Monday, May 28, 2007

#108: Konflik (Politik) Ulama


Menurut (almarhum) KH Ali Ma'shum, "jati diri" NU sesungguhnya terletak pada kepemimpinan ulama. Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, NU merupakan pengejawantahan dari ide para ulama. Di NU, ulama tidak hanya sekedar dijadikan sebagai simbol, tapi mereka juga memiliki posisi dan tanggung jawab yang tertinggi. Segala keputusan yang dikeluarkan NU, menjadi tanggung jawab dan berada di pundak mereka. Mereka pula yang berkewajiban menuntun umat menuju kebahagian di dunia dan akherat. Karena sangat dominannya posisi ulama, maka kepribadian NU sejak berdirinya (1926) hingga sekarang masih tetap utuh, tidak terpengaruh oleh perubahan situasi dan tidak tumbang oleh kemajuan zaman.

Karenanya, sungguh sangat ironis dan menjadi persoalan yang serius, bila ulama yang memiliki posisi utama dan seharusnya menjadi tokoh panutan masyarakat tersebut, kemudian mengalami konflik di antara sesama mereka sendiri.

Sejarah panjang NU telah mencatat konflik-konflik yang pernah terjadi di antara para ulama. Sebut saja misalnya, konflik yang terjadi antara KH. As'ad Syamsul Arifin dengan KH Idham Khalid, yang waktu itu dikenal dengan perseteruan antara kubu Situbondo melawan kubu Cipete (1984). Kemudian, konflik antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Abu Hasan (Cipasung, 1994). Gus Dur dengan kelompok Matori Abdul Djalil (2001) --dimana ada beberapa ulama penting NU berada di belakang Matori. Gus Dur dengan KH Syukron Makmun, dengan KH Yusuf Hasyim, dan riak-riak konflik ulama NU yang lain. Termasuk isu yang paling mutakhir, perseteruan yang terjadi antara Gus Dur dengan KH Cholil Bisri (Rembang) di tubuh PKB. Lalu muncul sebuah pertanyaan yang mendasar; Bagaimana posisi kita sebagai umat, dalam menyikapi konflik politik di kalangan elite tersebut?


Menengok Sejarah Masa Lalu

Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi. Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal
posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta'liq Muhammad Hamidi).

Di era Wali Songo -kelompok ulama yang "diklaim" oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang "fenomenal" antara Wali Songo (yang mementingkan syari'at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.

Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus).

Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: "Babad Demak", "Babad Tanah Djawi", "Serat Kandha", dan "Babad Meinsma".

Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran "Islam mutihan" (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-'alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap budaya.

Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu "lebih sadis" bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.

Bahkan, De Graaf, seorang sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya menilai konflik di antara para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang (terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar "Sultan" bila telah mendapatkan "restu" dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara seperti ini yang
kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali sendiri.

Begitupun ketika pusat pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus "berbelok arah" mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang, mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru yang bernama Mataram.

Tidak hanya berhenti di situ. Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo) membantai secara keji 6000 ulama ahlussunnah wal jama'ah di alun-alun Mataram, dengan alasan "mengganggu keamanan negara". Ini adalah sebagai bukti adanya imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya -di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah telah menjadi sebuah "warisan" masa kini.


Penutup: Kedewasaan dalam Berkonflik

Jadi, konflik politik di antara ulama/kiai bukanlah merupakan hal yang baru, yang luar biasa, karena kita bisa melihat akar konflik seperti itu sudah terjadi sejak dahulu kala --tentu dengan konteks yang berbeda. Logikanya, di jaman sahabat Nabi SAW dan para wali saja bisa terjadi, apalagi di era kiai sekarang ini. Itu adalah hal yang lumrah, asal dilakukan secara dewasa. Yang
tidak wajar, ketika konflik -yang biasanya bersifat pribadi ulama- tersebut bersifat kekanak-kanakan, yang sampai harus mengorbankan kepentingan umat dan kemaslahatan organisasi (NU).

Yang tidak dibenarkan, ketika konflik pribadi itu kemudian diseret menjadi konflik yang melibatkan umat, sekaligus organisasi dijadikan sebagai barang taruhannya. Dan bila sudah demikian, maka selayaknya kita patut meragukan otoritas mereka sebagai ulama, yang seyogyanya menjadi suri-tauladan bagi masyarakat.
Selebihnya, wallaahu'alam bi ash showab.


Referensi:
1. KH Ali Ma'shum, Ajakan Suci: Pokok-pokok Pikiran Tentang NU, Ulama dan Pesantren (Yogyakarta: LTN NU DIY, 1993).
2. R. Admodarminto, Babad Demak: dalam Tafsir Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan (Jakarta: Millenium Publisher, 2000).
3. H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (Jakarta: Perwakilan KITLV dengan Pustaka Utama Grafiti, 2001).
4. Prof. Dr. KH Said Agiel Siradj, MA., Ahlussunnah wal Jama'ah: dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 1997).
5. M.B. Rahimsyah AR, Kisah Wali Songo: Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa (Surabaya: Gali Ilmu)


(c) Gus John
*penulis adalah Direktur Publikasi Lembaga Pendidikan Pesantren.
[a] Mp. Prapatan XVIII, 17 Des '02