Monday, November 03, 2008

#117: Panggil Aku, Nara..!

Ah, Bapak. Bapak tak perlu mengharu-biru meminta ma’af padaku. Aku tahu, Bapak sedang tidak terlalu ‘mood’ untuk menuangkan kata-kata tentangku dalam blog Mbakyu Pambayun. Tidak apa-apa, Bapak. Aku tahu, di benak Bapak keinginan itu tetaplah menyala.

Tanpa Bapak tuangkan rasa dan cinta Bapak kepadaku dalam tulisan, aku sudah tahu Bapak sangat mencintaiku. Aku telah rasakan cinta dan kehangatan Bapak di setiap Bapak datang dan akan pergi kerja selalu menciumku. Dan di kala Bapak mencium pipiku, kudengarkan desahan penuh getar lantunan Sholawat Nabi Sang Akhir Jaman selalu Bapak lantunkan untukku.

Aku tak bisa menghitung pasti. Tapi Bapak bisa menciumku setiap saat ketika Bapak mendekat padaku. Jika Bapak menciumku 5x di hari kerja, dan 10x di hari libur, artinya Bapak telah mengirimkan barokah Sholawat 200x kepadaku dalam satu bulan. Jika umurku sekarang 2 bulan setengah, berarti Bapak telah bersholawat 500x demi berkahnya untukku.

Terima kasih, Bapak. Aku tahu, seperti itu pula yang Bapak lakukan buat Mbakyuku Pambayun ketika ia masih kecil. Jadi Bapak tidak perlu minta ma’af padaku.

Ah, Bapak. Walaupun Bapak belum menulis tentangku, tapi aku tahu Bapak sangat mensyukuri akanku. Bukankah Bapak telah bikin acara syukuran aqiqah untukku dengan mengundang teman-teman Bapak? Bukankah parkiran depan rumah itu penuh sesak dengan kendaraan teman-teman Bapak yang ingin menjengukku? Aku tahu, Bapak potong kambing 2 buah demi wujud syukur Bapak ke Sang Pangeran akan kehadiranku. Wajah Bapak begitu sumringah waktu itu, sebagai pertanda -meminjam istilah Bapak- “Sang Pejantan Tangguh” telah hadir dalam kehidupan Bapak.

Bapak tak perlu bersedih. Kasih-sayang Bapak bisa kurasakan. Bapak memberiku nama yang begitu dalam sehingga seorang teman Bapak yang Hindu begitu sangat respect pada keputusan Bapak; cerminan sebagai jiwa yang nasionalis-religius tanpa tercerabut akar-budaya bangsanya.

Aku mengerti kesibukan Bapak akhir-akhir ini. Bekerja, bersosial-masyarakat di lingkungan kerja dan di lingkungan militer rumah kita yang serba keras itu. Aku tahu sebagai wujud syukur Bapak atasku, Bapak mengadakan “nongkrong bulanan” dengan mengumpulkan para militer itu di depan rumah kita, di depan danau itu. Agar rumah kita bertambah barokahnya.

Ah, Bapak. Tak perlu Bapak minta ma’af padaku. Aku yakin, suatu saat Bapak akan menulis banyak tentangku. Sangat banyak! Aku sangat memahami “bank idea” dalam otak Bapak yang begitu menggelora dan selalu menyala-nyala. Aku paham itu.

Titip salam ke teman-teman Bapak; panggil aku, Nara…!!! dalam perkenalan pertama ini. I love U, Bapak.

Wisma Bakrie Lt-4, 22 October 2008, 19:14

(c) aGusJohn

#116: Ma’afkan Bapak, Nak !

Ah, aku tak bermaksud pilih-kasih terhadapmu. Ma’afkan Bapakmu ini, Nak. Umurmu sudah 2 bulan setengah, tapi tak satupun tulisan tentangmu dapat kutuangkan dalam blog Mbakyumu.

Beda dengan jaman Mbakyumu dulu. Belum lahir saja sudah Bapak tulis banyak-banyak. Apalagi ketika Mbakyumu sudah lahir. Begitu beruntun Bapakmu ini menuang-curahkan step by step perkembangannya. Hingga fotonya sampai ratusan terupload di blog.

Ma’afkan Bapakmu, Nak! Tidak mampukah aku? Rasanya klise sekali. Bapakmu ini masih mampu, Nak!

Tidak sempatkah aku? Ah, sok sibuk seperti anggota dewan saja! Bapakmu bukanlah orang seperti itu, Nak.

Sampai sekarangpun Bapak masih tertegun; apa yang bisa Bapak tulis tentangmu? Bukankah Sang Pangeran Pencipta Alam telah memberikan kepada Bapak sebocah “pejantan tangguh”? Bukankah Bapakmu ini mengharap-cemas akan keinginan seorang anak laki-laki hadir di tengah keluarga sederhana kita di Lembah Ciangsana sana?

Kurang bersyukurkah, Bapakmu ini, Nak? Ah, tidak mungkin. Begitu sombong rasanya kalau Bapak tanpa syukur atas kehadiranmu yang sehat wal afiat itu. Rasanya angkuh jika Bapak tidak bersyukur akan kehebatanmu dalam kemampuan berinteraksi saat ini. Rasanya terlalu jumawa bila Bapakmu ini tidak menikmati rejeki-Nya atas semua anugerah yang terlimpahkan kepadamu. Ah, bukan itu, Nak.

Seperti halnya Mbakyumu, kau adalah “cahaya” Sang Pangeran, Nak. Semoga Bapak dapat secepatnya menulis-bumikan dirimu di lembaran blog Mbakyumu.

Sekali lagi, ma’afkan Bapak, Nak…


Wisma Bakrie, Lt-4, October 22nd, 2008

(c) aGusJohn

#115: Diaudit Kok Takut??

“Diaudit kok takut??”, kata seorang teman.

Kalau SOP beres, Bisnis Process beres, dokumentasi beres, kenapa orang mesti takut diaudit sehingga menyebabkan paranoid dan keluar pernyataan2 yang tidak mencerminkan jabatan yang disandang??

Asalkan, semua syarat, work-flow kita lakukan dengan benar, dengan hati bersih, kita tak perlu takut diaudit. Karena audit tidak akan keluar dari SOP, aturan yang kita buat sendiri. Audit bukanlah hantu, tapi pemberi solusi jika ada kekurangan/kelemahan.

Kalau kita bukan penjahat. Kita bukan maling, dan kita bukan penipu, harusnya kooperatif dengan tim audit. Kalau ada kelemahan, kekurangan itu menjadi PR bersama untuk diperbaiki. Kita sama-sama cari solusi demi kemajuan perusahaan. Kalau hanya bisa saling menyalahkan, mending jadi anggota Dewan saja.

So, kenapa harus takut diaudit??


October 22nd, 2008

(c) aGus John