari silaturahmi. Dalam pemahaman saya, silaturahmi itu terbagi dalam dua macam: pertama, silaturahmi sesama makhluk hidup (sesama manusia, teman, kiai, keluarga dll), dan yang kedua, silaturahmi dengan makhluk tak hidup (makam para auliya', makam para wali,
masjid-masjid, dan peninggalan bersejarah lainnya).

Dari sisi manfaat, saya bisa merasakan banyak hal dari melakukan silaturahmi ini, diantaranya: pertama, mengenal keanekaragaman bentuk dan model ritual-ibadah yang ada. Masing-masing tempat punya ciri khas sendiri dalam beribadah. Seperti diketahui, pada umumnya Betawi itu merupakan kaum sunni, tapi toh berbeda-beda juga tata cara pelaksanaan ritual ibadahnya. Seperti misalnya, do'a di antara tiap selesai sholat dua raka'at tarawih, panggilan bagi jama'ah yang dilafalkan oleh bilal (?) untuk menunaikan sholat tarawih/witir, dan sebagainya. Tapi itu bukanlah hal yang prinsipil. Terpenting, pengetahuan akan keanekaragaman di "dunia luar" inilah yang kuharapkan bisa membuka pikiranku tentang keagamaan (bersifat inklusif
dalam beragama), bahwa sesungguhnya dalam beragama itu banyak corak dan ragamnya. Dengan pengenalan disertai pemahaman seperti itu, satu hal yang kuharapkan; bisa menjadi orang yang berpikiran terbuka dalam beragama.

Manfaat kedua, mengenal karakter penduduk setempat. Aku bisa mengenalnya dari bagaimana jama'ah merespon setiap panggilan bilal dalam menunaikan sholat tarawih. Tersimpan banyak nilai yang terselimuti kultur. Di sana kutemukan etos-kerja masyarakat, rasa persaudaraan warga, religiusitas lingkungan, dan sebagainya.

Ketiga, belajar memahami sesama manusia. Kutemukan manusia dengan berbagai modelnya. Keempat, meningkatkan ukhuwah Islamiyah. Dan masih banyak lagi yang lain.

Hikmah yang terkandung dalam silaturahmi itu sendiri menurut para ulama sangat positif, diantaranya: memanjangkan usia dan melapangkan rejeki. Jadi, keluyuran ke masjid-masjid selama ramadhan itu tentu tak ada salahnya. Bukankah demikian?
Selebihnya, wallaahu'alam bi ashowab.



Pancoran, 2 Des '03,
(c) Gus John al-Lamongany

#056: Raden Ayu Jumilah


Peta kiriman teman itu kulihat dan kupandangi. Sudut demi sudut jalan kota itu kembali terbayang, kini. Toko buku paling murah, alun-alun dengan beringin kurungnya, istana raja, makam-makam kiai tua, situs-situs purbakala (sejarah), shopping-center, hingga pusat-pusat makanan paling enak di kota itu. Seolah-olah, setiap jengkal tanah kota menjadi saksi bisu dari sejarah perjalanan dua anak manusia yang pernah mengikatkan diri atas nama cinta.

Setiap sudut kota itu seperti memperdengarkan desahan nafasku, bermandikan keringatku ketika bersepeda motor mengelilingi kota. Aku hapal betul nama-nama daerahnya. Biasanya, bila aku ke sana, begitu turun dari kereta, terus naik becak dengan membayar sepuluh ribu rupiah. Atau terkadang bila ada waktu senggang, Raden Ayu Jumilah menjemputku sendiri dengan land-rover atau sedan putihnya.

"Ah, entah apa yang terjadi dengan Raden Ayu Jumilah saat ini," gumamku dalam hati. Dalam buaian kenikmatan lamunan itu, tiba-tiba Kiai Mujurono menamparku dari belakang. Membangunkanku dari segala khayalan. Kiai 'nyentrik' ini biasanya memang tak pernah menolak permintaanku. Tapi untuk yang satu itu, menikahi Raden Ayu Jumilah, dia jadi marah-marah. Dan tidak hanya cukup sekedar marah, tapi benar-benar menamparku!

"Saya siap melamarkan sampeyan ke anak jenderal, anak pengusaha, anak direktur, anak pejabat, tapi jangan coba-coba sampeyan meminta saya untuk melamar Raden Ayu Jumilah," kata Kiai Mujurono mengingatkan.

"Kenapa, Kiai?" kataku dengan penuh iba.

"Karena level ke-maqamanku masih kalah dengannya," katanya mengingatkan.
"Saya memang dipanggil orang kiai, tapi Raden Ayu Jumilah itu putri dari Embahnya para kiai. Sampeyan harus tahu itu!", kata Kiai Mujurono dengan nada tinggi.

Aku hanya bisa diam dan tertunduk lesu. Harapanku satu-satunya agar bisa menikahi Raden Ayu Jumilah akhirnya kandas, setelah melalui perjuangan yang maha berat. Sangat berat, mengharukan, sekaligus melelahkan. Disamping karena ditolak mayoritas dari keluarga Raden Ayu Jumilah yang golongan priyayi itu, bundaku sendiri juga merasa keberatan karena perbedaan status sosial (apakah cinta mengenal status sosial?). Plus, kini giliran Kiai Mujurono menamparku dengan geram. Keinginan itupun benar-benar gagal. Padahal, aku tahu betul perjuangan berat Raden Ayu Jumilah untukku.

Dan, lebih sedihnya lagi, cerita nan penuh nuansa kesedihan (unhappy ending) itu benar-benar usai ketika kaki Wanus menendang kepalaku. "Plakkkkkkkk". Membuatku sontak terbangun. Terduduk kaget. Kulihat jam. Waktu sahur nyaris terlewat. Kurang 3 menit lagi. Tamparan Kiai Mujurono itu, ternyata tendangan kaki Wanus! Menyedihkan.




Ramadhan ke-25 1424 H
(c) Gus John.

#055: Do'a Persahabatan


Memahami manusia dengan berbagai atribut penilaian yang melekat pada dirinya, memang menyenangkan. Tapi kadang menjengkelkan. Ya wataknya, kepribadiannya, sifatnya, sikapnya, tingkah-lakunya, proses hidupnya, dan sebagainya.

Manusia dari kecil hingga menjadi besar. Harus melalui proses perjalanan hidup yang berliku-liku. Dilahirkan, jadi bayi. Udah besar, masuk sekolah TK, SD. Dikhitan, masuk dunia akhil-balig. SMP, SMA, atau kemudian melanjutkan kuliah. Tujuan sekolah, lulus ingin dapat pekerjaan. Setelah itu, menikah. Punya anak, membesarkan anak, dan begitu seterusnya siklus hidup manusia di muka bumi ini. Secara garis besarnya demikian.

Manusia yang telah dewasa semakin sarat dengan dinamika dan penuh proses dialektika dalam kehidupannya: Tidak punya pekerjaan, ingin bekerja. Sudah punya pekerjaan, tidak serius bekerja. Bekerja gaji sedikit, kurang. Murung, sakit-sakitan, tak bergairah hidup. Tampangnya kusam, masam, minder. Gaji besar, bingung ngelolah uangnya. Larinya ke maksiat. Keluar-masuk pub, diskotik. Minum-minuman, hingga berani main perempuan. Mentereng, keren, beken, konsumtif, jadi manusia hedon! Seolah-olah hidup ini hanya dinilai dengan materi semata. Padahal, slappppppp!!!! Itu semua bisa hilang dalam sekejap, bila Tuhan menginginkan! Karena sombong itu sesungguhnya hak prerogatif Tuhan. Baju Tuhan.

Ketika masih sama-sama hidup di jaman susah, akrab, mau kumpul bersama. Ketika dapat posisi baik. Dapat jabatan promosi bagus di kantor, jadi supervisor, jadi asisten manajer, sudah lupa sama teman. Sombong, ndak mau gaul. Melihat dan kumpul sama teman miskin, ogah. Takut ketularan.

Dapat istri cantik, tambah sombong. Angkuh, suka meremehkan teman. Merubah sifat dasar.
Ikut organisasi, sifatnya jadi eksklusif, menutup diri dari "orang luar". Terjebak ideologi puritan.
Mengembangkan istilah "kami" dan "mereka". Silaturahmi dengan teman jadi putus, terganggu.

Ya, inilah hidup. Penuh dengan jebakan, tapi kita tanpa pernah sadar akan bahayanya lubang jebakan itu. Harta (materi, gaji, pendapatan, bisnis dsb), tahta (posisi, jabatan, baik di kantor ataupun di masyarakat), dan wanita (isteri, selingkuhan, simpenan, gundik, selir dan bolo-bolonya) adalah godaan hidup yang paling sempurna.


Duh, Gusti Pengeran Ingkang Maha Dumadi, ambillah harta saya jika saya punya banyak harta, tapi menjadi lupa akan nasib teman-teman saya.

Ya Gusti, lenyapkanlah jabatan saya, bila karena jabatan itu saya jadi malas dan enggan bersilaturahmi dengan teman-teman.

Ya Gusti, berilah hamba pendamping hidup yang bisa semakin mempererat silaturahmi saya dengan teman-teman.

Ya Gusti, jangan beri hamba seorang pendamping hidup yang kemudian membuat hamba berubah menjadi angkuh dan sombong dan melupakan teman-teman.

Duh, Gusti. Berilah hamba harta yang barokah.

Duh, Gusti. Bimbinglah akal-nurani hamba sehingga selalu lurus dalam jalan-Mu.

Duh, Gusti.......




Pancoran, 20-11-03
(c) GJ

#054: Mencari "Khittah": Catatan Harianku untuk Catatan Hariannya Ahmad Wahib


Ramadhan 1424 H, malam ke dua puluh tiga;
Secara tak sengaja, ketika aku ke toko buku di lantai 6 Sarinah-Thamrin --sehabis makan rujak cingur di warung "Tahu Campur" belakang Sarinah. Kutemukan buku kecil warna hijau dengan judul, "Catatan Harian Ahmad Wahib" terbitan LP3ES; sebuah lembaga penelitian milik Dawam Raharjo. Kulihat sampul belakang buku itu. Label harga yang tercantum, Rp. 30.000,-. Karena habis mborong buku di Gramedia-Gatot Subroto seminggu yang lalu, maka
keinginan untuk memiliki buku Ahmad Wahib malam itu akhirnya tertunda. Karena tak mampu beli, aku hanya bisa sempatkan baca daftar isinya. Aku penasaran. Aku hanya ingin tahu, siapa sebenarnya Ahmad Wahib, tokoh "kontroversial" yang menghebohkan itu. Tokoh "pinggiran" yang catatan hariannya dicari banyak orang.

Ahmad Wahib. Aku tak pernah kenal sebelumnya dengan nama ini. Aku baru kenal namanya, ketika pernah membaca analisa seorang Indonesianis asal Australia, Greg Barton, yang mengemukakan, bahwa gerakan Islam Liberal di Indonesia sesungguhnya dipelopori oleh empat orang, salah satunya adalah Ahmad Wahib ini. Sedangkan ketiga tokoh yang lain, yakni: Nurcholish Madjid (Cak Nur), Djohan Effendi, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Empat tokoh inilah yang intelektualitas ke-Islamannya sudah diakui dunia.

Cak Nur, aku kenal. Ketika aku mulai belajar tentang Islam, mencari "jati diri" tentang ke-Islamanku (1998), dua buku Cak Nur-lah yang pertama kali kubeli; "Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan" (Mizan, 1996:3) dan "Khazanah Intelektual Islam" (ed., Bulan Bintang, 1994:3). Djohan Effendy, sedikit kukenal. Ketika dia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara di era rezim Gus Dur. Aku hanya tahu, dia ketua ICRP, sebuah lembaga di Indonesia yang didirikan untuk diskusi agama dan perdamaian. Selebihnya, tentang tulisan-tulisan Djohan Effendy (dalam bentuk satu buku yang utuh), aku tak punya. Kecuali tulisannya per-artikel yang berserakan di berbagai buku hasil editoran/suntingan orang.

Sosok Gus Dur, aku sangat kenal. Seambrek buku tentang Gus Dur aku punya. Nah, hanya Ahmad Wahib seorang yang membuatku penasaran. Maka jangan heran, bila tadi malam mataku sangat berbinar-binar ketika menemukan buku itu. Sayang aku tak mampu beli. Aku hanya sempatkan sedikit baca. Ingin tahu, seperti apa catatan hariannya yang terkenal itu. Yang dikagumi banyak tokoh-cendekiawan. Dipuji banyak orang.


#
Kubuka halaman demi halaman, lembar demi lembar dari buku kecil itu. Sedikit dapat kusimpulkan dari buku hijau itu, diantaranya adalah, bahwa Wahib itu orang Madura. Dilihat dari fotonya, tampak tampang orangnya 'ndeso' banget; hitam, kurus, rambut agak sedikit kriwul. Wahib adalah "makhluk langka" di HMI, karena dia aktivis HMI yang bisa berpikir obyektif dan kritis. Akibat sering mengkritik kebijakan dan visi HMI, dan dianggap "mengganggu", maka akhirnya dia mengundurkan diri. Dialah satu-satunya seorang pemikir Islam Indonesia terkenal yang berlatar belakang ilmu eksata (ilmu pasti). Orang yang sering memikirkan soal-soal keagamaan secara mendalam, tapi tak dibekali ilmu keagamaan -meminjam istilah Gus Dur, yang justru disitulah menunjukkan letak "kehebatan" seorang Wahib. Itu menandakan, bahwa memahami Islam bukan hanya bisa dimonopoli oleh orang yang harus berlatar-belakang pendidikan Islam (pesantren dan IAIN) semata.

Kesimpulan-kesimpulanku yang lain: Wahib meninggal dalam usia yang sangat muda, 31 tahun. Dia meninggal akibat tertabrak motor ketika baru keluar dari kantor redaksi Tempo. Catatan hariannya yang terangkum dalam buku kecil warna hijau itu baru ia mulai tulis sejak berusia 27 tahun. Sebelum aktif menulis di Tempo, Wahib sempat berbulan-bulan jadi "gelandangan" dengan bekal tekad ingin bisa bekerja di Jakarta. Usahanya itu akhirnya membuahkan hasil. Tidak sia-sia. Dia kemudian bisa kenal dan duduk satu meja dalam forum diskusi dengan orang-orang yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh terkenal Indonesia, diantaranya: Mukti Ali (mantan menteri agama), Dawam Raharjo (pendiri LP3ES), Cak Nur, Utomo Dananjaya, Kuntowijoyo, dll.

Dan yang terpenting, isi dari catatan harian Wahib itu sendiri. Kuamati, kulihat, kubaca, kuingin tahu sejauhmana isi dari buku yang dikatakan hebat itu. Beda dengan catatan hariannya Anton Chekhov, pengarang hebat Rusia yang tulisannya bertemakan hal-hal sederhana, berisikan tentang kesahajaan, kemanusiaan, dan nasib orang-orang kecil di tengah komunitas komunisme
(sebuah ironisme?) yang berkembang di daerahnya (Rusia), maka tulisan Wahib di bagian awal dari buku itu terkesan sangat "serius". Dalam tulisannya, Wahib benar-benar menunjukkan karakternya sebagai seorang pemikir tulen, yang memiliki angan-angan cerita besar (grand-narratives). Terutama tentang ke-Islaman. Ia tanyakan tentang keberadaan Tuhan, eksistensi Tuhan, posisi wahyu dalam agama, dsb.

Bila dalam karya Chekhov, "Matinya Seorang Buruh Kecil" (Melibas, 2001) --yang oleh Maxim Gorky, seorang pengarang besar Rusia, tulisan Chekhov itu dikatakan, "setiap goresan cerita yang disuguhkan Chekhov merupakan cipratan catatan tentang harapan dan kecintaan terhadap kehidupan"-- ditulis dalam bentuk cerita pendek (cerpen) yang sangat menarik dengan penyajian secara simbolik dan metaforik, ditambah dengan penuh unsur-unsur satire dan parodi, maka catatan harian Wahib terkesan singkat, lugas sesuai tema yang ia ingin
sampaikan (to the point). Mungkin bisa dipahami. Chekhov seorang sastrawan, sementara Wahib berlatar belakang seorang pemikir. Jadi, Wahib tak perlu bersastra untuk mengungkapkan ide-idenya. Walaupun, kedua karya itu sama-sama bisa disebut sebagai catatan harian yang telah mewarnai kehidupan mereka.

Karena lugas, tanpa basa-basi, tak heran bila catatan harian Wahib lebih dipentingkan pada pokok tema. Bila memang tema bahasan itu perlu analisa yang mendalam, maka coretan Wahib itu bisa panjang. Tapi, bila tema yang dirasakan Wahib itu bukan sebuah analisa, maka coretannya sangat pendek. Ketika Wahib berpikir tentang Ke-Islaman, disitu ia mengungkapkan segala idenya secara ilmiah. Panjang penuh analisa. Tapi ketika Wahib menulis tentang dirinya yang resah. Misalnya dia sedang kesepian, dia sedang suntuk dengan jebakan ideologi, dia sedang "menggugat" Tuhan, maka tulisannya sangat singkat. Sangat pendek. Bahkan, ada yang hanya satu paragraf! Satu hari, satu tema, satu paragraf.

Jadi, jangan heran bila suatu saat catatan harianku panjang seperti Anton Chekhov, atau hanya berisikan satu paragraf seperti Ahmad Wahib. Atau, bisa jadi satu kalimat! Atau, mungkin bisa hanya satu kata! Atau, hanya satu huruf saja. Terserah saya! Karena ini adalah catatan harian. Sesuka-sukanya yang membikin! :-)




Padepokan Tebet, 18 Nov '03.
© Gus John al-Lamongany.

Wednesday, November 01, 2006

#053: Koreksi Diri, (Bila) Mencurigai Kristenisasi


Dalam sebuah email yang berisikan komik dengan judul "Indonesian - Allah Had No Son" karya by Jack T. Chick LLC (1999) postingan Pak Wardoyo beberapa waktu lalu di millist folder ini, digambarkan tentang perbandingan antara agama Kristen dengan Islam. Inti dari komik setebal 8 halaman itu, lebih difokuskan menceritakan tentang "keutamaan-kebenaran" ajaran Kristen bila dibandingkan dengan Islam.

Di kalangan beberapa muslim, komik itu kemudian dipandang sebagai sebuah bentuk "kristenisasi"; sebuah isu laksana hantu --karena sifat keabsurdannya- seperti label "komunis", "yahudi", "islam dan tidak islam", dsb di era Orde Baru. Sebuah isu yang sangat tidak efektif dari sisi mental-psikologi, karena hanya bisa menyalahkan orang lain dan tak pernah mau melakukan instropeksi akan kelemahan diri umat Islam sendiri. Sebuah isu yang hanya dipandang dari lensa dengan sudut sempit, dan tak menyadari bahwa isu itu terkadang sangat bersifat politis (terbelit dengan kepentingan kekuasaan).

Memang, bila dilihat sepintas, komik itu terasa "mengganggu" bila dilihat dari sudut pandang kita sebagai seorang muslim. "Pendangkalan aqidah", kata beberapa orang. Tapi, misalnya dalam pengajian kita, bila ada seorang ustadz mengatakan hal yang sama, bahwa ajaran Kristen itu sudah tidak murni lagi (seperti ketika penulis mengaji di Kwitang dulu), apakah itu juga tidak boleh dikatakan "mengganggu" bagi mereka -jika mereka mengetahuinya? Jadi, bila memang komik itu untuk konsumsi internal mereka, itu adalah kepentingan dan urusan mereka untuk menguatkan aqidah bagi kalangan tersebut.

Bila tidak cermat memahami dan salah menggunakan kacamata pandang dalam melihat persoalan, kitapun tanpa sadar bisa terjebak dalam perseteruan yang tak ada gunanya. Polemik kemudian meluas. Kita sibuk untuk mendefinisikan "mereka" dan "kita". Urusan "mereka", kita potret dari perspektif "kita". Mendikotomikan "mereka" dan "kami". Jelas tidak akan pernah ketemu, dan cenderung kemudian tak pernah bisa menemukan titik ruang temu bagi "kita" dan "mereka" untuk bisa berkiprah bersama di masyarakat.

Seyogyanya, melihat persoalan seperti itu tak perlu cepat menjadi panik (baca: reaktif). Toh, Islam tak kan jadi kerdil hanya karena sebuah komik seperti itu. Penulis sendiri punya beberapa alasan untuk menunjukkan bahwa Islam itu tetap besar --bila hanya sebatas dibandingkan dengan komik itu, bahwa: pertama, baca karya seorang ahli astronomi, Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul "Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah". Dalam buku setebal 515 halaman itu, Hart yang non-muslim dengan berani menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang nomor satu di muka bumi. Menurut keyakinan Hart, Muhammad adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Baik ketika Muhammad sebagai Nabi, dan pada saat bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin yang tangguh, tulen dan efektif. Terbukti, hingga kini (setelah 14 abad dari sesudah wafatnya) pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar (hal. 27).

Kedua, baca buku karya Karen Amstrong yang berjudul "Mohammed is Prophet" (Muhammad sang Nabi) dan "History of God" (Sejarah Tuhan). Di buku yang pertama, mantan biarawati itu berani dengan jujur memberikan kesaksian akan kebesaran Muhammad (sayang, penulis kehilangan buku ini akibat ada yang pinjam, tapi tak dikembalikan :). Sedangkan di buku kedua, Amstrong mantan rahib wanita itu dengan sangat berani menyatakan bahwa ajaran ketuhanan di Kristen sebagai sesuatu yang absurd, dan dia menyadari bahwa doktrin-doktrin gereja ternyata memang hanyalah buatan manusia yang telah dikonstruksikan selama berabad-abad silam (hal. 18-19)

Ketiga, isu di atas (kristenisasi) bila diproyeksikan dengan misi penyebaran Islam di abad 13. Karena menurut Rektor IAIN Ciputat, Azumardi Azhra, sampainya Islam di Nusantara juga tak terlepas dari adanya misi penyebaran agama (zending). Setiap ulama-muslim yang datang ke Nusantara, disamping sebagai pedagang, mereka juga berperan sebagai penyebar bagi agamanya (missionaris).

Dalam bahasa kolonialisme internasional pada bad 16, kita kenal hal itu dengan istilah "Gold, Glory and Gospel" (3G), seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris dan kemudian Belanda) yang pernah "menyatroni" bumi Nusantara. Di samping berdagang (motif ekonomi), mereka sering juga melakukan penaklukan (motif politik: ekspansi), dan menyebarkan agama mereka (motif agama).

Peninggalan-peninggalan itu bisa kita buktikan; secara ekonomi misalnya, sampai sekarang negara kita masih "terjajah" oleh kepentingan kapitalisme Barat (baca: IMF dan perangkat neo-liberalismenya). Negara kita adalah pasar, bukan produsen. Negara kita selalu menjadi obyek ekonomi, bukan subyek.

Secara politik, menurut analisa Ummaruddin Masdar (Pitutur No. I/Juli 2001), kita juga belum bisa dikatakan sepenuhnya merdeka dalam arti "to exist" (ada), tapi masih dalam arti "to live" (hidup). Menurut Karl Jaspers, "ada" atau "eksis" bermakna lebih dari sekedar hidup. Karena "hidup" bermakna pasif dan menjadi obyek. Sementara "eksis" bermakna aktif dan menjadi subyek.

Akibat dari pengaruh kolonialisme tersebut, Singapura yang dulu menjadi bagian Nusantara era Majapahit --dengan nama Tumasik, dengan adanya Traktat London 1824 (perjanjian antara Inggris dan Belanda), Singapura kemudian menjadi bagian Inggris dan lepas dari Hindie Netherlands.

Bila dilihat pemetaan penyebaran agama di Indonesia, maka, daerah-daerah yang cukup lama didiami oleh Portugis, seperti Maluku, NTT, Timor-Timur, lebih dominan beragama Kristen. Begitupun kawasan Batak di Sumatera Utara dan Papua oleh Belanda.

Apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa itu, juga sama halnya dengan yang dilakukan oleh Laksanama Cheng Ho, panglima muslim Dinasti Ming (Tiongkok) pada awal abad 15 yang pernah melakukan pelayaran hingga 7 kali dari daratan Cina menuju Timur Tengah dengan melewati kepulauan Nusantara (Laut Jawa dan Selat Malaka). Cheng Ho dkk, tidak hanya melakukan perniagaan semata, tapi juga melakukan penyebaran Islam. Bukti-bukti tersebut bisa ditelusuri di sepanjang pesisir Pulau Jawa, seperti di Gresik, Tuban, Lasem, Semarang, Jepara, Cirebon, Sunda Kelapa (Batavia) dsb. Peninggalan-peninggalan itu bisa berupa seni kerajinan Cina, kultur Cina, masjid-masjid model Cina, Cina-cina muslim peranakan, dsb. Keberadaan orang-orang Cina-Islam di Nusantara era Cheng Ho itu juga sangat berperan aktif menyebarkan ISlam di tanah Jawa --tapi kemudian oleh Dinasti Mongol diganti dengan pengiriman orang-orang Cina non-Islam di era berikutnya. Itu sebagai bukti tentang adanya "Islamisasi" Jawa oleh Dinasti Islam dari Negeri Cina.

Jadi, bila kita dengan begitu mudah menuduh Kristenisasi atas setiap gerakan (sosial) yang dilakukan oleh umat Kristen, lalu apakah salah bila penulis katakan juga telah terjadi Islamisasi di tengah umat Hindu, Budha atau kaum Bhairawa (ajaran agama yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Budha) delapan abad yang lalu tersebut?

Kalau kita mempersoalkan kristenisasi, kenapa kita sebagai muslim tidak berani menggugat hal yang sama kepada Islam, bahwa Islamisasi juga telah terjadi pada masyarakat Jawa di akhir era Majapahit? Uniknya, sejarawan Islam sendiri cenderung menutupinya. Karena jangan salah, ada juga sejarah yang mencatat, penyebaran Islam pertama kali di bumi Nusantara itu juga pernah dilakukan dengan jalan kekerasan. Dan, itu terbukti mengalami kegagalan (abad 12-14). Baru pada era Wali Songo (abad 15), Islam disebarkan dengan cara-cara yang santun. Dan itu terbukti berhasil -walaupun juga harus dilewati dengan cara-cara penaklukan (penyerbuan Demak ke Majapahit), karena memang gesekan peradaban itu tetap saja terjadi.


#
Penulis sendiri tak menutup mata dengan adanya kegiatan kristenisasi. Karena pertama, ketika penulis melakukan safari ramadhan atas nama sekolah ke daerah Malang Selatan 9 tahun yang lalu, hal itu memang nampak ada --dari penuturan warga setempat. Kedua, ketika bertemu dengan salah seorang kiai NU di pesantrennya di sebuah lereng Gunung Merapi di Magelang tiga tahun lalu, sang kiai juga bercerita tentang itu kepada penulis. Bahwa motivasi dia mendirikan pesantren di atas gunung itu dengan tujuan untuk membendung arus kristenisasi yang cukup gencar di wilayah-wilayah pegunungan di Magelang. Ketiga, sinyalemen KH. Wahid Hasyim di tahun 1950-an dalam tulisannya, "Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya Tetapi Pemimpin-Pemimpinnya Tidak Tahu". Dalam artikel yang dibuat tahun 1951 itu, Kiai Wahid mengungkapkan tentang anjuran yang dihasilkan dalam Konferensi Profesor-profesor Kristen se-Asia di Bandung, yang dengan terang dan secara terbuka menginginkan agar Indonesia harus menjadi negara Kristen. Dalam tulisan itu, Kiai Wahid menggugat adanya keteledoran dari elite Islam (yang tergabung di Partai Masyumi, terutama), yang tak memiliki kepekaan sedikitpun atas rekomendasi yang dihasilkan dari konferensi tersebut (KH Wahid Hasyim, Mengapa Aku Memilih NU?, Inti Sarana Aksara, 1985, hal.125).

Harus kita sadari bersama, menyebarkan agama adalah hak bagi setiap orang. Setiap agama punya misi untuk menyebarkan ajaran-ajarannya. Jika kita menganggap sah penyebaran agama Islam (Islamisasi), maka seyogyanya kita juga harus bisa menerima secara wajar dengan adanya penyebaran agama lain, baik itu yang dilakukan oleh Kristen, Hindu ataupun Budha. Ini adalah konsekuensi dari negara demokrasi! Terpenting, aturan negara kita sudah jelas. Yang dilarang adalah menyebarkan agama dengan cara paksaan dan dengan jalan kekerasan.

Jadi, tak perlu paranoid dengan mencari kambing hitam ke sana-ke mari, kemudian menyebabkan kehidupan kurang harmonis di antara umat beragama. Sebagai seorang muslim yang jeli, hal-hal semacam itu cukup diantisipasi dengan: pertama, mempertebal keimanan diri dan lingkungan. Menyiapkan benteng dan tameng yang kuat, yakni berupa keimanan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekitar. Kedua, meningkatkan taraf ekonomi diri dan lingkungan. Sering ikut aktif berkecimpung dalam kegiatan sosial untuk menyantuni kaum miskin-papah. Ketiga, meningkatkan ukhuwah Islamiyah. Tidak perlu bercerai-berai dalam urusan yang bukan pokok. Keempat, bersikap bijaksana. Meningkatkan toleransi dalam hal beragama. Koreksi diri untuk menutupi kelemahan, dan tak perlu dengan hanya bisa menyalahkan orang lain.

Menyitir kata bijak seorang politisi yang pernah disampaikan ke penulis beberapa waktu lalu, "Kebaikan yang kita peroleh, bukanlah semata jerih payah kita sendiri, melainkan ada konstribusi orang lain di sana. Sebaliknya, keburukan yang menimpa kita, bukanlah karena orang lain, melainkan tak terlepas dari perbuatan kita sendiri". Terlepasnya umat kita dengan berpindah ke agama lain jangan hanya dipandang sebagai bentuk kesalahan agama lain, tapi pandanglah itu sebagai kesalahan diri kita yang kurang peduli pada nasib mereka (kaum miskin-papah).
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.




Subuh ke-17, Ramadhan 1424 H.
(c) Gus John.

#052: Polemik Diri


Kiai Mujurono menjabat tanganku dengan erat. Kutatap wajah "imut"-nya dengan tajam. Ada rasa yang berkecamuk dalam dadaku malam itu, ketika bertemu dengan dirinya. Terbersit rasa haru, rindu, benci, dan geregetan bila mengingat-ingat ulahnya selama ini.

"Saya kira, sampeyan tidak datang, Gus?" tanyanya penuh selidik di tengah keramaian orang, setelah sebelumnya kuucapkan salam kepadanya.

Malam itu, aku memang terlambat untuk datang ke acara undangan makan malamnya. Karena sebelumnya sempat muncul pergulatan dalam pikiran, apakah aku harus datang ataukah tidak untuk menemui dirinya?

Dengan masih terbengong-bengong kujawab, "Saya............."
Belum usai kujawab, kiai 'nyentrik' itu memberondong lagi dengan pertanyaan, "Sampeyan takut saya minta untuk berceramah?", sambil mesam-mesem ia bermaksud mengajakku bercanda.

Aku hanya senyum, tapi diam. Hanya bisa bicara seperlunya. Tak mampu berbasa-basi sepatah-katapun untuk meladeninya. Mungkin, kejengkelanku pada kiai muda itu sudah memuncak sampai di ubun-ubun, sehingga pada pertemuan malam itu tak sempat lagi kucium tangannya yang halus, seperti yang pernah kulakukan di Hotel Indonesia, beberapa tahun yang lalu. Cium tangan yang menandakan penghormatanku yang teramat dalam pada "ke-diri-an" seseorang, dimana nuraniku sendiri pun tak mampu untuk dibohongi.

Kali ini aku memang kecewa padanya. Kiai Mujurono memang menyebalkan! Bersamanya, kesabaranku serasa dikoyak-koyak. Ia berikan asa, kemudian ia tarik-ulur seperti benang kusut.

Mendampinginya, pergulatan hidup ini memang menggetirkan. Bertahun-tahun kuabaikan keberadaan diriku sendiri karena setia menemaninya. Pertarungan hidup yang melelahkan. Melanglang buana, dan terkadang mengharuskan bersinggungan, baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan para pendekar lokal Nusantara. Terlibat konflik.

Ketika berada pada titik nadir kesadaran, aku merasa seperti berada di dunia yang lain. Mungkin, karena hal-hal seperti itu, dikarenakan ilmuku yang belum cukup mumpuni, kemudian terkadang membuatku mudah 'mutung' (putus asa) di tengah jalan. Lalu aku marah-marah kepadanya. Marah, tak lama kemudian reda. Marah lagi, reda lagi. Dan begitu seterusnya. Begitulah sikapku pada Kiai Mujurono.

Namun demikian, aku masih sangat menghormati sosok kiai muda yang berusia setengah abad itu. Karena kutahu, di tangan kanannya ia genggam secuil "jalan Tuhan", sementara tangan kirinya menyimpan rapat "sabdaning pandhito ratu" (perkataan-perkataan penguasa). Adanya perpaduan antara dua kekuatan (Ilahiyah dan duniawiyah) itulah yang membuatku selama ini sangat menghormati dirinya.

Dalam benakku, Kiai Mujurono bukanlah sembarang orang. Sedikit-banyak, dia telah ikut merubah tatanan peradaban yang menyangkut nasib-hidup orang banyak. Ia memang tak sering nampak di permukaan, tapi perannya di belakang layar tak bisa disepelekan. Di mataku, sosok kiai humoris itu merupakan figur dan tokoh ideal, yang kelak akan kujadikan cermin-pantul dalam upaya pengabdian hidup pada masyarakat.

Perasaan benci tapi rindu, itulah potret hubunganku kini dengan Kiai Mujurono. Suatu saat, nurani hitamku menggelegak, memintaku untuk melakukan perlawanan. Memberi pelajaran kepadanya, agar ia bisa lebih transparan lagi untuk menceritakan apa makna sebenarnya tentang hidup. Tapi kemudian, nurani putihku menolak. Nurani suci itu menyuruhku untuk tetap bersabar. Tabah sebagai seorang murid yang wajib menghormati dan tunduk pada sang guru. Karena bagaimanapun juga, dari Kiai Mujurono jugalah selama ini telah kukenal banyak hal tentang kebajikan hidup. Tentang kesabaran dalam menghadapi penderitaan. "The passion", meminjam istilah Mahatma Gandhi. Akhirnya, nurani putih itu mengajakku kompromi agar bisa menjalani segala ujian, coba'an ini dengan sabar, sekaligus menyisakan coretan-coretan harapan sebagai bekal agar bisa berbuat yang lebih baik di masa depan.




Padepokan Tebet, subuh ke-15 Ramadhan 1424 H.
(c) Gus John.

#051: Kemuliaan*


The Central of Javadwipa, pertengahan abad 15.
Langit sangat terang. Matari memancarkan sinarnya, membuat bayangan setinggi benda-benda di sekitar hamparan sawah-ladang nan hijau. Semak-belukar berwarna hijau-kecoklatan. Sangat dominan, tumbuh subur di bantaran sungai yang besar itu. Di sore itu, tampak seorang lelaki setengah baya duduk bersila di pinggir sungai, di antara semak-semak. Matanya yang tajam tapi
penuh kelembutan, terpaku pada arus sungai yang cukup deras. Lama, ia duduk terpekur menghadap sungai itu. Mulutnya bergetar, terlihat komat-kamit. Di
tangannya, sebuah tasbih hitam berputar dengan lambat. Ritme dzikir lelaki itu begitu mantap. Sosok agung, yang sebenarnya tak asing lagi bagi raja-raja Jawa-Islam itu mengenakan pakaian petani yang compang-camping, plus blangkon di kepalanya. Sementara cangkul dan tongkat untuk mengangkut rumput, berdiri tegak di sebelah kanannya. Dengan khusyu', lelaki itu terus
berdzikir mengagungkan Tuhan-Nya.

Tak lama kemudian, datanglah laki-laki gagah-perkasa dengan pakaian yang serba mewah dan gemerlapan. Orang menyebutnya, Adipati Pandanarang, Adipati Semarang yang dikenal berwatak rakus dan serakah akan harta. Dengan tanpa turun dan tetap duduk di atas pelana kudanya, sang adipati menghampiri petani itu. Maka terjadilah percakapan sebagai berikut:

"Hai, Kisanak. Saya masih membutuhkan rumput segar darimu untuk hewan ternakku. Jika kau mampu menyediakannya esok hari, aku akan memberimu upah yang lebih banyak dari apa yang kuberikan hari ini," ujar sang adipati dengan angkuhnya.

Mendengar perkataan orang yang datang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu, petani itu kemudian menghentikan dzikirnya. Dengan perlahan, ia membalikkan punggungnya, menghadap sang adipati.

"Ya, Gusti Adipati. Masih tidakkah cukup rumput tadi pagi itu untuk persediaan ternakmu?"

"Aku masih ingin yang lebih banyak lagi!" jawab Adipati dengan suara yang semakin meninggi.

Memang, sesungguhnya bukan rumput semata yang diinginkan oleh sang adipati. Dari pengalaman sebelumnya, dalam ikatan rumput itu sebenarnya tersimpan kepingan emas. Setiap ia membeli rumput dari petani itu, ia selalu menemukan kepingan emas di dalamnya. Dengan kembali membeli rumput, ia berpikir tentu akan mendapatkan keping emas yang lebih banyak, dan ia bisa semakin kaya-raya.

Petani itu hanya bisa mengernyitkan dahinya, seolah-olah ia mampu membaca alam-pikiran sang adipati. Dengan tenang, ia kemudian menghampiri dan bertanya kepada sang adipati, "Gusti, buat apakah harta yang berlimpah? Tidak cukupkah hartamu yang sudah terlalu banyak itu?"

Sang adipati terhenyak sesaat atas pertanyaan petani itu. Kemudian ia berkata, "Hai, apa urusanmu bertanya itu padaku, Kisanak?" dengan penuh selidik. "Aku butuh harta yang melimpah, agar aku terpandang dan mulia di depan rakyatku. Aku ingin harta banyak, sebagai bekal buat anak-keturunanku, agar mereka kelak tidak hidup sengsara dan kelaparan," jawab adipati dengan suara berat menahan amarah.

"Astaghfirullaahaladzhiim, " desah petani itu, "Gusti, sesungguhnya kemuliaan seseorang itu tergantung dengan amalnya. Gusti akan dipandang mulia oleh rakyat, bila banyak mengamalkan harta yang Gusti miliki. Lagipula, Gusti telah mengingkari akan keberadaan Tuhan. Bukankah rejeki setiap manusia itu sudah ada garisnya? Bukankah persoalan rejeki itu sudah ada yang mengaturnya, yakni Tuhan, Gusti?"

Mendengar jawaban yang singkat namun mengandung "kekuatan yang dalam" itu, sang Adipati kemudian turun dari kudanya. Hatinya yang keras itu kini menjadi luluh. Ia bersimpuh, bersujud di tanah.

"Hai, Kisanak. Siapakah gerangan dirimu yang sebenarnya? Perkataanmu sangat bijak, dan sepertinya kau bukan seorang petani biasa?", bertanyalah ia dengan penuh keheranan.
"Siapakah kau, Kisanak?" kembali ia mengulangi pertanyaannya.

"Gusti, orang sering menyebutku dengan Kalijaga. Aku datang, diutus Tuhan untuk mengajakmu kembali ke jalan yang benar."

Semakin gemetarlah tubuh sang adipati. Kini ia baru sadar, sedang berhadapan dengan siapakah gerangan dirinya. Dialah Sunan Kalijaga; sosok yang memiliki pengaruh kuat dalam setiap suksesi kepemimpinan raja-raja di tanah Jawa. Satu-satunya wali yang sangat dihormati dan ditakuti oleh Syekh Siti Jenar; wali Jawa "kontroversial" yang membawa aliran tasawuf-falsafi.

Melihat kenyataan itu, maka bersimpuhlah sang Adipati di kaki Sunan Kalijaga. Dia meminta ma'af, mengakui akan segala kekhilafannya. Ia berjanji akan mengikuti jejak para wali untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Di kemudian hari, ia menjadi murid Sunan Kalijaga. Kelak, ia akan masuk dalam anggota dewan Wali Songo dengan sebutan Sunan Bayat. Ia dikenal sebagai wali yang sangat dermawan. Seluruh hartanya ia pergunakan untuk berdakwah,
menyebarkan agama Islam.


#
Melihat salah satu fragmen dari sejarah Wali Songo yang sedikit saya rekonstruksi sendiri tersebut, saya jadi ingat akan filsafat kebajikan yang pernah ibu ajarkan kepadaku. Menurut bunda, nilai kemuliaan seseorang itu bisa dilihat dalam dua hal. Pertama, kemuliaan seseorang karena hartanya. Ia dikatakan mulia, karena orang lain menghormatinya hanya karena faktor harta kekayaannya. Di lingkungan masyarakat, orang kaya biasanya secara otomatis
mendapatkan perlakuan yang berbeda bila dibandingkan dengan orang biasa (miskin). Apalagi bila mereka bersikap dermawan. Walaupun, tidak jarang banyak di antara mereka juga biasanya bersifat sombong dan kikir.

Kedua, kemuliaan seseorang dikarenakan ilmu dan manfaatnya. Ia dikatakan mulia, karena orang lain menghormati kepandaiannya. Dengan pengetahuan luas yang dimiliki, seseorang bisa menjadi orang yang berpengaruh karena ilmunya sangat dibutuhkan bagi masyarakat.

Kata bunda, "Nak, idealnya keduanya bisa berjalan seimbang. Kamu harus bisa mengamalkan ilmumu, dan beramal, serta berbuat baik dengan harta yang kamu miliki untuk kepentingan masyarakat banyak. Karena kemuliaan harta dan pandai saja tanpa beramal, sesungguhnya kuranglah sempurna," menutup kata bijak bunda malam itu.
Wallaahu'alam bi ash showab.




*kudedikasikan tulisan ini untuk bundaku tersayang, yang banyak mengajariku
akan filsafat kebajikan.


Malam kelima Ramadhan 1424 H-30/10/03, 23:23
© Gus John.

#050: Memuliakan Tamu (2)



......You may say i'm a dreamer
But i'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world is to be one.............


Dukuh Menanggal-Surabaya, September 2003.
Kutekan tuts-tuts hitam dan putih. Sambil mencari-cari dan bingung membedakan antara nada Minor dan Mayor, kucoba mainkan piano itu perlahan-lahan. Dengan ditemani ponakan kecilku (2 tahun) yang cerdas, kunyanyikan lagu "Imagine" karya penyanyi legendaris yang memberiku banyak inspirasi dalam hidup, John Lennon. Kudendangkan lagu itu hingga usai.

Pagi itu, aku memang sengaja tidak kemana-mana. Aku hanya menunggu kedatangan Cak Sukidi (tentang figur Cak Sukidi, baca CHGJ ke-41, "Mengabdi Pada Masyarakat") di rumah kangmasku. Hari itu, memang ada janji ingin sowan ke rumah Pak Ibra di sebuah kawasan perumahan di Surabaya Timur.

Ketika jam menunjuk angka 10, datanglah Cak Kidi dengan panther hitamnya. Segeralah kita berangkat menuju rumah Pak Ibra. Aku tak tahu persis lewat mana saja jalurnya untuk mencapai rumah beliau, karena aku tak pernah paham dengan peta Surabaya. Yang jelas, cukup berkelok-kelok hingga 20 menit, baru sampailah di rumah sosok figur yang sangat kuhormati itu.

Hari itu, hari Senin di bulan Sya'ban. Begitu tiba di jalan depan rumah, seorang tua berusia sekitar 50-an lebih, berperawakan kecil dengan memakai sarung dan sabuk lebar ala jaman Kompeni, dan sedikit jenggot di dagunya, menyongsong kehadiran kami dengan senyumnya yang mengembang. Pandangannya lembut, teduh. Sikapnya sangat santun. Dialah Pak Ibra yang selama ini hanya bisa kukenal lewat internet. Baru kali ini aku berjumpa langsung dengannya.

Begitu turun dari mobil, dia langsung menarik tangannya ketika tangan halus itu kucium dengan penuh taqdim, sebagai bentuk penghormatanku pada seseorang. Begitupun ketika Cak Kidi melakukan hal yang sama kemudian. Kita berdua langsung dipersilahkan masuk ke rumah.

"Dua tahun yang lalu, saya pernah mengejar sampeyan hingga ke Tunjungan Plaza, Gus, ketika saya tahu sampeyan ada di Surabaya. Tapi sayang, ndak bisa menemukan sampeyan," kata Pak Ibra memulai pembicaraan siang itu. Yang dimaksud Pak Ibra, mungkin ketika itu aku sedang ada acara janji makan malam dengan Ninis, salah seorang sahabat dekatku.

"Duh, saya minta ma'af, Pak. Saya tidak tahu akan hal itu," jawabku.

"Ya, hp sampeyan susah untuk dihubungi," kata Pak Ibra.


#
Kuamati sejenak rumah Pak Ibra. Rumah itu sangat mungil dibandingkan dengan rumah-rumah lain yang besar dan mewah di kiri-kanannya. Begitu masuk ke pelataran rumah, kulihat (ma'af) plafon depan rumah itu telah jebol. Mungkin bangunan rumah itu sudah terlalu tua, sehingga ada bagian di sana-sini yang berantakan. Tapi, apalah arti itu semua. Karena aku tak pernah menilai kemuliaan seseorang berdasarkan dari rumah, harta, atau kulitnya. Yang penting, hati dan perbuatannya serta seberapa besar manfaat orang tersebut bagi umat.

Sosok dan kiprah Pak Ibra memang terendam dalam hati saya. Dia merupakan pensiunan karyawan perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini. Walaupun pensiunan, amal-perbuatannya tetap tak terputus untuk tetap memberikan sumbangsih pemikiran bagi kepentingan umat. Aktivitasnya ketika masih muda juga patut untuk ditiru. Sejak kuliah di ITS, dia sudah bergumul dengan dunia organisasi keagamaan. Berangkat dari organisasi itulah, dia bisa kenal dekat dengan lingkungan pesantren dan para kiai.

Kita kemudian ngobrol di ruang tamu yang sempit. Kita bicara banyak hal hingga siang hari. Mulai dari soal politik, dunia kiai, hingga konflik elite. Pak Ibra menunjukkan kepada kami tentang salah satu fotonya ketika berkesempatan mendampingi mantan raja di negeri ini ketika melakukan kunjungan ke Surabaya. Dia juga menunjukkan dokumen intelijen tahun '80-an tentang gerakan radikalisme Islam. Aku hanya diam. Hanya bisa membaca, dengan sedikit komentar. Beberapa saat kemudian, muncul istri Pak Ibra dengan sirup merahnya. Empat gelas. Kebetulan aku belum makan dan haus. Kuminum habis sirup diantara salah satu gelas itu, hingga membuatku ingin ke kamar mandi.

Kulihat kemudian anak bungsu Pak Ibra memainkan komputer dengan ketikan yang begitu cepat, ketika aku menuju kamar mandi. Setelah kudekati, ia jadi malu-malu. Kubaca tulisannya. Ternyata dia bikin cerpen! Bagus banget! Cerpen itu melibatkan tokoh-tokoh dunia dalam imajinasi putra Pak Ibra itu. Anak itu baru kelas 2 SMP, tapi tulisannya sudah banyak. Kukatakan pada PakIbra, hobi putranya itu perlu difasilitasi agar dia kelak bisa berkembang menjadi seorang penulis yang handal.

Sesampai aku kembali di ruang tamu, Pak Ibra bertanya, "Sampeyan berdua belum makan, kan?"

"Belum, Pak," jawabku cepat mendahului jawaban Cak Kidi. Cak Kidi menoleh ke arahku. Ia meringis. Mungkin ia paham dan tahu betul, bahwa sejak di mobil tadi aku sudah mengeluhkan lapar.

"Ya udah. Kalo gitu kita cari makan. Sekalian saya berbuka," katanya.

"Loh, njenengan puasa toh, Pak?" tanyaku.

"Demi menghormati kedatangan sampeyan, Gus, saya batalkan puasa saya".

"Loh, ya jangan karena saya terus puasanya batal dong, Pak?" sergahku.

"Ndak papa toh, memuliakan tamu itu lebih baik dari hanya sekedar puasa sunnah," Pak Ibra kemudian menimpali, "ayo, Gus, sampeyan mau makan apa? Sampeyan belum makan, kan? Sampeyan mau pilih apa?" tanyanya.

Masya Allah?! Merinding aku mendengar jawaban tersebut. Seketika itu juga kujawab, "Saya suka tempe penyet, Pak."

"Duh, siang-siang gini jangan tempe penyet. Nanti malam aja. Gimana kalau sekarang kita mampir ke warung Arab 'Madinah' di Ampel? Di sana khusus menyediakan masakan spesial kambing. Sampeyan belum pernah makan ke sana, kan?" tanya Pak Ibra menawarkan.

Aku dan Cak Kidi hanya bisa bengong. Di satu sisi takjub atas sikap PakIbra. Di sisi yang lain, perut ini sudah sulit diajak kompromi. Kitapun bertiga akhirnya berangkat menuju kawasan Ampel. Menuju Warung "Madinah" yang khusus menyediakan masakan kambing. Pak Ibra benar-benar membatalkan puasa sunahnya.

Aku tak habis berpikir. Sedemikian taqdimnya beliau pada tamu, sehingga puasa sunnah pun dibatalkan. Berhadapan orang seperti ini, kembali logika dan nalar fiqihku berjalan; mencari-cari alasan dari setiap kejadian di depan mata-kepalaku. Dua standar yang selalu kugunakan; pilihan Pak Ibra itumengandung manfaat ataukah mudharat? Bermanfaat menyangkut persoalan pribadi ataukah bermanfaat untuk kepentingan umum (baca: orang lain)? Maklum, aku bukan orang pesantren yang paham ilmu agama. Hanya kemampuan ala kadarnya inilah yang selama ini kugunakan untuk mencermati setiap problema yang ada.

Subhanallah! Jika puasa sunah saja bisa dibatalkan demi memuliakan sang tamu, lalu kenapa masih ada orang-orang yang tega menelantarkan temannya ketika datang berniat silaturahmi dengan hanya dipersilahkan duduk-duduk di emperan rumahnya? Tentu, itu bukan sebuah sifat yang bijaksana.
Wallaahu'alam bi ash showab.



Malam keempat Ramadhan 1424 H-29/10/03 (c) GJ

#049: Ramadhan Kini: Berartikah Bagiku?


Ramadhan 1424 H, malam ketiga.
Dengan bersarung, kubawa bebek besiku menuju sebuah masjid di wilayah Tegal Parang, Mampang Prapatan. Kuniatkan, malam ini ingin bertarawih bersama Buya Sidik, seorang ulama "khos" asli Betawi. Dibilang "khos", karena Buya merupakan sosok kiai yang dihormati di kalangan ulama dan masyarakat Betawi. Dipanggil "Buya", karena usia beliau memang sudah sangat tua. Menurut cerita, konon kiai yang satu ini seangkatan dengan (alm.) KH Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama pertama RI) dan pernah menjadi santri Hadratussyaikh, KH Hasyim Asy'ari (pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang).

Tak kusangka, kedatanganku paling awal, sebelum jama'ah masjid Darurrahman kemudian berdatangan. Tapi, hingga tarawih usai, ketika jam menunjuk di angka 8:30, masih juga tak kulihat sosok Buya. Hanya seorang muda berjenggot yang menjadi imam malam ini. Lalu ke manakah Buya? Aku merindukan senyum dan kharismanya. Kuinginkan "barokah" dari keramahannya, seperti dulu. Kuingin mencium tangannya yang lembut selembut hatinya. Tapi, Buya tetap tak kelihatan, hingga kemudian kumeninggalkan masjid itu.

Lebih dari itu, sebenarnya aku merasakan ada yang "hilang" dalam ramadhan kali ini. Dari Tebet, Mampang, Duren Tiga, Kalibata, Cikoko, Pancoran, tak kudengar sedikitpun lantunan ayat-ayat Illahi menggema. Ataupun bunyi gelegar petasan menyambut Ramadhan. Tak seperti di kampungku. Setiap habis tarawih, di masjid-masjid, anak-anak remaja dan orang tua bertadarus, membaca kitabullah. Sementara anak-anak kecilnya bermain petasan di jalanan atau di rel kerata api, memeriahkan datangnya ramadhan.

Di kalangan anak-anak, petasan bikinan Jombang adalah yang paling terkenal. Begitupun di langgar-langgar putri. Gadis-gadis cantik desa, dan beberapa ibu dengan anak-anak kecilnya juga bertadarus. Ya, budaya tadarus, satu hal yang sangat sulit kutemukan di ibukota ini. Kumerasakan kering! Kota ini begitu kering ritualnya.

Tak kutemukan Buya. Tak kudengar tadarus di masjidnya. Tak kudengar bunyi petasan. Akhirnya kumeluncur, silaturahmi ke salah seorang teman Kristianiku. Ku ajak ia menemaniku makan malam, mengisi perutku yang keroncongan, karena sebelumnya hanya terisi air putih dan tiga buah kurma ketika tadi sore berbuka. Masih juga tak kudengar gema tadarus di tempat baru itu. Kering! Sekering ramadhan kali ini, yang tak merubah sedikitpun ibadah, sikap dan tingkah lakuku.

Yang aku hanya bisa. Menjelang berbuka, menyiapkan makanan seenak-enaknya. Bila malam tiba. Tak ada bedanya dengan malam hari-hari biasa. Kumanjakan mata, tidur-terlelap bila jam sudah menunjuk angka 10. Tak ada tadarus, baca Qur'an, ataupun sholat malam. Tak ada bacaan-bacaan Illahiyah, mengagungkan nama-Nya. Tak ada waktu untuk berdialog dengan-Nya. Tak ada waktu untuk menangis, bersimpuh di depan-Nya. Kalaupun hingga sampai larut malam, itupun karena besoknya libur (malam mingguan). Yang ada hanyalah malam diisi dengan canda-tawa. Yang ada hanyalah alasan capek kerja. Yang ada hanyalah kesibukan di pagi dan siang hari. Memuja harta dan memikirkan duniawi. Seperti tak ada istimewanya sama-sekali ramadhan kali ini. Sungguh kering!

Diriku bagaikan seonggok sampah tak berguna. Sungguh hina diri ini.Duh, Gusti Pengeran, kalaupun jiwa dan hatiku menjadi kering karena tak mendengar ayat-ayat Qur'ani, setidaknya berilah hamba kekuatan untuk bisa menjadi embun yang menyejukkan bagi makhluk Tuhan yang lain.

Duh, Gusti, ampuni hamba. Jika memang Ramadhan kali ini tak memiliki arti sama-sekali bagi ibadah, sikap dan tingkah-laku hamba-sahaya, lalu kenapa Engkau masih panjangkan usia hamba untuk menanggung beban dosa? Karena akibat kebebalan hamba, hamba masih juga tak mampu secara cerdas memahami segala kehendak-Mu.
Wallaahu'alam bi ash showan.


Padepokan Tebet ba'da Subuh, 29-10-03,
© Gus John.

Sunday, October 29, 2006

#048: "Nilai" Seseorang*


Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj, seorang tokoh ulama-intelektual yang ucapan dan pemikirannya sering dianggap "nyleneh" oleh kebanyakan orang, dalam sebuah acara "eksklusif" di salah satu stasiun televisi swasta lima tahun yang lalu (1998), memberikan suatu ulasan yang cukup menarik seperti berikut ini:

"Seseorang akan mempunyai nilai di mata orang lain, jika keberadaanya mampu memberikan banyak manfaat daripada mudhlarat bagi lingkungan di sekitarnya."

Menurut penulis, ulasan Kang Said --panggilan kiai asal Cirebon itu-- cukup relevan juga bila dilihat dari sudut pandang kaum nonmuslim. Lebih lanjut, ulama kontroversial yang mendapatkan doktor dari Universitas King Abdul Aziz (Ummul Quro') itu dengan santai dan lugas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan moderator mengenai problematika yang dihadapi oleh umat dewasa ini.

Di salah satu bagian wawancara tersebut, ada beberapa point menarik dari Kang Said yang menjelaskan tentang pembagian, penggolongan, dan pengelompokan seorang muslim berdasarkan hubungannya secara vertikal (denganTuhan) dan horisontal (dengan sesama manusia). Kang Said menggunakan metode dengan memberikan setiap penilaian (+) jika baik, dan (-) jika sebaliknya.

Berikut ini, penulis mencoba menafsirkan kembali uraian Kang Said tersebut sebagai berikut :
* seseorang akan bernilai ( + ) dan ( + ). Maksudnya, orang yang masuk dalam kategori ini biasanya "sarungan", rajin ke masjid, pintar membaca kitab suci, jago wirid, aktif di pengajian, aktif di organisasi keagamaan, dll. Di samping itu juga suka beramal, membantu sesama, aktif di kegiatan sosial- kemasyarakatan, organisasi dll. Ringkasnya, orang ini bagus dalam konteks hablum minallah (hubungan dengan Tuhan, secara vertikal) begitu juga hablum minnannas (secara horisontal, hubungan dengan sesama manusia).

* bernilai ( + ) ( - ); sarungan, orangnya rajin ibadah seperti contoh di atas, tapi masih suka ribut, emosional, suka menyakiti teman, pelit-kikir, suka mendzhalimi hak orang lain, fitnah, acuh dll. Dalam unsur ini, ibadah masih dan hanya dijadikan sebagai suatu bentuk formalitas, simbol belaka. Sholat ya sholat, tapi ngomongin orang (ghibbah) jalan terus. Mantan ketua organisasi yang berbau agama, tapi korupsi jalan terus. Singkatnya, kekurangan dari golongan ini adalah kurang mempunyai rasa responsif (kepekaan) dalam hubungan mu'amalah (antar sesama manusia). Secara vertikal kelihatan baik, tapi tidak berbekas sedikitpun pada sikap dan perbuatannya di lingkungan sesama.

* ada nilai ( - ) ( + ); orang yang secara vertikal tidak baik, tapi suka menolong orang. Tidak atau jarang menjalankan syariat agama dengan benar, tapi secara tidak sadar apa yang dia lakukan kepada orang lain bernuansakan nilai agama (baca: bersifat Islami).

* ada nilai ( - ) ( - ); kedua hubungan, baik vertikal maupun horisontal kurang baik. Ibadah tidak, menolong sesama pun tidak. Golongan ini paling "mengharukan". Sudah tidak tobat, kebanyakan dosa. Malaikat maut pun mungkin gemas melihatnya.

Dari beberapa kategori di atas, kita bisa mengukur, berada di manakah kita? Silahkan memberikan penafsiran sendiri-sendiri, akan tetapi paling tidak uraian dari Kiai Said Aqiel di atas perlu menjadi renungan kita bersama. Sudah sejauh manakah langkah yang kita perbuat.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.


Malam Kedua Ramadhan 1424 H-27/10/03
(c) GJ

*revisi dari arsip pribadi, 30/10/98

#047: Memahami Orang Lain: sebuah catatan harian khusus buat WW


Padepokan di suatu sore hari;
Ketika melihat acara TV via Kabelvision. Dengan becanda, WW mengkritik penulis sebagai orang yang plin-plan, tidak memiliki pendirian. Penilaian ini didasarkan karena penulis terlalu menurut mengikuti program TV yang ia maui. Apa yang ia minta selalu penulis turuti.

Kebetulan, sore itu acara yang bagus adalah TV "Animal-Planet" (channel 9) dan TV "AXN" (channel 3). Tapi, kritik itu dengan mudah penulis membalikkannya dengan merubah channel, mengganti dengan acara yang lain.

"Nah, saya memiliki pendirian kan sekarang?" ujarku menguji.

"Wah, jangan-jangan, J, yang tadi lagi aja! " pinta WW. Channel pun penulis ganti sesuai dengan permintaan WW semula. Itu adalah sebuah pelajaran sederhana untuk menguji asumsi WW sebelumnya.


#
Beberapa hal utama, dan penulis ingin memberikan "pelajaran" pada WW adalah, bahwa; pertama, penulis memegang betul prinsip "Ing Ngarso Sung Tuladha, IngMadya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani", yang artinya kira-kira begini: Adakalanya kita berada pada posisi harus bisa memberikan contoh yang baik. Adakalanya kita berperan sebatas untuk menumbuhkan minat, dan ada kalanya kita harus mampu dan bisa memberikan motivasi/dukungan. Jadi, ini adalah persoalan posisi-tempat dan waktu. Kita harus bisa menempatkan diri, kapan di depan, kapan di tengah, dan kapan di belakang.

Kedua, WW barangkali perlu lebih memahami sesuatu dari isi, tidak hanya sebatas kulit (permukaan). Memaknai substansi, tidak sebatas esensi. Memahami yang kontekstual, tidak hanya yang tekstual. Tidak hanya mengetahui syari'at semata, tapi makrifat ataupun hakekat juga perlu diyakini. Jadi, memahami setiap diri manusia tidak hanya sebatas dari luarnya saja, permukaannya saja, tapi juga isi dan dalam diri manusia tersebut. Karena bila tidak, kita akan keliru dalam memahami orang lain. Jika kita hanya punya kriteria "baik dan buruk" dalam memahami sesuatu secara mutlak, maka probabilitas kesalahan penilaian tersebut bisa sangat mungkin terjadi.

Ketiga, memahami orang tidak bisa dengan hitam-putih. Ketika kekasih atau istri kita marah, itu bisa diartikan ia masih sayang dan perhatian pada kita. Bagaimana bila sudah tidak marah lagi? Ketika kekasih atau istri kita cemburu, itu artinya ia masih mencintai kita. Cemburu pertanda rindu. Marah pertanda cinta. Intinya, kita harus juga memahami latar belakang masalahnya, bukan sebatas apa yang terjadi. Memahami latar belakang marahnya, bukan subyeknya yang sedang marah. Jadi, ini adalah persoalan latihan menjadi orang yang arif dan bijaksana.

Keempat, penulis mengikuti betul ajaran Mahatma Gandhi; "ahimsa", yang bermakna anti kekerasan. Karena menurut Gandhi, apapun bentuknya kekerasan tak kan bisa diakhiri dengan kekerasan. Gandhi percaya benar bahwa kemenangan akhir ada pada Kebenaran (satya), yakni Tuhan. Bila hanya untuk menegakkan hal-hal yang tidak prinsipil (mendasar), kenapa harus dengan kekerasan, intimidasi, teror, merasa memiliki kekuatan? -dalam contoh kasus kecil rebutan channel TV. Tidak harus! Justru, cara-cara seperti ini yang sebenarnya menunjukkan kekerdilan jiwa seseorang.

By the way, WW masih tetap adikku yang terbaik. Bagaimanapun, kritiknya selalu kuharapkan. Bukankah peran seorang sahabat memang harus demikian; saling nasehat-menasehati dalam hal kebaikan? Karena pada dasarnya, setiap orang akan mengalami fluktuasi keimanan. Karena kita adalah manusia biasa, bukanlah dewa.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.



Padepokan Tebet, sehabis Tarawih pertama Ramadhan 1424 H-26/10/03;
© Gus John.

#046: Berkaca Pada Sungai : Merangkai Sejarah Lama, Menelusuri Jejak Kultural


Sepanjang jalan, menyisiri pinggir Kali Brantas, September 2003;
Sungainya lebar. Arusnya cukup deras. Beberapa orang pengail ikan dengan santainya berdiri di tengah-tengah dam sungai itu. Air setinggi di bawah lutut tidak mengganggu keasyikan mereka untuk mengail, mencari ikan. Pemandangan menarik dari arus Kali Brantas itu, secara tidak langsung kemudian mengingatkanku akan kisah sejarah di masa lalu. Kubayangkan, pasukan Kubilai Khan -dinasti Mongolia- di sekitar abad XIII dengan armadanya yang megah, diiringi pasukan yang gagah berani, penuh dendam-emosi, menyeberangi sungai itu untuk menyerang Kerajaan Singosari.

Kulamunkan, di era akhir menjelang keruntuhan Majapahit, Kiai Abdurrahman, seorang kiai-panglima perang utusan Wali Songo, dengan susah payah dan penuh cekatan menyeberangkan puluhan ribu pasukan Islam Demak untuk menyerbu pusat Majapahit di Trowulan.

Itulah peran dan kisah sungai di masa lalu. Dari hasil kajian berbagai macam literatur sejarah tersebut, sedikit dapat kubuat hipotesanya (rekonstruksi sejarah), bahwa sungai merupakan salah satu dari dua tempat yang menjadi pusat peradaban manusia, di samping pantai (wilayah perairan laut). Pusat peradaban, bisa diartikan sebagai tempat terbentuknya sejarah kehidupan manusia pertama kali di suatu wilayah, atau juga tempat yang berperan atas sebuah kebudayaan mulai berkembang di tempat itu.

Adanya transaksi, hubungan interaksi sesama penduduk pribumi, atau antara penduduk pribumi dengan perantauan (pendatang) untuk mengembangkan budayanya, atau penduduk perantauan menemukan tempat baru, mengembangkan budaya baru yang dibawanya.

Pantai biasanya disebut juga sebagai daerah pesisir. Sementara sungai disebut pedalaman. Dari kategori ini, maka bisa kukatakan, dari dua tempat tersebut yang tersentuh pertama kali dari peradaban manusia bisa dipastikan wilayah perairan laut terlebih dahulu, baru kemudian kebudayaan itu menuju ke sungai (kali, Jawa).

Logikanya sederhana saja, misalnya di abad ke-7 H pada saat masih sedikitnya jumlah populasi penduduk, maka orang-orang banyak yang berjiwa merantau, berlayar, ingin mencari sesuatu yang baru. Motivasinya pun bermacam-macam. Ada yang karena ingin mencari atau memperluas daerah jajahan, untuk mengembangkan bisnis (mencari hasil rempah-rempah) seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Atau untuk keperluan berdakwah menyebarkan ajaran agama, berdagang atau kalau perlumelakukan perkawinan campur (silang budaya) dengan penduduk pribumi seperti apa yang dilakukan oleh kaum alawiyyin (golongan keturunan Arab yang datang di bumi Nusantara). Dalam istilah kolonialisme dulu, 3G; Gold, Glory end Gospel.

Namun, asumsi saya di atas akan tidak berlaku lagi ketika jumlah populasi penduduk sudah padat seperti sekarang ini. Bisa jadi untuk jaman sekarang, munculnya peradaban baru bagi manusia justru kemungkinan bisa dimulai, diawali dari dalam (wilayah pedalaman), tidak harus dari pesisir. Di era yang serba global saat ini, semua tempat bisa memulai untuk membangun peradaban.

Ada beberapa bukti yang dapat mendukung mengapa sungai dan pantai dulu pernah menjadi pusat peradaban manusia, yang menentukan sebuah kebudayaan itu lahir. Misalnya, umat Islam berkembang dengan pesat di Nusantara pada abad XV bermula dari wilayah perairan laut (pantai) dengan adanya kegiatan dakwah yang dilakukan oleh kaum alawiyyin di sepanjang pantai laut Jawa, yang dikenal dengan sebutan Wali Songo.

Bahkan sebelum itu (era kejayaan para Wali Songo), sebenarnya rintisan-rintisan pengembangan dakwah Islam sudah mulai berkembang. Hal ini dikuatkan oleh L. Van Rijck Vorsel, seorang Belanda dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, "Riwayat Kepulauan Hindia Timur", menyebutkan bahwa orang-orang Arab sudah datang di pulau Sumatera lebih dulu sebelum kedatangan orang-orang Belanda. Kurang lebih 750 tahun lebih dulu dari kedatangan orang-orang Belanda. Ini berarti terjadi sekitar abad XIII, tepatnya di Pasai.

Dalam riwayat yang lebih tua, memberitakan bahwa agama Islam tersebar di pulau Jawa sekitar tahun 1190 M. Cerita ini ada di dalam kisah Pajajaran. Padahal, era Majapahit ketika akan jatuh terjadi sekitar akhir abad XV M. Dari sini, sedikit saya berani simpulkan bahwa era Wali Songo sebenarnya hanya melanjutkan dakwah yang dilakukan oleh para pendahulunya. Wali Songo merupakan sebuah model perjuangan dengan menggunakan jalur struktural. Yakni dengan membentuk semacam dewan wali sebagai pusat kajian atau dalam menentukan sebuah keputusan penting. Menggunakan 'jalur struktural', karena para wali itu sudah masuk ke wilayah kekuasaan (biasanya sebagai penasehat raja).

Beralih ke wilayah Sumba (Nusa Tenggara Barat), di tahun 1870 M dikenal seorang Sayyid penyebar Islam bernama Abdurrahman bin Abubakar Al-Qadriy yang tinggal di Waingapu. Untuk selanjutnya para ahli agama di wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan Tuan Guru yang identik dengan sebutan kiai bagi orang Jawa. Sementara dakwah Islam di wilayah Sulawesi Utara dirintis oleh Sulaiman Khatib Sulung, Abdul Ma'mur Khatib Tunkal dll, berlangsung sekitar tahun 1882 M. Dan masih banyak lagi, literatur-literatur sejarah yang menceritakan tentang ini.

Sedangkan terbentuknya peradaban manusia di wilayah pedalaman terjadi pasca peradaban yang terbentuk di wilayah pesisir. Peradaban yang diawali dari pesisir, kemudian masuk ke pedalaman dengan melewati sungai. Bisa dipastikan, hampir mayoritas kaum alawiyyin yang menyebarkan ajaran Islam dibumi Nusantara sejak abad XII menganut paham sunni (ahlussunnah waljama'ah), khususnya bermazhab Syafi'i. Teori penyebaran Islam dariTimur-Tengah ke bumi Nusantara dikenal melalui dua model. Pertama, dari tanah Hadramaut (Yaman) via laut transit di India Selatan, lalu datang ke Nusantara. Kedua, Islam datang dari Persia via darat, transit di IndiaUtara, kemudian merembet di Asia Tenggara, lalu menuju Nusantara. Kedua latar belakang inilah yang menyebabkan Islam yang datang ke Nusantara bisa digolongkan menjadi dua kelompok besar; Sunni dan Syi'ah.

#
Sementara sungai, seperti yang sudah saya singgung di pembicaraan awal, merupakan tempat terbentuknya peradaban baru pasca terbentuknya peradaban di wilayah pantai. Untuk membuktikan sungai sebagai tempat terbentuknya sebuah peradaban manusia, misalnya dalam cerita Mahabarata. Dikisahkan Sungai Gangga yang menjadi tempat pembuangan delapan anak Dewi Gangga dari Prabu Sentanu sebagai prasyarat agar ia bisa kembali ke kahyangan.

Dalam pelajaran sejarah kebudayaan dunia, tentu kita mengenal adanya kebudayaan Mesopotamia (Irak), Sungai Nil di Mesir, kota di tengah sungai di Bangkok, atau kebudayaan di sungai terkenal Cina dsb. Menuju ke tanah air, kebanyakan fosil-fosil manusia purba banyak ditemukan di lembah-lembah sungai. Seperti fosil manusia Trinil di daerah Ngawi. Kemudian fosil manusia di Wajak, Mojokerto dll.

Arus peradaban itu, berawal dari pantai, menuju pedalaman melalui sungai. Kemudian peradaban itu membentuk dirinya biasanya di pinggir sungai. Bisa dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang berdiri di pinggir kali besar. Sebut saja pesantren Langitan di Widang Tuban. Pesantren milik KH Abdullah Faqih yang terkenal sebagai pusat para kiai 'khos' yang tergabung dalamPoros Langitan itu terletak di bantaran Sungai Bengawan Solo. Pesantren inibahkan ada sebelum Mbah Hasyim mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang. Bengawan Solo juga menyimpan cerita sejarah sebagai satu-satunya sungai yang dilalui, digunakan oleh pasukan Raja Kubilai Khan ketika ingin menyerang Kerajaan Singosari. Sungai ini juga sangat besar peranannya ketika JakaTingkir berkuasa di Pajang sampai ketika dia memutuskan ingin menikmati usia senjanya di bantaran sungai itu pula.

Sungai Bengawan Solo juga dijadikan tempat oleh Sunan Bonang untuk 'mengetes' Raden Sahid sehingga menjadi wali yang kemudian bergelar Sunan Kalijaga. Di bantaran sungai ini pula Sunan Drajad, Sunan Sendhang Dhuwur (Lamongan) melakukan aktivitas dakwahnya ketika itu. Sunan Ampel juga mendirikan masjid di pinggir Kali Mas, Surabaya.

Beralih ke sungai Brantas yang sedang kuamati. Pesantren Lirboyo-Kediri yang didirikan oleh KH Abdul Karim (Mbah Manab), juga terdapat di bantaran sungai ini. Juga pesantren-pesantren yang ada di Jombang, Nganjuk, ataupun Malang. Begitupula sungai-sungai besar lainnya seperti sungai Sedayu di Banyumas(Jawa Tengah). Kemudian di wilayah Jawa Barat (DKI) terdapat sungai Ciliwung. Saya yakin, semuanya menyimpan sejarahnya masing-masing.


#
Adakah korelasi di antara kedua unsur tempat terjadinya peradaban manusia tersebut? Dalam kasus penyebaran ajaran Islam -dalam hal ini hubungan antara sungai dan pesantren, alur yang terjadi adalah daerah pesisir lebih banyak para ahli agama (kiai), sementara daerah pedalaman sangat minus. Misalnya, hampir mayoritas para wali dulu hidup di pesisir. Seperti Sunan Ampel di Ampel Denta, bantaran Kali Mas Surabaya dan cukup dekat dengan pantai. Kemudian Sunan Bonang di Tuban. Di dekat makam beliau ini juga terdapat makam Syekh Asmaraqandi (perbatasan Tuban-Lamongan, jalur Daendles. Tepatnya di Desa Palang-Tuban). Dan hampir kota-kota pesisir seperti Lasem, Pati, Rembang,Cirebon dll telah banyak menelurkan tokoh kiai-ulama besar di jamannya.

Karena over-kuantitatif, maka banyak kiai-kiai dari daerah pesisir yang kemudian melakukan 'hijrah' ke daerah pedalaman (di samping persoalan adanya tekanan dari kolonial Belanda di abad XIX). Hampir semua kiai-kiai besar di daerah pedalaman bila dirunut ke belakang, nenek-moyangnya berasal dari pesisir. Misalnya nenek-moyang Hadratussyaikh, KH Hasyim Asy'ari (pendiri pesantren Tebuireng) dan KH Wahab Khasbullah (pendiri pesantren Tambakberas, Jombang) yang bertemu silsilah di Kiai Sikhah, berasal dari daerah pesisirJawa Tengah. Mbah Bisri Syansuri, pendiri pesantren Denanyar Jombang juga berasal dari pesisir Jawa Tengah, tepatnya dari kota Tayu, 100 km arah timur laut kota Semarang. Lalu KH Macrush Aly, menantu dari Mbah Manab (pendiri pesantren Lirboyo) berasal dari daerah Gedongan-Cirebon.

Nach, untuk kondisi saat ini, ada kesempatan (kemungkinan) untuk bisa melakukan yang sebaliknya. Peradaban manusia, sejarah manusia dapat kita ciptakan dari daerah pedalaman (sebenarnya tak terbatas di bantaran sungai saja) dan kita sebarkan ke daerah pesisir. Dari segi substansi, sebenarnya kita bisa menciptakan "peradaban baru" seperti apa yang dilakukan oleh para pendahulu kita (ulama-panutan). Bedanya, hanya terletak pada: Pertama, kalau para pendahulu kita dalam menciptakan peradaban baru perlu melakukan hijrah, sementara kita tidak.

Kedua, di tempat yang baru, para pendahulu tidak hanya berjuang untuk memikirkan persoalan ke depan, tapi juga harus memikirkan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Misalnya, Mbah Hasyim ketika mendirikan Tebuireng juga harus mengatasi para begal, rampok, preman yang mengganggu para santrinya. Sementara kita tidak. Kita hanya perlu melakukan kajian untuk strategic-planning ke depan.

Memang daerah pedalaman tidak hanya terbatas di bantaran sungai saja. Dikota, di gunung pun dapat kita katakan serupa. Dengan demikian, kalau dikatakan membuat 'peradaban baru' diawali dari pedalaman, itu berarti memang sudah lama terjadi. Peradaban baru dari pedalaman untuk kepentingan masyarakat pesisir, misalnya kebijakan di Departemen Eksplorasi Kelautan. Ada kajian khusus yang dinamakan Pesantren Kelautan. Kebijakan ini ditujukan untuk memberikan pelatihan-pelatihan, pendidikan buat warga nelayan di pesisir yang memang kebanyakan masuk daerah minus. Diharapkan dengan latihan-latihan seperti ini, mereka mampu mandiri untuk bersaing dengan bekal ilmu yang cukup.

Substansi dari paparan di atas adalah siapapun bisa menciptakan "peradaban baru" sebagaimana dilakukan para pendahulu itu. Peradaban baru tersebut baru bisa tercipta ketika manusia melakukan langkah-langkah signifikan yang dapat dirasakan perubahannya. Misalnya Mbah Hasyim ketika mendirikanTebuireng terlebih dahulu harus mengatasi sisi keamanan yang terganggu akibat moral masyarakat yang tidak sehat. Di samping itu ada baiknya belajar kepada sungai yang telah memberikan konstribusi besar terhadap perjalanan umat manusia. Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.



Padepokan Tebet, 14 Oktober 2003, 00:31
© Gus John